Sophia berdiri di depan mesin kopi kantor, menunggu momen yang tepat. Ketika Miranda dari divisi keuangan mendekat, ia langsung melancarkan serangan pertamanya."Miranda, kau perhatikan tidak sih Adrian belakangan ini?" tanya Sophia dengan nada penuh keprihatinan. "Dia terlihat... berbeda."Miranda mengangkat alis. "Berbeda bagaimana?""Yah, aku tidak mau menggosip," Sophia menggelengkan kepala sambil menuang kopi, "tapi sebagai teman dekatnya, aku khawatir. Dia jadi sering terlambat rapat, kehilangan fokus saat presentasi, bahkan kemarin dia lupa meeting dengan investor besar." Sophia menghela napas dramatis. "Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya."Miranda tampak tertarik. "Memangnya ada apa dengan dia?""Aku dengar dia sedang menjalin hubungan serius dengan seseorang," bisik Sophia, memastikan suaranya cukup pelan untuk menciptakan kesan rahasia. "Perempuan itu sepertinya... sangat menguasai hidupnya. Adrian yang dulu selalu memprioritaskan pekerjaan sekarang malah sibuk mengat
Malam itu, Adrian tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Alena yang terlelap, matanya menatap langit-langit kamar yang diselimuti bayangan. Setiap kali Alena menggerakkan tubuhnya dalam tidur, Adrian tersentak, bertanya-tanya apakah ia bermimpi tentang orang lain.Siang tadi, ia melihat Alena tertawa saat berbicara dengan rekan kerjanya di kafe. Tawa yang begitu lepas, begitu murni—tawa yang sudah lama tidak ia lihat ketika mereka berdua. Adrian merasakan sesuatu bergejolak dalam dadanya. Bukan kemarahan, tapi ketakutan yang mencekam."Kau milikku," bisiknya pelan, tangannya membelai rambut Alena yang terurai di bantal.Ponsel Alena bergetar di meja samping tempat tidur. Adrian meraihnya dengan hati-hati, membuka kunci layar dengan kode yang sudah ia hafalkan tanpa sepengetahuan Alena. Sebuah pesan dari Nadira, sahabat Alena:"Hey, besok kita jadi bertemu jam 3? Ada yang perlu kuceritakan padamu."Adrian menghapus pesan itu sebelum meletakkan kembali ponsel di tempatnya. Besok, ia
"Reno," bisiknya di antara isak tangis. "Maafkan aku."Tapi permintaan maaf itu hanya bergema di ruangan kosong. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menjawab.Alena bangkit dengan langkah gontai, berjalan mengelilingi apartemen yang mendadak terasa asing. Tempat ini pernah menjadi rumah bagi mereka, penuh dengan kenangan dan tawa. Sekarang, ia hanya bisa melihat kekosongan.Di rak buku, foto-foto mereka masih berdiri dengan rapi. Alena dan Reno di pantai. Alena dan Reno di puncak gunung. Alena dan Reno dengan senyum yang tidak dipaksakan. Ia mengambil salah satu bingkai, jemarinya menelusuri wajah Reno yang tersenyum lebar."Apa yang telah kulakukan?" tanyanya pada foto itu.Suara ponselnya membuyarkan renungan. Nama Adrian muncul di layar, mengirimkan pesan singkat."Semalam luar biasa. Kapan kita bisa bertemu lagi?"Alena menatap pesan itu, sekujur tubuhnya terasa dingin meski matahari pagi mulai menembus tirai jendela. Dunia di luar terus berputar, tapi waktunya seolah berhent
Fajar baru saja menyingsing ketika Alena memasukkan kunci ke pintu apartemennya. Tubuhnya lelah, pikiran kusut, dan hatinya—entah di mana hatinya sekarang. Malam bersama Adrian selalu meninggalkan jejak yang sama: campuran antara euforia yang mulai memudar dan rasa bersalah yang semakin menguat.Suara kunci yang berputar dalam gembok terdengar terlalu keras di keheningan pagi. Alena melangkah masuk dengan hati-hati, seperti pencuri di rumahnya sendiri. Sepatu hak tinggi dilepas di ambang pintu, tas tangan diletakkan di meja samping, dan tubuhnya yang masih beraroma parfum Adrian ditarik dengan paksa menuju kamar mandi."Aku butuh mandi," gumamnya pada bayangan di cermin.Wanita yang menatapnya balik memiliki lingkaran hitam di bawah mata, riasan yang sedikit luntur, dan tatapan yang terlalu tua untuk usianya. Alena memalingkan wajah, tidak kuat bertatapan terlalu lama dengan versi dirinya yang ini.Air shower yang panas membasuh tubuhnya, tapi tidak bisa membasuh kenangan malam itu. T
