Nina dan Laura saling berpandangan, keduanya mengangkat wajah dan melihat ke arah sumber suara. Seorang pria mengenakan kemeja pink muda berdiri menatap mereka. Sebenarnya wajah pemuda itu bisa dikategorikan tampan, namun sayang wajah feminimnya itu selalu dihiasi dengan senyuman sinis, terutama kepada Nina.
Pria itu adalah Richard, salah satu karyawan yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan itu, ia berada satu divisi dengan Nina. Namun hubungan keduanya terlihat kurang sedap, karena Richard sering menyinggung atau menyindir Nina.
“Richard, apa masalahnya denganmu?” sahut Laura ketus.
“Ini masih jam kerja, tapi kalian berdua malah ngerumpi.” Richard bergaya bak seorang supervisor.
“Aku tahu ini masih jam kerja, tapi peraturan di perusahaan ini tidak melarang kalau hanya sekedar minum kopi untuk mengurangi kepenatan,” sengit Laura, “yang penting, kami tidak melalaikan tugas dan pekerjaan kami.”
“Oh, ya. Bagus dong kalau bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dan boss puas dengan hasilnya,” seringai Richard sambil menatap Nina. Gadis itu hanya diam sambil memainkan cangkir kopi yang isinya hampir habis, ia paham Richard sedang menyindirnya, karena laki-laki itu tahu saat Emily, asisten Nathan memintanya menghadap bos.
“Apa maksudmu, Richard?” geram Laura, “lagi pula, ngapain kamu di sini? Mau ngopi juga?” sarkasnya sambil tersenyum sinis.
“Haha, aku hanya kebetulan lewat,” ujar Richard, matanya masih tetap tertuju pada Nina. “Oya, Nin. Bukannya itu berkas yang kau kirim kemarin? Kenapa dikembalikan lagi?”
Nina tetap tidak menjawab, ia menghabiskan sisa kopinya lalu berdiri. “Ra, thank’s ya kopinya, aku duluan.”
Tanpa menghiraukan Richard, Nina langsung pergi meninggalkan Laura dan pria itu yang tampak sewot karena diabaikan.
“Dasar cewek sombong, kerja nggak becus saja bertingkah.” Richard mengumpat.
“Dasar cowok julid!” balas Laura sambil berlalu meninggalkan Richard. Pria itu mematung, namun kemudian menyeringai samar, lalu beranjak menuju ruang direktur utama.
**
Nathan masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya ketika Emily, sang asisten masuk dan memberitahunya bahwa Richard Stirling meminta izin untuk menghadap.
“Selamat siang, Pak Nathan.” Richard menyapa dengan ramah sambil tersenyum.
“Hmm, ada perlu apa?” tanya Nathan tanpa menatap Richard, suaranya begitu dingin.
“Begini, Pak. Kebetulan saya satu divisi dengan Nina, karyawan yang bergabung baru 7 bulanan itu. Saya lihat dia asal-asalan mengerjakan tugas, banyak melamun.”
Nathan mengangkat kepalanya, matanya menatap lurus kepada laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya.
“Lalu?” tanya Nathan singkat, wajahnya menunjukkan ketertarikan.
Merasa mendapat kesempatan, Richard makin bersemangat. “Ya, saya tidak tahu apa anak itu ada masalah atau memang pemalas, yang saya lihat dia seperti tidak bersungguh-sungguh mengerjakan pekerjaannya.”
“Hmm, lalu apa yang Anda inginkan?”
“Hehe begini, Pak. Saya sudah hampir 2 tahun bekerja di sini. Saya sebelumnya selalu dapat menyelesaikan tugas dengan baik, saya lihat Nina sedang mengerjakan laporan project yang baru, tapi belum bisa menyelesaikannya.”
“Terus?”
“Jika bapak berkenan, bagaimana kalau saya yang menyelesaikan tugas itu, saya jamin akan selesai dengan cepat.”
“Hmm, begitu ya,” ujar Nathan sambil berpikir.
“Benar, Pak. Saya jamin besok pagi saya sudah bisa menyelesaikannya dengan baik.”
“Apa Anda mampu?” tanya Nathan memastikan, “masalahnya memang Nina yang turut menangani project itu.”
“Kalau soal itu gampang, Pak. Saya bisa minta data-datanya sama Nina, kami satu divisi, dia pasti tidak keberatan.”
“Baiklah kalau begitu, Anda boleh kembali.”
“Terima kasih, Pak. Saya pastikan besok semuanya akan beres.” Richard berkata dengan penuh percaya diri.
“Hmm …” Nathan kembali pada pekerjaannya, namun setelah Richard ke luar ia segera memanggil asistennya.
“Emi, saya mau data-data Richard Stirling secara lengkap, berikut rekam jejak pekerjaannya selama bergabung di sini.”
