Hari-hari terus berlalu, tetapi beban yang dirasakan Reno semakin berat. Meskipun ia telah mendapatkan pekerjaan sebagai teknisi lepas, penghasilannya tidak cukup untuk menutupi kebutuhan rumah tangga mereka. Reno mulai merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Ia adalah seorang suami, seorang pria yang seharusnya menjadi penopang keluarga, tetapi situasi sekarang membuatnya merasa gagal.
Setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat Alena yang sibuk dengan kerajinan tangannya, Reno tidak bisa menghindari rasa bersalah yang menghantui. Ia mulai membandingkan dirinya dengan suami-suami lain yang memiliki pekerjaan tetap dan mampu memberi istri mereka kehidupan yang lebih layak.
“Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” pikir Reno dalam hati.
Pada suatu malam, Reno dan Alena duduk bersama di meja makan. Reno tampak gelisah, jarang mengangkat pandangan dari piringnya. Alena, yang mulai menyadari perubahan sikap suaminya, mencoba membuka pembicaraan.“Ren, apa yang kamu pikirkan? Akhir-akhir ini kamu kelihatan murung,” tanya Alena dengan lembut.
Reno menggeleng pelan, berusaha menghindari tatapan istrinya. “Tidak ada, Lena. Aku hanya lelah.”
Namun, Alena tahu itu bukanlah jawaban yang sebenarnya. Ia menyentuh tangan Reno, mencoba memberinya rasa nyaman. “Kamu tahu, Ren, aku ada di sini untukmu. Apa pun yang kamu rasakan, aku ingin tahu. Kita bisa melewati semuanya bersama, seperti biasa.”
Kata-kata itu seharusnya memberi Reno rasa tenang, tetapi justru membuat hatinya terasa lebih berat. Ia menarik tangannya perlahan, menunduk dengan wajah penuh penyesalan. “Aku tidak seperti biasa lagi, Lena. Aku tidak bisa memberimu kehidupan yang layak. Aku bahkan tidak bisa memastikan kita punya cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari. Apa gunanya aku sebagai suami?”
Alena terkejut mendengar Reno berbicara seperti itu. Ia mendekat, memeluk Reno dengan erat. “Kamu adalah suami yang baik, Ren. Jangan pernah meragukan itu. Kita memang sedang berada di masa sulit, tapi itu tidak membuatku berpikir lebih rendah tentangmu. Kamu sudah berjuang sekeras mungkin, dan itu yang penting bagiku.”
Meski Alena berusaha menghibur, Reno tetap merasa ada dinding tak terlihat yang mulai tumbuh di antara mereka. Ia merasa bahwa perjuangan mereka sekarang lebih banyak ditopang oleh Alena daripada dirinya, dan itu melukai harga dirinya sebagai pria. Ia mulai lebih sering menyendiri, menghabiskan waktu di luar rumah lebih lama dengan alasan mencari pekerjaan tambahan.Namun, di dalam hatinya, Reno mulai merasa hampa. Ia sering berjalan tanpa tujuan di jalanan kota, merenungkan nasibnya yang tidak kunjung membaik. Ia mengingat impian-impian yang dulu pernah ia ceritakan kepada Alena—membelikan rumah yang lebih besar, membawa Alena berlibur, memberikan kehidupan yang layak. Semua itu kini terasa seperti bayangan yang semakin jauh.
Satu malam, ketika Reno pulang larut, Alena menunggunya di ruang tamu. Wajahnya penuh kecemasan, tetapi juga tersirat kelelahan.“Ren, kenapa kamu pulang selarut ini? Aku khawatir,” tanya Alena, mencoba tetap tenang.
Reno menatapnya dengan mata yang lelah. “Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, Lena. Aku tidak ingin pulang dengan membawa semua beban ini.”
“Tapi aku juga ada di sini untuk membantumu. Kamu tidak harus memikul semuanya sendirian. Aku suamimu, Ren. Kita adalah tim,” kata Alena, suaranya bergetar.
Namun, Reno, dalam keadaannya yang penuh emosi, membalas dengan suara yang sedikit meninggi. “Tim apa, Lena? Aku bahkan tidak merasa seperti aku berkontribusi apa-apa! Kamu yang melakukan segalanya sekarang. Aku ini cuma beban untukmu!”
