Keesokan harinya, Alena duduk di kafe kecil di kawasan Kemang, tempat yang dulu sering ia datangi bersama Reno sebelum pernikahan mereka mulai runtuh. Tempat yang menyimpan kenangan tentang masa ketika hidupnya masih sederhana, masih bisa diprediksi.Reno duduk di seberangnya, memperhatikan wajahnya yang pucat dan mata yang sembab—bukti bahwa ia hampir tidak tidur semalaman setelah Adrian datang ke apartemennya dengan emosi yang tidak terkendali."Kamu terlihat kacau, Len," kata Reno dengan nada yang lebih lembut daripada yang pernah ia gunakan dalam beberapa bulan terakhir."Aku merasa kacau.""Mau cerita?"Alena tertawa pahit. "Cerita tentang apa? Tentang bagaimana hidup yang kukira sudah aku bangun kembali ternyata lebih kacau dari sebelumnya? Tentang bagaimana keputusan untuk jujur malah menghancurkan hidup orang lain?""Atau tentang bagaimana pria yang kamu pikir mencintaimu ternyata posesif dan manipulatif?"Alena menatap Reno dengan terkejut. "Apa maksudmu?""Len, kemarin malam
Apartemen mewah Adrian di kawasan SCBD terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC-nya sudah dimatikan. Sudah tiga hari sejak pertemuan dengan para mitra bisnisnya, dan ultimatum mereka terus bergema di kepalanya. Tapi yang lebih mengganggu adalah kenyataan bahwa ia belum berbicara dengan Alena sejak kemarin.Ponselnya berdering untuk kesekian kalinya. Alena, akhirnya."Halo?" suaranya terdengar lelah."Len, dimana kamu? Aku sudah mencoba menghubungimu seharian.""Aku di apartemen. Bersama Nadira.""Aku mau menemuimu. Sekarang.""Adrian, tidak. Aku tidak bisa bertemu denganmu sekarang. Terlalu berisiko.""Berisiko?" Nada suara Adrian berubah tajam. "Berisiko untuk siapa? Untuk reputasimu yang sudah hancur? Atau untuk kariermu yang sudah tidak ada?"Keheningan di ujung telepon. Adrian langsung menyesal dengan kata-katanya."Maaf. Aku tidak bermaksud—""Adrian," suara Alena terdengar dingin, "aku pikir kita perlu... mengambil jarak sementara waktu.""APA?" Adrian bangkit dari sofa de
Ruang kerja Sophia di kantor pusat Hartono Group terasa lebih sunyi dari biasanya. Sebagai Direktur Komunikasi Strategis, ruangannya biasanya dipenuhi suara telepon yang berdering, rapat dadakan dengan tim PR, dan aktivitas frenetik mengelola krisis komunikasi.Tapi hari ini berbeda. Hari ini, Sophia sedang melakukan aktivitas yang jauh lebih... personal.Di laptopnya, tersimpan folder yang ia beri nama "Dokumentasi Internal." Isinya adalah foto-foto email, rekaman pembicaraan, dan catatan detail tentang budaya kerja di Hartono Group selama lima tahun terakhir. Bahan yang, dalam tangan yang tepat, bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan.Ponselnya berdering. Nomor yang familiar—wartawan senior dari media online terbesar di Indonesia."Sari," jawab Sophia."Sophia, ada update tentang situasi Adrian Hartono?""Banyak sekali. Tapi tidak bisa dibicarakan di telepon. Kita bertemu?""Kapan?""Hari ini. Tempat biasa."Dua jam kemudian, Sophia duduk di sudut kafe tersembunyi di kawasan Ment
Hotel Ritz-Carlton, ruang meeting eksklusif di lantai 35. Adrian duduk di ujung meja oval yang menghadap pemandangan Jakarta yang berkilauan di sore hari. Tapi kali ini, pemandangan itu tidak memberikan ketenangan seperti biasanya. Justru terasa seperti mengejek—dunia terus berputar sementara kerajaannya runtuh.Di sekeliling meja, duduk lima orang yang telah menjadi mitra strategis bisnisnya selama bertahun-tahun. CEO dari grup tekstil terbesar di Indonesia, pemilik jaringan hotel mewah, direktur utama dari konglomerat perbankan, kepala konsorsium properti, dan pemilik media group yang berpengaruh. Orang-orang yang dulu bersaing memperebutkan perhatiannya, kini menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran."Adrian," buka Richard Tanoesoedibjo, CEO Tanoe Group yang selama ini menjadi partner joint venture terbesar Adrian. "Kita semua sudah seperti saudara dalam bisnis ini. Makanya kami berkumpul hari ini, bukan sebagai pesaing, tapi sebagai... keluarga yang peduli."Adrian meng
Di apartemen kecil yang ia sewa setelah memutuskan untuk tidak pulang ke rumah orangtua lagi, Alena duduk terpaku di depan laptop, membaca artikel demi artikel tentang dampak skandal terhadap Hartono Group. Setiap judul terasa seperti tamparan yang menyakitkan."Saham Hartono Group Anjlok Karena Skandal CEO" "Klien Besar Putus Hubungan dengan Konglomerat yang Terkena Skandal" "Ratusan Pekerjaan Terancam saat Kerajaan Hartono Runtuh"Yang terakhir itu yang paling menyakitkan hatinya. Ratusan pekerjaan yang terancam. Ratusan keluarga yang mungkin akan terdampak karena keputusan-keputusannya.Nadira, yang sudah menginap di apartemen kecil itu selama tiga hari, duduk di sebelahnya dengan secangkir teh yang sudah dingin."Len, berhenti baca artikel-artikel itu. Kamu cuma menyiksa diri sendiri.""Nadi," suara Alena bergetar, "lihat ini. Empat puluh tiga orang mengundurkan diri dalam dua hari. Kepala pemasaran, manajer senior... orang-orang yang punya keluarga, yang punya tanggung jawab.""I
Ruang rapat dewan direksi Hartono Group yang biasanya dipenuhi aroma kopi premium dan diskusi bisnis yang dinamis, kini terasa sesak dengan ketegangan yang hampir bisa diraba. Adrian duduk di ujung meja mahoni panjang yang pernah menjadi simbol kekuasaannya, tapi kali ini ia merasa seperti terdakwa yang sedang menghadapi hakim.Di sekeliling meja, wajah-wajah yang selama ini menganggap Adrian sebagai visioner dan pemimpin yang tak tergoyahkan, kini menatapnya dengan campuran keraguan dan kekecewaan.Direktur Utama PT Hartono Investama, Budi Santoso, yang sudah bekerja dengan Adrian selama dua puluh tahun, membuka laptopnya dengan ekspresi murung."Adrian," katanya dengan suara yang lebih formal dari biasanya, "laporan kuartalan menunjukkan dampak yang... sangat signifikan.""Seberapa signifikan?" tanya Adrian, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari ekspresi semua orang di ruangan itu."Penurunan pendapatan 35% dalam dua minggu terakhir. Lima klien korporat besar sudah memutus