"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!" Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.Louis Sagala.Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumur
Hanna melangkahkan kakinya dengan begitu berat keluar dari rumah Louis karena pria itu mengusirnya. Dengan mempertahankan harga dirinya yang tersisa, Hanna pun langsung pergi dari sana dan menuju ke rumah sakit, tempat surga dunianya dirawat di sana. Hanna menghapus air matanya dan langsung menunjukkan topeng tawanya, sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Tok tok, permisi! Apa ada orang?" Hanna melebarkan tawanya seolah tidak terjadi apa-apa. Anak laki-laki bernama Gio yang sedang duduk di ranjangnya pun langsung tertawa sumringah melihat kakaknya itu. "Kak Hanna!" pekik Gio senang. Wajah pucatnya berseri-seri melihat Hanna dan Gio langsung menunjukkan mainan barunya, sebuah pesawat terbang mini. "Suster kasi Gio ini! Pesawatnya bisa terbang lho!" seru Gio sambil menggerakkan pesawat itu berputar-putar dengan tangannya. "Itu mainan pasien yang tertinggal kemarin, tapi pasiennya sudah sembuh dan pulang," sahut sang suster yang menemani Gio di sana. "Ah, iya, terima kasih
"Mana Kak Tama? Kartu Kak Hanna sudah dikembalikan?" Gio menatap cemas pada Hanna yang akhirnya kembali ke kamarnya. Hanna yang sudah biasa menahan perasaannya pun mengangguk. "Sudah dikembalikan sama Kak Tama," dusta Hanna menenangkan Gio. "Syukur, Kak. Kalau kartunya belum dikembalikan, bagaimana mau bayar rumah sakit." Hanna ingin menangis lagi mendengarnya, tapi ia hanya mengacak ringan rambut adiknya itu. "Bagaimana membayar rumah sakit itu bukan urusanmu, Gio. Itu urusan Kak Hanna. Tapi karena sudah malam, kau tidur dulu ya. Kakak lupa Kakak masih ada urusan." "Tapi Kakak kan baru datang. Temani Gio tidur dulu!" Hanna terdiam sejenak. Hanna benar-benar harus mencari Tama, tapi Hanna juga tidak tega meninggalkan Gio. Hanna pun akhirnya tersenyum singkat dan mengangguk. "Tentu! Kakak akan menemani Gio tidur dulu baru Kakak pergi ya." Gio mengangguk patuh dan segera berbaring di ranjangnya. Hanna pun menatap teman sekamar Gio di sana dan menunduk sopan. Gio dirawat di kam
Louis meneguk minumannya di sebuah klub malam itu. Pikirannya kusut, rasanya ia hampir gila setelah menjadi pria brengsek yang beristri dua. Bahkan, dalam mimpi pun, Louis tidak pernah membayangkan akan punya dua istri. Louis mencintai Indira hingga ia tidak peduli sekalipun wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu divonis mandul. Tapi sialnya, ambisi Indira untuk punya anak demi mendapat warisan membuat semuanya kacau seperti ini. "Seharusnya sejak awal aku tegas dan menolak pernikahan ini!" geram Louis sambil kembali meneguk minumannya sampai tandas. Baru saja Louis akan memanggil pelayan untuk mengisi lagi gelasnya saat ia melihat seorang wanita yang familiar di meja sudut. Cahaya remang-remang membuat tatapannya tidak jelas, tapi entah mengapa Louis masih bisa mengenali wanita itu. Hanna. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria yang memberikan sebuah kartu padanya. Louis pun makin membelalak saat melihat pria itu memeluk dan mencium pelipis Hanna. "Indira b
