Sore itu, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berbeda. Reno pulang kerja lebih awal dari biasanya, wajahnya tampak tegang. Alena yang sedang mempersiapkan makan malam langsung menyadari perubahan itu.
“Ren, kamu kenapa? Kelihatan capek sekali hari ini,” tanya Alena lembut, meletakkan piring di meja.
Reno menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku hanya sedang memikirkan banyak hal, Lena. Tentang pekerjaan, tentang kita... tentang keuangan keluarga kita.”
Alena berhenti sejenak, menatap suaminya dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu khawatir?”
Reno duduk di kursi dengan tubuh yang tampak lebih berat dari biasanya. “Gaji dari pabrik semakin tidak cukup untuk menutupi kebutuhan kita. Harga-harga terus naik, dan tabungan kita mulai menipis. Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan seperti ini.”
Alena berjalan mendekat dan duduk di sebelah Reno, menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita sudah menghadapi banyak hal bersama, Ren. Ini bukan pertama kalinya kita mengalami masa sulit. Aku yakin kita bisa melewati ini lagi.”
Namun, kata-kata Alena tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran di wajah Reno. “Aku tahu kamu selalu mendukungku, Lena. Tapi aku tidak mau kamu terus hidup seperti ini. Aku ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik.”
Alena tersenyum kecil. “Kehidupan yang lebih baik bagiku adalah kehidupan yang kita jalani bersama, apa pun keadaannya. Aku percaya kamu, Ren. Kita akan menemukan cara.”
Malam itu, setelah makan malam, Reno dan Alena duduk bersama untuk membicarakan cara-cara mengatasi masalah keuangan mereka. Reno mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan sampingan, meskipun itu berarti ia harus mengurangi waktu istirahatnya. Di sisi lain, Alena berpikir untuk lebih serius mengembangkan usaha kerajinan tangannya.
“Aku bisa mulai menerima pesanan lebih banyak. Kalau aku bekerja lebih keras, kita mungkin bisa menambah penghasilan,” kata Alena dengan semangat.
Reno menatapnya dengan ragu. “Aku tidak mau kamu terlalu lelah, Lena. Kamu sudah cukup banyak bekerja di rumah.”
“Tapi ini juga untuk kita, Ren. Kalau kita saling membantu, beban ini tidak akan terasa terlalu berat,” jawab Alena tegas.
Akhirnya, mereka sepakat untuk mencoba menggabungkan usaha mereka. Reno akan mulai mencari peluang pekerjaan tambahan, sementara Alena akan meningkatkan produksi kerajinan tangannya. Meski terasa berat, mereka merasa lebih lega setelah membicarakan masalah ini dengan jujur.
Namun, malam itu tidak berlalu tanpa meninggalkan jejak. Setelah Reno tidur, Alena tetap terjaga, memikirkan kata-kata suaminya. Kekhawatiran Reno tentang masa depan mereka mulai memengaruhi Alena. Meski ia berusaha kuat, ada rasa takut yang perlahan merayap di hatinya.
Di sisi lain, Reno juga terjaga di kamarnya, memandangi langit-langit dengan pikiran yang penuh. Ia merasa gagal sebagai suami karena tidak mampu memberikan keamanan finansial yang cukup untuk keluarganya. Perasaan itu semakin memperkuat tekadnya untuk mencari solusi, apa pun yang diperlukan.
Keesokan paginya, Reno dan Alena kembali ke rutinitas mereka, seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, di dalam hati mereka masing-masing, konflik kecil ini menjadi pengingat bahwa hidup tidak selalu mulus. Meski begitu, mereka tetap berpegangan pada satu hal yang tidak pernah berubah: cinta dan dukungan mereka satu sama lain.
Ketika Reno berangkat kerja, Alena berdiri di ambang pintu seperti biasa, melambaikan tangan sambil tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya menyimpan sedikit kekhawatiran.
“Kita pasti bisa melewati ini, Ren,” bisik Alena pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.