Kata-kata itu menusuk hati Alena. Ia tidak menyangka Reno merasakan hal seperti itu, dan lebih dari itu, menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan yang terjadi.
Alena Tetap Bertahan
Meski sakit hati mendengar perkataan Reno, Alena tahu bahwa semua itu lahir dari rasa frustrasi dan keputusasaan yang Reno pendam. Ia menahan air matanya dan mencoba merangkul Reno lagi. “Kita akan keluar dari ini, Ren. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai beban. Kamu adalah alasan aku tetap kuat. Tolong jangan pernah melupakan itu.”Reno akhirnya menangis dalam pelukan Alena, meluapkan segala rasa yang selama ini ia pendam. Meski perasaan rendah dirinya belum sepenuhnya hilang, ia tahu bahwa Alena tidak akan menyerah padanya.
Malam itu, mereka berdua tidur dengan hati yang sedikit lebih tenang, meski masih dibayangi oleh tantangan yang belum selesai. Reno tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk bangkit, bukan hanya demi Alena, tetapi juga demi dirinya sendiri.Namun, dalam benaknya, ia tidak bisa menghindari pertanyaan besar yang terus menghantuinya: “Sampai kapan aku bisa bertahan dalam keadaan seperti ini?”
Di gedung pencakar langit tempat kantor pusat Hartono Group, suasana yang biasanya sibuk dan energik kini berubah menjadi mencekam. Karyawan berbisik-bisik di pantry, meeting-meeting ditunda, dan yang paling mencolok—beberapa ruangan eksekutif terlihat kosong.Adrian berdiri di ruang boardroom, menghadapi jajaran direksi dan investor utama perusahaan. Wajah-wajah yang dulu selalu mengangguk setuju pada setiap keputusannya kini terlihat skeptis dan khawatir."Gentlemen," kata Adrian membuka rapat darurat itu, "I know why we're all here. Dan aku mau address elephant in the room secara langsung."Robert Tanaka, investor Jepang yang sudah bekerja sama dengan Hartono Group selama sepuluh tahun, berdehem. "Adrian-san, we are very concerned about recent... developments. Our company in Japan is receiving many questions from media.""Dan kami sudah dapat pressure from our shareholders," tambah David Kim dari Korea. "They questioning why we still in business with company yang leadership-nya inv
Cafe Kopi Keliling di Kemang masih sama seperti yang Alena ingat—interior kayu yang hangat, aroma kopi yang menenangkan, dan sudut-sudut cozy yang pernah menjadi saksu bisu percakapan-percakapan manis mereka di masa pacaran. Tapi kali ini, suasananya terasa berat dengan ketegangan yang tidak terucapkan.Reno sudah duduk di meja pojok yang dulu menjadi favorit mereka, menatap cangkir kopi yang belum ia sentuh. Ketika melihat Alena masuk, ia tidak tersenyum seperti dulu. Hanya menatap dengan mata yang penuh pertanyaan dan kelelahan.Alena berjalan dengan langkah ragu, merasakan setiap pasang mata di cafe itu mengikutinya. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja—efek dari menjadi pusat perhatian media selama berhari-hari."Hai," katanya pelan sambil duduk di hadapan Reno."Hai."Keheningan yang awkward. Alena memesan kopi yang sama seperti dulu—caffe latte dengan extra shot, tanpa gula. Reno masih ingat pesanannya, terlihat dari cara ia menatap pelayan yang mengambil order."Reno, aku—"
