Share

Bab 3. Lembur

Seorang pria tampan berdiri di samping Nina, ia mengamati gerak-gerik gadis itu yang sibuk pada pekerjaannya. Sesekali ia melihat ke layar komputer Nina, lalu mengangguk dan tersenyum, tatapanya pun kembali memperhatikan gadis cantik yang sangat energik itu.

Sedangkan Nina sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu, ia benar-benar terbenam pada pekerjaannya, jari-jarinya yang lentik menari begitu lincah di keyboard.

“Malam Nina, kamu belum pulang?” terdengar suara pria itu menyapanya, suara bariton itu terdengar ramah dan hangat.

Sontak Nina terkejut, ia diam mematung sebelum akhirnya menoleh dan mengangkat wajahnya. Bagai disambar petir di siang bolong, jantung gadis itu hampir melompat demi melihat siapa yang berbicara tadi.

“M-malam P-pak Nathan,” jawab Nina terbata-bata, suaranya bergetar.

“Hei, kamu kenapa, Nina? Apa kamu melihat hantu?” Nathan terkekeh melihat reaksi Nina yang ketakutan, tapi sangat menggemaskan.

“I-iya, Pak. S-saya tidak tahu kalau bapak ada di sini.”

“Kamu terlalu asik mengetik, sampai-sampai pintu diketuk pun tidak dengar.” Nathan tersenyum, ia menarik kursi lain lalu duduk di samping Nina.

Nina terkesima, ia seakan bermimpi, benarkah ini Pak Nathan, bos killer yang selalu sinis dan dingin padanya, tapi yang ada di sampingnya sekarang adalah seorang pria yang ramah dan hangat, suaranya pun terdengar lembut.

“Hei, kok bengong? Gimana progres pekerjaannya?”

Belum sempat Nina menjawab, lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke dekat gadis itu, ia menatap ke layar monitor.

Nina terkesiap, tubuh lelaki itu sangat dekat dengannya, bahkan ia bisa merasakan aroma parfume pria yang menjadi bosnya itu.  Dan entah mengapa, ia menjadi  deg-degan, bos killer yang dikenal angkuh dan galak, bisa berbicara begitu hangat, ia masih belum percaya dengan semua ini.

“Hmm, ini bagus Nina. Hanya ada beberapa bagian yang harus kamu tambahkan lebih detail lagi, supaya sedikit berbeda dengan laporanmu yang kemarin.”

Nina tersentak dari lamunannya, ia segera kembali ke layar monitor. “Baik, Pak. Di bagian mana yang harus saya tambahkan detailnya?”

Nathan tersenyum, tangan kanannya melingkari sandaran kursi Nina. Gadis itu bisa merasakan tangan lelaki itu sedikit menyentuh bahunya. Sedangkan tangan kirinya menyentuh layar monitor, menunjuk beberapa tempat.

Nina menjadi tegang, tubuh Nathan lebih tinggi darinya, sehingga posisi wajah lelaki itu berada di atas kepalanya, sedikit saja ia mengangkat wajah, dan lelaki itu menunduk, maka wajah mereka akan bersentuhan.

Nina tidak berani bersuara, ia hanya melakukan apa yang diminta bossnya, jari jemarinya kembali menari dengan lincah di atas keyboard, dibawah tatapan elang sang bos killer yang berubah menjadi manis.

“Nina …”  panggil Nathan tiba-tiba, suaranya terdengar sangat lembut.

Nina tertegun sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “iya, Pak.” Gadis itu tidak berani mengangkat wajahnya.

“Hehe, apa kamu pikir aku hantu yang menakutkan, sampai-sampai tidak mau melihat wajahku.”

Nina menjadi serba salah, namun akhirnya ia memberanikan diri mengangkat wajahnya, dan benar saja, wajah keduanya nyaris tak berjarak, bahkan Nina dapat merasakan hembusan napas pria itu.

Seketika Nina menjadi linglung, namun tatapan pria itu begitu teduh menelusuri relung terjauh di hatinya. Sejenak tatapan keduanya saling mengunci, tak ada kata-kata yang terucap, hanya hembusan napas yang mulai meronta tak teratur, menghampiri keduanya.

Seketika darah Nina melonjak, ia merasakan wajahnya menghangat, wajah cantik itu pun bersemu merah jambu.

Nathan tersenyum. “Nina, aku mau minta maaf atas sikapku selama ini, tapi semua itu adalah tuntutan profesionalitas, apa kamu mau memaafkan aku, Nina?”

Nina tak bisa berkata-kata lagi, ia hanya bisa mengangguk. Nathan tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nina. “Terima kasih, Nin.” Tangan lelaki itu mengusap rambut Nina dengan lembut.

“Sudah hampir jam 8 malam, kita makan dulu, yuk.” Nathan berdiri, lalu membuka dua buah dus nasi kotak yang tadi dipesannya.