"Ingat, malam ini kau harus berhasil, Hanna!" Pesan Indira terus menggema di benak Hanna saat ia sudah berdiri di sudut ballroom hotel mewah milik Mahardhika Group, perusahaan Indira. Malam itu ada acara tahunan yang dihadiri oleh para karyawan dan klien perusahaan.Para tamu pun mulai berdatangan, termasuk seorang pria gagah yang melangkah masuk dengan jas hitam sempurna yang membalut tubuhnya.Aura dingin dan berwibawa yang pria itu pancarkan langsung menyedot perhatian banyak orang dan membuat debar jantung Hanna memacu tidak karuan, apalagi saat tangannya tanpa sengaja menyentuh botol obat di kantongnya. "Maafkan aku, aku juga terpaksa melakukannya," bisik Hanna bergetar. Di sisi lain, Louis sudah disambut banyak kenalannya di sana. Louis mempunyai perusahaan yang berbeda dengan Indira, namun Louis selalu mendukung pekerjaan istri tercintanya."Selamat malam, Pak Louis!" "Selamat malam!" "Senang sekali bertemu Anda di sini." Louis dan beberapa orang terlibat pembicaraan seri
Hanna melangkah begitu cepat menuju ke kamar Indira, tempat Indira sudah menunggunya di sana. Tangan Hanna masih gemetar dan napasnya masih sangat tersengal, tapi Indira malah tersenyum puas mendengar laporan Hanna. "Bagus, Hanna. Kau juga sudah menyampaikan pesanku kalau aku tidak enak badan kan?" "Aku sudah melakukannya seperti yang Anda perintahkan, Bu." "Baiklah, sekarang kau tinggal menunggunya di sini. Dia akan ke sini dan melampiaskan hasratnya, jadi layani dia dengan baik!" Hanna menahan napasnya sejenak mendengar kata melayani, tapi ia mengangguk. "Aku ... mengerti, Bu." "Aku akan meninggalkanmu dan kembali ke pesta karena pasti banyak orang mencariku saat ini." Indira pun segera melangkah ke arah pintu, tapi sebelum ia keluar, Indira mematikan semua lampunya sampai Hanna tersentak kaget. "Bu Indira ... lampunya ...." "Yang kau butuhkan hanya benihnya, dia tidak perlu melihat wajahmu!" ucap Indira, sebelum wanita itu keluar dan menutup pintunya rapat-rapat. Hanna sam
Louis benar-benar mematung sejenak merasakan perawan untuk pertama kalinya. Pertahanan Hanna sulit ditembus, sangat berbeda dengan Indira ketika mereka melakukan malam pertama.Napas Louis memburu. Sensasi yang baru saja ia rasakan seolah membekukan otaknya sesaat. Mustahil wanita murahan seperti Hanna masih perawan!Hanna sendiri sudah meneteskan air matanya karena rasa sakit yang menyiksa yang mencabik-cabik dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Louis berhenti sampai ia berhasil mendapatkan benih pria itu. "Jangan berhenti, Pak! Kumohon..." lirih Hanna dengan tidak tahu malu. Louis ingin sekali mengumpati Hanna. Sisa kewarasannya pun mendesak ia mengakhiri semua--hentakan ini. Tapi sial! Ia sudah terlanjur masuk terlalu jauh. Tubuhnya sudah tenggelam dalam gairah yang tidak bisa dihentikan. Dan saat ia sudah berhasil menembusnya, ia tidak bisa berhenti begitu saja."Ini semua salahmu, Hanna!"Dan, memenangkan hasrat kelelakiannya, Louis melanjutkan gerakannya yang tadi sempat te