“Siap, Bos. Akan segera saya siapkan.”
Nathan tidak habis pikir, mengapa ada karyawannya yang licik seperti Richard? Suka menikung dan mencari muka, menjilat sana sini. Mentalitas seperti itu, akan sangat berbahaya jika dibiarkan, bisa menghancurkan perusahaan.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Nina, gadis itu berkata dengan kesungguhan di matanya bahwa ia sudah memeriksa laporan itu dengan teliti, tapi kenapa bisa banyak kesalahan? Nathan mengangguk-anggukan kepalanya, sesuatu terlintas di pikirannya.
Selang beberapa saat, sang asisten masuk dengan membawa sebendel file yang diminta sang bos, Nathan membolak-balik dan mengamati dengan teliti. Sekarang ia dapat gambaran karyawan macam apa Richard itu.
“Beritahu Nina, laporannya harus segera selesai, sebelum besok pagi harus sudah jadi, minta dia memberikan soft copynya.”
“Siap, bos.”
Sementara itu, Richard yang merasa berada di atas angin, masuk ke ruangan kerjanya dengan penuh kebanggaan, ia melihat Nina sangat sibuk dan serius di depan komputernya.
“Kamu sibuk ngerjain apa, Nin?” Richard berdiri sambil tersenyum mengejek, “laporan yang kemarin? Sudahlah jangan repot-repot, Pak Nathan sudah menyerahkannya padaku.”
Nina tertegun, ia mengangkat wajahnya dan menoleh pada Richard. “Oh, begitu,” gumamnya, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Kamu pikir kalau kamu revisi sekarang apa akan selesai besok pagi?” Richard kembali berceloteh, namun Nina tidak mempedulikannya, ia tidak mau ambil pusing, namun kata-kata Richard berikutnya membuat gadis itu terhenti.
“Kesalahan kamu itu sangat fatal, Nina. Nggak akan kelar walau kamu kerjakan seharian.”
“Bagaimana kamu tahu kalau kesalahannya fatal?” cecar Nina, membuat Richard gelagapan.
“I-iya Pak Nathan, dari Pak Nathan pastinya. Beliau sudah memeriksa laporan kamu kemarin, kan?”
Nina tidak menanggapi, ia kembali fokus pada layar monitor di hadapannya. Merasa diabaikan, Richard menjadi jengkel, ia mendengus lalu berlalu meninggalkan Nina.
Selang beberapa saat setelah Richard pergi, Emily masuk, ia meminta Nina menyelesaikan laporannya dengan cepat, harus selesai hari ini juga.
Nina terkejut, namun hanya bisa mengiyakan apa yang disampaikan asisten Nathan. ‘Jika memang Pak Nathan sudah menyuruh Richard mengerjakan, mengapa masih menyuruhku menyelesaikan dengan segera?’ Nina membathin, namun tidak sempat lagi untuk berpikir apa pun, karena setiap detik waktunya sangat berharga, ia harus berpacu dengan waktu.
“Nina, pulang bareng, gak?” Laura masuk mengejutkan Nina. Jam pulang kantor pun tiba, semua karyawan telah bersiap untuk beranjak kembali ke rumah masing-masing.
“Kamu duluan aja, Ra. Sepertinya aku harus lembur.”
“Kamu yakin? Kenapa nggak dilanjutin besok aja sih?”
“Nggak bisa, Ra. Pak Nathan minta diselesaikan hari ini juga.”
“Gila si bos! Bener-bener killer!” rutuk Laura.
“Hehe hati-hati, Ra. Di sini dinding punya telinga.”
“What? Iih serem, aku balik lah daripada kena masalah. Kamu hati-hati ya, Nin. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, bye!”
“Okay Miss Bawel, bye.”
Sementara itu, di ruangan Nathan, seorang pria duduk dengan santai di sofa, ia menunggu Nathan menyelesaikan pekerjaannya, namun setelah menunggu cukup lama, sahabatnya itu masih saja berkutat dengan pekerjaan.
“Tan, ayolah sebentar, aku ada kabar bagus,” ujar Michael, ia adalah satu-satunya sahabat Nathan yang selama ini selalu mensupportnya.
“Kabar apa memang?” tanya Nathan tanpa mengangkat wajahnya.
Michael menghela napas, sahabatnya yang satu ini benar-benar gila kerja sekarang. “Sonya, apa kamu sudah nggak mau tahu lagi tentangnya?”
Sejenak Nathan terdiam, ia mengangkat wajahnya menatap Michael. “Buat apa, tidak ada kaitannya denganku.”
“Kamu yakin, Tan?” Michael memastikan, ia seakan tak percaya sahabatnya berubah menjadi bongkahan es begini. Nathan hanya mengangguk dengan pasti.
