Share

Bab 4: Awal Retakan Kecil

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 20:01:10

Sore itu, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berbeda. Reno pulang kerja lebih awal dari biasanya, wajahnya tampak tegang. Alena yang sedang mempersiapkan makan malam langsung menyadari perubahan itu.

“Ren, kamu kenapa? Kelihatan capek sekali hari ini,” tanya Alena lembut, meletakkan piring di meja.

Reno menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku hanya sedang memikirkan banyak hal, Lena. Tentang pekerjaan, tentang kita... tentang keuangan keluarga kita.”

Alena berhenti sejenak, menatap suaminya dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu khawatir?”

Reno duduk di kursi dengan tubuh yang tampak lebih berat dari biasanya. “Gaji dari pabrik semakin tidak cukup untuk menutupi kebutuhan kita. Harga-harga terus naik, dan tabungan kita mulai menipis. Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan seperti ini.”

Alena berjalan mendekat dan duduk di sebelah Reno, menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita sudah menghadapi banyak hal bersama, Ren. Ini bukan pertama kalinya kita mengalami masa sulit. Aku yakin kita bisa melewati ini lagi.”

Namun, kata-kata Alena tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran di wajah Reno. “Aku tahu kamu selalu mendukungku, Lena. Tapi aku tidak mau kamu terus hidup seperti ini. Aku ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik.”

Alena tersenyum kecil. “Kehidupan yang lebih baik bagiku adalah kehidupan yang kita jalani bersama, apa pun keadaannya. Aku percaya kamu, Ren. Kita akan menemukan cara.”

Malam itu, setelah makan malam, Reno dan Alena duduk bersama untuk membicarakan cara-cara mengatasi masalah keuangan mereka. Reno mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan sampingan, meskipun itu berarti ia harus mengurangi waktu istirahatnya. Di sisi lain, Alena berpikir untuk lebih serius mengembangkan usaha kerajinan tangannya.

“Aku bisa mulai menerima pesanan lebih banyak. Kalau aku bekerja lebih keras, kita mungkin bisa menambah penghasilan,” kata Alena dengan semangat.

Reno menatapnya dengan ragu. “Aku tidak mau kamu terlalu lelah, Lena. Kamu sudah cukup banyak bekerja di rumah.”

“Tapi ini juga untuk kita, Ren. Kalau kita saling membantu, beban ini tidak akan terasa terlalu berat,” jawab Alena tegas.

Akhirnya, mereka sepakat untuk mencoba menggabungkan usaha mereka. Reno akan mulai mencari peluang pekerjaan tambahan, sementara Alena akan meningkatkan produksi kerajinan tangannya. Meski terasa berat, mereka merasa lebih lega setelah membicarakan masalah ini dengan jujur.

Namun, malam itu tidak berlalu tanpa meninggalkan jejak. Setelah Reno tidur, Alena tetap terjaga, memikirkan kata-kata suaminya. Kekhawatiran Reno tentang masa depan mereka mulai memengaruhi Alena. Meski ia berusaha kuat, ada rasa takut yang perlahan merayap di hatinya.

Di sisi lain, Reno juga terjaga di kamarnya, memandangi langit-langit dengan pikiran yang penuh. Ia merasa gagal sebagai suami karena tidak mampu memberikan keamanan finansial yang cukup untuk keluarganya. Perasaan itu semakin memperkuat tekadnya untuk mencari solusi, apa pun yang diperlukan.

Keesokan paginya, Reno dan Alena kembali ke rutinitas mereka, seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, di dalam hati mereka masing-masing, konflik kecil ini menjadi pengingat bahwa hidup tidak selalu mulus. Meski begitu, mereka tetap berpegangan pada satu hal yang tidak pernah berubah: cinta dan dukungan mereka satu sama lain.

Ketika Reno berangkat kerja, Alena berdiri di ambang pintu seperti biasa, melambaikan tangan sambil tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya menyimpan sedikit kekhawatiran.

“Kita pasti bisa melewati ini, Ren,” bisik Alena pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.

