Tiga hari setelah ia mengirimkan lukisannya untuk pameran, Alena bangun di tempat yang sama. Di apartemen mewah lantai 25, dengan interior elegan dan pemandangan Jakarta yang gemerlap di kejauhan—semua hal yang dulu membuatnya merasa spesial.Tapi pagi ini, kemewahan itu terasa hampa.Seolah ia tinggal di etalase toko furnitur mahal. Indah, rapi, tapi dingin. Tidak ada jejak kehidupan nyata.Ia melangkah ke dapur yang dipenuhi perlengkapan stainless steel, semua masih tampak baru. Dulu, Reno sering berkata, “Ngapain masak? Kita bisa makan di mana saja.” Dan Alena, yang saat itu masih merasa sedang hidup dalam mimpi, hanya mengangguk setuju.Kulkas sebesar pintu lemari itu kini nyaris kosong. Hanya ada botol air mineral premium, yogurt organik yang sudah basi, dan buah impor yang mulai layu. Ironis, untuk alat sebesar itu, isinya lebih menyedihkan dari warung kecil.Dengan enggan, ia membuat sarapan: roti tawar dengan selai kacang. Murah, sederhana, tapi justru membawa rasa nyaman yang
Lukisan itu sudah selesai.Alena duduk bersila di lantai kamarnya, menatap kanvas di depannya yang telah menyerap begitu banyak rasa dalam dua minggu terakhir. Sosok perempuan di cermin retak itu kini tampak utuh—bukan karena retaknya hilang, tapi karena setiap pecahan diberi garis emas yang berkilau. Luka-luka itu tidak disembunyikan, malah diubah jadi bagian dari keindahan.Namun, justru itu yang membuat dadanya sesak. Lukisan itu terlalu jujur. Terlalu telanjang. Seolah jiwanya sendiri terpampang di sana, tanpa tirai, tanpa topeng.Ponselnya bergetar.Pesan dari Sarah, kurator pameran:"Len, deadline pengumpulan karya besok siang. Gimana kabarnya lukisan kamu?"Alena menatap layar ponsel, jemarinya menggantung di atas keyboard. Bagian dari dirinya ingin membalas,“Lukisannya sudah selesai. Akan kukirim fotonya sebentar lagi.”Tapi ada suara kecil di kepalanya yang berbisik,“Kamu yakin mau memamerkan ini? Kamu yakin siap dilihat orang-orang dalam keadaan se-rentan ini?”Lalu suara
Alena akhirnya berani mengakui satu hal yang selama ini terus menghimpit dadanya:Ia masih mencintai Adrian.Kesadaran itu menghantam seperti tamparan keras. Ia menggenggam ponselnya, jari-jarinya gemetar. Tapi kemudian ragu. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana menjelaskan kekacauan perasaannya?Aku salah. Aku menipu diriku sendiri. Aku pura-pura kuat. Pura-pura tidak peduli.Aku pikir aku bisa memilih aman daripada terbakar. Stabil daripada penuh gejolak.Tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura.Duduk di kedai kopi, Alena memandangi orang-orang yang menjalani hidup "normal": mahasiswa mengetik, pasangan berbicara lembut, sahabat tertawa pelan. Dunia mereka terasa asing.Sudah dua tahun ia hidup dalam dunia itu—dunia yang tenang, rasional, penuh kompromi. Dunia Reno. Tapi itu bukan dunianya. Bukan jiwanya.Jiwanya milik dunia yang penuh risiko—seperti berdiri di ujung jurang sambil menantang angin. Dunia yang hanya Adrian yang bisa sentuh.Namun keinginan dan kenyataan adalah dua hal y
"Oh ya? Terus kenapa selama ini kamu selalu nurut sama aku? Kenapa kamu selalu minta pendapat aku untuk segalanya? Kalau kamu bukan milikku, kenapa kamu gampang banget aku kendalikan?"Pertanyaan-pertanyaan itu menohok habis-habisan. Adrian memang benar – selama bertahun-tahun, Alena memang seperti boneka yang digerakkan oleh Adrian. Tapi mendengar pria itu mengakuinya secara langsung, mengaku bahwa ia 'mengendalikan' Alena, justru membuat sesuatu dalam diri Alena bergolak."Mungkin dulu aku memang mudah kamu kendalikan," kata Alena pelan. "Tapi itu tidak berarti aku milikmu. Itu berarti aku tidak tahu caranya mencintai diriku sendiri.""Mencintai diri sendiri?" Adrian mendengus. "Omong kosong macam apa lagi itu? Self-love bullshit yang lagi trend di medsos?""Bukan bullshit," suara Alena semakin kuat. "Kalau aku tidak bisa mencintai diriku sendiri, bagaimana aku bisa mencintai orang lain dengan sehat? Bagaimana aku bisa tahu mana yang baik dan mana
Dua hari setelah berhasil menolak Adrian di depan pintu, Alena mulai merasakan ketenangan yang rapuh. Kuas-kuas lukisnya sudah tidak gemetar lagi, dan di atas kanvas mulai terbentuk sosok samar-samar seorang perempuan yang sedang menatap cermin pecah. Lukisan itu mengalir begitu saja dari tangannya, seolah-olah jiwa suburnya yang terkubur bertahun-tahun kini mulai bernapas kembali.Tapi ketenangan itu pecah ketika ponselnya berdering. Nama Adrian muncul di layar, dan meskipun setiap sel dalam tubuhnya menolak, ada bagian lama dalam dirinya yang masih terbiasa menjawab panggilan itu."Halo?" suaranya pelan, hampir berbisik."Alena." Suara Adrian terdengar berbeda – lebih tenang dari kemarin, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya. "Kita perlu bicara. Secara dewasa kali ini.""Adrian, aku sudah bilang kemarin—""Aku tahu kamu marah," Adrian memotong dengan nada yang dibuat-buat sabar. "Aku mengerti kamu lagi bingung. Makanya aku mau kita bicara baik-baik. Ketemuan di café usual kita,
"Tidak apa?" nada Adrian semakin menusuk. "Tidak butuh siapa-siapa? Jangan munafik, Len. Lihat dirimu sekarang. Mata bengkak, berantakan, sendirian di apartemen yang bahkan bukan milikmu. Kamu pikir kamu bisa hidup sendiri?"Sesuatu dalam diri Alena bergolak. Ya, ia memang berantakan. Ya, ia memang sendirian. Ya, ia memang takut. Tapi...Tapi ia ingat gadis di foto-foto itu. Gadis yang pernah percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Dan meskipun gadis itu mungkin naif, meskipun mungkin membuat kesalahan, setidaknya ia berani mencoba."Mungkin aku memang tidak bisa hidup sendiri," kata Alena pelan, tapi suaranya mulai mantap. "Mungkin aku memang berantakan sekarang. Tapi aku lebih memilih berantakan sendirian daripada diperbaiki oleh orang yang salah.""Orang yang salah?" Adrian terdengar terkejut. "Aku yang salah? Aku yang sudah bertahun-tahun mencintaimu, yang mau menerima kamu apa adanya?""Mencintai atau mengendalikan?" Alena bertanya, dan pertan