Sementara Alena bersiap menghadapi pertemuan yang bisa menentukan masa depan pernikahannya, di sebuah cafe di kawasan Menteng, Sophia Hartono duduk santai sambil menyesap kopi hitamnya. Laptop MacBook Air terbuka di hadapannya, jari-jemarinya menari di atas keyboard dengan gerakan yang terlatih.Ia tersenyum tipis sambil membaca draft email yang baru saja ia selesaikan. Subject line-nya sederhana tapi menggigit: "EXCLUSIVE: More Evidence in Adrian Hartono Scandal - Internal Sources Speak Out."Sophia membuka beberapa tab browser—Kompas.com, Detik.com, CNN Indonesia, Tempo.co. Ia sudah riset tentang jurnalis mana yang paling agresif dalam mengcover skandal semacam ini, editor mana yang paling responsif terhadap tip anonim, dan media mana yang paling tidak takut menghadapi tekanan dari konglomerat."Perfect," bisiknya sambil meng-attach file-file yang sudah ia siapkan dengan cermat.File pertama: screenshot percakapan WhatsApp antara Adrian dan seseorang yang ia sebut "A" (yang jelas me
Alena hampir menabrak Nadira yang sudah berdiri gelisah di depan pintu ruangan Adrian."Len! Apa yang terjadi? Kamu pucat sekali!""Kita harus pergi. Sekarang juga," kata Alena sambil menarik tangan Nadira menuju lift."Tapi—""Please, Nadi. Aku akan cerita nanti. Sekarang kita harus pergi dari sini."Mereka baru sampai di lobby ketika ponsel Alena berdering. Nama "Reno" muncul di layar.Alena menatap ponsel itu seolah melihat bom yang akan meledak. Sudah berhari-hari ia menghindari panggilan dari suaminya, tapi kali ini..."Angkat," kata Nadira lembut. "Kamu harus menghadapinya cepat atau lambat."Dengan tangan gemetar, Alena mengangkat telepon."Halo?" suaranya hampir tak terdengar."Alena." Suara Reno terdengar berbeda. Bukan marah seperti yang ia kira, tapi... lelah. Sangat lelah."Reno, aku—""Jangan bilang apa-apa dulu. Aku cuma mau tanya satu hal, dan aku mau jawaban jujur. Bisa?"Alena menelan ludah. "Iya.""Apakah ini yang kamu pilih? Apakah... apakah pria itu lebih penting d
Keesokan paginya, ketika Alena masih terbaring di tempat tidur masa kecilnya dengan mata bengkak karena menangis sepanjang malam, ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenal."Halo?""Alena, ini Sarah, sekretaris Mr. Adrian. Bapak minta Anda datang ke kantor hari ini. Ada hal penting yang perlu dibicarakan."Alena duduk tegak. "Katakan pada dia, aku tidak akan datang.""Ibu Alena," suara Sarah terdengar tidak nyaman, "Bapak bilang... ini menyangkut masa depan Anda. Dan dia berjanji ini akan jadi pertemuan terakhir."Setelah menutup telepon, Alena menatap layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Bagian dari dirinya ingin mengabaikan panggilan itu sama sekali, tapi bagian lain—bagian yang sudah terlanjur terjerat dalam permainan Adrian—merasa penasaran dengan apa yang ingin dikatakan pria itu.Nadira, yang sudah menginap di rumah Alena sejak malam sebelumnya, langsung menggeleng ketika mendengar rencana Alena."Len, ini trap. Dia cuma mau manipulasi kamu lagi.""Tapi bagaimana kalau
Reno duduk di ruang kerjanya yang sepi, menatap layar laptop dengan mata yang memerah. Artikel demi artikel tentang skandal Adrian Hartono terbuka di berbagai tab browser. Tapi yang membuatnya benar-benar terpukul adalah foto-foto itu—foto Alena tersenyum di samping pria lain, foto mereka berdua yang terlihat begitu intim di restoran mewah.Restoran yang sama tempat Reno dulu bermimpi mengajak Alena untuk merayakan anniversary pernikahan mereka yang kelima."Pak Reno?" Sinta, asistennya, mengetuk pintu dengan hati-hati. "Meeting dengan klien Jepang dimulai lima belas menit lagi.""Cancel," jawab Reno tanpa mengalihkan pandangan dari layar."Tapi Pak, ini meeting yang sudah dijadwalkan sejak—""AKU BILANG CANCEL!" bentak Reno dengan suara yang membuat Sinta tersentak mundur.Setelah Sinta pergi, Reno menutup laptop dengan keras. Tangannya gemetar, entah karena marah atau sakit hati. Atau mungkin keduanya.Selama berbulan-bu