Hari-hari berikutnya, Alena mulai fokus pada usaha kerajinan tangannya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di meja kerjanya, membuat berbagai produk yang diharapkan bisa menarik minat pelanggan. Dari vas bunga yang dihias dengan detail halus hingga gantungan kunci lucu yang terbuat dari bahan daur ulang, Alena berusaha menciptakan sesuatu yang unik.

Di sisi lain, Reno mulai mencari pekerjaan tambahan setelah jam kerja di pabrik. Ia mencoba melamar menjadi tukang reparasi peralatan rumah tangga, pekerjaan yang memanfaatkan keterampilannya dalam bidang teknis. Meski lelah, Reno merasa lega karena bisa memberikan usaha lebih untuk keluarga mereka.

Di tengah semua ini, Alena dan Reno terus saling mendukung. Setiap malam, mereka akan duduk bersama, berbagi cerita tentang apa yang mereka alami hari itu. Kadang-kadang mereka tertawa bersama, mengingat hal-hal lucu yang terjadi, meskipun lelah dan tekanan tetap ada.

“Kita mungkin tidak punya banyak, Lena, tapi aku merasa kita punya segalanya karena kita punya satu sama lain,” kata Reno suatu malam sambil memegang tangan Alena erat.

“Dan itu lebih dari cukup untukku, Ren,” jawab Alena sambil tersenyum hangat.

Di tengah perjuangan mereka, cinta dan kebersamaan tetap menjadi cahaya yang memandu jalan mereka ke depan. Meskipun tantangan terasa berat, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi apa pun yang datang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 549

    Kabut malam mengendap perlahan di atas lereng tempat kecelakaan itu terjadi. Hujan telah mereda, menyisakan rintik-rintik kecil yang jatuh dari daun seperti bisikan alam yang belum pulih sepenuhnya dari kekacauan.Adrian tidak sepenuhnya sadar. Tubuhnya masih terbaring di tanah basah, napasnya pelan—hangat, tapi lemah. Di sela-sela kabut yang menutupi pandangannya, ia hanya melihat remang cahaya dan bayang-bayang yang bergerak cepat. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya ilusi dari tubuhnya yang mulai menyerah.Ia bisa mendengar suara—tercekik, jauh, hampir seperti gema dalam mimpi.Suara seseorang berlari.Daun-daun terguncang.Dan… tembakan.Satu suara.Kemudian dua.Lalu hening.Adrian memaksa matanya terbuka. Ia ingin melihat Alena. Ia ingin memastikan bahwa perempuan itu berhasil kabur. Tetapi setiap kali ia mencoba menggerakkan tubuhnya, rasa sakit menyerang seperti aliran listrik yang menyambar.“A-Alena…” suaranya seperti bisikan yang patah. “Lari…”Namun angin malam hanya

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 548

    Hujan belum juga berhenti malam itu. Langit seolah menangis bersama bumi, menumpahkan segala beban dan rahasia yang selama ini tertahan. Di dasar lereng yang licin, mobil Adrian terbalik, remuk dengan asap putih yang masih mengepul dari kap mesin yang hancur.Air menetes dari rambut Victor Lau yang berdiri beberapa meter di depan mobil itu. Tubuhnya tegap, jas hitamnya kini basah kuyup, tapi sorot matanya tetap tajam, tak goyah sedikit pun. Ia menatap reruntuhan logam itu seperti seorang pelukis yang menatap hasil akhir lukisan yang telah lama ia rencanakan.“Kau tidak pernah belajar, Adrian,” katanya pelan, hampir seperti gumaman yang diucapkan dengan nada puas. “Kau pikir kau bisa menipu semua orang. Tapi akhirnya, kau hanya menipu dirimu sendiri.”Ia melangkah lebih dekat, sepatu kulitnya menjejak lumpur tanpa suara. Hujan mengguyur wajahnya, tapi ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang penting baginya malam itu adalah memastikan pe

