Beranda / Rumah Tangga / Gairah di Balik Tirai Kehidupan / Bab 3: Kedekatan yang Menguatkan

Share

Bab 3: Kedekatan yang Menguatkan

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 20:00:37

Pagi itu, matahari menyinari rumah kecil Reno dan Alena, seolah mengingatkan mereka bahwa hari baru adalah kesempatan lain untuk saling mencintai. Suara burung berkicau di luar jendela menjadi latar belakang yang indah untuk kebiasaan pagi mereka. Reno, yang biasanya berangkat lebih awal, memutuskan untuk mengambil waktu ekstra bersama Alena sebelum memulai harinya.

“Lena, hari ini aku pikir kita harus sarapan di luar, bagaimana kalau di taman belakang?” usul Reno sambil memegang dua cangkir kopi.

Alena mengangguk sambil tersenyum. Mereka membawa sarapan sederhana ke meja kecil di taman belakang. Duduk berdampingan, mereka menikmati pemandangan kebun kecil yang dirawat Alena dengan penuh cinta. Kehijauan tanaman dan bunga yang bermekaran menjadi simbol perjuangan mereka, betapa usaha kecil yang konsisten dapat menghasilkan keindahan.

“Aku suka pagi-pagi seperti ini,” ujar Alena sambil menyeruput kopinya. “Tidak banyak, tapi cukup membuatku merasa beruntung.”

Reno tersenyum dan menjawab, “Aku juga, Lena. Kamu adalah alasan kenapa aku selalu ingin menjadi lebih baik. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih nyaman suatu hari nanti.”

Kata-kata itu membuat Alena merasa haru. Ia tahu Reno selalu memikirkan masa depan mereka, bahkan di tengah tekanan hidup yang mereka hadapi. Meski sederhana, Reno selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

Cita-Cita Reno

Di tempat kerjanya, Reno sering kali melamun memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan mereka. Ia tahu bahwa bekerja di pabrik tidak akan cukup untuk memberikan Alena kehidupan yang lebih baik. Dalam hati, ia bercita-cita untuk suatu hari memiliki usaha sendiri, sesuatu yang bisa ia bangun dari nol dan menjadi warisan untuk keluarganya.

Suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu yang hangat, Reno berbagi mimpinya dengan Alena.

“Lena, aku punya rencana. Aku ingin suatu hari kita punya toko sendiri. Mungkin toko alat-alat teknik, atau mungkin bahkan bengkel kecil. Aku ingin kita tidak perlu khawatir tentang uang lagi,” kata Reno dengan mata berbinar.

Alena menatapnya dengan penuh kasih. “Aku percaya kamu bisa, Ren. Kamu selalu punya semangat untuk belajar dan bekerja keras. Kalau ada yang bisa mewujudkan itu, aku yakin itu kamu.”

Kata-kata dukungan dari Alena menjadi penyemangat bagi Reno. Ia merasa bahwa selama Alena ada di sisinya, ia bisa menghadapi apa pun.

Malam Kenangan

Salah satu malam yang tak terlupakan bagi mereka adalah ketika Reno membawa Alena ke bukit kecil di pinggir kota, tempat mereka biasa menikmati pemandangan lampu-lampu kota. Dengan selimut tipis yang mereka bawa, mereka duduk berdampingan di atas rumput, menikmati angin malam yang sejuk.

“Lihat itu, Lena. Lampu-lampu itu seperti mimpi-mimpi kita. Mereka kecil, tapi kalau menyala bersama, mereka bisa membuat pemandangan yang indah,” kata Reno sambil menunjuk ke arah kota.

Alena memandangi suaminya dengan mata yang penuh cinta. “Kamu selalu punya cara melihat hal-hal indah, Ren. Aku bersyukur punya kamu dalam hidupku.”

Mereka berbicara hingga larut malam, saling mengingatkan satu sama lain tentang mimpi-mimpi mereka dan bagaimana mereka akan mencapainya bersama. Malam itu bukan hanya sekadar malam romantis, tetapi juga pengingat bahwa cinta mereka adalah fondasi dari semua yang mereka bangun bersama.

