Setelah malam penuh harapan itu, Alena menyadari bahwa ia perlu melakukan lebih banyak untuk membantu keluarga mereka. Dengan Reno yang sibuk bekerja sebagai teknisi lepas, Alena memutuskan untuk mencari pekerjaan tambahan di luar rumah. Namun, tanpa pengalaman kerja yang memadai dan hanya berbekal ijazah SMA, perjalanan Alena untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah.
Pagi itu, Alena berpakaian rapi dengan blus sederhana dan rok panjang. Ia menggendong tas kecil yang berisi beberapa lembar fotokopi ijazah dan surat lamaran yang sudah ia tulis semalaman. Ia pergi dari satu toko ke toko lain di pusat kota, menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan yang tersedia.
Namun, jawaban yang ia terima hampir selalu sama. “Maaf, kami sudah penuh.” atau “Kami mencari seseorang dengan pengalaman minimal dua tahun.” Alena merasa kecewa, tetapi ia terus berjalan, mencoba lebih banyak tempat.
Di sebuah kafe kecil, seorang manajer memberinya kesempatan untuk wawancara. Ia merasa lega, tetapi ketika ditanya tentang pengalamannya bekerja di bidang pelayanan, Alena hanya bisa menggeleng. “Saya belum pernah bekerja di tempat seperti ini sebelumnya, tetapi saya cepat belajar dan saya bisa bekerja keras,” jawabnya dengan suara yakin.
Manajer itu tersenyum tipis. “Kami akan menghubungi Anda jika ada perkembangan, Bu Alena.” Meskipun jawabannya tidak pasti, Alena tetap berterima kasih dan meninggalkan kafe dengan harapan kecil di hatinya.
Malam harinya, Alena duduk di ruang tamu sambil menunggu Reno pulang. Ia merasa lelah secara fisik dan emosional. Ketika Reno tiba, ia langsung melihat raut wajah Alena yang lesu.
“Bagaimana harimu, Lena?” tanya Reno sambil duduk di sampingnya.
Alena menghela napas panjang. “Aku mencoba mencari pekerjaan, tapi rasanya sulit sekali. Semua tempat yang aku datangi membutuhkan pengalaman yang aku tidak punya.”
Reno menggenggam tangan Alena, mencoba menghiburnya. “Kamu sudah berusaha, Lena. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita tidak boleh menyerah.”
Setelah berbicara dengan Reno, Alena mulai memikirkan cara lain untuk membantu. Ia kembali fokus pada kerajinan tangannya dan memutuskan untuk mencoba menjual produknya di media sosial. Dengan bantuan salah satu teman lamanya, Alena belajar cara memotret produknya dengan menarik dan mengunggahnya secara online. Dalam waktu singkat, ia mulai menerima pesan dari calon pembeli yang tertarik.
Meski hasilnya belum banyak, Alena merasa sedikit lebih optimis. Ia menyadari bahwa meskipun ia belum berhasil mendapatkan pekerjaan di luar rumah, ia masih memiliki cara untuk mendukung keluarganya. Perjuangannya baru saja dimulai, tetapi ia yakin bahwa ia tidak sendirian.
Setelah beberapa minggu mencoba menjual kerajinan tangannya secara online, Alena mulai melihat perubahan kecil. Beberapa pembeli mulai memberikan ulasan positif tentang produknya. Mereka memuji keunikan desainnya dan ketelitian dalam setiap detail. Ulasan-ulasan ini memberikan Alena semangat baru. Dengan Reno yang sibuk bekerja sebagai teknisi lepas, Alena memutuskan untuk memperluas jangkauan usahanya.
Ia menggunakan sebagian kecil dari uang pesangon Reno untuk membeli bahan-bahan yang lebih berkualitas. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia duduk di meja kerjanya untuk membuat kerajinan baru. Reno sering menemani Alena di meja makan, mengobrol sambil mengawasi istrinya yang bekerja tanpa lelah.
“Aku tidak pernah menyangka, Lena, bahwa kamu punya bakat sebesar ini,” kata Reno suatu malam, sambil memerhatikan tangan Alena yang lincah merangkai perhiasan dari manik-manik kaca.
Alena tersenyum kecil. “Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, Ren. Semua ini untuk kita.”
Namun, seperti semua usaha, tantangan tidak bisa dihindari. Alena menghadapi masalah dengan beberapa pembeli yang membatalkan pesanan secara mendadak, serta pengiriman barang yang terlambat. Ia mulai merasa kewalahan, tetapi tidak ingin menyerah. Ia mencari cara untuk mengatasi masalah ini dengan membaca tips dan pengalaman orang lain yang juga berbisnis online.
