Share

Awal Dekat

Author: TintaMerah
last update Last Updated: 2025-09-12 18:31:20

Satu hari sebelum pesta yang dikatakan oleh pihak percetakan, aku langsung pergi untuk melihat lokasi yang sudah ditentukan. Gedung mewah yang Mas Danu sewa ternyata begitu ramai, banyak perias ruangan dan juga beberapa staf yang mempersiapkan pesta besok.

Aku tahu untuk sewa gedung lantai bawah ini saja kita harus merogoh kocek sebanyak 3 juta dalam satu jam. Pantas saja uang di tabunganku hilang lebih dari setengahnya.

Aku mengumpulkan uang itu selama lebih dari dua tahun bekerja di restoran, dengan gaji lima juta sebulan aku harus bisa hemat. Kebutuhan rumah akulah yang mengadakan. Bahkan saat Sinta kuliah, akulah orang yang membiayai kuliahnya.

Maka dari itu, selama dia kuliah aku tidak bisa menabung apa pun untuk diriku. Setelah dia selesai kuliah, aku mulai diangkat menjadi manajer di restoran mewah yang lebih dari lima tahun aku huni.

Bekerja dari tukang bersih-bersih sampai jadi pelayan sudah aku lakukan. Bahkan aku melakukan pekerjaan mencuci piring sampai sekarang, itu semua demi menambah pemasukan agar aku bisa menabung.

Padahal Mas Danu tahu aku bekerja keras demi Sinta, tapi kenapa mereka berdua masih saja mengkhianati aku? Apa pengorbanan yang aku lakukan selama ini masih kurang? Masa kecil yang kurang dan juga masa sekolah yang terbuang. Apa mereka tidak sadar kalau selama ini aku begitu menderita?

Kembali air mataku berjatuhan, aku menatap langit-langit ruangan yang sudah dihiasi lampu dan juga dakron yang dibuat berbentuk awan. Begitu indah, pelaminan di depan sana membuat mata kagum.

Kenapa dulu aku tidak menginginkan pesta sebesar ini? Padahal saat menikah dengan Mas Danu aku sudah punya tabungan dan aku bisa membuat pesta besar juga.

Karpet merah membentang sampai ke pelaminan, kursi tamu dan juga tempat makan sudah ditata rapi. Bunga yang begitu banyak, bahkan di luar saat aku masuk, papan bunga sudah berjejer rapi di tepi jalan. Semuanya berasal dari rekan kerja Mas Danu dan Sinta, seharusnya kebahagiaan ini tidak ada yang menghalangi bukan?

Rasa sakitku sudah di ujung tanduk, tidak bisa ditahan dan juga tidak akan bisa diajak kompromi lagi. Besok adalah hari besar, besok juga adalah hari di mana aku akan mengakhiri semua ini.

Semuanya sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, meski aku tidak punya bukti perselingkuhan mereka berdua, tapi aku punya bukti bahwa aku sudah menikah dengan Mas Danu.

"Mas, begini yang aku maksud pesta besar. Kamu suka kan? Sekali mas seumur hidup, Kak Dina dulu tidak mau buat pesta sebab malu di depan banyak orang," kata Sinta.

Aku mengalihkan pandangan ke asal suara. Rupanya Mas Danu dan Sinta sedang mendekat, aku perlahan berjalan menuju balik papan bunga. Mereka berdua begitu mesra, bergandengan tangan layaknya suami istri yang harmonis. Mas Danu juga tersenyum manis, persis seperti senyum yang dia berikan padaku.

"Pas aku menikah dengan Dina, dia tidak mau pesta sebab mikirin aku tidak punya uang, Sinta. Lagian kan Dina pas itu juga sembunyikan uangnya dari kalian. Aku yakin saja kalau dia tidak punya uang, pas nikah baru dikasih tau," ujar Mas Danu.

"Kak Sinta memang begitu, sama keluarga aja pelit padahal karyawan di restoran selalu kasih tip sama pelayan yang bersikap baik. Kak Sinta itu salah satu pelayan yang rajin, jadi wajarlah punya banyak tabungan dia," kata Sinta semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Mas Danu.