Alena menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu apartemennya. Keheningan menyelimuti ruangan yang biasanya diisi dengan suara percakapan atau musik lembut. Lampu-lampu kota berkedip-kedip di luar jendela, menciptakan permainan bayangan di lantai. Malam terasa sunyi dan dingin.Jemarinya menggenggam ponsel, berulang kali mengusap layar hanya untuk mengunci kembali. Nama Reno muncul di daftar kontaknya, berhenti sejenak sebelum ibu jarinya mundur, tidak jadi menekan tombol panggilan."Apa yang harus kukatakan?" bisiknya pada diri sendiri.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe itu. Pertemuan yang berakhir dengan keheningan canggung dan tanda tanya yang menggantung. Reno menatapnya dengan mata yang tak bisa ia baca—perpaduan antara kekecewaan dan pengertian. Seolah ia tahu bahwa Alena tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka.Alena bangkit, berjalan menuju dapur. Apartemen yang sebelumnya selalu terasa seperti tempat berlindung kini hanya terasa se
Alena menatap pantulan dirinya di cermin lift, mengamati wajahnya yang semakin hari semakin tampak lelah. Sudah hampir sebulan sejak Adrian mulai berubah—perlahan, hampir tidak terlihat, tapi Alena merasakannya. Cara ia selalu ingin tahu di mana Alena berada, dengan siapa ia berbicara, bahkan apa yang ia pikirkan.Pintu lift terbuka, dan Alena melangkah keluar, menuju apartemen yang kini ia dan Adrian tinggali bersama. Apartemen itu luas dan indah, dengan pemandangan kota yang menakjubkan—jauh lebih baik dari tempat tinggalnya yang lama. Adrian telah menyarankan—atau lebih tepatnya, meyakinkannya—untuk pindah tiga minggu lalu."Ini akan lebih mudah bagi kita," katanya saat itu. "Aku bisa memastikan kau aman, dan kita bisa lebih sering bersama."Alena memasukkan kunci dan membuka pintu. Aroma masakan menyambutnya—Adrian sudah di rumah dan sedang memasak makan malam. Sebagian hatinya merasa hangat melihat Adrian berd
Adrian mengetuk-ngetuk penanya di atas meja kerja, matanya terpaku pada layar ponsel. Sudah lima belas menit sejak pesan terakhirnya kepada Alena, dan belum ada balasan. Kecemasan merambat di dadanya seperti sulur tanaman rambat, pelan namun persisten."Lima belas menit tanpa balasan," gumamnya pada diri sendiri. "Apa yang dia lakukan?"Pertemuannya dengan Sophia kemarin malam terus bermain di benaknya. Wanita itu telah menunjukkan foto-foto Alena bertemu dengan seorang pria yang tidak ia kenal, serta beberapa dokumen yang menunjukkan masa lalu Alena yang tidak pernah diceritakan padanya."Dia menyembunyikan banyak hal darimu, Adrian," kata-kata Sophia bergema dalam pikirannya. "Bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak kau kenal sepenuhnya?"Adrian menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Namun, benih keraguan sudah tertanam. Ia meraih ponselnya lagi dan menekan tombol panggilan."Halo?" Suara Alena akhirnya terdengar setelah deringan ketiga."Di ma
Mata Sophia menyipit saat ia mengamati Adrian dan Alena dari kejauhan. Mereka tampak bahagia, tangan saling bertaut sementara tawa mereka mengisi udara. Pemandangan itu membuat rahang Sophia mengeras. Sejak awal, Sophia telah yakin Alena hanyalah masalah yang berjalan dalam kehidupan Adrian. Seorang wanita dengan masa lalu yang rumit dan terlalu banyak rahasia."Mereka tidak akan bertahan," gumam Sophia pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kafe tempatnya duduk mengawasi. "Adrian terlalu baik untuk melihat siapa Alena sebenarnya."Sophia menyesap kopinya yang mulai dingin sambil berpikir. Inilah saatnya bertindak. Setelah berbulan-bulan mengamati dan menunggu, ia melihat celah dalam hubungan mereka. Adrian telah menceritakan tentang proyek penting di kantornya, bagaimana ia harus bekerja lembur untuk memenuhi tenggat waktu. Sementara itu, Alena semakin sering menerima telepon misterius yang membuatnya gelisah.Sophia merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas. Dua h
Adrian mengetahui bahwa Reno telah pergi, dan bukannya merasa bersalah, ia justru semakin gencar menunjukkan perhatiannya pada Alena. Ia kini muncul setiap hari dengan berbagai alasan—membawakan dokumen penting, mengantarkan makanan, atau sekadar "kebetulan lewat" di sekitar rumah Alena.Malam itu, Adrian mengajak Alena makan malam di sebuah restoran Italia mewah di pusat kota. Tempat itu redup dengan pencahayaan lilin dan alunan musik klasik yang lembut. Alena merasa tidak nyaman, namun ia tidak bisa menolak—Adrian adalah satu-satunya orang yang tahu tentang dokumen-dokumen itu, satu-satunya sekutunya dalam masalah besar yang kini ia hadapi."Kau terlihat cantik malam ini," puji Adrian sambil menuangkan anggur merah ke gelas Alena. "Aku senang akhirnya bisa melihatmu lebih rileks."Alena tersenyum tipis, matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Aku tidak rileks, Adrian. Bagaimana bisa? Reno pergi, dan dokumen-dokumen itu—""Ssst," Adrian meletakkan jarinya di bibir sendiri, mengisyara