Seorang pria tampan berdiri di samping Nina, ia mengamati gerak-gerik gadis itu yang sibuk pada pekerjaannya. Sesekali ia melihat ke layar komputer Nina, lalu mengangguk dan tersenyum, tatapanya pun kembali memperhatikan gadis cantik yang sangat energik itu.
Sedangkan Nina sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu, ia benar-benar terbenam pada pekerjaannya, jari-jarinya yang lentik menari begitu lincah di keyboard.
“Malam Nina, kamu belum pulang?” terdengar suara pria itu menyapanya, suara bariton itu terdengar ramah dan hangat.
Sontak Nina terkejut, ia diam mematung sebelum akhirnya menoleh dan mengangkat wajahnya. Bagai disambar petir di siang bolong, jantung gadis itu hampir melompat demi melihat siapa yang berbicara tadi.
“M-malam P-pak Nathan,” jawab Nina terbata-bata, suaranya bergetar.
“Hei, kamu kenapa, Nina? Apa kamu melihat hantu?” Nathan terkekeh melihat reaksi Nina yang ketakutan, tapi sangat menggemaskan.
“I-iya, Pak. S-saya tidak tahu kalau bapak ada di sini.”
“Kamu terlalu asik mengetik, sampai-sampai pintu diketuk pun tidak dengar.” Nathan tersenyum, ia menarik kursi lain lalu duduk di samping Nina.
Nina terkesima, ia seakan bermimpi, benarkah ini Pak Nathan, bos killer yang selalu sinis dan dingin padanya, tapi yang ada di sampingnya sekarang adalah seorang pria yang ramah dan hangat, suaranya pun terdengar lembut.
“Hei, kok bengong? Gimana progres pekerjaannya?”
Belum sempat Nina menjawab, lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke dekat gadis itu, ia menatap ke layar monitor.
Nina terkesiap, tubuh lelaki itu sangat dekat dengannya, bahkan ia bisa merasakan aroma parfume pria yang menjadi bosnya itu. Dan entah mengapa, ia menjadi deg-degan, bos killer yang dikenal angkuh dan galak, bisa berbicara begitu hangat, ia masih belum percaya dengan semua ini.
“Hmm, ini bagus Nina. Hanya ada beberapa bagian yang harus kamu tambahkan lebih detail lagi, supaya sedikit berbeda dengan laporanmu yang kemarin.”
Nina tersentak dari lamunannya, ia segera kembali ke layar monitor. “Baik, Pak. Di bagian mana yang harus saya tambahkan detailnya?”
Nathan tersenyum, tangan kanannya melingkari sandaran kursi Nina. Gadis itu bisa merasakan tangan lelaki itu sedikit menyentuh bahunya. Sedangkan tangan kirinya menyentuh layar monitor, menunjuk beberapa tempat.
Nina menjadi tegang, tubuh Nathan lebih tinggi darinya, sehingga posisi wajah lelaki itu berada di atas kepalanya, sedikit saja ia mengangkat wajah, dan lelaki itu menunduk, maka wajah mereka akan bersentuhan.
Nina tidak berani bersuara, ia hanya melakukan apa yang diminta bossnya, jari jemarinya kembali menari dengan lincah di atas keyboard, dibawah tatapan elang sang bos killer yang berubah menjadi manis.
“Nina …” panggil Nathan tiba-tiba, suaranya terdengar sangat lembut.
Nina tertegun sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “iya, Pak.” Gadis itu tidak berani mengangkat wajahnya.
“Hehe, apa kamu pikir aku hantu yang menakutkan, sampai-sampai tidak mau melihat wajahku.”
Nina menjadi serba salah, namun akhirnya ia memberanikan diri mengangkat wajahnya, dan benar saja, wajah keduanya nyaris tak berjarak, bahkan Nina dapat merasakan hembusan napas pria itu.
Seketika Nina menjadi linglung, namun tatapan pria itu begitu teduh menelusuri relung terjauh di hatinya. Sejenak tatapan keduanya saling mengunci, tak ada kata-kata yang terucap, hanya hembusan napas yang mulai meronta tak teratur, menghampiri keduanya.
Seketika darah Nina melonjak, ia merasakan wajahnya menghangat, wajah cantik itu pun bersemu merah jambu.
Nathan tersenyum. “Nina, aku mau minta maaf atas sikapku selama ini, tapi semua itu adalah tuntutan profesionalitas, apa kamu mau memaafkan aku, Nina?”
Nina tak bisa berkata-kata lagi, ia hanya bisa mengangguk. Nathan tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nina. “Terima kasih, Nin.” Tangan lelaki itu mengusap rambut Nina dengan lembut.
“Sudah hampir jam 8 malam, kita makan dulu, yuk.” Nathan berdiri, lalu membuka dua buah dus nasi kotak yang tadi dipesannya.