Aku buru-buru keluar dari gedung itu, aku malu sekali melihat keduanya bersikap demikian. Padahal mereka belum sah menikah, tapi mereka seolah sudah jadi suami istri.

Sampai di rumah aku langsung pergi ke dapur, memasak dan juga mencuci piring. Ada banyak makanan yang aku masak, mungkin akan jadi masakan terakhirku di rumah ini.

Aku sudah membereskan bajuku dari lemari dan setelah acara besok selesai, aku akan pergi dari rumah ini.

Aku sudah mengambil sertifikat rumah, bahkan aku sudah menjualnya pada kepala desa. Tidak lupa aku menceritakan semua yang aku alami selama enam bulan ini, Pak Kepala Desa langsung setuju untuk membeli. Dia juga mendukungku untuk membongkar kebusukan suamiku, bukan suami lagi, tapi mantan suami.

"Wah! Gini dong kalau masak, enak dan juga banyak. Kalau gini kamu tidak perlu masak pagi lagi, ini sudah cukup sampai besok," ujar Ibu.

Beliau baru saja datang entah darimana, kalau dari pakaiannya aku lihat dia baru saja pulang dari ngerumpi.

"Masak banyak kamu, Din. Kata Danu kamu akan pergi liburan besok. Sesekali pergi liburan itu memang bagus, kamu keasikan kerja bisa stres nanti. Tempat kerja kamu itu sudah bagus ngasih liburan, pergi aja. Kali ini Bapak tidak larang kamu pergi, besok Bapak juga ada acara," kata Bapak datang dari kamarnya.

"Iya, Pak. Apa Bapak tidak papa kalau aku pergi? Siapa aja yang ikut liburan itu gajinya akan dikurangi setengahnya buat biaya pas liburan," jawabku.

Wajah Bapak langsung berubah masam. Pria yang selama ini selalu menyuruhku agar tidak libur kerja itu berdehem kecil, perlahan dia menyendok nasi dan lauk ke atas piringnya.

Aku memperhatikan Bapak dan Ibu, keduanya diam tidak menjawab apa yang aku tanyakan. Aku malah merasa sakit hati melihat beliau menyendok nasi itu.

Bukan aku tidak ikhlas, tapi selama ini beliau tidak pernah bertanya apa yang akan kami makan besok atau hari ini. Bapak hanya bisa membanting tudung saji ketika makanan belum tersedia, aku akan dimarahi Ibu sedang Sinta asik memainkan handphone miliknya di atas sofa.

Hari-hari yang aku jalani terasa seperti mimpi buruk selama ini, tapi aku menganggapnya sebagai bakti sebab aku belum menikah. Tapi sekarang, apa ini semua masih disebut bakti?

Aku sakit hati melihat Bapak yang menyembunyikan kebohongan besar dariku. Apa dia tidak merasa bersalah padaku?

"Asal Bapak bisa makan nasi sama sayur saja sudah cukup, kamu pergilah liburan itu. Lagian kan Sinta sekarang sudah kerja, dia juga bisa membantu memenuhi kebutuhan kita," ucap Bapak pada akhirnya.

"Sinta kan baru kerja, Pak! Perawatan sama bedaknya aja kurang dari gajinya. Belum lagi jajannya, Dina kan enak kerja di restoran. Bisa makan sepuasnya tanpa harus keluar uang, Sinta harus keluarkan uang dulu baru bisa makan di pabriknya," seru Ibu dengan tatapan masam pada Bapak.

"Aku ke kamar dulu," ucapku langsung pergi dari dapur meninggalkan Bapak dan Ibu yang masih adu mulut.

Akhir-akhir ini Bapak dan Ibu memang sering berantam, entah karena apa aku tidak tahu. Suara handphone dari kamar Sinta menghentikan langkahku menuju kamarku, aku langsung masuk ke kamarnya dan melihat handphone Sinta yang menyala di atas kasurnya.

Dia lupa membawa handphone, anak itu memang sering kelupaan dan akulah yang sering mengantarkan barangnya. Aku mengambil handphone yang sudah mati itu, menghidupkannya kembali dan melihat foto yang begitu ceria.