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 547

    Malam itu, udara terasa berat. Langit di luar gelap pekat, tanpa satu pun bintang yang berani muncul. Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya—ruangan yang dulu penuh kehidupan, penuh rencana besar, penuh kebanggaan. Sekarang hanya tersisa kesunyian yang menusuk, seolah tembok-tembok itu menyerap sisa napasnya yang berat.Lampu meja redup memantulkan bayangan wajahnya di permukaan kaca jendela. Wajah yang dulu penuh percaya diri kini terlihat lelah dan rapuh. Pandangannya kosong, jarinya bergetar di atas segelas minuman yang bahkan tak lagi ingin ia sentuh.Ia menatap meja kerjanya. Ada bingkai foto di sana—foto lama, dirinya bersama Alena. Mereka tersenyum, berdiri di depan bangunan yang dulu mereka impikan bersama. Dulu, ia pikir ia memiliki segalanya: cinta, kekuasaan, dan kendali atas hidupnya. Sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau kembali.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu bergumam pelan,“Aku telah menghancurkan segalanya dengan tanganku se

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 546

    Hari-hari terasa semakin panjang bagi Adrian. Setiap pagi, suara dering telepon, surat panggilan pengadilan, dan berita-berita yang menyorotinya menjadi rutinitas yang menghantui. Nama Adrian Hartono kini tidak lagi identik dengan kesuksesan atau kejayaan, melainkan dengan kata-kata seperti penipuan, manipulasi, dan korupsi.Ia duduk di ruang kerjanya—ruangan yang dulu menjadi simbol kekuasaannya—kini seperti penjara tak berdinding. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, berita-berita dari media online menampilkan wajahnya dengan tajuk besar:“Pengusaha Terkenal Terancam Hukuman Penjara: Fakta Mengejutkan Tentang Skandal Hartono Group.”Adrian menatap layar laptopnya tanpa benar-benar melihat. Tatapannya kosong, pikirannya berputar cepat. Ia masih berusaha memahami bagaimana semuanya bisa hancur secepat ini. Dalam beberapa bulan saja, seluruh kerja keras bertahun-tahun berubah menjadi reruntuhan.Di tengah kesunyian itu, ponselnya berdering. Nama di layar membuat dadanya sedikit men

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 545

    Adrian duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini terasa begitu asing. Dulu, ruangan itu adalah simbol kejayaan: dindingnya dihiasi lukisan mahal, meja kayu jati besar yang selalu dipenuhi berkas kesepakatan bisnis bernilai jutaan, dan rak buku berisi penghargaan serta sertifikat prestasi. Kini, semua itu tampak tak berarti.Debu mulai menumpuk di sudut meja, dan cahaya matahari sore menembus jendela, menyoroti ruangan yang sunyi dan dingin.Telepon di tangannya masih terbuka, panggilan terakhir baru saja terputus. Suara mitra bisnisnya, yang dulu begitu hangat dan menghormatinya, kini hanya meninggalkan gema dingin di telinga."Skandalmu terlalu besar. Kami harus menjaga jarak."Kalimat itu berputar-putar di pikirannya seperti gema yang tak mau berhenti. Adrian menutup matanya, menekan pelipisnya dengan kedua tangan. Rasa lelah yang menumpuk selama berminggu-minggu kini menyerangnya dengan keras.Dulu, ia pikir ia memiliki semuanya—kekuasaan, koneksi, dan rasa hormat dari semua oran

  • Gairah di Balik Tirai Kehidupan   Bab 534

    Langit siang itu tampak muram, awan kelabu menggantung berat di atas gedung pencakar langit tempat Adrian berdiri. Dari balkon lantai dua puluh, ia menatap hamparan kota Jakarta yang terus bergerak di bawah sana—mobil-mobil melintas, orang-orang berjalan terburu-buru, dunia tetap berputar seperti tak terjadi apa-apa.Namun di dalam dirinya, segalanya telah berhenti.Angin dingin berembus, menyibak rambutnya yang sedikit berantakan. Kemejanya kusut, dasinya terlepas setengah. Ia memandang ke bawah, ke arah jalan raya yang tampak kecil dan jauh, lalu mengembuskan napas panjang."Lucu, ya… dunia tetap berjalan bahkan setelah kau hancur," gumamnya lirih.Ia menunduk, kedua tangannya bersandar di pagar besi balkon yang terasa dingin menusuk kulit. Di kepalanya berputar ratusan suara—wartawan yang berteriak menanyakan tanggapan, para pengacara yang saling berselisih tentang strategi hukum, suara Arman yang panik… dan suara dari masa lalu, yang paling menghantui:"Kekuasaan bukan segalanya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status