Nina masih terdiam, ia masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Namun Nathan segera menariknya berdiri, lalu merangkulnya dan mendudukkannya di kursi yang telah ia tata menadi meja makan kecil.
“Sibuk kerja boleh, tapi kesehatan harus dijaga, aku tidak mau disalahkan kalau ada karyawanku sakit gara-gara kecapean kerja,”
Nathan pun duduk di samping Nina, karena sudah lapar keduanya pun segera menyantap makanan itu hingga ludes. Sejurus kemudian mereka saling menatap, lalu tertawa bersama.
“Hahaha, kamu makannya banyak juga ya, Nin.” Nathan tergelak, sedangkan Nina tersenyum malu-malu.
“Hehe, habis sudah lapar, dan enak juga makanannya,” elak Nina. “Terima kasih ya, Pak makan malamnya, lain waktu akan saya ganti.”
“Hmm, kamu mau ganti ya,” gumam Nathan, “Ok, tapi harus masakan kamu sendiri.”
“Ha? Masakan saya sendiri?”
“Yup.” Nathan tersenyum.
“Hehe, tapi masakan saya nggak enak, Pak.”
“Kan belom dicoba, mana tahu enak atau nggak.”
“Hmm, baiklah. Tapi bapak mau dibuatkan masakan apa?”
“Apa saja boleh, aku nggak pemilih kok kalau soal makan, tapi aku pemilih soal perempuan,” goda Nathan sambil mengerlingkan sebelah matanya.
“Ha?” gumam Nina sambil melongo, membuat Nathan semakin gemes.
“Hehe kenapa melongo gitu, Nin.” Nathan menarik hidung Nina gemes, “Udah kamu lanjut selesaikan kerjaannya, aku mau buat kopi.”
“Ha, kopi. Baru habis makan, Pak.”
“Habis makan biasanya ngantuk, minum kopi biar fresh lagi.”
Nina kembali duduk di depan komputernya, sedangkan Nathan beranjak ke luar ruangan itu, tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa 2 cup kopi hangat di tangannya.
“Nah kopinya sudah jadi, ayo diminum, Nin.”
“Terima kasih, Pak.” Nina mengambil salah satu cangkir, dan menyesap kopi yang diberikan Nathan. Gadis itu pun kembali menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan Nathan duduk kembali di sebelahnya sambil memperhatikan Nina bekerja.
“Yeaay, akhirnya selesai juga,” ujar Nina gembira, spontan ia menggeliatkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya, ia lupa jika disampingnya ada orang lain, tak ayal tangan kirinya menyentuh wajah Nathan.
Nina tersentak, ia baru sadar kalau Nathan masih ada di sampingnya, Nina menoleh, ternyata tangannya sudah melingkari leher pria tampan itu.
Belum hilang dari keterkejutannya, kejutan lain pun datang membuatnya nyaris kelimpungan. Nathan mendekatkan wajahnya, tangannya menyentuh wajah Nina, napas hangat pria itu membuatnya tak berkutik, sejurus ia terpana ketika bibir lembut itu menyentuh bibirnya.
Nina ingin melepaskan diri, dan berlari sejauh-jauhnya. Namun gejolak di hatinya menolak, ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima ciuman hangat itu. Bibir itu begitu lembut, ingin rasanya ia membalas, namun sedapat mungkin gadis itu berusaha menahan dirinya, ia sadar siapa laki-laki yang ada di hadapannya ini.
Nathan tersenyum lembut, sambil menatap Nina, gadis itu seketika menjadi linglung. Wajahnya yang cantik memerah, malu ia merasa sangat malu, digaruknya kepala yang tak gatal.
“S-saya mau printout laporannya dulu ya, Pak.” Nina hendak berdiri, namun Nathan menekannya.
“Tidak perlu, simpan saja soft copynya di sini,” Nathan mengeluarkan flashdisc dari kantong jasnya, “besok pagi-pagi sekali, temui Emy di pintu samping, berikan ini padanya, biar nanti Emy yang membuatkan hard copynya.”
“Baik, Pak.”
“Oke, jika sudah selesai kamu boleh pulang, atau mau menginap di sini hem,” ledek Nathan.
“Hehe, ya nggak lah, Pak. Masa menginap di sini.”
Nathan tersenyum, ia mengelus rambut Nina, lalu pria itu berdiri dan kembali ke ruangannya.
Nina menghela napas, ia bergegas membereskan barang-barangnya, lalu beranjak meninggalkan ruang kantor, arloji di pergelangan tangannya menunjukan jam 9 malam, berarti masih ada bus yang lewat, jadi diayunkan langkahnya ke halte bus yang letaknya tidak jauh dari kantor.
