"Buka bajumu dan tunjukkan bagaimana murahannya dirimu yang rela menjual diri demi uang, Hanna!"
Suara tegas seorang pria membuat tubuh Hanna bergidik malam itu. Mereka sudah berada di kamar pengantin mereka dan Hanna pun meremas ujung piyama satin yang ia pakai. Namun, alih-alih patuh, Hanna malah mematung menatap pria dengan aura yang begitu dingin itu.
Louis Sagala.
Pria tampan di hadapan Hanna adalah suaminya yang sah. Mereka baru saja menikah dengan sangat sederhana tadi dan Hanna pun akhirnya resmi menjadi istri kedua dari suami Indira, wanita yang sudah menjadi bosnya satu tahun terakhir ini.
Sungguh, Hanna sempat menyesali keputusannya. Kalau saja ia tidak meminjam uang pada Indira untuk biaya operasi jantung adiknya, mungkin Indira tidak akan pernah mengajukan syarat gila di mana Hanna harus menjadi istri kedua Louis dan menjadi ibu pengganti untuk melahirkan anak mereka.
Namun, Hanna tidak punya pilihan lain. Adiknya baru berumur sembilan tahun dan Hanna akan menyesal seumur hidup kalau melewatkan kesempatan untuk menyelamatkannya.
"Apa kau tuli? Kubilang, buka bajumu!" bentak pria itu lagi.
"B-baik, Pak," jawab Hanna akhirnya dengan begitu sulit.
Perlahan, Hanna bangkit dari ranjang. Dengan tangan gemetar, Hanna membuka cardigan yang ia pakai dan hanya menyisakan gaun tidur pendek dengan tali tipis di dalamnya. Gaun tidur ini adalah pemberian Indira agar Louis tertarik pada Hanna.
Namun, Louis hanya menatap Hanna tanpa minat. "Apa aku menyuruhmu berhenti? Buka semua! Biar aku melihat tubuh murahanmu itu!" geram Louis.
"Aku yakin kau juga pasti sudah sering menunjukkan tubuhmu pada banyak pria kan? Karena itu, begitu mudahnya kau menerima permintaan gila istriku untuk menjadi istri keduaku!"
Membayangkan tawa adiknya, Hanna memejamkan mata. Ia bertekad melakukan ini untuk kesembuhan sang adik.
Ya, adiknya harus sembuh.
Tekad itulah yang membuat Hanna mampu melepaskan semua kain yang melekat di tubuhnya, sampai akhirnya penghalang terakhir pun lepas dari kakinya.
Hanna berdiri dengan tubuh polosnya di hadapan Louis sampai pria itu pun menelan salivanya kasar.
Louis tidak menyangka di balik penampilan Hanna yang selalu membosankan itu tersembunyi tubuh yang begitu ramping dan indah.
Apalagi saat ini, Hanna sedang menyilangkan kedua lengan di depan dadanya dan mengatupkan kedua kakinya erat-erat. Gaya malu-malu yang sialnya, mampu membangkitkan hasrat Louis.
Namun, sayangnya, tubuh itu terlalu murahan untuk disentuh dan Louis tidak sudi.
"Jangan sok suci dan bersikap malu-malu di depanku, Hanna!" geram Louis lagi yang langsung menyambar tangan Hanna agar tidak menutupi apa pun darinya.
"Pak ... tolong ...," lirih Hanna ketakutan sampai ia tidak sanggup menyelesaikan ucapannya.
"Kau mau apa? Memohon agar aku memperlakukanmu dengan lembut?" Pria itu berdecih dengan wajah bengisnya. "Tidak akan! Dan lagi, tugasmu hanya untuk hamil anakku. Bukankah semakin cepat melakukannya, semakin cepat juga kau hamil?"
Dengan kasar, Louis pun mendorong tubuh Hanna sampai tubuh Hanna terpental di atas ranjang.
"Akh!" Hanna memekik pelan, air matanya hampir keluar merasakan betapa kasarnya Louis padanya, tapi Hanna menahannya. Ia tidak boleh menangis di depan Louis.
"Buka kakimu dan lakukan ini dengan cepat!" titah Louis lagi yang membuat Hanna makin ketakutan.
"Pak, ini ...."
"Kau sudah membuka bajumu, apa susahnya membuka kakimu juga, hah? Buka sekarang!"
Louis menarik kedua kaki Hanna dengan kasar, kemudian tertawa.