Reno, meski lelah setelah seharian bekerja, selalu mendukung usaha Alena. Ia membantu dengan membungkus pesanan dan mengantarkannya ke jasa pengiriman. Mereka mulai bekerja sebagai tim, saling melengkapi satu sama lain.
“Kita mungkin tidak punya banyak sekarang, Lena, tapi kita punya satu sama lain,” kata Reno sambil menggenggam tangan Alena. “Itu lebih dari cukup untuk membuatku terus berjuang.”
Di tengah-tengah perjuangannya, Alena mendapatkan pesan dari seorang pelanggan yang ternyata adalah pemilik butik lokal. Wanita itu, bernama Marsha, tertarik dengan kerajinan Alena dan ingin menjual produknya di butik tersebut. Pertemuan pertama mereka berlangsung di sebuah kafe kecil. Alena, meski gugup, mencoba menjelaskan ide dan visi di balik produknya.
“Saya suka semangat Anda,” kata Marsha setelah mendengar penjelasan Alena. “Kita bisa mencoba menjual produk Anda di butik saya. Kalau berhasil, kita bisa memperpanjang kerja sama.”
Berita ini membawa kegembiraan besar bagi Alena. Ia pulang ke rumah dengan wajah ceria, menceritakan segalanya kepada Reno. “Akhirnya ada peluang besar untuk kita, Ren!” katanya dengan penuh semangat.
Kepercayaan yang diberikan Marsha membuat Alena semakin bersemangat untuk bekerja keras. Ia mulai merancang lebih banyak produk, memperhatikan setiap detail untuk memastikan kualitasnya. Reno, meskipun masih menghadapi tekanan dari pekerjaannya sebagai teknisi lepas, merasa bangga melihat istrinya berkembang.
Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Reno berkata, “Aku tahu kita belum keluar dari masa sulit ini, tapi aku merasa yakin bahwa masa depan kita akan lebih cerah.”
Alena tersenyum, menatap Reno dengan mata yang penuh harapan. “Selama kita bersama, aku percaya kita bisa menghadapi apa pun, Ren.”
Dia akhirnya siap mengakui kebenaran yang selama ini mencakar dadanya.Dia siap mengakui bahwa dia tidak pernah benar-benar berhenti mencintai Adrian.Pikiran itu menghantamnya seperti hantaman fisik, mencuri napasnya. Tangannya bergetar saat ia meraih ponsel—lalu berhenti. Apa yang harus ia katakan? Kalimat seperti apa yang bisa mewakili kekacauan emosi yang berputar dalam dirinya?Aku salah. Aku berbohong pada diriku sendiri. Aku berbohong padamu. Aku berbohong pada semua orang.Kupikir aku bisa memilih rasa aman daripada hasrat. Kupikir aku bisa memilih kestabilan daripada kekacauan yang datang bersamaan dengan mencintaimu.Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa pura-pura lagi.Suasana kafe dipenuhi dengung pelan kehidupan orang lain. Mahasiswa mengetik di laptop, pasangan berbincang lirih, teman-teman tertawa pelan. Semua orang itu hidup dalam dunia yang mendadak terasa asing baginya.Dia sudah hidup dalam dunia itu selama dua tahun. Dunia cinta yang normal, dapat diprediksi, dan ama
“Kamu mencintaiku seperti mencintai tempat yang aman. Seperti mencintai pelarian yang nyaman. Tapi kamu nggak jatuh cinta padaku. Kamu jatuh cinta pada dia.”“Dia itu beracun, Reno. Dia manipulatif, dia—”“Tapi dia yang membuatmu hidup. Dia yang menantangmu. Dia yang bikin kamu merasa penuh. Sesuatu yang nggak bisa aku berikan.”“Itu bukan cinta. Itu obsesi.”“Mungkin. Tapi itu yang kamu mau. Yang selalu kamu mau.”“Aku nggak mau dikendalikan.”“Bukan dikendalikan yang kamu cari. Kamu cari intensitas itu. Kamu cari api itu. Kamu cari rasa hidup yang meledak-ledak, meski itu bisa membakar habis kamu.”“Api membakar, Reno.”“Dan kenyamanan itu membosankan.”Kata-katanya seperti tamparan. Alena menatapnya, terdiam.“Aku ini ‘aman’ buat kamu, ya?” lanjut Reno. “Aku pria yang kamu pilih bukan karena kamu nggak bisa hidup tanpaku, tapi karena aku baik untukmu. Karena aku mudah untuk dicintai.”“Itu nggak benar.”“Itu sangat benar. Dan aku sudah terlalu lama pura-pura nggak tahu. Tapi aku n
