Pikiran Hanna membuatnya lelah dan moodnya berantakan pagi itu. Ia juga merasa tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Kau mau ke dokter, Sayang? Aku bisa mengantarmu ke dokter dulu sebelum ke kantor." Louis membelai kepala Hanna dengan sayang. "Tidak, Louis! Aku hanya butuh istirahat saja! Aku tidak ke kantor hari ini." "Tidak apa, Susan bisa menghandle semuanya. Kau yakin tidak apa aku pergi? Atau aku bisa bekerja dari rumah saja." "Jangan, Louis! Kau sedang sangat sibuk. Ke kantor saja, aku tidak apa, ada Mama yang menemaniku di rumah."Louis duduk menemani Hanna sedikit lebih lama, sebelum telepon penting membuatnya harus pergi juga ke kantor. Hanna sendiri yang ditinggalkan akhirnya mencari Sena, berusaha menyibukkan dirinya bersama mertuanya itu agar ia tidak terus overthinking. *"Apa Hanna tidak ke kantor hari ini?" Nadine menyapa Susan menjelang siang itu karena ia tidak melihat Hanna sejak pagi. "Hanna tidak enak badan, jadi dia tidak ke kantor." "Oh, begitu ya? Sampai
"Aku tahu Hanna terpengaruh pada ucapannya. Sejak selesai makan siang sampai pulang sore tadi, Hanna banyak melamun!" Susan makan berdua dengan Refi malam itu karena mereka sama-sama pulang kantor terlambat. Susan pun bercerita tentang makan siangnya dengan Nadine tadi.Refi yang mendengarnya pun langsung mengangguk. "Ah, kebetulan kau membahas Nadine, aku jadi ingat kalau waktu itu dia pernah lembur lalu membuatkan Bos kopi, padahal Bos tidak pernah memintanya. Lagipula Bos tidak minum kopi di jam segitu."Susan mengernyit. "Benarkah? Lalu apa yang dia lakukan?" "Hmm, dia tidak melakukan apa-apa lagi, hanya menjelaskan rekapannya sambil membuatkan kopi." "Lalu ceritanya apa lagi? Hanya itu? Hal seperti itu saja kau ceritakan, hah?" seru Susan yang menganggapnya biasa saja. "Aku hanya kebetulan ingat saja!" "Ya ampun, kau tidak seru sekali! Tapi dengarkan aku, kau tahu mengapa Hanna merasa tertusuk tadi? Karena Nadine mengatakan tentang karma!" Susan mulai bercerita dengan hebo
Dua hari berlalu dan Refi belum pernah menceritakan kejadian malam itu pada siapa pun karena ia merasa tidak perlu. Louis juga tidak membahasnya karena ia merasa hal itu tidak penting. Nadine sendiri juga belum pernah mendekat lagi dan semuanya terlupakan begitu saja. Hanna dan Susan pun bekerja seperti biasa dan terus makan siang bersama Nadine dua hari itu. "Hari ini kau mau makan apa, Nadine?" tanya Hanna sambil membuka buku menu saat mereka sudah ada di depot kecil dekat kantor. "Aku sedang ingin makan makanan yang berbumbu kacang." "Eh, kau juga suka makanan yang berbumbu kacang? Aku juga!" seru Hanna. "Wah, benarkah itu?" Hanna mengangguk antusias. "Aku dan Susan sangat suka makan semua yang berbumbu kacang. Itu sangat enak." "Hmm, dan kami selalu berbagi makanan," sahut Susan."Wah, kalian seru sekali. Ayo kita pesan!" Mereka memesan makanannya dan dengan cepat mereka menyantap makanan mereka. Seperti biasa, Hanna dan Susan saling mencoba makanan masing-masing. Mereka
"Coba tebak siapa yang aku temui semalam di mall?" "Siapa?" "Aku bertemu Nadine!" "Eh, Nadine?" "Iya, Susan. Itu kebetulan sekali, dia menyelamatkan aku dari insiden kecil, lalu kami makan malam bersama." Hanna menceritakan pertemuannya dengan Nadine pada Susan pagi itu. Tatapan Hanna berbinar-binar seolah bertemu dengan teman baiknya, sedangkan Susan yang belum berpikir apa pun hanya mengangguk. "Well, syukurlah kalau dia orang baik. Aku baru melihatnya beberapa kali dan aku belum bisa merasakan kebaikannya, jadi aku netral saja seperti teman kerja biasa." "Haha, aku tahu! Kau itu hanya bisa santai denganku, tapi begitu sulit santai menghadapi orang lain!" "Haha, itu benar! Kau kan sahabat sejatiku sampai aku harus mengikutimu pindah kerja di sini!" kelakar Susan. Hanna pun tertawa dan mengangguk. "Tentu saja, Susan! Tapi tidak ada salahnya menambah teman baru. Bagaimana kalau nanti kita mengajaknya makan siang bersama?" Susan mengangguk. "Boleh juga. Terserah padamu!" "Ba
"Kau benar, dia mirip denganku!" seru Hanna saat akhirnya Nadine keluar dari ruangan Louis. "Haha, kubilang juga apa. Tapi aku berharap dia sama kompetennya denganmu, Sayang!" "Haha, ya, aku menyukainya. Sejak pertama kali melihatnya saja aku tahu dia wanita baik-baik." "Hmm, semoga saja!" Hanna dan Louis pun bertatapan sejenak, sebelum mereka melanjutkan pekerjaan mereka hari itu. Louis begitu sibuk sampai tidak bisa menemani Hanna makan siang, tapi Louis sengaja pulang lebih cepat agar bisa menemani istrinya membeli baju hamil di mall. Perut Hanna begitu cepat membesar karena ada dua bayi di dalamnya dan baju hamilnya yang sekarang pun sudah terasa sesak. "Aku sudah tidak punya setelan kerja yang cukup untukku. Semuanya sudah kekecilan, Louis. Aku menggendut dengan cepat." "Haha, tidak masalah. Aku suka kau seperti apa pun, Hanna." Hanna mengulum senyumnya dan lanjut memilih baju hamil. Niat hati hanya membeli beberapa pasang, tapi belanja dengan Louis tidak pernah sedikit.
"Benarkah mirip denganku, Louis? Apanya yang mirip?" Hanna terus tertawa saat Louis menceritakan tentang karyawan baru yang bernama Nadine. "Aku juga tidak bisa menjelaskannya, Sayang. Wajahnya tidak mirip denganmu, tapi saat aku melihatnya, aku langsung bisa membayangkanmu." Hanna mengangkat alisnya. Ia sudah mulai terbiasa bercanda dan menggoda suaminya itu. "Apa itu karena aku tidak ada di kantor jadinya kau merindukan aku? Semua orang mendadak mengingatkanmu padaku." Louis tergelak mendengarnya. "Kau sudah mulai pintar menggodaku ya!" Louis yang gemas pun memeluk istrinya di ranjang dan Hanna menikmatinya. Bersentuhan, bermesraan dengan Louis, mencium aroma parfum Louis setiap hari sudah menjadi candu baginya. "Hmm ... tapi aku jadi penasaran ingin melihatnya. Besok kenalkan aku padanya." "Tentu, Sayang! Dia asisten manager proyek, tapi mungkin nanti aku akan sering berhubungan dengannya. Dia terlihat sangat cakap dan kompeten, caranya bicara juga sangat meyakinkan. Semoga
Di umur kandungan yang sudah menginjak lima bulan, Hanna makin lincah. Perut Hanna mulai membesar dan sudah tidak bisa ditutupi lagi.Louis sendiri juga sudah tidak tahan dan akhirnya go public tentang hubungannya dengan Hanna. "Hanna adalah istriku dan dia sedang hamil anakku, jadi aku mau semuanya bersikap lebih baik padanya." Hanna sama sekali belum siap dan tidak pernah siap diperkenalkan seperti ini. Di otak Hanna selalu berpikiran buruk tentang anggapan orang-orang padanya. Mungkin ia akan dianggap pelakor dan lain sebagainya karena semua orang di kantor Louis mengenal Hanna dan Indira. Namun, tidak semua hal yang kita pikirkan begitu keras akan terjadi. Karena nyatanya, semua orang di perusahaan menerima Hanna sebagai istri Louis sekarang. Secara mengejutkan, sama sekali tidak ada gosip, tidak ada desas-desus, malahan semua orang ikut menjaga kehamilan Hanna dengan sangat baik. "Apa kau mau fotokopi berkas, Hanna? Biar aku saja, jangan terlalu lelah!""Kami berniat membeli
"Seharusnya kau lihat ekspresinya tadi, Hanna! Lucu sekali! Haha ...." Susan tidak berhenti tertawa saat akhirnya mereka sudah keluar dari restoran itu. Mereka berempat sudah duduk di dalam mobil dengan Refi dan Susan di depan, sedangkan Louis dan Hanna duduk berdua di belakang. Hanna pun ikut tertawa begitu senang. "Aku tidak pernah membayangkan menang dari Elma akan terasa begitu menyenangkan, Susan! Kau tahu, sejak dulu aku dibully, aku selalu menerima. Tentu saja sesekali aku melawan, tapi aku lebih banyak mengalah." "Baru hari ini aku merasa, ternyata menang itu menyenangkan," imbuh Hanna merasakan perasaan puasnya. "Tentu saja menang itu menyenangkan, Sayang. Dan kau akan selalu menang ke depannya. Tidak perlu mengalah lagi pada orang seperti itu! Tidak perlu minta maaf kalau tidak salah, dan tidak perlu menunduk pada orang yang tidak menghargaimu!" pesan Louis singkat, tapi penuh arti. Pikiran Hanna melayang sejenak. Semua ucapan Louis adalah apa yang ia lakukan sepanjang
Refi melajukan mobilnya pulang malam itu setelah ia mendapat banyak pesan beruntun dari Susan. Refi pun buru-buru karena Louis sendiri tidak sabar. "Ponsel Hanna tidak bisa dihubungi. Dia sama sekali tidak bercerita kalau dia pernah dibully atau bertemu lagi dengan tukang bullynya, Refi! Sial! Siapa yang berani membully istriku!" geram Louis yang membatalkan janjinya setelah membaca pesan-pesan dari Susan. "Hanna yang tidak mengijinkan memberitahu Anda, Bos! Tahu sendiri bagaimana Hanna kan?" "Ck, dia selalu begitu! Lebih cepat, Refi! Aku tidak rela istriku direndahkan di sana! Aku benar-benar tidak menyangka kita tidak datang ke sana, tapi malah Hanna yang ke sana." Louis terus menggeram kesal. Ia mendapat undangan pembukaan Lunaire, tapi Louis memilih bertemu klien penting. Refi pun memacu laju mobilnya. Hingga akhirnya mereka pun tiba di restoran itu. Louis dan Refi segera memasuki restoran dan dengan cepat, mereka bisa melihat Hanna serta Susan di sana. Louis pun melangkah d