Penghormatan Satu Sama Lain

Meski Reno sering kali merasa lelah sepulang kerja, ia selalu menyempatkan waktu untuk membantu Alena di rumah. Entah itu mencuci piring setelah makan malam atau memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak, Reno ingin memastikan bahwa Alena tidak merasa sendirian dalam menjalani tugas-tugas rumah tangga.

Di sisi lain, Alena selalu berusaha memberikan semangat kepada Reno di tengah tekanan kerjanya. Ia sering menyiapkan bekal spesial dengan catatan kecil berisi kata-kata penyemangat yang ia selipkan di dalam kotak makan siang Reno. Hal-hal kecil seperti itu membuat Reno merasa dihargai dan dicintai.

“Aku mungkin tidak bisa membelikanmu perhiasan mahal atau rumah besar, tapi aku bisa memberikan seluruh cintaku untukmu,” kata Reno suatu malam.

“Dan itu sudah lebih dari cukup, Ren. Aku tidak butuh apa-apa lagi selain kamu,” jawab Alena sambil memeluknya erat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 549

    Kabut malam mengendap perlahan di atas lereng tempat kecelakaan itu terjadi. Hujan telah mereda, menyisakan rintik-rintik kecil yang jatuh dari daun seperti bisikan alam yang belum pulih sepenuhnya dari kekacauan.Adrian tidak sepenuhnya sadar. Tubuhnya masih terbaring di tanah basah, napasnya pelan—hangat, tapi lemah. Di sela-sela kabut yang menutupi pandangannya, ia hanya melihat remang cahaya dan bayang-bayang yang bergerak cepat. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya ilusi dari tubuhnya yang mulai menyerah.Ia bisa mendengar suara—tercekik, jauh, hampir seperti gema dalam mimpi.Suara seseorang berlari.Daun-daun terguncang.Dan… tembakan.Satu suara.Kemudian dua.Lalu hening.Adrian memaksa matanya terbuka. Ia ingin melihat Alena. Ia ingin memastikan bahwa perempuan itu berhasil kabur. Tetapi setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menyerang seperti aliran listrik yang menyambar.“A-Alena…” suaranya seperti bisikan yang patah. “Lari…”Namun angin malam hanya

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 548

    Hujan belum juga berhenti malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, menumpahkan segala beban dan rahasia yang selama ini tertahan. Di dasar lereng yang licin, mobil Adrian terbalik, remuk dengan asap putih yang masih mengepul dari kap mesin yang hancur.Air menetes dari rambut Victor Lau yang berdiri beberapa meter di depan mobil itu. Tubuhnya tegap, jas hitamnya kini basah kuyup, tapi sorot matanya tetap tajam, tak goyah sedikit pun. Ia menatap reruntuhan logam itu seperti seorang pelukis yang menatap hasil akhir lukisan yang telah lama ia rencanakan.“Kau tidak pernah belajar, Adrian,” katanya pelan, hampir seperti gumaman yang diucapkan dengan nada puas. “Kau pikir kau bisa menipu semua orang. Tapi akhirnya, kau hanya menipu dirimu sendiri.”Ia melangkah lebih dekat, sepatu kulitnya menjejak lumpur tanpa suara. Hujan mengguyur wajahnya, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang penting baginya malam itu adalah memastikan pe

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 547

    Malam itu, udara terasa berat. Langit di luar gelap pekat, tanpa satu pun bintang yang berani muncul. Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya—ruangan yang dulu penuh kehidupan, penuh rencana besar, penuh kebanggaan. Sekarang hanya tersisa kesunyian yang menusuk, seolah tembok-tembok itu menyerap sisa napasnya yang berat.Lampu meja redup memantulkan bayangan wajahnya di permukaan kaca jendela. Wajah yang dulu penuh percaya diri kini terlihat lelah dan rapuh. Pandangannya kosong, jarinya bergetar di atas segelas minuman yang bahkan tak lagi ingin ia sentuh.Ia menatap meja kerjanya. Ada bingkai foto di sana—foto lama, dirinya bersama Alena. Mereka tersenyum, berdiri di depan bangunan yang dulu mereka impikan bersama. Dulu, ia pikir ia memiliki segalanya: cinta, kekuasaan, dan kendali atas hidupnya. Sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau kembali.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu bergumam pelan,“Aku telah menghancurkan segalanya dengan tanganku se