“Karena setiap aku bersamamu, aku langsung masuk ke peran 'pacarnya Reno'. Aku berhenti mikirin keinginanku sendiri, dan mulai mikir tentang keinginanmu.”“Aku gak pernah minta itu.”“Kamu gak perlu minta. Itu sudah jadi kebiasaan. Sudah jadi bagian dari caraku mencintai.”Reno menatapnya, seperti tak percaya.“Jadi semua ini... hanya pura-pura?” bisiknya.“Bukan pura-pura. Aku mencintaimu. Tapi aku mencintaimu sambil kehilangan diriku sendiri. Aku mencintaimu sambil terus bertanya dalam hati: ‘Apa yang Reno butuhkan?’ dan melupakan apa yang aku butuhkan.”“Kamu hanya sedang terlalu mikir. Kita bisa atasi ini. Kita bisa belajar komunikasi yang lebih baik. Memberi ruang.”“Aku sudah coba, Reno. Aku coba tetap punya kehidupan sendiri. Teman-teman sendiri. Pendapat sendiri. Tapi sedikit demi sedikit, semuanya hilang. Sama seperti waktu aku bersama Adrian. Hanya beda bentuk.”“Aku bukan Adrian.”“Aku tahu. Kamu bukan dia. Kamu baik. Kamu perhatian. Kamu mendukungku. Tapi aku tetap hilang
Reno duduk di dalam mobilnya, terparkir di depan apartemen Alena. Kedua tangannya menggenggam erat setir, sampai buku-buku jarinya memutih. Sudah dua puluh menit ia duduk di sana, memandangi jendela unit Alena, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal yang harus ia lakukan.Ponselnya bergetar—balasan yang tak kunjung datang dari pesan terakhirnya, tiga jam lalu. Sama seperti lima pesan sebelumnya. Sama seperti belasan pesan kemarin. Polanya sudah terlalu familiar dan menyakitkan dalam beberapa minggu terakhir.Ia memejamkan mata, mengingat sosok perempuan yang ia cintai dua tahun lalu. Alena yang dulu selalu tersenyum saat melihatnya, yang tak pernah lupa mengirimkan pesan ‘selamat pagi’, yang selalu menyempatkan diri meski sesibuk apa pun. Gadis itu kini terasa seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda.Alena yang sekarang... asing. Jauh. Pikirannya selalu di tempat lain, matanya lebih sering menatap layar ponsel, mulutnya dipenuhi alasan. Bahkan saat bersamanya, rasany
Tiga hari setelah percakapannya dengan Maya di tengah hujan, Alena berdiri di depan gedung apartemen Adrian, membawa sebuah kotak kecil berisi barang-barangnya. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena beratnya keputusan yang akan ia buat—dan kali ini, keputusan itu final.Ia menelepon Adrian satu jam sebelumnya, dengan suara yang tenang meski dadanya terasa seperti medan perang."Aku akan datang. Kita perlu bicara.""Alena, syukurlah. Aku sudah memikirkan semua yang kamu katakan, dan aku—""Adrian, cukup. Tolong... cukup. Ini bukan untuk berbicara. Ini perpisahan."Hening. Lalu: "Apa maksudmu?""Maksudku, aku selesai. Kita selesai. Aku akan mengembalikan barang-barangmu dan mengatakan apa yang perlu kukatakan.""Kamu pasti bercanda.""Aku belum pernah seyakini ini sepanjang hidupku.""Tapi kita bisa memperbaikinya. Aku bisa berubah. Aku bisa jadi lebih baik.""Tidak, kamu tidak bisa. Dan aku tak bisa terus berpura-pura menunggu kamu berubah.""Alena, tolong. Jangan
Adrian berdiri di dalam kantornya yang kosong, memandangi kursi tempat Alena duduk beberapa jam lalu. Keheningan di ruangan itu terasa memekakkan telinga. Ponselnya terus berdering—investor, rekan bisnis, orang-orang yang masih percaya pada citra sempurna yang ia bangun—tapi ia bahkan tak sanggup mengangkatnya.Tatapan Alena masih terbayang jelas di kepalanya. Penuh rasa muak. Penuh kepastian. Bukan seharusnya ini cara mereka berakhir.Tangannya gemetar saat ia mengambil ponsel dan menggulir daftar kontak. Lalu berhenti pada satu nama yang sudah berbulan-bulan tak ia hubungi—David. Teman sekamarnya saat kuliah, salah satu dari sedikit orang yang mengenalnya sebelum semua berubah—sebelum hidupnya jadi soal kendali dan manipulasi.“Adrian? Astaga, udah berapa lama? Enam bulan?”“David... aku butuh bicara.”“Kau terdengar kacau. Ada apa?”“Semuanya hancur. Perempuan yang aku cintai baru saja meninggalkanku.”“Alena? Yang sering kau ceritakan itu?”“Dia nggak ngerti. Dia pikir aku monster.