Indira masih duduk sendirian di ruang tamu rumahnya pagi itu. Rumahnya begitu sepi karena Louis belum pulang. Tentu saja Indira tahu di mana suaminya berada. Ya, Louis menghabiskan malam bersama Hanna. Bukan hal yang menyenangkan bagi Indira, tapi ini adalah rencananya sendiri. Jika ingin mendapatkan keturunan, Indira harus menyingkirkan egonya dan menerima kenyataan bahwa suaminya akan berbagi ranjang dengan wanita lain.Indira pun masih hanyut dalam lamunannya sendiri saat ponselnya berbunyi dan Indira langsung mengangkat telepon dari Hanna itu. "Bu Indira, aku sudah berhasil tidur dengan Pak Louis. Karena itu, bolehkah aku mendapatkan uang yang Anda janjikan?" Suara Hanna sedikit bergetar, tapi Indira tersenyum puas mendengarnya. "Bagus, Hanna! Aku juga sudah tahu kalau kau berhasil melakukannya semalam. Dan tentu saja aku bukan orang yang ingkar janji. Aku akan memberikan uangnya." Mendengar suara tegas Indira, Hanna pun bernapas lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama
Suasana seketika hening saat Tama dan Hanna bertatapan di sana. Sampai saat Tama mengatakan sesuatu yang membuat Louis kembali meradang. "Maafkan aku, Hanna! Aku bersumpah aku tidak tahu itu kau! Aku ...." Belum sempat Tama menyelesaikan ucapannya, tapi Louis langsung maju lagi. Louis meraih kerah kaosnya sampai Tama berjinjit di hadapan Louis. "Apa maksudmu? Kau sengaja mau menabrak Hanna kan? Aku sudah mendengar ceritanya! Para saksi mata bilang motormu melaju lurus ke arah Hanna!" geram Louis penuh amarah. "Kau mau membunuh adik kandungnya sendiri, hah?" Semua orang sudah menahan napasnya kaget dengan kenyataan itu, sedangkan Hanna sudah bercucuran air mata mengingat kejadian mengerikan tadi. "Kau pria yang mengemudikan motor itu kan? Kau pelakunya kan? Kau harus ikut aku ke kantor polisi, Brengsek! Aku akan menjebloskanmu ke penjara! Dasar brengsek!" Buk!Tanpa bisa dicegah, Louis melayangkan tinjunya ke pipi Tama sampai Tama terhuyung dan menabrak meja. Kakinya belum kuat
Tama membuka matanya siang itu. Ia sempat pingsan selama hampir satu jam, sebelum akhirnya ia sadar. Kakinya yang robek sudah dijahit dan ia masih berada di ruang perawatan. Awalnya, tidak ada yang tahu bagaimana menghubungi keluarga Tama karena tidak ada yang mengenalnya. Namun, begitu sang sopir bercerita pada Sena bahwa Tama sempat menggendong Hanna untuk menolongnya, Sena pun langsung menanggung administrasi Tama, walaupun saat itu, belum ada yang tahu nama Tama. "Bu, pasiennya yang pingsan sudah sadar." "Ah, baiklah! Ayo kita lihat!" Sambil menunggu Louis yang masih menjenguk Hanna, Sena pun menuju ke kamar Tama, sedangkan Gio dititipkan pada Xander. "Di mana aku? Di mana ini?" Tama masih lemah dan linglung. "Anda ada di rumah sakit, Pak. Robek di kakinya juga sudah dijahit. Ada memar di dada dan di bagian lain, Anda butuh banyak istirahat." Secara ajaib, luka Tama tidak ada yang berakibat fatal, walaupun Tama tetap harus menjalani pemulihan yang tidak sebentar. Tama masi
"Bu Sena, Bu Hanna jatuh setelah ditabrak sepeda motor!" Sopir Sena langsung menelepon Sena begitu ia tiba di rumah sakit dan Sena pun langsung membelalak kaget mendengarnya. Keluarga Sena sendiri baru saja pulang dari rumah Hendra. Mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang hubungan Louis dan Indira, tapi mereka sudah sepakat tidak akan terlalu ikut campur. Biarkan anak-anak mereka bertanggung jawab atas hubungan mereka sendiri. Sena dan Xander pun naik satu mobil, sedangkan Louis membawa mobilnya sendiri, mobil yang berbeda. Sena pun begitu panik mendengar laporan sang sopir. "Apa, Pak? Di mana kejadiannya? Bagaimana Hanna? Kalian di mana sekarang?" Sang sopir segera memberitahu rumah sakitnya dan Sena meminta Xander segera menyusul ke rumah sakit. "Cepat, Xander! Ya Tuhan, semoga Hanna baik-baik saja!" "Sabar, Sayang! Kita berdoa saja!" seru Xander yang langsung melajukan mobilnya makin cepat ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Sena sendiri menelepon Louis dan Loui
Hanna masih mengobrol santai dengan sopir di mobilnya saat ia melihat jam dan jam pulang sekolah Gio sudah tiba. Biasanya Gio akan melangkah sumringah sambil membawa tas ranselnya dan Gio akan selalu tertawa senang melihat Hanna. Hanna pun akhirnya keluar dari mobil dan melangkah ke arah gerbang sekolah. Namun, sebelum ia tiba di gerbang, mendadak suara mesin sepeda motor terdengar sangat berisik dan laju motor yang begitu cepat terdengar di belakangnya. Sontak Hanna menoleh dan jantung Hanna pun langsung memacu kencang melihat motor yang memang sedang melaju kencang ke arahnya. Untuk sesaat, Hanna membelalak lebar dan kakinya mendadak kaku. Dalam kepanikannya, Hanna blank, ia harus menghindar atau tetap di tempatnya. Entahlah, Hanna panik, sangat panik, apalagi motor itu terlihat sengaja akan menabraknya. Sampai tidak lama kemudian, ia mendengar suara pria, seperti suara Tama. "Tidak! Hanna! Minggir!" Hanna masih membeku di tempatnya, tapi ia langsung berteriak saat ia pikir
"Aku dan Indira sudah tidak menemukan tujuan yang sama dalam pernikahan ini, Ayah." Louis menepati janjinya untuk bicara dengan Hendra pagi itu. Bukan hanya Louis, tapi Xander dan Sena ikut datang ke rumah Hendra untuk bertemu dengan besannya itu. Tidak hanya Hendra yang ada di sana, tapi juga Linda dan Indira. Tadinya Indira tidak mau datang, tapi Hendra tidak bisa dibantah. Hendra meminta orang menjemput dan memaksa Indira datang. Itulah pertama kalinya Hendra melihat anaknya yang bisa berdiri tegak, tidak lumpuh lagi seperti yang ia tahu selama ini. Indira pun sudah siap membela diri kalau Louis menjelekkannya di depan Hendra, tapi Louis sama sekali tidak mengatakan apa pun pada Hendra. Hendra sendiri bertanya-tanya, tapi ia terus terkejut melihat anaknya itu mendadak bisa berdiri tegak. "Ada apa ini, Louis? Ayah tahu kau adalah pria yang gentle, mungkin kau mau menyembunyikan keburukan anak Ayah, tapi Ayah juga perlu tahu apa yang dia lakukan kan? Apa ini ada hubungannya deng
Indira masih menatap pria frustasi di hadapannya sambil tersenyum tipis. Postur pria itu tinggi besar, wajahnya cukup tampan, kulitnya putih, tapi rambutnya acak-acakan, dan penampilannya tidak terawat. Pria itu sendiri sudah memicingkan mata menatap Indira, ia mengernyit sambil menyimpan kembali ponselnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kau bicara denganku?" tanya pria itu. "Ya, aku mendengarmu menelepon dan aku tahu kau butuh pekerjaan. Aku bisa memberimu pekerjaan dengan bayaran yang tinggi." Tatapan pria itu langsung berbinar-binar. Ia tersenyum sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Untuk sesaat, sosok itu terlihat lebih tampan saat rambutnya ditata lebih rapi. "Hmm, baiklah, aku tanya dulu, apa kau ini sejenis ... Tante Girang, hah?" "Apa maksudmu Tante Girang, hah?" pekik Indira sambil membelalak kaget. "Ah, haha, tidak! Kau terlihat seperti wanita kaya yang haus belaian!" Indira menahan napasnya sejenak mendengar ucapan pria tidak tahu sopan santun itu.
