Share

Ancaman

Author: TintaMerah
last update Last Updated: 2025-09-07 15:05:38

"Din, kamu kenapa sih jadi cuek gini? Mas ada salah ya?" Mas Danu mengelus wajahku. Aku merasa jijik melihat tangannya itu, pasti dia sering memegang tangan Sinta. Aku masih penasaran awal pertama mereka dekat bagaimana, perasaan dari dulu Mas Danu terlihat dingin pada Sinta.

Mas Danu juga jarang bicara pada Sinta saat di rumah, mungkin cara bermain mereka rapi sampai aku tidak menyadari.

"Mas jangan pegang-pegang! Tangan kamu kotor itu. Pasti di pabrik kamu sering memegang benda kotor! Siapa tahu kamu juga sering memegang perempuan lagi," ketusku.

"Enak saja kamu! Kamu pikir aku di pabrik itu kerjanya jadi penghibur istri orang. Kerjaku di pabrik itu cuma melihat-lihat ruangan dan juga pekerja yang membuat kasur, otak kamu yang kotor itu," seru Mas Danu.

Pantatnya menjauh sedikit dariku, wajahnya berubah masam dan sesekali melirik aku dengan tatapan tajam.

"Kamu ini jadi istri tidak pernah mengerti perasaan aku, Din. Selama enam bulan kita nikah, kamu belum pernah berbuat hal yang spesial untukku. Aku lihat suami orang itu selalu diberi istrinya hadiah ataupun membuat suaminya senang," ujarnya.

"Harusnya aku yang minta sesuatu sama kamu, Mas! Kamu pikir istri orang sama aku itu sama apa?! Beda, bagaikan langit dan bumi. Kalau istri orang itu uang bulanannya tidak pernah diminta mertuanya, terus istrinya itu selalu diajak belanja dan liburan bareng. Kamu apa, Mas?" Tanyaku membuat wajah Mas Danu malah bertambah masam.

"Baru aja enam bulan kita nikah, Mas! Apa kamu pernah menanyakan apa beras sudah habis? Apa kamu pernah inisiatif untuk membelikan aku bedak? Hal kecil aja, kamu tidak pernah tuh bawain aku makanan. Terus dengan santainya kamu pesan makanan buat Sinta, bahkan aku lagi yang bayar. Tidak tahu malu kamu, Mas!" Lanjutku.

Sebenarnya tanganku sudah gatal ingin menggaruk pria di depanku ini, tapi kalau langsung aku ultimatum takutnya dia terjatuh dan dibawa ke rumah sakit. Uangku juga yang akan pergi nanti.

"Sinta kan adik kamu. Kamu jangan perhitungan sama dia, kalian itu tumbuh bersama dan juga harusnya kamu sebagai kakak ngalah," ujarnya.

"Cih! Aku ngalah, Mas?! Jangan sok tau kamu, Mas, sama kehidupan aku. Umurku sudah lebih dari 25 tahun, selama itu juga Sinta dan ibunya tidak pernah mau tahu tentang hidupku. Namanya saja tinggal serumah, tapi aku dibuat jadi babu. Setelah menikah sama kamu, aku bertambah melarat lagi, tambahin uang kuliah adik kamu. Rela bagi gaji aku buat keperluan rumah. Terus gunanya aku nikah apa, Mas?! Guna kamu apa sih sebenarnya?!" Tegasku.

"Masa bodo aku, entah itu buat siapa. Sekarang aja ibumu perhitungan sama adikmu itu, apalagi nanti dia tidak kerja. