"Really? Sekarang? Aku bisa pergi sekarang?"Adrian menatap Alena, conflict jelas terlihat di wajahnya. "Kamu... kamu bisa pergi kalau kamu really want to. Tapi aku tidak understand kenapa kamu mau throw away lima tahun yang perfect untuk sesuatu yang...""Perfect untuk siapa, Adrian? Perfect untuk kamu? Karena perfect untuk kamu tidak automatically mean perfect untuk aku.""Tapi kamu never complain sebelumnya.""Karena aku tidak realize apa yang terjadi. Karena proses ini gradual. Karena kamu very skilled dalam making control feel like care. Tapi sekarang aku realize, dan aku tidak bisa un-know what I know."Adrian berdiri dan mulai pacing, clearly agitated."Len, ini adalah temporary phase. Semua couples mengalami period dimana mereka question relationship mereka. Ini normal. Ini akan pass.""Ini bukan questioning the relationship, Adrian. Ini adalah recognizing an unhealthy dynamic dan wanting to fix it.""Fix it bagaimana?""Dengan establishing boundaries. Dengan aku having my own
Alena mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. Situasi sudah terlalu jauh, dan satu-satunya cara untuk keluar dari ini adalah dengan total honesty – meskipun ia tahu konsekuensinya bisa berbahaya."Adrian, duduk. Aku mau bicara dengan kamu secara honest."Adrian masih berdiri di dekat pintu, tapi ekspresinya sedikit melembut mendengar nada Alena yang lebih calm."Akhirnya kamu mau reasonable conversation.""Iya, tapi kamu harus berjanji akan listen sampai aku selesai bicara. Tanpa interrupt, tanpa defend, tanpa justify. Just listen."Adrian mengangguk dan duduk di ujung sofa, masih maintaining distance dari pintu tapi tidak seagresif tadi."Adrian, aku cinta kamu. Aku cinta kamu dengan sepenuh hati selama lima tahun ini. Tapi..." Alena merasakan voice-nya trembling. "Tapi cinta aku sudah berubah menjadi sesuatu yang toxic karena relationship kita sudah tidak sehat."Adrian mulai membuka mulut untuk bicara, tapi Alena mengacungkan tangan."Please, let me
"Iya. Aku compliant karena aku tidak mau facing conflict. Aku compliant karena aku tidak mau kamu marah. Tapi compliance itu bukan happiness.""Len, everything aku lakukan adalah untuk kebaikan kamu. Untuk kebaikan kita. Kalau kamu tidak happy, berarti kamu tidak appreciate effort aku.""Aku appreciate effort kamu, tapi aku tidak minta kamu control every aspect of my life.""Aku tidak control. Aku guide. Aku protect. Aku optimize.""Dengan apa? Dengan mengatur jadwal aku? Dengan memutuskan aku boleh berteman dengan siapa? Dengan memilih makanan aku? Dengan mengatur career path aku?""Semua itu aku lakukan karena aku punya bigger picture. Aku bisa see things yang kamu tidak bisa see.""Atau mungkin kamu tidak mau aku see things yang kamu tidak mau aku lihat."Adrian menatap Alena dengan ekspresi yang slowly changing dari confused menjadi cold."Len, kamu terdengar seperti orang yang sudah di-influence oleh outside forces. Siapa yang ngomong hal-hal seperti ini ke kamu?""Tidak ada yang
Keputusan Alena untuk "memutuskan sendiri" sarapannya pagi itu ternyata menjadi trigger yang mengubah segalanya. Adrian tidak langsung marah, tapi Alena bisa merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka."Baik," kata Adrian dengan nada yang terlalu calm. "Kamu pilih sendiri sarapannya. Aku akan tunggu di mobil."Tapi ketika Alena memilih untuk membuat pancake – sesuatu yang tidak ada dalam "healthy menu" yang biasa Adrian atur – pria itu berdiri di ambang pintu dapur dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca."Pancake? Kamu tahu itu tidak baik untuk program diet kamu.""Aku tidak sedang diet, Adrian. Aku cuma mau makan pancake.""Len, kamu bilang mau memutuskan sendiri, tapi keputusan kamu ini... tidak rational."Alena menatap Adrian, pancake setengah matang di tangannya. "Kenapa makan pancake tidak rational?""Karena kamu tahu konsekuensinya. Kamu akan merasa bloated, energy kamu akan drop di siang hari, dan kamu akan regret keputusan ini.""Mungkin aku akan regret, mungkin tidak. Tap
Tiga bulan sebelum kejadian malam yang mengerikan itu...Alena sedang menyiapkan proposal untuk klien baru ketika ponselnya berdering. Nama Adrian muncul di layar, seperti biasa."Len, cancel meeting kamu dengan klien jam dua. Kita ada dinner meeting dengan investor dari Singapura.""Adrian, aku sudah janji dengan Bu Martha dari perusahaan catering itu. Ini klien penting untuk project pribadi aku.""Project pribadi?" Nada suara Adrian berubah. "Len, kamu sudah bekerja dengan aku. Kenapa masih perlu project pribadi?""Karena aku perlu membangun portfolio sendiri. Untuk masa depan.""Masa depan kamu adalah dengan aku. Kamu tidak perlu portfolio terpisah."Alena menarik napas dalam. Percakapan seperti ini semakin sering terjadi dalam dua bulan terakhir. Adrian semakin possessive terhadap waktu dan perhatiannya."Adrian, meeting ini penting untuk aku. Bisa tidak kita reschedule dinner dengan investor?""Tidak bisa. Mereka cuma ada hari ini sebelum terbang ke Jakarta. Dan Len, sebagai part
Polisi datang sekitar pukul tiga tiga puluh malam, tapi Adrian sudah menghilang ketika mereka tiba. Yang tersisa hanya jejak kaki di tanah basah dan beberapa batang mawar yang berserakan di halaman depan. Petugas polisi mencatat laporan Alena, tapi mereka bilang tanpa bukti fisik kekerasan atau ancaman tertulis, mereka tidak bisa berbuat banyak."Ibu bisa mengajukan restraining order," kata salah satu polisi. "Tapi prosesnya butuh waktu, dan efektivitasnya terbatas kalau pelaku benar-benar berniat mengganggu."Setelah polisi pergi, Alena duduk sendirian di ruang tamu, masih gemetar. Jam menunjukkan pukul empat pagi, tapi ia tidak mungkin bisa tidur. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menelepon Lila."Len? Kenapa telepon jam segini?" Suara Lila terdengar mengantuk tapi langsung waspada."Li, aku butuh bantuan. Adrian... dia sudah gila. Aku takut.""Tunggu, aku ke sana sekarang."Lila tiba setengah jam kemudian dengan secangkir kopi panas dan pelukan yang hangat."Ceritakan semuanya,