Ketika Nina sedang menunggu bus yang lewat, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya.
Nina tertegun, mobil siapa yang masuk ke jalur bus ini? Jangan-jangan …
Nina masih tertegun ketika kaca pintu depan mobil itu diturunkan, samar-samar terlihat seorang pria duduk di belakang kemudi, lalu terdengar suara yang tidak asing memanggilnya. “Ayo cepat masuk, Nina! Mau aku ditangkap polisi ya karena masuk dan berhenti di jalur yang salah,” tegas pria di dalam mobil itu. “Oh, i-iya, Pak!” Nina bergegas masuk dan duduk di kursi belakang. “Kamu pikir aku sopir, kamu duduk di situ, hem.” “Oh, i-iya, ma’af.” Nina segera pindah ke kursi depan, mobil itu pun segera melaju cepat keluar dari jalur khusus bus itu. Nina masih terlihat gugup, ia sama sekali tidak menyangka kalau sang bos akan memintanya masuk ke mobilnya. “Kamu kenapa, Nina. Disuruh masuk malah bengong, ketakutan seperti lihat hantu,” ujar Nathan sambil tetap fokus pada jalan di depannya. “Saya … saya tidak tahu kalau itu bapak, saya kira …” Nina ragu-ragu meneruskan kata-katanya. “Memang kamu kira apa?” desak Nathan. “Saya kira penjahat yang mau menculik saya,” jawab Nina polos
“Siapa itu tadi, Nin?” tanya seorang wanita, ia berdiri di samping Nina sambil menatap gadis itu keheranan. Nina baru menyadari jika ada orang lain yang memperhatikannya, ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingnya. “Tante Sophi?” ujar Nina seakan tidak percaya, “kapan Tante datang? Kenapa nggak memberitahu Nina?” “Dari tadi sore Tante sudah sampai sini, Tante pikir kamu sudah pulang kerja, ternyata belum pulang, jadi Tante nungguin kamu di teras depan kamar kamu.” Wanita itu sedikit kesal, “Tante sudah telepon kamu berkali-kali, tapi ponsel kamu nggak aktif,” imbuhnya. “Oh, ma’af Tante, Nina hari ini harus lembur, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.” Nina berkata seraya membuka tasnya dan mengambil ponselnya, “O Tuhan, ponselku lowbat, dari sore aku gak buka-buka ponsel, jadi nggak tahu kalau dayanya mati.” “Ngomong-ngomong siapa yang mengantar kamu tadi, Nina. Kalau dilihat dari mobilnya, bukan orang biasa, mobil orang-orang kelas atas
Nina tertegun, ia mencoba mengingat siapa saja yang tahu nomor pribadinya itu, karena ia telah memisahkan antara nomor pribadi dan nomor kerja.“Ah mungkin nomor salah sambung atau orang iseng,” gumamnya. Nina pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Namun ketika ia kembali hendak tidur, ponselnya kembali berdering, panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal tadi.Sejenak gadis itu tertegun, ia ragu untuk mengangkatnya, khawatir orang iseng atau marketing yang menawarkan barang atau jasa. Akhirnya Nina pun mengangkatnya, jika memang orang iseng ia siap akan memblokir.“Halo,” sapa Nina, “maaf ini siapa ya?”Hening, tidak terdengar jawaban dari seberang sana.“Hmm, ya sudah, mungkin Anda salah sambung, selamat malam.” Nina baru saja akan memutuskan panggilan ketika tiba-tiba terdengar tawa di ujung sana.“Halo, Anda siapa? Tolong jangan main-main!” hardik Nina kesal.“Iya-iyaa … galak banget sih, sayang.” Terdengar suara di ujung sana. Nina tertegun, sua
Laura terperanjat, sahabatnya diam mematung memperhatikan sosok seseorang dari kejauhan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nina? Laura kembali memperhatikan sosok yang sudah menyita perhatian sahabatnya itu. Sosok angkuh dan dingin, yang siap membekukan apa saja, lebih dingin dari es di kutub utara.“Pak Nathan ganteng ya, Nin. Tapi sayang …” Laura menggantung kata-katanya untuk memancing Nina.“Apa?” tanya Nina linglung, gadis itu seperti baru tersadar dari tidurnya. Laura terkekeh menggoda Nina, kalau Nina tertarik dengan gunung es itu. Namun diluar dugaan Laura justru sahabatnya itu melontarkan pertanyaan yang membuat bola matanya hampir keluar.“Ra, Pak Nathan itu sudah menikah belum sih?” tanya Nina santai.“What?!” respond Laura dengan full keterkejutannya, “Nina, kamu nggak salah minum obat kan, Nin?”Nina menggelengkan kepalanya dengan bingung, apa yang salah dengan pertanyaannya? Ia pun menjelaskan maksud pertanyaannya, pasalnya ia penasaran dengan sikap sang bos, bisa ja
Seorang pria yang sudah dikenal Nathan langsung masuk, ia nampak terkejut melihat Nathan yang terbatuk-batuk, ia melihat ke atas meja, terhidang beberapa potong sandwich yang terlihat menggugah selera. Nathan segera meraih gelas dan meneguk air putih untuk menetralisir tersedaknya. “Brengsek! Kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu?” hardik Nathan. Lelaki yang baru datang itu menggaruk rambutnya sambil nyengir, “He he, sorry bos, aku lupa,” jawab Michael polos. Tanpa disuruh ia langsung duduk di samping Nathan. “Wah, sepertinya lezat, Tan. Aku nggak ditawari, nih?” Rengek Michael sambil menatap sandwich di meja. “Memang belum sarapan, Mike?” tanya Nathan melanjutkan makannya, Michael menggeleng. “Ya sudah, ambil sepotong aja, jangan lebih,” tegas Nathan. “Ha ha ha, sejak kapan bos yang satu ini pelit sama sarapan, biasanya kalau makanan langsung dikasih aku untuk dihabiskan.” Michael tertawa sambil menggerutu, namun tangannnya aktif meraih sepotong sandwich. “Ck, berisik! Ini beda,
Laura tertegun, mau apa lagi cowok julid ini ke mari, apa ada kaitannya dengan perubahan sikap Nina? Gadis itu masih berusaha menebak dan memahami situasi yang terjadi. Richard, lelaki yang disebut Laura julid itu tersenyum sarkastik. Laura paham, senyum itu ditujukan untuk sahabatnya Nina, karena mata pria itu tak pernah lepas dari menatap Nina.“Ehm, maaf Tuan Richard, sepertinya Anda ingin bergabung makan siang dengan kami,” ujar Laura sarkastik, “tapi maaf kami hanya ingin makan berdua, jadi tidak mengundang orang lain.”Pria itu menatap Laura dan tersenyum sinis. “Saya tidak butuh undangan kalian, justeru saya yang akan mengundang kalian untuk merayakan keberhasilan saya mendapatkan project baru dari bos.”Laura melirik Nina, gadis itu tidak bereaksi apa-apa, sedikit banyak ia bisa meraba situasinya.“Well, memang penting ya merayakan pekerjaan yang belum terlihat pasti hasilnya,” ujar Laura sinis.“Apa maksud kamu?” Richard terlihat jengkel.“Nggak ada maksud,” ketus Laura samb
Seorang lelaki berjalan dengan langkah panjang, bergegas menyusul Nina. Demi melihat Pak Ben, ia pun menghentikan langkahnya. “Selamat siang Pak, Ben.” Richard menyapa Pak Benjamin dengan sapaan yang ramah. Sebelumnya ia tidak tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir, tapi melihat lelaki paruh baya itu berdiri di sini, ia mengerti. Pak Benjamin, manager kawakan ini salah satunya. Richard sebenarnya merasa kesal, karena ia diberitahu mendadak, sehingga belum sempat mencari tahu siapa saja anggota komite yang akan hadir. Padahal sebelum-sebelumnya ia diberi jeda 1 atau 2 hari, sehingga ia bisa melobi mereka untuk mendukungnya. “Siang Richard, jadi kamu dan Nina yang akan presentasi siang ini?” tanya lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Ben itu. “Benar Pak Ben, Pak Nathan sendiri yang menyerahi tugas ini pada saya.” Richard berujar bangga. Pak Ben menatap Richard sambil mengerutkan kening, “Pak Nathan sendiri yang memberi tugas ini ke kamu?” ulangnya, Richard mengangguk sam
Semua orang terkejut, Nina pun berhenti dari presentasinya, mereka melihat ke arah sumber suara, Richard berdiri, dan berteriak dengan emosi bahwa Nina telah menjiplak laporannya. “Apa maksud Anda saudara Richard?” tanya salah seorang anggota komite. “Bapak-bapak dan ibu-ibu sudah melihat proposal saya, dan lihat! apa yang disampaikan perempuan ini, sama persis, dia menjiplak laporan saya.” Richard berkata dengan tajam, ia berjalan mendekat kepada Nina. “Bapak-bapak tahu, perempuan ini hanya anak kemaren sore yang belum mengerti apa-apa, tapi dia membuat laporan persis dengan milik saya, itu artinya dia menjiplak milik saya.” Kini semua mata menatap Nina, meminta penjelasan. suasana di ruang meeting itu menjadi tegang. Namun Nina tetap tenang, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. “Saudari Nina, apakah benar apa yang dikatakan saudara Richara?” tanya salah satu tim komite. Nina tetap tenang, ia menjawab dengan tegas, “saya tidak pernah me