Apartemen Alena di kawasan Kemang terasa berbeda hari itu. Lebih tenang, seolah-olah keputusan yang sudah ia buat dalam hatinya memberikan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Di meja ruang tamu, tersusun rapi dokumen-dokumen—surat resign dari pekerjaan paruh waktunya, tiket pesawat ke Bali untuk minggu depan, dan sebuah surat yang sudah ia tulis untuk Adrian tapi belum ia kirim.Nadira duduk di seberangnya, memperhatikan dengan khawatir."Kamu yakin dengan keputusan ini, Len?""Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa yakin dengan sesuatu.""Tapi pergi tanpa ngomong sama Adrian dulu...""Aku sudah mencoba bicara dengannya, Dira. Setiap kali aku mencoba menjaga jarak, dia jadi possessive. Setiap kali aku bilang butuh ruang untuk berpikir, dia jadi agresif. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini.""Tapi dia pasti akan cari kamu.""Makanya aku pergi ke Bali dulu. Ke rumah tanteeku di Ubud. Tempat yang jauh dari Jakarta, dari media, dari semua kekacauan ini. Aku butu
Kantor Adrian di lantai 40 gedung Hartono Group terasa seperti bunker yang terkepung. Di meja kerjanya bertumpuk laporan keuangan yang menunjukkan grafik merah—saham perusahaan terus merosot, beberapa klien besar membatalkan kontrak, dan yang terburuk, tiga bank mulai mempertimbangkan untuk menarik fasilitas kredit.Tapi yang membuat Adrian benar-benar terpukul bukanlah angka-angka di kertas. Melainkan email yang baru saja ia terima dari Sophia—perempuan yang selama lima tahun terakhir ia percayai untuk mengelola komunikasi strategis perusahaannya."Adrian,Saya rasa sudah waktunya untuk percakapan yang honest. Situasi perusahaan sudah tidak bisa ditolerir lebih lama. Board of directors akan bertemu minggu depan, dan saya punya informasi yang menunjukkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan vote of no confidence.Saya juga punya dokumentasi lengkap tentang budaya kerja yang problematik di perusahaan ini—tidak hanya yang berkaitan dengan kasus Alena, tapi juga insiden-insiden lain yang
Keesokan harinya, Alena duduk di kafe kecil di kawasan Kemang, tempat yang dulu sering ia datangi bersama Reno sebelum pernikahan mereka mulai runtuh. Tempat yang menyimpan kenangan tentang masa ketika hidupnya masih sederhana, masih bisa diprediksi.Reno duduk di seberangnya, memperhatikan wajahnya yang pucat dan mata yang sembab—bukti bahwa ia hampir tidak tidur semalaman setelah Adrian datang ke apartemennya dengan emosi yang tidak terkendali."Kamu terlihat kacau, Len," kata Reno dengan nada yang lebih lembut daripada yang pernah ia gunakan dalam beberapa bulan terakhir."Aku merasa kacau.""Mau cerita?"Alena tertawa pahit. "Cerita tentang apa? Tentang bagaimana hidup yang kukira sudah aku bangun kembali ternyata lebih kacau dari sebelumnya? Tentang bagaimana keputusan untuk jujur malah menghancurkan hidup orang lain?""Atau tentang bagaimana pria yang kamu pikir mencintaimu ternyata posesif dan manipulatif?"Alena menatap Reno dengan terkejut. "Apa maksudmu?""Len, kemarin malam
Apartemen mewah Adrian di kawasan SCBD terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC-nya sudah dimatikan. Sudah tiga hari sejak pertemuan dengan para mitra bisnisnya, dan ultimatum mereka terus bergema di kepalanya. Tapi yang lebih mengganggu adalah kenyataan bahwa ia belum berbicara dengan Alena sejak kemarin.Ponselnya berdering untuk kesekian kalinya. Alena, akhirnya."Halo?" suaranya terdengar lelah."Len, dimana kamu? Aku sudah mencoba menghubungimu seharian.""Aku di apartemen. Bersama Nadira.""Aku mau menemuimu. Sekarang.""Adrian, tidak. Aku tidak bisa bertemu denganmu sekarang. Terlalu berisiko.""Berisiko?" Nada suara Adrian berubah tajam. "Berisiko untuk siapa? Untuk reputasimu yang sudah hancur? Atau untuk kariermu yang sudah tidak ada?"Keheningan di ujung telepon. Adrian langsung menyesal dengan kata-katanya."Maaf. Aku tidak bermaksud—""Adrian," suara Alena terdengar dingin, "aku pikir kita perlu... mengambil jarak sementara waktu.""APA?" Adrian bangkit dari sofa de
Ruang kerja Sophia di kantor pusat Hartono Group terasa lebih sunyi dari biasanya. Sebagai Direktur Komunikasi Strategis, ruangannya biasanya dipenuhi suara telepon yang berdering, rapat dadakan dengan tim PR, dan aktivitas frenetik mengelola krisis komunikasi.Tapi hari ini berbeda. Hari ini, Sophia sedang melakukan aktivitas yang jauh lebih... personal.Di laptopnya, tersimpan folder yang ia beri nama "Dokumentasi Internal." Isinya adalah foto-foto email, rekaman pembicaraan, dan catatan detail tentang budaya kerja di Hartono Group selama lima tahun terakhir. Bahan yang, dalam tangan yang tepat, bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan.Ponselnya berdering. Nomor yang familiar—wartawan senior dari media online terbesar di Indonesia."Sari," jawab Sophia."Sophia, ada update tentang situasi Adrian Hartono?""Banyak sekali. Tapi tidak bisa dibicarakan di telepon. Kita bertemu?""Kapan?""Hari ini. Tempat biasa."Dua jam kemudian, Sophia duduk di sudut kafe tersembunyi di kawasan Ment
Hotel Ritz-Carlton, ruang meeting eksklusif di lantai 35. Adrian duduk di ujung meja oval yang menghadap pemandangan Jakarta yang berkilauan di sore hari. Tapi kali ini, pemandangan itu tidak memberikan ketenangan seperti biasanya. Justru terasa seperti mengejek—dunia terus berputar sementara kerajaannya runtuh.Di sekeliling meja, duduk lima orang yang telah menjadi mitra strategis bisnisnya selama bertahun-tahun. CEO dari grup tekstil terbesar di Indonesia, pemilik jaringan hotel mewah, direktur utama dari konglomerat perbankan, kepala konsorsium properti, dan pemilik media group yang berpengaruh. Orang-orang yang dulu bersaing memperebutkan perhatiannya, kini menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran."Adrian," buka Richard Tanoesoedibjo, CEO Tanoe Group yang selama ini menjadi partner joint venture terbesar Adrian. "Kita semua sudah seperti saudara dalam bisnis ini. Makanya kami berkumpul hari ini, bukan sebagai pesaing, tapi sebagai... keluarga yang peduli."Adrian meng