Hari-hari berikutnya, Alena mulai fokus pada usaha kerajinan tangannya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di meja kerjanya, membuat berbagai produk yang diharapkan bisa menarik minat pelanggan. Dari vas bunga yang dihias dengan detail halus hingga gantungan kunci lucu yang terbuat dari bahan daur ulang, Alena berusaha menciptakan sesuatu yang unik.
Di sisi lain, Reno mulai mencari pekerjaan tambahan setelah jam kerja di pabrik. Ia mencoba melamar menjadi tukang reparasi peralatan rumah tangga, pekerjaan yang memanfaatkan keterampilannya dalam bidang teknis. Meski lelah, Reno merasa lega karena bisa memberikan usaha lebih untuk keluarga mereka.
Di tengah semua ini, Alena dan Reno terus saling mendukung. Setiap malam, mereka akan duduk bersama, berbagi cerita tentang apa yang mereka alami hari itu. Kadang-kadang mereka tertawa bersama, mengingat hal-hal lucu yang terjadi, meskipun lelah dan tekanan tetap ada.
“Kita mungkin tidak punya banyak, Lena, tapi aku merasa kita punya segalanya karena kita punya satu sama lain,” kata Reno suatu malam sambil memegang tangan Alena erat.
“Dan itu lebih dari cukup untukku, Ren,” jawab Alena sambil tersenyum hangat.
Di tengah perjuangan mereka, cinta dan kebersamaan tetap menjadi cahaya yang memandu jalan mereka ke depan. Meskipun tantangan terasa berat, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi apa pun yang datang.
Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidup Alena. Devano masih tertidur pulas di pangkuannya, sementara pikiran tentang revelation mengenai Rahman terus berputar-putar di kepalanya. David duduk di sebelahnya dengan wajah yang sulit dibaca, matanya menatap laut yang gelap.Speedboat mulai memasuki dermaga Marina Ancol ketika Devano terbangun dan menggosok matanya yang masih mengantuk."Mama?" Devano menatap Alena dengan mata polosnya. "Kita sudah sampai rumah?"Alena merasa dadanya sesak mendengar kata 'mama' dari bibir anaknya. "Belum, sayang. Sebentar lagi.""Dimana rumah kita, Ma?"Pertanyaan sederhana itu membuat Alena menyadari betapa banyak hal yang harus mereka pikirkan dan atur. Dimana Devano akan tinggal? Bagaimana mengurus dokumen-dokumennya? Bagaimana menjelaskan situasi ini pada Maya dan orang tua David?"Devano akan tinggal dengan mama sekarang," Alena menjawab sambil memeluk anaknya lebih erat.Rahman yang duduk di depan mereka bersiap
Alena terduduk lemas di lantai pondok yang dingin, menatap anak laki-laki yang masih terisak di samping Clarissa yang terluka. Seluruh dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Anak yang selama lima tahun dia pikir sudah tiada ternyata hidup, tumbuh besar tanpa dia ketahui."Mama..." anak itu berbisik sambil mengusap air mata di pipinya. "Mama Clarissa sakit."Suara tembakan di luar masih berlangsung, tapi Alena seolah tidak mendengar apa-apa. Seluruh perhatiannya terfokus pada anak di hadapannya."Siapa namamu, sayang?" Alena bertanya dengan suara bergetar."David," anak itu menjawab sambil menatap Alena dengan mata yang familiar. "Mama Clarissa bilang nama asli aku Devano, tapi aku lebih suka dipanggil David."Devano. Nama yang Alena berikan untuk anaknya lima tahun lalu. Anak yang dia pikir meninggal saat lahir prematur karena komplikasi kehamilan yang disembunyikannya dari Adrian."Devano..." Alena berbisik, air mata mulai mengalir deras. "Anakku."David tiba-tiba muncul di jendela, w