Ternyata selama ini akulah yang jadi orang ketiga, Mas Danu adalah cinta pertama dari Sinta begitupun sebaliknya. Foto Sinta dan Mas Danu semasa SMA, keduanya begitu bahagia dengan tangan berpegangan di tepi pantai.

Kenapa aku tidak kepikiran kalau Sinta adalah adik kelas dari Mas Danu? Seharusnya aku tidak penasaran lagi bagaimana awal keduanya dekat. Aku hanya sekolah sampai sekolah menengah pertama saja, setelah itu berjualan dan bekerja di restoran sampai sekarang.

Untung saja pemilik restoran tidak melihat status pendidikan, menerima aku dengan senang hati sebab aku sering membantu yang bukan menjadi pekerjaanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Sidang Pertama

    Aku mendapatkan kabar bahwa dari pihak mas Danu tidak bisa datang karena alasan sakit, aku tau mereka hanya menghindari sidang ini saja. Mereka pikir saat mereka tidak datang semuanya akan berlalu begitu saja, tidak akan. Aku pastikan jika sidang ke tiga mereka tidak datang, maka kepolisian yang akan datang ke tempat mereka. "Kenapa murung terus sih? Coba cerita dikit." Aku hanya tersenyum sedikit menanggapi Rara yang dari tadi berusaha untuk menghibur ku, sudah hampir sebulan setelah bercerai dengan mas Danu dan selama itu juga aku merasa hidupku tidak ada kebahagiaan lagi. "Kamu yang sudah jadi manajer di restoran ini saja masih sering galau, gimana sama anak-anak di bawah kamu, kayak aku ini. Udah lah Dina, semuanya akan berakhir baik nanti. Jangan pikirkan apa yang membuat kamu merasakan sakit hati, jalan kita masih panjang dan seharusnya kamu buktikan pada mereka kalau kamu bisa berkembang dengan baik." Penjelasan dari Rara hanya aku angguki pelan, apa yang dia kataka

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Sengketa

    "Sudah disini kamu rupanya, mana sertifikat rumah itu hah?! Enak saja kamu main ambil dan jual rumah itu. Rumah itu masih ada hak milik Sinta disitu." Suara ibunya Sinta memberhentikan pembicaraan ku dan istri barunya ayah, aku berdiri dan mendekat ke arah ibu Reni yang berdiri angkuh di depan warung. Di belakangnya terlihat mas Danu dan juga Sinta mendekat, Sinta memasang wajah angkuhnya sedang mas Danu terlihat tertekan. Tidak ada raut kebahagiaan di wajah mantan suamiku itu, mungkin dia sudah mulai mendapatkan karma nya sendiri. "Ayah saja yang sebagai istri dari ibu ku tidak memiliki hak disitu, apalagi anakmu itu. Lagian kalau mau sertifikat nya minta sama kepala desa, sertifikat nya sudah ada di tangannya," tegasku. "Kamu pikir dengan keangkuhan kamu itu aku bakalan takut?! nggak akan. Selama ini kamu juga sudah memakan uang ku, dan semua itu tidak akan pernah aku maafkan," lanjutku membuat ibunya Sinta langsung terkekeh kecil. "Jangan terlalu kejam kak, ingat, karma

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Ayah Selingkuh?

    "Kamu pulang dulu, ibu dan ayah akan berpisah. Ayah ketahuan selingkuh sama janda anak tiga." Pesan dari Santi aku baca dalam hati, pantas saja akhir-akhir ini ayah dan ibu sering adu mulut. Entah apa yang ada di dalam pikiran ayah sampai harus melakukan itu, padahal umurnya sudah tua dan tidak akan kuat lagi bekerja. Sinta mengirimkan lokasi mereka, tida terlalu jauh dari apartemen yang aku sewa. Setelah pulang bekerja aku langsung menuju ke lokasi yang Sinta katakan, belum sempat turun dari ojek aku melihat ayah yang sedang bermain dengan seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun. Aku berhenti, mendekat ke arah mereka yang sedang bermain di depan sebuah rumah makan kecil. Saat ada pelanggan yang datang, ayah langsung buru-buru menggendong anak itu lantas membuat kan pesanan pada pelanggan yang datang. "Doni duduk yang manis dulu ya, ayah siapkan makanan dulu. Jangan bandel, nanti ayah nggak akan mau main lagi kalau Doni bandel," ujar ayah dengan senyum tercetak je

