"Iya. Aku compliant karena aku tidak mau facing conflict. Aku compliant karena aku tidak mau kamu marah. Tapi compliance itu bukan happiness.""Len, everything aku lakukan adalah untuk kebaikan kamu. Untuk kebaikan kita. Kalau kamu tidak happy, berarti kamu tidak appreciate effort aku.""Aku appreciate effort kamu, tapi aku tidak minta kamu control every aspect of my life.""Aku tidak control. Aku guide. Aku protect. Aku optimize.""Dengan apa? Dengan mengatur jadwal aku? Dengan memutuskan aku boleh berteman dengan siapa? Dengan memilih makanan aku? Dengan mengatur career path aku?""Semua itu aku lakukan karena aku punya bigger picture. Aku bisa see things yang kamu tidak bisa see.""Atau mungkin kamu tidak mau aku see things yang kamu tidak mau aku lihat."Adrian menatap Alena dengan ekspresi yang slowly changing dari confused menjadi cold."Len, kamu terdengar seperti orang yang sudah di-influence oleh outside forces. Siapa yang ngomong hal-hal seperti ini ke kamu?""Tidak ada yang
Keputusan Alena untuk "memutuskan sendiri" sarapannya pagi itu ternyata menjadi trigger yang mengubah segalanya. Adrian tidak langsung marah, tapi Alena bisa merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka."Baik," kata Adrian dengan nada yang terlalu calm. "Kamu pilih sendiri sarapannya. Aku akan tunggu di mobil."Tapi ketika Alena memilih untuk membuat pancake – sesuatu yang tidak ada dalam "healthy menu" yang biasa Adrian atur – pria itu berdiri di ambang pintu dapur dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca."Pancake? Kamu tahu itu tidak baik untuk program diet kamu.""Aku tidak sedang diet, Adrian. Aku cuma mau makan pancake.""Len, kamu bilang mau memutuskan sendiri, tapi keputusan kamu ini... tidak rational."Alena menatap Adrian, pancake setengah matang di tangannya. "Kenapa makan pancake tidak rational?""Karena kamu tahu konsekuensinya. Kamu akan merasa bloated, energy kamu akan drop di siang hari, dan kamu akan regret keputusan ini.""Mungkin aku akan regret, mungkin tidak. Tap
Tiga bulan sebelum kejadian malam yang mengerikan itu...Alena sedang menyiapkan proposal untuk klien baru ketika ponselnya berdering. Nama Adrian muncul di layar, seperti biasa."Len, cancel meeting kamu dengan klien jam dua. Kita ada dinner meeting dengan investor dari Singapura.""Adrian, aku sudah janji dengan Bu Martha dari perusahaan catering itu. Ini klien penting untuk project pribadi aku.""Project pribadi?" Nada suara Adrian berubah. "Len, kamu sudah bekerja dengan aku. Kenapa masih perlu project pribadi?""Karena aku perlu membangun portfolio sendiri. Untuk masa depan.""Masa depan kamu adalah dengan aku. Kamu tidak perlu portfolio terpisah."Alena menarik napas dalam. Percakapan seperti ini semakin sering terjadi dalam dua bulan terakhir. Adrian semakin possessive terhadap waktu dan perhatiannya."Adrian, meeting ini penting untuk aku. Bisa tidak kita reschedule dinner dengan investor?""Tidak bisa. Mereka cuma ada hari ini sebelum terbang ke Jakarta. Dan Len, sebagai part
Polisi datang sekitar pukul tiga tiga puluh malam, tapi Adrian sudah menghilang ketika mereka tiba. Yang tersisa hanya jejak kaki di tanah basah dan beberapa batang mawar yang berserakan di halaman depan. Petugas polisi mencatat laporan Alena, tapi mereka bilang tanpa bukti fisik kekerasan atau ancaman tertulis, mereka tidak bisa berbuat banyak."Ibu bisa mengajukan restraining order," kata salah satu polisi. "Tapi prosesnya butuh waktu, dan efektivitasnya terbatas kalau pelaku benar-benar berniat mengganggu."Setelah polisi pergi, Alena duduk sendirian di ruang tamu, masih gemetar. Jam menunjukkan pukul empat pagi, tapi ia tidak mungkin bisa tidur. Dengan tangan yang masih bergetar, ia menelepon Lila."Len? Kenapa telepon jam segini?" Suara Lila terdengar mengantuk tapi langsung waspada."Li, aku butuh bantuan. Adrian... dia sudah gila. Aku takut.""Tunggu, aku ke sana sekarang."Lila tiba setengah jam kemudian dengan secangkir kopi panas dan pelukan yang hangat."Ceritakan semuanya,
Alena merasa sedikit lega. Mungkin Adrian benar-benar serius untuk berubah."Baiklah. Apa yang mau kamu bicarakan?""Aku mau minta maaf, Len. Untuk semua yang sudah aku lakukan. Aku sadar aku sudah membuat kamu takut, dan itu bukan keinginan aku.""Aku menerima permintaan maaf kamu, Adrian.""Dan aku mau bilang, aku mengerti kenapa kamu mau mengakhiri hubungan kita. Kita memang tidak sehat satu sama lain."Alena mengangguk, merasa hopeful."Tapi," Adrian melanjutkan, "aku juga mau kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa completely move on dari kamu. Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidup aku.""Adrian—""Tidak, dengarkan aku dulu. Aku tidak bilang aku akan terus mengganggu kamu. Tapi aku mau kamu tahu bahwa kalau suatu hari kamu berubah pikiran, kalau kamu menyadari bahwa kita memang ditakdirkan bersama, aku akan selalu menunggu."Rasa lega Alena mulai menghilang. "Adrian, tujuan pertemuan ini adalah untuk closure. Bukan untuk memberikan harapan palsu.""Ini bukan harapan palsu
Bab 235: Ketika Cinta Berubah Menjadi ObsesiSeminggu setelah pertemuan tengah malam itu, Alena mengira Adrian sudah benar-benar pergi. Ia mulai merasakan sedikit ketenangan, berpikir bahwa mungkin kata-kata terakhir mereka telah membuat Adrian mengerti. Tapi ia salah besar.Selasa pagi, ketika Alena sedang menyiram tanaman di halaman depan rumah kontrakan barunya, sebuah mobil hitam yang sudah tidak asing lagi terparkir di seberang jalan. Jantung Alena langsung berdegup kencang. Adrian duduk di dalam mobil, menatapnya melalui kaca depan.Alena pura-pura tidak melihat dan bergegas masuk ke dalam rumah. Tapi dari balik tirai, ia bisa melihat Adrian masih duduk di sana, seperti sedang mengawasinya.Sore harinya, ketika Alena pulang dari supermarket, Adrian sudah menunggu di depan pagar rumahnya."Hai, Len," sapanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Berat belanjanya? Aku bisa bantu bawa.""Tidak perlu, Adrian. Aku bisa sendiri." Alena mencoba berjalan melewatinya, tapi Adrian meng