Sementara Hanna, wajah wanita itu semakin memerah. Posisinya saat ini sudah seperti wanita yang begitu pasrah, tetapi ternyata hanya dijadikan tontonan semata.
"Kalau kau pikir aku akan berhasrat dan menyentuhmu, kau salah besar!" Louis menatap ke arah Hanna dengan tajam. "Sedari awal, aku menikahimu hanya untuk menyenangkan istriku."
Kemudian, Louis mengempas kaki Hanna dengan kasar, membuat si empunya tubuh sampai menjerit tertahan.
"Akh!!"
Angin dingin dari AC kamar menerpa tubuhnya sampai membuat Hanna menggigil dan air mata yang sejak tadi ditahannya pun tumpah tidak terkendali.
Hanna menekuk kaki dan memeluknya di atas ranjang layaknya bayi yang sedang meringkuk. Malam pertama yang identik dengan kebahagiaan, hasrat membara ... justru meninggalkan luka mendalam di hati Hanna. Sang suami enggan menyentuhnya, dan malah menghinanya tanpa henti.
Louis hanya berdiri di tepi ranjang dan menatap jijik kepada Hanna.
"Dengar ya, Hanna! Aku tidak peduli dengan perjanjian gila apa pun yang kau buat dengan istriku dan berapa banyak istriku membayarmu untuk melahirkan anak kami!" Pria itu terlihat menggertakkan giginya sebelum melanjutkan kalimat pamungkas, "Wanita murahan sepertimu, jangan pernah berharap bisa hamil anakku!"
**Hai semua, selamat datang di novel baru author. Novel ini menceritakan tentang salah satu anak dari Xander dan Sena di novel Dinodai CEO Kejam ya. Selamat membaca semua đź©·đź©·
"Sepertinya kita terlambat, Tama! Kak Louis pasti sudah mulai." Samuel dan Tama akhirnya tiba di lokasi proyek siang itu. "Ini karena kau rapat terlalu lama, Samuel! Tapi baiklah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan? Ayo!" Tama melangkah duluan, diikuti Samuel di belakangnya. Mereka sempat mencari ke sekeliling karena lokasi proyek memang cukup besar. "Mana dia?" "Sebentar aku coba meneleponnya dulu!" Samuel menelepon Louis, tapi Louis tidak mengangkat teleponnya. Ia dan Tama pun masih tetap melangkah saat akhirnya Tama melihat Louis yang sedang berdiri dengan seorang wanita di sana. "Hei, itu dia! Bersama seorang wanita!" Tama mengernyit. "Apa tidak salah? Wanita itu ke proyek tapi pakai sepatu hak tinggi!" celetuk Tama yang memperhatikan wanita itu dari atas ke bawah. Celetukan Tama pun otomatis membuat Samuel ikut memperhatikan wanita itu. Samuel tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dari kejauhan, tapi dari penampilannya terlihat biasa saja, sampai pada
"Wah, wah, kalian berkencan semalam? Kalian pulang malam sekali!" Samuel menggoda Hanna dan Louis saat sarapan pagi itu. Mereka masih tinggal bersama di rumah keluarga Louis. Hanya saja, Samuel sangat sibuk akhir-akhir ini sampai ia jarang mengobrol dengan Louis. "Hmm, kami kuliner di dekat rumahku," jawab Hanna masih sumringah. "Hei, mengapa tidak mengajakku?" "Bukankah kau sangat sibuk, Samuel?" seru Louis. "Haha, persiapan kantor baru memang sangat sibuk, tapi Tama bekerja lebih baik daripada yang kubayangkan." "Benarkah itu? Aku ikut senang mendengarnya. Tapi kalau memang dia tidak kompeten, jangan sungkan mengatakannya, Samuel," seru Hanna sungkan. Tama tidak pernah bekerja halal sepanjang hidupnya. Hanna tidak pernah tahu apa yang bisa Tama lakukan selain menipu lalu kabur. "Haha, aku serius, Hanna. Pada kenyataannya, dia memang bekerja dengan sangat baik. Kurasa dia punya kemampuan, hanya saja selama ini, kemampuannya tidak digunakan dengan tepat. Bahkan, saat harus ber