Speedboat bermesin ganda itu melaju dengan kecepatan tinggi membelah ombak Laut Jawa menuju Kepulauan Seribu. Angin laut yang kencang membuat rambut Alena berkibar-kibar, namun matanya tetap fokus menatap horizon dimana pulau tujuan mereka berada.David duduk di sampingnya, sesekali melirik wajah tunangannya yang penuh konsentrasi. "Len, kamu yakin dengan ini? Kita masih bisa kembali dan membiarkan tim khusus yang menangani.""Tidak," Alena menggeleng tegas. "Clarissa dan anaknya sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan karena Adrian. Aku tidak akan membiarkan mereka menjadi korban terakhir dari obsesinya."Rahman yang duduk di depan mereka sambil memeriksa peralatan komunikasi, menoleh ke belakang. "Pulau itu memang tempat yang strategis untuk menyembunyikan sesuatu. Jauh dari jalur pelayaran umum, tidak berpenghuni, dan hanya bisa diakses dengan perahu kecil.""Bagaimana Adrian bisa tahu tempat seperti itu?" David bertanya."Adrian punya banyak koneksi gelap," Alena menjawab dengan
Dua hari setelah lamaran David, rumah sakit masih menjadi tempat yang tidak bisa mereka tinggalkan sepenuhnya. Alena duduk di samping tempat tidur Sarah yang masih terbaring lemah, sementara David berdiri di belakangnya dengan sikap waspada. Rahman juga hadir sebagai saksi dalam percakapan yang mungkin akan mengungkap rahasia terakhir Adrian."Kamu bilang Adrian punya rahasia tentang anak," Alena memulai pembicaraan dengan suara tenang namun tegas. "Anak siapa?"Sarah menatap Alena dengan pandangan yang sulit dibaca. Tidak lagi ada api dendam di matanya, namun tergantikan dengan sesuatu yang lebih kompleks—penyesalan bercampur dengan kelegaan aneh."Sebelum aku bercerita," Sarah berkata pelan, "aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Tentang semua yang sudah terjadi. Tentang Maya, keluarga David, tentang semua kesakitan yang telah kami timbulkan.""Kami menghargai permintaan maafmu," David menjawab diplomatik. "Tapi sekarang kami ingin mendengar tentang rahasia itu."Sarah menghela na
Lima detik. Hanya lima detik sebelum granat yang diaktifkan Adrian meledak dan mengakhiri segalanya.Dalam slow motion yang mencekam, David melihat Alena yang masih terpaku di tempatnya, terlalu shock dengan kematian Adrian dan pengkhianatan Sarah. Tanpa berpikir panjang, dia berlari sekuat tenaga menuju kekasihnya."ALENA!" teriakannya menggema di antara suara-suara chaos tim penyelamat yang berhamburan mencari perlindungan.Empat detik.Sarah yang masih memegang pistol berasap menatap tubuh Adrian yang tergeletak. Air mata mengalir deras di pipinya. "Maafkan aku, Adrian. Aku tidak bisa membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri lagi."Alena akhirnya tersadar dari keterkejutannya ketika melihat David berlari menghampirinya. Matanya melebar ketika menyadari granat yang berdetak di tangan Adrian yang sudah tak bernyawa.Tiga detik."DAVID, JANGAN MENDEKAT!" Alena berteriak panik. "GRANAT ITU AKAN—""AKU TIDAK AKAN MENINGGALKANMU!" David memotong seruan Alena sambil terus berlari, mengab
Ketegangan di udara seakan membeku ketika Adrian melangkah keluar dari balik pintu besi. Perban yang membalut dadanya berlumuran darah segar, namun senyuman yang terukir di wajahnya jauh lebih menakutkan daripada luka fisik yang dideritanya."Tidak mungkin," David bergumam, matanya terbelalak tidak percaya. "Aku melihatmu... kamu sudah—""Mati?" Adrian menyela dengan tawa yang menggema di dalam gudang. "Peluru Sarah memang mengenai dadaku, tapi tidak mengenai organ vital. Aku hanya pingsan karena kehilangan darah. Beruntung, aku sempat memakai rompi anti peluru tipis sebelum pertemuan malam ini."Alena merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Bayangan masa lalu yang telah dia coba kubur mendalam kini bangkit kembali, lebih menakutkan dari sebelumnya. "Adrian, ini sudah cukup. Lepaskan mereka semua.""Lepaskan?" Adrian melangkah lebih dekat, mengabaikan rasa sakit di dadanya. "Alena, kita belum menyelesaikan urusan kita. Kamu pikir dengan menikah dengan David, semua akan berakhir begitu sa