"Hanna!" Hanna mematung kaget melihat Sena dan Adrianna sudah berdiri di depan pintu rumahnya pagi itu setelah ia mengantar Gio ke sekolah. "Tante Sena! Bu Adrianna!" "Panggil aku Kak saja, Hanna! Tidak usah memanggilku Bu lagi," seru Adrianna dengan nada yang melembut. "Ah, itu ...." Belum sempat Hanna menjawabnya, mendadak Sena sudah maju untuk memeluknya. "Menantuku ... Hanna ...," ucap Sena sambil memeluk Hanna begitu hangat. Hanna kembali mematung dan tidak tahu harus melakukan apa, membalas pelukan Sena atau melepaskannya karena ia tidak pantas dipeluk. "Tante Sena, ini ...." "Panggil Mama saja! Kau menantu Mama, Hanna." Tatapan Hanna langsung berkaca-kaca mendengarnya. Jantungnya memacu kencang dan ia tidak menyangka pada akhirnya pernikahannya dengan Louis akan diketahui orang banyak. Apa Louis yang menceritakannya? Hanna makin tegang memikirkannya. Namun, Sena yang melepas pelukannya pun langsung membelai kepala Hanna dengan sayang. "Louis sudah menceritakan semu
"Aku akan menceraikan Indira." Louis akhirnya pulang ke rumah orang tuanya. Ya, tempat yang paling nyaman adalah keluarga. Saat Louis sedang punya masalah dengan Indira, sebisa mungkin Louis tidak mencari keluarganya karena ia tidak ingin membebani mereka. Louis melarikan diri dengan alkohol dan terus bersikap baik-baik saja. Namun, saat masalahnya sudah sebesar ini, tidak ada tempat lain yang bisa ia tuju, selain keluarganya. Sesukses apa pun dirinya, sebanyak apa pun orang yang bisa menghibur dan mendukungnya, Louis tetap membutuhkan orang tuanya, keluarganya. Xander dan Sena yang ada di rumah sore itu pun mematung mendengar ucapan Louis. Begitu juga dengan Adrianna yang saat itu ada di sana. "Apa yang kau katakan, Louis? Indira sedang lumpuh dan kau malah ingin menceraikannya? Pria macam apa kau, Louis? Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi pria brengsek seperti ini!" geram Xander yang langsung bangkit berdiri dari kursinya saking marahnya. "Sabar, Xander! Sabar! Anakku tida
Louis akhirnya memilih pulang ke rumahnya setelah pembicaraan dengan Martin, bukan untuk berdamai dengan Indira, tapi untuk mencari tahu tentang surat cerai dan cek yang Hanna bilang tadi. Indira sendiri hampir gila sejak Louis pergi tadi, walaupun Indira terlalu syok untuk mengejar Louis, ia tidak bisa berpikir. Ruben ingin menenangkannya, tapi Indira mengusirnya dengan kasar. "Pergi kau, Ruben! Pergi! Ini semua karena kau! Kau yang sudah membuat semuanya kacau seperti ini! Siapa yang menyuruhmu datang ke rumahku, hah? Selama ini kita selalu melakukan hal yang aman di luar rumah, mengapa kau harus datang ke sini?" "Aku merindukanmu, Indira! Kau juga bilang Louis baru pulang minggu depan!" "Sial! Jangan membela diri, Ruben! Aku sudah bilang padamu jangan bertemu dulu selama aku belum menyesuaikan urusanku! Sial! Brengsek semua! Pergi dari hidupku, Ruben! Pergi dan jangan pernah menemuiku lagi!" usir Indira dengan kasar. Ruben tidak punya pilihan selain pergi, walaupun dengan pera