Suasana masih begitu hening setelah Nadine mengutarakan maksudnya. Wanita itu menatap Louis penuh harap. Ekspresinya terlihat sopan, tapi ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang seolah menyiratkan hal yang lebih. Louis menyadarinya sampai ia memicingkan matanya sejenak, sebelum ia menjawab undangan tersirat itu. "Dengan banyak mengikuti proyek, kau akan banyak belajar, Nadine. Nanti saat sedang ada waktu luang, aku juga akan mengumpulkan beberapa pion dari divisi proyek untuk mengadakan pelatihan khusus. Pastikan kau bergabung saat itu!" sahut Louis dengan maksud yang sudah jelas. Louis menolaknya. Seolah belum cukup tegas, Louis malah menambahkan untuk memperjelasnya. "Di luar kantor, waktuku adalah untuk keluarga dan itu tidak bisa diganggu gugat. Jadi kalau tidak ada yang sangat penting, jangan menggangguku di luar jam kerjaku." "Dan kalau tidak ada hal lain, kau juga boleh keluar! Bekerja di ruanganmu saja, Nadine!" imbuh Louis tanpa minat sama sekali. Nadine terte
Pikiran Hanna membuatnya lelah dan moodnya berantakan pagi itu. Ia juga merasa tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. "Kau mau ke dokter, Sayang? Aku bisa mengantarmu ke dokter dulu sebelum ke kantor." Louis membelai kepala Hanna dengan sayang. "Tidak, Louis! Aku hanya butuh istirahat saja! Aku tidak ke kantor hari ini." "Tidak apa, Susan bisa menghandle semuanya. Kau yakin tidak apa aku pergi? Atau aku bisa bekerja dari rumah saja." "Jangan, Louis! Kau sedang sangat sibuk. Ke kantor saja, aku tidak apa, ada Mama yang menemaniku di rumah."Louis duduk menemani Hanna sedikit lebih lama, sebelum telepon penting membuatnya harus pergi juga ke kantor. Hanna sendiri yang ditinggalkan akhirnya mencari Sena, berusaha menyibukkan dirinya bersama mertuanya itu agar ia tidak terus overthinking. *"Apa Hanna tidak ke kantor hari ini?" Nadine menyapa Susan menjelang siang itu karena ia tidak melihat Hanna sejak pagi. "Hanna tidak enak badan, jadi dia tidak ke kantor." "Oh, begitu ya? Sampai
"Aku tahu Hanna terpengaruh pada ucapannya. Sejak selesai makan siang sampai pulang sore tadi, Hanna banyak melamun!" Susan makan berdua dengan Refi malam itu karena mereka sama-sama pulang kantor terlambat. Susan pun bercerita tentang makan siangnya dengan Nadine tadi.Refi yang mendengarnya pun langsung mengangguk. "Ah, kebetulan kau membahas Nadine, aku jadi ingat kalau waktu itu dia pernah lembur lalu membuatkan Bos kopi, padahal Bos tidak pernah memintanya. Lagipula Bos tidak minum kopi di jam segitu."Susan mengernyit. "Benarkah? Lalu apa yang dia lakukan?" "Hmm, dia tidak melakukan apa-apa lagi, hanya menjelaskan rekapannya sambil membuatkan kopi." "Lalu ceritanya apa lagi? Hanya itu? Hal seperti itu saja kau ceritakan, hah?" seru Susan yang menganggapnya biasa saja. "Aku hanya kebetulan ingat saja!" "Ya ampun, kau tidak seru sekali! Tapi dengarkan aku, kau tahu mengapa Hanna merasa tertusuk tadi? Karena Nadine mengatakan tentang karma!" Susan mulai bercerita dengan hebo
Dua hari berlalu dan Refi belum pernah menceritakan kejadian malam itu pada siapa pun karena ia merasa tidak perlu. Louis juga tidak membahasnya karena ia merasa hal itu tidak penting. Nadine sendiri juga belum pernah mendekat lagi dan semuanya terlupakan begitu saja. Hanna dan Susan pun bekerja seperti biasa dan terus makan siang bersama Nadine dua hari itu. "Hari ini kau mau makan apa, Nadine?" tanya Hanna sambil membuka buku menu saat mereka sudah ada di depot kecil dekat kantor. "Aku sedang ingin makan makanan yang berbumbu kacang." "Eh, kau juga suka makanan yang berbumbu kacang? Aku juga!" seru Hanna. "Wah, benarkah itu?" Hanna mengangguk antusias. "Aku dan Susan sangat suka makan semua yang berbumbu kacang. Itu sangat enak." "Hmm, dan kami selalu berbagi makanan," sahut Susan."Wah, kalian seru sekali. Ayo kita pesan!" Mereka memesan makanannya dan dengan cepat mereka menyantap makanan mereka. Seperti biasa, Hanna dan Susan saling mencoba makanan masing-masing. Mereka