Alena merasa ada yang berbeda dalam sikap Adrian setelah makan malam itu. Meski mereka masih berinteraksi dalam konteks pekerjaan, ada nuansa baru yang sulit diabaikan. Adrian, yang selama ini terkenal dengan sikap profesionalnya yang sangat tegas dan kadang terkesan dingin, kini tampak lebih santai dan memperlihatkan perhatian yang lebih kecil namun bermakna.Di pagi hari, saat Alena tiba di kantor, Adrian menyapanya dengan senyum yang lebih hangat daripada biasanya. "Selamat pagi, Alena. Sudah sarapan?" tanyanya sambil melirik layar komputernya.Alena sempat terdiam sejenak. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tetapi ada sesuatu yang berbeda—ada perhatian yang lebih pribadi di baliknya. Ia tersenyum ragu, "Pagi, Pak Adrian. Belum, baru saja sampai."Adrian mengangguk, terlihat sedikit lebih rileks dari biasanya. "Jangan lupa makan, ya. Kerja jangan sampai lupa kesehatan."Alena hanya mengangguk, mencoba menjaga jarak meskipun ada rasa hangat yang mulai tumbuh di hatinya. Ia berusaha
Rapat internal itu berjalan seperti biasa, dengan Adrian memimpin diskusi tentang beberapa proyek perusahaan yang sedang berlangsung. Suasana profesional itu tiba-tiba berubah saat Adrian secara tidak sengaja membagikan cerita pribadi yang mengejutkan semua orang di ruangan. Semua mata tertuju pada Adrian, yang biasanya sangat terjaga dan tidak pernah mengungkapkan apa pun yang bersifat pribadi."Sebagai pemimpin, kadang saya merasa seolah-olah beban ini lebih berat daripada yang terlihat di luar," ujar Adrian tanpa sengaja, menanggapi sebuah pertanyaan dari salah satu tim yang meminta klarifikasi tentang arah perusahaan. "Tapi, saya rasa ini adalah bagian dari apa yang harus saya tanggung, terutama dengan ekspektasi keluarga yang selalu ada di belakang saya. Tidak mudah, tapi saya berusaha menjalani semuanya dengan cara terbaik."Suasana dalam ruangan mendadak hening. Semua orang yang hadir mulai saling pandang, terkejut dengan pengungkapan tersebut. Bahkan Alena, yang sudah lama bek
Malam itu, kantor terasa lebih sunyi daripada biasanya. Lampu-lampu neon yang biasa menyinari ruangan kini seolah menciptakan atmosfer yang lebih intim, dengan hanya suara ketikan keyboard dan gelegar layar komputer yang terdengar. Alena dan Adrian duduk berhadapan di ruang kerja, menyelesaikan laporan terakhir yang harus diserahkan ke klien esok pagi. Mereka telah bekerja hampir sepanjang hari, dan meskipun kelelahan mulai menghampiri, mereka tetap fokus pada tugas-tugas yang ada.Namun, di tengah keheningan yang semakin mendalam, Adrian menutup laptopnya lebih cepat dari yang Alena perkirakan. Ia berdiri dan menyentuh bahu Alena, memberi isyarat agar ia mengikuti."Yuk, kita istirahat sebentar," ujar Adrian dengan nada yang lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada sedikit beban di wajahnya.Alena memandang Adrian sejenak. Ini terasa aneh—karena biasanya ia jarang melihat Adrian mengajak orang lain untuk beristirahat di luar pekerjaan. Tapi dengan sedikit ragu, Alena mengikuti
Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rapat yang padat dan tenggat waktu yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam suasana kantor. Meskipun hari masih pagi, ada rasa tenang yang melingkupi Alena. Ia merasa lebih ringan, meskipun pekerjaannya masih menumpuk di meja.Alena sedang duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh dengan email dan laporan yang harus segera diselesaikan. Tiba-tiba, seorang asisten datang dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Alena menatapnya, bingung.“Ini untuk Anda, dari Pak Adrian,” ujar asisten itu sambil meletakkan kopi di meja Alena. “Ada catatan juga.”Alena mengambil secangkir kopi tersebut dan membaca catatan singkat yang terlipat di atasnya. Dengan tulisan tangan yang rapi, catatan itu bertuliskan:"Jangan terlalu memaksakan diri."Alena merasa terkejut. Ini bukan sekadar catatan biasa—ada sesuatu yang lembut dan perhatian dalam kata-kata itu. Meskipun sederhana, pesan tersebut terasa begitu pribadi. Adrian,
Hari-hari berlalu dengan Alena merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang semakin rumit. Setiap kali ia berinteraksi dengan Adrian, ia merasa ada ketegangan yang tidak bisa dihindari. Adrian yang dulunya selalu terlihat begitu tegas dan profesional, kini menunjukkan sisi lain yang lebih lembut dan perhatian—sisi yang membuat Alena bingung dan meragukan niatnya.Alena sering kali merenung tentang perubahan ini. Apakah perhatian Adrian yang semakin jelas adalah tanda bahwa ia mulai melihatnya sebagai lebih dari sekadar bawahan? Apakah semua itu hanya strategi untuk mempertahankan produktivitasnya, ataukah ada sesuatu yang lebih pribadi di baliknya? Setiap senyuman kecil, setiap pertanyaan yang lebih dalam tentang kehidupannya, semakin membuat Alena merasa cemas.Di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan. Di rumah, Reno semakin memperhatikan jarangnya Alena berada di rumah, dan kecemburuannya semakin jelas terlihat. Alena tahu bahwa meskipun ia mencob
Beberapa minggu setelah makan malam yang penuh ketegangan, Adrian semakin terbuka dalam menunjukkan perhatian kepada Alena. Tidak hanya di ruang rapat atau saat ada proyek besar yang harus diselesaikan, tetapi juga dalam momen-momen kecil yang selama ini tak pernah ada di antara mereka. Setiap kali mereka bertemu di kantor, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Adrian berbicara kepadanya—lebih hangat, lebih pribadi, seolah-olah mereka sudah melewati batas profesionalisme yang sebelumnya begitu jelas.Di acara-acara bisnis, di mana mereka biasanya bersikap sangat formal, kini Alena merasa bahwa Adrian lebih memperhatikannya. Ia selalu berada di sampingnya, berbicara dengannya lebih sering dibandingkan dengan rekan lainnya. Hal ini membuat banyak orang di sekitar mereka mulai memperhatikan perubahan yang mencolok.Vanessa, rekan kerja yang sejak awal tidak pernah suka pada Alena, mulai memperhatikan setiap gerakan mereka. Dari cara Adrian memperhatikan Alena saat berbicara, hingga seberap
Acara perusahaan itu berlangsung megah, dengan tamu-tamu penting yang memenuhi ruang ballroom yang luas. Lampu-lampu gantung berkilauan, sementara suara musik lembut mengalun di latar belakang, menciptakan suasana yang elegan. Semua orang mengenakan pakaian formal, dengan topik pembicaraan yang mengelilingi proyek terbaru dan pencapaian perusahaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu kejadian yang mengguncang suasana—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.Ketika Alena tiba di acara itu, ia segera disambut oleh beberapa rekan kerja yang sudah lebih dulu hadir. Namun, ia merasa sedikit canggung karena kesadarannya bahwa gosip tentang kedekatannya dengan Adrian semakin meluas. Alena berusaha mengabaikannya, berpikir bahwa jika ia tetap profesional, gosip itu akan mereda dengan sendirinya.Namun, segalanya berubah saat Adrian muncul dan melihat Alena di kerumunan. Tanpa ragu, ia melangkah menuju Alena dan berkata, “Lena, mari duduk di sini,” seraya menunjuk kursi yang terletak
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Alena dan Reno semakin terasa renggang. Meskipun Alena berusaha menjaga keseimbangan antara pekerjaannya dan kehidupan pribadinya, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan di kantor. Setiap kali ia pulang, Reno menunggu dengan tatapan yang penuh pertanyaan, namun Alena selalu menganggapnya sebagai bagian dari rutinitas pekerjaan yang harus dijalani.Namun, kali ini ada yang berbeda. Reno semakin sering melihat Alena melamun, matanya yang biasanya cerah kini tampak kosong. Pembicaraan mereka pun menjadi semakin jarang dan datar. Alena, yang biasanya ceria saat berada di rumah, kini lebih sering terfokus pada ponselnya, memeriksa email atau pesan dari rekan-rekannya di kantor.Suatu malam, setelah Alena pulang lebih larut dari biasanya, Reno menunggunya di ruang tamu, matanya penuh kekhawatiran. Alena meletakkan tas kerjanya dan melangkah lelah menuju ruang makan, berharap bisa menikmati waktu bersama Reno
