Adrian menatap layar laptopnya dengan mata yang memerah. Sudah tiga minggu sejak Alena menghilang dari Jakarta, dan ia tidak bisa tidur nyenyak. Ruang kerjanya di rumah dipenuhi dengan kertas-kertas berisi informasi yang berhasil ia kumpulkan: nomor penerbangan, alamat keluarga Alena di Medan, bahkan foto-foto dari media sosial teman-teman Alena yang mungkin tahu keberadaannya."Dia pikir dia bisa lari dariku?" gumam Adrian sambil mengecek ponselnya untuk kesekian kalinya. Tidak ada balasan dari pesan-pesan yang ia kirim ke Alena. Semua percakapan mereka di WhatsApp masih menunjukkan satu centang – Alena sudah memblokir nomornya.Adrian bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Dari apartemen mewahnya di Sudirman, ia bisa melihat hiruk pikuk Jakarta yang tidak pernah berhenti. Tapi semua itu terasa hampa tanpa Alena. Ia masih bisa mengingat dengan jelas sentuhan kulitnya, cara ia tertawa ketika Adrian menggodanya, cara matanya berkilat ketika mereka bercinta di hotel-hotel mewah.Po
Bab 230: Keputusan TerakhirAlena duduk di pinggir pantai Sanur, memandang matahari terbenam yang mewarnai langit dengan gradasi jingga dan merah muda. Sudah enam minggu sejak ia tiba di Bali, dan meskipun program meditasi telah membantunya menemukan sedikit ketenangan, pertanyaan yang sama terus berputar di kepalanya: apakah ini cukup?Ponselnya bergetar. Pesan dari mama: "Len, kapan kamu pulang? Papa sakit, dia kangen kamu."Alena menatap pesan itu dengan perasaan berat. Keluarganya di Medan sudah menelepon berkali-kali, memintanya pulang, tapi ia belum siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka. Belum siap melihat kekecewaan di mata papa ketika ia harus menjelaskan mengapa pernikahannya berakhir.Tapi mungkin inilah saatnya. Mungkin lari ke Bali juga bukan solusi yang tepat.Keesokan paginya, Alena duduk di kafe kecil di Ubud, laptop terbuka di hadapannya. Setelah berjam-jam memikirkan, ia akhirnya menulis surel kepada Reno:"Reno,Aku harap kamu baik-baik saja. Aku tahu kita sud
Sophia duduk di kafe favoritnya di Kemang, mengaduk latte sambil membaca artikel gossip online tentang "Skandal Perceraian Eksekutif Muda" yang masih menjadi trending topic. Foto Alena dan Reno dari pernikahan mereka lima tahun lalu terpampang jelas, begitu juga spekulasi tentang "pihak ketiga" yang tidak disebutkan namanya.Bibirnya melengkung ke atas. Perfect timing.Ponselnya bergetar. Pesan dari Adrian: "Alena putus denganku. Dia bilang perlu waktu untuk dirinya sendiri. I don't understand women."Sophia mengetik dengan cepat: "I'm sorry to hear that. Mau ketemu? I think you need someone to talk to.""Thanks, Soph. You're always there for me."Sophia meletakkan ponselnya dan membuka laptop. Dia sudah menyiapkan rencana ini sejak berminggu-minggu lalu, menunggu momen yang tepat. Dan sekarang, dengan Alena yang menghilang ke Bali dan Adrian yang patah hati, timing-nya tidak bisa lebih sempurna.Dia membuka email dan mulai mengetik kepada Pak Hartono, CEO perusahaan tempatnya bekerja
Alena duduk di teras villa kecil di Ubud, memandang hamparan sawah yang membentang di hadapannya. Sudah tiga minggu sejak ia tiba di Bali, mencari ketenangan yang tidak pernah ia temukan di Jakarta. Namun, ketenangan itu masih terasa jauh.Ponselnya terus berdering dengan panggilan dari berbagai nomor yang tidak ia kenal. Beberapa adalah wartawan, yang lain adalah teman-teman lama yang tiba-tiba peduli dengan kehidupannya. Ia sudah mengganti nomor telepon dua kali, tetapi entah bagaimana orang-orang masih bisa menemukannya."Kak Alena, ada yang mencari di depan," kata Wayan, pemilik villa, dengan nada khawatir.Alena menghela napas panjang. "Wartawan lagi?""Sepertinya tetangga dari Jakarta. Ibu-ibu, bilang keluarga dari suami kakak."Perut Alena langsung mual. Keluarga Reno. Mereka sudah menemukannya sampai ke sini."Bilang saja saya tidak ada, Pak Wayan.""Sudah, Kak. Tapi mereka bilang akan tunggu."Alena menutup mata, merasakan beban yang familiar kembali menekan dadanya. Tidak ad
Reno duduk di rumah yang dulunya dibaginya dengan Alena, dikelilingi oleh kotak-kotak packing. Sudah seminggu sejak dia memutuskan untuk pindah ke apartemen kecil di Jakarta Selatan. Rumah ini terlalu besar untuk satu orang, terlalu penuh dengan kenangan yang kini terasa menyakitkan.Dia mengangkat foto pernikahan mereka yang tergeletak di atas meja. Lima tahun lalu, dua orang muda yang percaya bahwa cinta bisa mengatasi segalanya. Sekarang, salah satu dari mereka sedang di Bali mencari kedamaian, sementara yang lain duduk di tengah reruntuhan kehidupan yang sudah direncanakan dengan matang.Ponselnya berdering. Papa."Reno, kamu sudah makan?""Sudah, Pa.""Bohong. Suara kamu lemas. Mama masak rendang, kamu mau Papa antarkan?""Tidak usah, Pa. Aku okay.""Reno," suara papanya berubah serius. "Kamu tidak okay. Tidak ada yang okay dalam situasi ini. Dan itu normal."Reno menutup mata. Sejak berita perceraiannya tersebar, keluarganya bersikap protective tapi juga confusing. Di satu sisi
Adrian menatap layar ponselnya untuk kesekian kalinya pagi itu. Tidak ada pesan dari Alena. Sudah dua minggu sejak percakapan terakhir mereka, dan keheningan itu mulai menggerogoti kewarasannya.Di kantornya yang mewah di lantai 35, Adrian duduk di kursi direkturnya tapi tidak bisa fokus pada laporan keuangan di depannya. Setiap angka mengingatkannya pada Alena—bagaimana dia dulu tertawa mendengar cerita-cerita Adrian tentang klien yang aneh, bagaimana mata Alena berbinar ketika Adrian bercerita tentang project baru."Sir?" suara sekretarisnya memotong lamunan. "Meeting dengan klien Singapura dalam lima belas menit.""Cancel," jawab Adrian tanpa mengalihkan pandangan dari jendela."Sir? Tapi ini meeting yang sudah di-reschedule dua kali.""Aku bilang cancel."Setelah sekretarisnya pergi dengan wajah bingung, Adrian mengambil ponselnya dan mengetik pesan yang kesekian kali:"Alena, please jawab aku. Aku tahu kamu hurt, tapi kita bisa bicara. Kita bisa fix ini."Dia menatap pesan itu la