Pagi yang lain datang dengan ritme yang sama di rumah kecil Reno dan Alena. Reno, dengan kemeja biru pudar yang menjadi seragam kerjanya, bersiap untuk menghadapi hari yang penuh tantangan di pabrik. Sementara itu, Alena berdiri di ambang pintu, mengawasinya pergi sambil membawa bekal sederhana yang ia siapkan dengan cinta.
“Semangat, ya. Jangan lupa makan siang,” ucap Alena sebelum Reno melangkah keluar.
“Pasti. Kamu juga jangan terlalu capek,” jawab Reno sambil tersenyum tipis.Setelah Reno pergi, Alena kembali ke dalam rumah dan mulai mengatur jadwal harinya. Meski statusnya sebagai ibu rumah tangga sering kali dianggap sederhana, hari-hari Alena diisi dengan pekerjaan yang tak kalah melelahkan. Ia harus memastikan rumah mereka tetap rapi, makanan selalu tersedia, dan juga menyelesaikan kerajinan tangan yang menjadi sumber tambahan penghasilan mereka.
Reno di Pabrik
Di pabrik, Reno menghadapi tantangan yang tidak pernah mudah. Ia bekerja sebagai teknisi mesin, yang berarti ia bertanggung jawab untuk memastikan semua peralatan berjalan lancar. Hari itu, salah satu mesin utama mengalami kerusakan besar, dan Reno ditugaskan untuk memperbaikinya. Suara mesin yang berderit keras dan aroma oli yang menyengat menjadi teman sehari-harinya.
“Reno, kalau mesin ini tidak selesai hari ini, kita bisa kehilangan banyak waktu produksi,” kata atasannya dengan nada tegas.
Reno hanya mengangguk, menyadari betapa beratnya tanggung jawab yang ia pikul. Tangannya yang kokoh dan terampil mulai bekerja dengan alat-alatnya, mencoba mencari solusi terbaik untuk masalah tersebut. Meski tubuhnya lelah, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik, karena ia tahu bahwa pekerjaan ini adalah salah satu penopang utama bagi keluarganya.
Alena dan Kerajinan Tangan
Sementara itu, di rumah, Alena duduk di ruang kerjanya yang kecil, dikelilingi oleh bahan-bahan kerajinan tangan seperti kayu, kain, dan lem. Ia memulai hari itu dengan membuat pesanan khusus dari salah satu pelanggan tetapnya—gantungan kunci dengan ukiran nama yang rumit.
Tangan Alena bergerak lincah, memotong kayu dengan hati-hati dan mengukir pola yang diminta. Setiap detail dikerjakan dengan penuh kesabaran, karena Alena percaya bahwa kualitas pekerjaannya adalah cerminan dari dedikasi dan cinta yang ia miliki untuk keluarganya.
Meski begitu, ada saat-saat di mana Alena merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Ia sering kali memikirkan masa depan mereka. “Apakah usaha kecil ini cukup untuk membantu Reno?” pikirnya sambil memandangi hasil karyanya yang baru selesai.
Namun, ia tidak membiarkan keraguan menguasainya. Alena tahu bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, adalah kontribusi yang berarti untuk masa depan mereka.
Sore Hari di Rumah
Menjelang sore, Alena membawa hasil kerajinannya ke pasar kecil di dekat rumah. Di sana, ia bertemu dengan beberapa pelanggan tetap yang sudah mengenal baik hasil karyanya.
“Alena, seperti biasa, kerajinanmu selalu cantik. Aku ingin pesan lagi untuk minggu depan,” kata salah satu pelanggan sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak. Saya akan pastikan selesai tepat waktu,” jawab Alena dengan sopan.
Setelah selesai di pasar, Alena kembali ke rumah dengan langkah ringan. Ia merasa puas karena usaha kecilnya dihargai oleh orang-orang di sekitarnya.
Malam Bersama
Ketika malam tiba, Reno pulang dengan tubuh yang terasa berat. Ia disambut oleh aroma masakan Alena yang selalu berhasil menghapus sedikit kelelahan dari wajahnya. Malam itu, mereka makan bersama, berbagi cerita tentang hari mereka yang panjang.
“Mesinnya akhirnya bisa diperbaiki?” tanya Alena, menunjukkan perhatiannya pada pekerjaan Reno.
