"Jadi begitu saja, Tama!" Samuel dan Tama masih berunding di ruang kerja Samuel saat interkom berbunyi dan Samuel mengangkatnya. "Halo?" "Halo, Pak Samuel. Maaf mengganggu, ini dari resepsionis."Samuel mengernyit. Tidak biasanya resepsionis langsung meneleponnya."Ada apa?" "Itu ... maafkan aku langsung menelepon Anda, tapi ini tentang Bu Nadine ...." Samuel makin mengernyit. "Ada apa dengan Bu Nadine?" "Barusan dia bersama Pak Evan ... sepertinya mereka bertengkar, lalu Pak Evan menariknya ke ruang tangga darurat di dekat lift lobby. Kami tidak berani mengintip, Pak." Samuel langsung menegang mendengarnya. "Apa? Evan berani menarik Nadine? Aku ke sana sekarang!" "Ada apa, Samuel? Ada apa?" Tama terus bertanya, tapi Samuel tidak menjawabnya lagi dan langsung berlari kecil pergi dari sana. Tama hanya bisa menyusulnya sambil terus bertanya. Samuel menjelaskan dengan cepat sampai Tama ikut emosi mendengarnya. Tanpa mereka ketahui, di dalam ruangan itu, Nadine sedang bertahan k
"Dia terlihat kecewa!" seru Tama saat pertemuan sudah berakhir dan ia sudah ada di ruangan Samuel sore itu."Biarkan saja, Tama! Dia harus tahu kalau ada aku di depan Nadine, aku tidak akan membiarkan dia mendekatinya lagi." "Ya, aku juga kesal dengan pria brengsek itu. Apa menurutmu tunangannya tahu tentang ini?" "Dari tipe tunangannya yang meledak-ledak, kalau dia tahu Evan mendekati Nadine lagi, pasti dia akan menggila. Jadi kurasa dia belum tahu." "Perlukah kita memberitahu tunangannya?" Samuel mengangkat bahunya. "Kurasa saat ini belum perlu. Nadine sudah menghindar secara baik-baik. Kita tunggu saja apa yang akan dia lakukan selanjutnya." "Ya, baiklah! Ah, urusan wanita membuatmu cukup stres akhir-akhir ini. Tapi pastikan perasaanmu berbalas dulu, Samuel. Jangan mengorbankan terlalu banyak untuk wanita yang tidak membalas cintamu!" Samuel langsung melirik tajam pada sahabatnya itu dan Tama langsung tergelak merasakan lirikan itu. Sementara itu, Evan sudah sangat gelisah.
Aurel tidak tahan lagi. Begitu lama ia mengamati Evan yang tidak kunjung pergi dari perusahaan Samuel, sampai setelah Evan pergi, akhirnya gantian dirinya yang mencari Nadine. Dan di sinilah Aurel, berdiri berhadapan dengan Nadine, wanita yang awalnya ia remehkan, tapi sekarang berubah menjadi wanita yang ia benci. Nadine sendiri membelalak kaget melihat Aurel, wanita yang tidak ia sangka dan tidak ia harapkan juga. Nadine tidak mau berurusan lagi dengan Evan maupun Aurel. Namun, alih-alih tidak berurusan lagi, mereka malah berada begitu dekat seperti saat ini. "Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nadine dengan ekspresi penuh permusuhan. Aurel sempat tersenyum sejenak, sebelum ia mulai berbicara. "Aku baru tahu kalau kau bekerja di sini sebagai asisten CEO, pekerjaan yang pastinya membanggakan kan?" "Bisakah kau tidak bertele-tele, Aurel? Langsung saja katakan apa tujuanmu ke sini!" Aurel mendengus kesal. "Seharusnya kau sudah tahu apa tujuanku kan? Kau bekerja sama den
Perjalanan pulang terasa sepi karena tiba-tiba Samuel dan Nadine sama-sama berpikir keras tentang pengirim makanan misterius itu. Sampai akhirnya Samuel tidak tahan lagi dan langsung bertanya. "Apa mungkin Evan yang mengirimimu makanan, Nadine?" Nadine menoleh menatap Samuel dan tidak mau membuat pria itu berpikiran yang tidak-tidak. "Ah, tidak mungkin. Besok aku akan menanyakannya, tidak usah berpikiran macam-macam!" "Nadine, kalau dia berani mendekat ...." "Aku akan melaporkannya padamu, aku sudah tahu, tenang saja!" Samuel mengangguk, tapi ekspresinya tidak bisa berhenti cemas. Entah apa maunya Evan, padahal mereka sudah putus cukup lama dan Evan sudah bertunangan, tapi mendadak Samuel merasa Evan punya maksud terselubung lagi pada Nadine. Nadine sendiri sama was-wasnya dan langsung mencari office girl itu keesokan harinya, tapi ia tidak kunjung menemukannya. Di saat yang sama, Evan sendiri sedang melajukan mobilnya ke perusahaan Samuel sambil membawa cemilan lain untuk Na
"Ayo kita ke sana!" Samuel terus menggandeng Nadine berjalan di mall sampai mereka tiba di sebuah butik dan Samuel pun mengajak Nadine masuk ke sana. "Eh, mengapa ke butik? Kita kan mau makan." "Sebentar saja! Aku mau melihat baju dulu." "Tapi itu kan butik wanita." "Sudah, ikut saja!" Samuel terus menarik Nadine bersamanya masuk ke butik mewah, hanya ada baju-baju bagus dan mahal di sana sampai tatapan Nadine terus berbinar-binar menatap barang-barang yang tidak akan pernah dibelinya itu. Bukan karena tidak ada uang, tapi sekalipun ada uang, Nadine terlalu sayang uangnya untuk membeli barang-barang branded seperti itu. "Lihatlah setelan kerja ini, bagus sekali! Kurasa cocok untukmu!" Samuel meraih setelan di hanger itu dan menempelkannya ke tubuh Nadine. "Tidak cocok! Aku tidak mau! Tidak usah membelikan aku apa-apa!" "Tapi ini cocok untukmu, Nadine." "Tapi aku tidak mau, Pak. Aku masih punya banyak baju kerja. Kita keluar saja!" "Nanti dulu, Nadine! Ini bagus sekali! Ya
Nadine: "Apa kau ada waktu untuk makan malam bersama?" Nadine terus mengulum senyumnya saat mengirim pesan pada Samuel. Pria itu pergi bersama Tama sejak pagi dan Nadine belum melihatnya, tapi ia sudah mengirim makan siang untuk Nadine sampai Nadine terus berbunga-bunga. "Aku akan membalas makan siang hari ini dengan makan malam," gumam Nadine sambil menikmati pizza dan jusnya. Bahkan, Nadine tidak mau berbagi dengan temannya dan ingin memakan sendiri semua pemberian Samuel itu. Tanpa Nadine ketahui, office girl yang tadi mengantar makanannya pun mengambil gambar Nadine dan mengirimkannya pada Evan. Evan sampai terus tersenyum di mobilnya. "Kerja bagus! Ternyata makanan favoritnya masih sama seperti dulu. Oh, dia cantik sekali saat sedang tertawa seperti itu. Nadine ...." Evan pun masih menatap foto Nadine saat suara telepon mengejutkannya. Evan langsung mengangkat teleponnya dengan suara yang normal kembali. "Kau di mana?" Terdengar suara Aurel di seberang telepon. "Aku seda