Kantor desain grafis tempat Alena bekerja biasanya selalu dipenuhi energi kreatif dan tawa. Tapi hari ini, suasananya terasa berbeda begitu ia melangkah masuk. Beberapa rekan kerjanya melirik dengan tatapan penasaran, lalu berbisik-bisik. Alena berusaha mengabaikannya dan berjalan lurus menuju mejanya."Hei," sapa Dina yang sudah menunggunya di sana. "Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat."Alena mengangguk lemah. "Sudah ke kantor polisi tadi.""Bagaimana?" tanya Dina, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh yang lain."Mereka akan menyelidikinya. Tapi inspektur yang menangani kasusku mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir..."Sebelum Alena bisa melanjutkan, ponselnya berdering. Pesan dari Adrian."Sudah sampai kantor?"Alena memutar matanya, kelelahan dengan rutinitas ini. "Ya, baru saja," balasnya singkat."Dina sudah di sana?"Alena mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Bagaimana Adrian tahu Dina menunggunya?"Ya. Kenapa?" balasnya."Tidak apa-apa. Hanya bertanya. Jam makan siang
Alena terdiam di tengah apartemennya, pikirannya masih berkecamuk tentang pilihan sulit yang harus ia hadapi. Di satu sisi, ada Reno dengan ancaman nyatanya yang telah terbukti—foto-foto yang mengintip ke sudut paling privat kehidupannya. Di sisi lain, ada Adrian dengan cintanya yang semakin lama semakin terasa mengekang. Menghela napas panjang, ia memutuskan untuk pergi ke kantor polisi sebelum memulai harinya.Di kantor polisi, Alena menceritakan semua yang terjadi—dari keributan yang dibuat Reno di depan apartemennya dua minggu lalu, hingga foto-foto mengerikan yang Adrian tunjukkan pagi ini. Petugas polisi wanita yang menangani laporannya, Inspektur Ratna, mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat detail penting."Jadi, Anda belum melihat laporan resmi tentang penyelidikan ini? Hanya foto-foto yang ditunjukkan oleh kekasih Anda?" tanya Inspektur Ratna, alisnya terangkat sedikit."Benar," jawab Alena. "Adrian bilang dia sudah melaporkan ini ke polisi dan mengontak dete
Air mata mulai menggenang di mata Adrian. "Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu.""Aku tahu," Alena menggenggam tangan Adrian. "Dan aku juga mencintaimu. Tapi cinta seharusnya tidak terasa seperti ini—mencekik, mengawasi, menakutkan.""Apa kau tidak percaya padaku tentang Reno?" tanya Adrian, suaranya terdengar terluka.Alena menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin percaya. Tapi aku butuh bukti, Adrian. Kau bilang ada detektif, ada laporan, ada foto-foto. Tunjukkan padaku."Adrian melepaskan tangannya dari genggaman Alena, mundur selangkah. Ekspresinya berubah menjadi campuran terkejut dan... sesuatu yang lain. Kemarahan? Kekecewaan?"Kau tidak percaya padaku," katanya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan."Aku ingin percaya," ulang Alena. "Tapi aku juga perlu tahu bahwa semua ini nyata, bukan hanya... ketakutanmu yang berlebihan."Adrian terdiam lama, menatap Alena dengan tatapan yang sulit dibaca. Akhirnya, ia
"Berjanjilah kau akan selalu berhati-hati," bisik Adrian di telinganya."Aku janji," balas Alena, melepaskan diri dari pelukan itu dengan lembut. "Dan kau juga perlu berhati-hati, Adrian. Jangan biarkan ketakutan mengendalikanmu."Adrian menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi mengurungkan niatnya. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.Dalam perjalanan pulang, pikiran Alena dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan. Apakah Adrian mengatakan yang sebenarnya tentang Reno? Atau itu hanyalah taktik untuk membuatnya setuju pindah? Dan jika itu benar, seberapa besar bahaya yang mengancam mereka?Satu hal yang Alena yakini—hubungan mereka telah berubah. Dan keputusan yang ia buat selanjutnya akan menentukan arah perubahan itu, entah mengembalikan apa yang pernah mereka miliki, atau mendorong mereka ke jalur yang lebih gelap.Ketika taksi berhenti di depan gedung apartemennya, Alena menatap ke sekeliling dengan waspada, mencari tanda-tanda k
"Siapa?" tanya Adrian ringan, meskipun Alena bisa mendengar nada penasaran di balik pertanyaan itu."Oh, hanya Dina. Menanyakan kabar."Adrian mengangguk pelan, meletakkan tiramisu di hadapan Alena. "Kau dan Dina sangat dekat.""Ya, dia sahabat terbaikku sejak kuliah.""Apa yang kalian bicarakan saat makan siang kemarin?"Pertanyaan itu terasa seperti pukulan mendadak bagi Alena. "Apa?"Adrian mengangkat bahu, mencoba terlihat acuh tak acuh meskipun matanya menatap tajam. "Aku hanya penasaran. Kalian terlihat serius saat berbicara di kafe itu."Alena merasakan darahnya mulai berdesir. "Kau... memata-mataiku?""Tidak, tentu saja tidak," Adrian cepat-cepat menyangkal. "Aku kebetulan lewat dan melihat kalian. Aku tidak ingin mengganggu, jadi aku tidak mampir."Alena tidak sepenuhnya yakin dengan penjelasan itu, tetapi ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. "Kami hanya mengobrol tentang hal-hal biasa. Pekerjaan, kehi