“Bisa, tapi butuh waktu lama. Aku sampai lupa makan siang tadi,” jawab Reno sambil tersenyum kecil.
“Kamu harus lebih jaga kesehatan, Ren. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga kita?” kata Alena dengan nada cemas.
Reno mengangguk pelan. Ia tahu Alena benar, tapi tekanan yang ia rasakan di tempat kerja sering kali membuatnya lupa untuk menjaga dirinya sendiri. Namun, setiap kali ia melihat Alena, ia merasa menemukan alasan untuk terus berjuang.
Malam itu, setelah pekerjaan mereka selesai, mereka duduk bersama di teras rumah kecil mereka, menikmati angin malam sambil memandangi langit berbintang. Momen-momen sederhana seperti itu selalu menjadi pengingat bagi mereka bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar, tetapi dari kebersamaan dan cinta yang mereka miliki satu sama lain.
“Aku tahu kita tidak punya banyak, tapi aku bersyukur karena kita punya satu sama lain,” kata Reno sambil menggenggam tangan Alena.
“Aku juga, Ren. Selama kita bersama, aku merasa kita bisa menghadapi apa pun,” jawab Alena dengan senyuman lembut.
Dia akhirnya siap mengakui kebenaran yang selama ini mencakar dadanya.Dia siap mengakui bahwa dia tidak pernah benar-benar berhenti mencintai Adrian.Pikiran itu menghantamnya seperti hantaman fisik, mencuri napasnya. Tangannya bergetar saat ia meraih ponsel—lalu berhenti. Apa yang harus ia katakan? Kalimat seperti apa yang bisa mewakili kekacauan emosi yang berputar dalam dirinya?Aku salah. Aku berbohong pada diriku sendiri. Aku berbohong padamu. Aku berbohong pada semua orang.Kupikir aku bisa memilih rasa aman daripada hasrat. Kupikir aku bisa memilih kestabilan daripada kekacauan yang datang bersamaan dengan mencintaimu.Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa pura-pura lagi.Suasana kafe dipenuhi dengung pelan kehidupan orang lain. Mahasiswa mengetik di laptop, pasangan berbincang lirih, teman-teman tertawa pelan. Semua orang itu hidup dalam dunia yang mendadak terasa asing baginya.Dia sudah hidup dalam dunia itu selama dua tahun. Dunia cinta yang normal, dapat diprediksi, dan ama
“Kamu mencintaiku seperti mencintai tempat yang aman. Seperti mencintai pelarian yang nyaman. Tapi kamu nggak jatuh cinta padaku. Kamu jatuh cinta pada dia.”“Dia itu beracun, Reno. Dia manipulatif, dia—”“Tapi dia yang membuatmu hidup. Dia yang menantangmu. Dia yang bikin kamu merasa penuh. Sesuatu yang nggak bisa aku berikan.”“Itu bukan cinta. Itu obsesi.”“Mungkin. Tapi itu yang kamu mau. Yang selalu kamu mau.”“Aku nggak mau dikendalikan.”“Bukan dikendalikan yang kamu cari. Kamu cari intensitas itu. Kamu cari api itu. Kamu cari rasa hidup yang meledak-ledak, meski itu bisa membakar habis kamu.”“Api membakar, Reno.”“Dan kenyamanan itu membosankan.”Kata-katanya seperti tamparan. Alena menatapnya, terdiam.“Aku ini ‘aman’ buat kamu, ya?” lanjut Reno. “Aku pria yang kamu pilih bukan karena kamu nggak bisa hidup tanpaku, tapi karena aku baik untukmu. Karena aku mudah untuk dicintai.”“Itu nggak benar.”“Itu sangat benar. Dan aku sudah terlalu lama pura-pura nggak tahu. Tapi aku n