Nina masih terdiam, ia masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Namun Nathan segera menariknya berdiri, lalu merangkulnya dan mendudukkannya di kursi yang telah ia tata menadi meja makan kecil.

“Sibuk kerja boleh, tapi kesehatan harus dijaga, aku tidak mau disalahkan kalau ada karyawanku sakit gara-gara kecapean kerja,”

Nathan pun duduk di samping Nina, karena sudah lapar keduanya pun segera menyantap makanan itu hingga ludes. Sejurus kemudian mereka saling menatap, lalu tertawa bersama.

“Hahaha, kamu makannya banyak juga ya, Nin.” Nathan tergelak, sedangkan Nina tersenyum malu-malu.

“Hehe, habis sudah lapar, dan enak juga makanannya,” elak Nina. “Terima kasih ya, Pak makan malamnya, lain waktu akan saya ganti.”

“Hmm, kamu mau ganti ya,” gumam Nathan, “Ok, tapi harus masakan kamu sendiri.”

“Ha? Masakan saya sendiri?”

“Yup.”  Nathan tersenyum.

“Hehe, tapi masakan saya nggak enak, Pak.”

“Kan belom dicoba, mana tahu enak atau nggak.”

“Hmm, baiklah. Tapi bapak mau dibuatkan masakan apa?”

“Apa saja boleh, aku nggak pemilih kok kalau soal makan, tapi aku pemilih soal perempuan,” goda Nathan sambil mengerlingkan sebelah matanya.

“Ha?” gumam Nina sambil melongo, membuat Nathan semakin gemes.

“Hehe kenapa melongo gitu, Nin.”  Nathan menarik hidung Nina gemes, “Udah kamu lanjut selesaikan kerjaannya, aku mau buat kopi.”

“Ha, kopi. Baru habis makan, Pak.”

“Habis makan biasanya ngantuk, minum kopi biar fresh lagi.”

Nina kembali  duduk di depan komputernya, sedangkan Nathan beranjak ke luar ruangan itu, tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa 2 cup kopi hangat di tangannya.

“Nah kopinya sudah jadi, ayo diminum, Nin.”

“Terima kasih, Pak.”  Nina mengambil salah satu cangkir, dan menyesap kopi yang diberikan Nathan. Gadis itu pun kembali menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan Nathan duduk kembali di sebelahnya sambil memperhatikan Nina bekerja.

“Yeaay, akhirnya selesai juga,”  ujar Nina gembira, spontan ia menggeliatkan tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya, ia lupa jika disampingnya ada orang lain, tak ayal tangan kirinya menyentuh wajah Nathan.

Nina tersentak, ia baru sadar kalau Nathan masih ada di sampingnya, Nina menoleh, ternyata tangannya sudah melingkari leher pria tampan itu.

Belum hilang dari keterkejutannya, kejutan lain pun datang membuatnya nyaris kelimpungan. Nathan mendekatkan wajahnya, tangannya menyentuh wajah Nina, napas hangat pria itu membuatnya  tak berkutik, sejurus ia terpana ketika bibir lembut itu menyentuh bibirnya.

Nina ingin melepaskan diri, dan berlari sejauh-jauhnya. Namun gejolak di hatinya menolak, ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima ciuman hangat itu. Bibir itu begitu lembut, ingin rasanya ia membalas, namun sedapat mungkin gadis itu berusaha menahan dirinya, ia sadar siapa laki-laki yang ada di hadapannya ini.

Nathan tersenyum lembut, sambil menatap  Nina, gadis itu seketika menjadi linglung. Wajahnya yang cantik memerah, malu ia merasa sangat malu, digaruknya kepala yang tak gatal.

“S-saya mau printout laporannya dulu ya, Pak.” Nina hendak berdiri, namun Nathan menekannya.

“Tidak perlu, simpan saja soft copynya  di sini,” Nathan mengeluarkan flashdisc dari kantong jasnya, “besok pagi-pagi sekali, temui Emy di pintu samping, berikan ini padanya, biar nanti Emy yang membuatkan hard copynya.”

“Baik, Pak.”

“Oke, jika sudah selesai kamu boleh pulang, atau mau menginap di sini hem,” ledek Nathan.

“Hehe, ya nggak lah, Pak. Masa menginap di sini.”

Nathan tersenyum, ia mengelus rambut Nina, lalu pria itu berdiri dan kembali ke ruangannya.

Nina menghela napas, ia bergegas membereskan barang-barangnya, lalu beranjak meninggalkan ruang kantor,  arloji di pergelangan tangannya menunjukan jam 9 malam, berarti masih ada bus yang lewat, jadi diayunkan langkahnya ke halte bus yang letaknya tidak jauh dari kantor.

Ketika Nina sedang menunggu bus yang lewat, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya.

Nina tertegun, mobil siapa yang masuk ke jalur bus ini? Jangan-jangan …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status