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Hilang dan Berganti 2

    "Kalau bukan karena kemanusiaan, akan aku penjarakan kamu mas! Enak saja setelah kamu tipu aku dan khianati aku kamu masih bisa hidup dengan baik," gerutuku sambil naik ke lantai dua restoran. Bruk! "Aduh! Hati-hati kalau jalan!" Seruku saat aku menabrak satu pria yang berjalan di depanku. Padahal salahku karena berjalan terlalu cepat sampai menyenggol tubuh tingginya. Pria itu hanya diam, menatap jasnya lantas beralih padaku. Mata dengan manik coklat itu menajam, aku cuek saja dan memilih langsung pergi. "Hei! Mau kemana kamu hah?!" Teriak pria itu dari belakang. Aku berhenti dan berbalik, menatapnya dengan kekesalan. Pria itu mendekat, tatapan kami beradu. "Kenapa? Aku sedang sibuk dan tidak ada waktu melayani anda." "Apa ini sikap pelayan pada pembelinya? Sepertinya kamu perlu di laporkan pada atasan kamu, melihat sikap kamu yang tidak baik dan juga tidak profesional," dia memperhatikan aku dari atas sampai bawah. Aku diam terpaku mendengar apa yang dia katakan, m

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Hilang dan Berganti

    "Semoga, semoga semuanya akan lebih baik." Aku menarik nafas dalam-dalam, hari pertama bekerja kembali setelah seminggu aku libur. "Jangan banyak pikiran, nanti pak Edward marah loh. Nggak takut apa kalau itu pria tiba-tiba sudah ada di depan matamu dan melotot tajam?!" Ketus Rara dari samping ku. Aku hanya tersenyum samar menanggapi guyonannya, apa yang dia katakan memang benar. Kepala manajer kami itu tidak pandang bulu, aku yang sebagai manajer satu saja sering dia tegur gara-gara terlalu sibuk bekerja. Padahal yang aku lakukan baik dan tidak merugikan restoran, tapi bagi pak Edward bekerja berlebihan itu tidak bagus. "Dina! ke ruangan saya sekarang," baru saja di omongin orangnya sudah muncul. Aku mengekor di belakang pak Edward dan masuk ke dalam ruangannya. "Apa ada masalah pak?" Tanyaku setelah beliau duduk di bangkunya, aku berdiri di depan mejanya dengan perasaan tidak enak. "Tidak ada masalah, hanya saja suami kamu menelpon saya tadi. Apa ada masalah sampai kam

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Pesta atau Petaka?

    "Ini adik kamu itu, jauh cantikan kamu Dina. Dia sudah kayak tante-tante tau, ih! Kalau aku jadi kamu, aku bakalan langsung lapor ke polisi saja mereka ini," cerocos Rara. Wanita yang sudah menjadi sahabatku selama bekerja di restoran itu terlihat begitu marah. Wajar saja dia marah, aku menunjukkan gambar kemesraan Sinta dan mas Danu saat berada di sebuah hotel. Gambar itu aku ambil dari handphone milik Sinta, semua bukti sudah terkumpul dan tinggal menunggu waktu eksekusi."Mereka sudah dekat sejak SMA, aku saja yang bodoh sebab tidak mencari tau bagaimana pertemanan mas Danu selama berpacaran. Sinta itu cinta pertama mas Danu Ra, kamu tau kan kalau cinta pertama itu susah buat di lupakan," jelasku."Nggak masuk itungan kalau udah mantan Dina! Otak mantan suami kamu itu juga yang nggak waras. Terus adik tiri kamu itu, apa dia nggak kasihan sama kamu?! Selama ini kamu yang biayain dia biar bisa kuliah. Kamu rela lembur dan ngambil pekerjaan tambahan, itu wanita kurang ajar banget," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status