“Karena setiap aku bersamamu, aku langsung masuk ke peran 'pacarnya Reno'. Aku berhenti mikirin keinginanku sendiri, dan mulai mikir tentang keinginanmu.”“Aku gak pernah minta itu.”“Kamu gak perlu minta. Itu sudah jadi kebiasaan. Sudah jadi bagian dari caraku mencintai.”Reno menatapnya, seperti tak percaya.“Jadi semua ini... hanya pura-pura?” bisiknya.“Bukan pura-pura. Aku mencintaimu. Tapi aku mencintaimu sambil kehilangan diriku sendiri. Aku mencintaimu sambil terus bertanya dalam hati: ‘Apa yang Reno butuhkan?’ dan melupakan apa yang aku butuhkan.”“Kamu hanya sedang terlalu mikir. Kita bisa atasi ini. Kita bisa belajar komunikasi yang lebih baik. Memberi ruang.”“Aku sudah coba, Reno. Aku coba tetap punya kehidupan sendiri. Teman-teman sendiri. Pendapat sendiri. Tapi sedikit demi sedikit, semuanya hilang. Sama seperti waktu aku bersama Adrian. Hanya beda bentuk.”“Aku bukan Adrian.”“Aku tahu. Kamu bukan dia. Kamu baik. Kamu perhatian. Kamu mendukungku. Tapi aku tetap hilang
Reno duduk di dalam mobilnya, terparkir di depan apartemen Alena. Kedua tangannya menggenggam erat setir, sampai buku-buku jarinya memutih. Sudah dua puluh menit ia duduk di sana, memandangi jendela unit Alena, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal yang harus ia lakukan.Ponselnya bergetar—balasan yang tak kunjung datang dari pesan terakhirnya, tiga jam lalu. Sama seperti lima pesan sebelumnya. Sama seperti belasan pesan kemarin. Polanya sudah terlalu familiar dan menyakitkan dalam beberapa minggu terakhir.Ia memejamkan mata, mengingat sosok perempuan yang ia cintai dua tahun lalu. Alena yang dulu selalu tersenyum saat melihatnya, yang tak pernah lupa mengirimkan pesan ‘selamat pagi’, yang selalu menyempatkan diri meski sesibuk apa pun. Gadis itu kini terasa seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda.Alena yang sekarang... asing. Jauh. Pikirannya selalu di tempat lain, matanya lebih sering menatap layar ponsel, mulutnya dipenuhi alasan. Bahkan saat bersamanya, rasany
Tiga hari setelah percakapannya dengan Maya di tengah hujan, Alena berdiri di depan gedung apartemen Adrian, membawa sebuah kotak kecil berisi barang-barangnya. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena beratnya keputusan yang akan ia buat—dan kali ini, keputusan itu final.Ia menelepon Adrian satu jam sebelumnya, dengan suara yang tenang meski dadanya terasa seperti medan perang."Aku akan datang. Kita perlu bicara.""Alena, syukurlah. Aku sudah memikirkan semua yang kamu katakan, dan aku—""Adrian, cukup. Tolong... cukup. Ini bukan untuk berbicara. Ini perpisahan."Hening. Lalu: "Apa maksudmu?""Maksudku, aku selesai. Kita selesai. Aku akan mengembalikan barang-barangmu dan mengatakan apa yang perlu kukatakan.""Kamu pasti bercanda.""Aku belum pernah seyakini ini sepanjang hidupku.""Tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa berubah. Aku bisa jadi lebih baik.""Tidak, kamu tidak bisa. Dan aku tak bisa terus berpura-pura menunggu kamu berubah.""Alena, tolong. Jangan
Adrian berdiri di dalam kantornya yang kosong, memandangi kursi tempat Alena duduk beberapa jam lalu. Keheningan di ruangan itu terasa memekakkan telinga. Ponselnya terus berdering—investor, rekan bisnis, orang-orang yang masih percaya pada citra sempurna yang ia bangun—tapi ia bahkan tak sanggup mengangkatnya.Tatapan Alena masih terbayang jelas di kepalanya. Penuh rasa muak. Penuh kepastian. Bukan seharusnya ini cara mereka berakhir.Tangannya gemetar saat ia mengambil ponsel dan menggulir daftar kontak. Lalu berhenti pada satu nama yang sudah berbulan-bulan tak ia hubungi—David. Teman sekamarnya saat kuliah, salah satu dari sedikit orang yang mengenalnya sebelum semua berubah—sebelum hidupnya jadi soal kendali dan manipulasi.“Adrian? Astaga, udah berapa lama? Enam bulan?”“David... aku butuh bicara.”“Kau terdengar kacau. Ada apa?”“Semuanya hancur. Perempuan yang aku cintai baru saja meninggalkanku.”“Alena? Yang sering kau ceritakan itu?”“Dia nggak ngerti. Dia pikir aku monster.