"Kau tidak perlu melakukan ini," kata Alena pelan."Aku tahu. Tapi aku ingin." Adrian mengulurkan tangannya, dan setelah sedikit ragu, Alena menyambutnya. "Aku membawakanmu makan malam. Nasi goreng dari restoran favoritmu."Sentuhan hangat Adrian dan senyumnya yang tulus meluluhkan keraguan Alena. Mungkin ia memang terlalu sensitif. Mungkin ini hanyalah bentuk cinta Adrian yang berusaha melindunginya setelah kejadian traumatis.Ketika mereka masuk ke apartemen dan Adrian membantunya menata makan malam, Alena berusaha menyingkirkan kegelisahannya. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: sampai kapan Adrian akan terus seperti ini? Dan yang lebih penting, bagaimana jika ini bukan hanya fase sementara, melainkan perubahan permanen dalam hubungan mereka?Saat mereka makan dalam keheningan yang nyaman, Alena mencuri pandang ke arah Adrian. Ada ketegangan samar di bahunya, seolah ia selalu siaga. Matanya sesekali melirik ke arah jendela dan pintu, s
Setelah insiden dengan Reno, Adrian mulai berubah. Ia semakin sering menghubungi Alena, memastikan keberadaannya setiap saat. Awalnya, Alena menganggap ini sebagai bentuk perhatian, tetapi lama-kelamaan, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.Pagi itu, Alena terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Seperti biasa, ada pesan dari Adrian yang masuk tepat pukul enam pagi. "Sudah bangun? Jangan lupa sarapan." Alena tersenyum kecil membaca pesan itu. Ini adalah hari ketujuh berturut-turut Adrian mengiriminya pesan pagi. Sementara ia bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman, ponselnya kembali bergetar. Pesan lain dari Adrian."Hari ini jadwalmu apa saja? Beritahu aku ke mana kau akan pergi."Alena mengernyitkan dahinya. Pertanyaan ini juga menjadi rutinitas baru. Setiap pagi, Adrian selalu menanyakan jadwalnya dengan detail—ke mana ia akan pergi, dengan siapa, dan berapa lama. Pada awalnya, Alena merasa tersanjung. Setelah lima tahun bersama, Adrian masih memperhatikan detail-detail kecil dal
"Seorang jurnalis dari Bisnis Metro meneleponku pagi ini. Mereka akan mempublikasikan artikelnya besok." Alena mengalihkan pandangannya ke danau. "Jadi, apapun yang ingin kau katakan, tolong pertimbangkan bahwa besok, seluruh Jakarta akan tahu tentang hubungan kita."Adrian mengusap wajahnya, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi marah. "Aku akan menelepon pengacaraku sekarang juga. Kita bisa mengajukan gugatan pencemaran nama baik.""Dan membuat skandal ini semakin besar?" Alena menggelengkan kepalanya. "Bukan itu yang kuinginkan, Adrian.""Lalu apa yang kau inginkan, Lena?" Adrian menatapnya lekat. "Katakan padaku, dan aku akan melakukannya. Apapun."Alena menarik napas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk kata-kata yang akan ia ucapkan. "Aku ingin mengundurkan diri dari Pratama Group.""Apa? Tidak, Lena. Itu tidak perlu—""Aku sudah memikirkannya semalaman, Adrian. Ini keputusan yang terbaik.""Tapi karirmu di sana—"
Alena berjalan ke arah jendela, memandangi titik-titik hujan yang menghantam kaca dengan ritme acak. Bayangan Adrian yang menjauh di bawah guyuran hujan masih terlihat jelas di matanya. Tangannya bergetar saat ia mengambil ponsel dari saku dan membuka galeri foto. Di sana, foto pertama yang ia lihat adalah dirinya bersama Adrian di pantai Bali tiga minggu lalu—hari-hari bahagia yang kini terasa begitu jauh."Apa yang harus kulakukan?" bisiknya pada keheningan apartemen.Ponselnya berdering—sebuah pesan dari Reno."Maafkan aku soal tadi. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Aku hanya ingin kau mengetahui faktanya sebelum terlalu jauh terlibat. Jika kau butuh teman bicara, aku selalu ada untukmu."Alena menatap pesan itu lama. Lima tahun bersama Reno telah memberinya keamanan dan stabilitas—meski tanpa gairah yang ia rasakan bersama Adrian. Reno adalah pilihan aman, pilihan yang akan disetujui keluarga dan teman-temannya.Tapi Adrian... Adrian adalah badai yang mengacaukan semua keterat