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 546

    Hari-hari terasa semakin panjang bagi Adrian. Setiap pagi, suara dering telepon, surat panggilan pengadilan, dan berita-berita yang menyorotinya menjadi rutinitas yang menghantui. Nama Adrian Hartono kini tidak lagi identik dengan kesuksesan atau kejayaan, melainkan dengan kata-kata seperti penipuan, manipulasi, dan korupsi.Ia duduk di ruang kerjanya—ruangan yang dulu menjadi simbol kekuasaannya—kini seperti penjara tak berdinding. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, berita-berita dari media online menampilkan wajahnya dengan tajuk besar:“Pengusaha Terkenal Terancam Hukuman Penjara: Fakta Mengejutkan Tentang Skandal Hartono Group.”Adrian menatap layar laptopnya tanpa benar-benar melihat. Tatapannya kosong, pikirannya berputar cepat. Ia masih berusaha memahami bagaimana semuanya bisa hancur secepat ini. Dalam beberapa bulan saja, seluruh kerja keras bertahun-tahun berubah menjadi reruntuhan.Di tengah kesunyian itu, ponselnya berdering. Nama di layar membuat dadanya sedikit men

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 545

    Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini terasa begitu asing. Dulu, ruangan itu adalah simbol kejayaan: dindingnya dihiasi lukisan mahal, meja kayu jati besar yang selalu dipenuhi berkas kesepakatan bisnis bernilai jutaan, dan rak buku berisi penghargaan serta sertifikat prestasi. Kini, semua itu tampak tak berarti.Debu mulai menumpuk di sudut meja, dan cahaya matahari sore menembus jendela, menyoroti ruangan yang sunyi dan dingin.Telepon di tangannya masih terbuka, panggilan terakhir baru saja terputus. Suara mitra bisnisnya, yang dulu begitu hangat dan menghormatinya, kini hanya meninggalkan gema dingin di telinga."Skandalmu terlalu besar. Kami harus menjaga jarak."Kalimat itu berputar-putar di pikirannya seperti gema yang tak mau berhenti. Adrian menutup matanya, menekan pelipisnya dengan kedua tangan. Rasa lelah yang menumpuk selama berminggu-minggu kini menyerangnya dengan keras.Dulu, ia pikir ia memiliki semuanya—kekuasaan, koneksi, dan rasa hormat dari semua oran

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 534

    Langit siang itu tampak muram, awan kelabu menggantung berat di atas gedung pencakar langit tempat Adrian berdiri. Dari balkon lantai dua puluh, ia menatap hamparan kota Jakarta yang terus bergerak di bawah sana—mobil-mobil melintas, orang-orang berjalan terburu-buru, dunia tetap berputar seperti tak terjadi apa-apa.Namun di dalam dirinya, segalanya telah berhenti.Angin dingin berembus, menyibak rambutnya yang sedikit berantakan. Kemejanya kusut, dasinya terlepas setengah. Ia memandang ke bawah, ke arah jalan raya yang tampak kecil dan jauh, lalu mengembuskan napas panjang."Lucu, ya… dunia tetap berjalan bahkan setelah kau hancur," gumamnya lirih.Ia menunduk, kedua tangannya bersandar di pagar besi balkon yang terasa dingin menusuk kulit. Di kepalanya berputar ratusan suara—wartawan yang berteriak menanyakan tanggapan, para pengacara yang saling berselisih tentang strategi hukum, suara Arman yang panik… dan suara dari masa lalu, yang paling menghantui:"Kekuasaan bukan segalanya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status