“Ya sudah kalau gitu, kita makan malam yuk, atau ke club atau ke mana lah enaknya, jangan di kantor terus Tan, kamu bukan robot, siang dan malam kerja terus.”
Nathan tersenyum, ia tahu ujung-ujungnya sahabatnya akan seperti itu. “Kamu kenapa Mike? Aku aja santai kok.”
“Hmm, ya sudah lah kalau gitu, selamat berkencan dengan berkas-berkas.” Michael terkekeh sambil meninggalkan sahabatnya, Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun memanggil asistennya yang masih stanby menunggu intruksinya.
“Emi, gimana progres pekerjaan Nina?”
“Masih dikerjakan Bos, sepertinya dia akan lembur.”
“Ya sudah, kalau begitu kamu boleh pulang.”
“Baik, Bos.”
Dalam sekejap, suasana di kantor besar itu pun menjadi sepi, lampu-lampu pun menyala di setiap sudut ruang, menandakan siang telah berganti. Nina masih sibuk menyelesaikan tugasnya, ia tidak lagi menghiraukan keadaan di sekitarnya, fokusnya hanya pada pekerjaannya.
Tanpa disadari oleh gadis itu, seseorang diam-diam masuk dan mendekatinya.
Seorang pria tampan berdiri di samping Nina, ia mengamati gerak-gerik gadis itu yang sibuk pada pekerjaannya. Sesekali ia melihat ke layar komputer Nina, lalu mengangguk dan tersenyum, tatapanya pun kembali memperhatikan gadis cantik yang sangat energik itu. Sedangkan Nina sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu, ia benar-benar terbenam pada pekerjaannya, jari-jarinya yang lentik menari begitu lincah di keyboard. “Malam Nina, kamu belum pulang?” terdengar suara pria itu menyapanya, suara bariton itu terdengar ramah dan hangat. Sontak Nina terkejut, ia diam mematung sebelum akhirnya menoleh dan mengangkat wajahnya. Bagai disambar petir di siang bolong, jantung gadis itu hampir melompat demi melihat siapa yang berbicara tadi. “M-malam P-pak Nathan,” jawab Nina terbata-bata, suaranya bergetar. “Hei, kamu kenapa, Nina? Apa kamu melihat hantu?” Nathan terkekeh melihat reaksi Nina yang ketakutan, tapi sangat menggemaskan. “I-iya, Pak. S-saya tidak tahu kalau bapak ada di sini.”
Nina masih tertegun ketika kaca pintu depan mobil itu diturunkan, samar-samar terlihat seorang pria duduk di belakang kemudi, lalu terdengar suara yang tidak asing memanggilnya. “Ayo cepat masuk, Nina! Mau aku ditangkap polisi ya karena masuk dan berhenti di jalur yang salah,” tegas pria di dalam mobil itu. “Oh, i-iya, Pak!” Nina bergegas masuk dan duduk di kursi belakang. “Kamu pikir aku sopir, kamu duduk di situ, hem.” “Oh, i-iya, ma’af.” Nina segera pindah ke kursi depan, mobil itu pun segera melaju cepat keluar dari jalur khusus bus itu. Nina masih terlihat gugup, ia sama sekali tidak menyangka kalau sang bos akan memintanya masuk ke mobilnya. “Kamu kenapa, Nina. Disuruh masuk malah bengong, ketakutan seperti lihat hantu,” ujar Nathan sambil tetap fokus pada jalan di depannya. “Saya … saya tidak tahu kalau itu bapak, saya kira …” Nina ragu-ragu meneruskan kata-katanya. “Memang kamu kira apa?” desak Nathan. “Saya kira penjahat yang mau menculik saya,” jawab Nina polos
“Siapa itu tadi, Nin?” tanya seorang wanita, ia berdiri di samping Nina sambil menatap gadis itu keheranan. Nina baru menyadari jika ada orang lain yang memperhatikannya, ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya. “Tante Sophi?” ujar Nina seakan tidak percaya, “kapan Tante datang? Kenapa nggak memberitahu Nina?” “Dari tadi sore Tante sudah sampai sini, Tante pikir kamu sudah pulang kerja, ternyata belum pulang, jadi Tante nungguin kamu di teras depan kamar kamu.” Wanita itu sedikit kesal, “Tante sudah telepon kamu berkali-kali, tapi ponsel kamu nggak aktif,” imbuhnya. “Oh, ma’af Tante, Nina hari ini harus lembur, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.” Nina berkata seraya membuka tasnya dan mengambil ponselnya, “O Tuhan, ponselku lowbat, dari sore aku gak buka-buka ponsel, jadi nggak tahu kalau dayanya mati.” “Ngomong-ngomong siapa yang mengantar kamu tadi, Nina. Kalau dilihat dari mobilnya, bukan orang biasa, mobil orang-orang kelas atas
Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.” Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, sua
Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa ja
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam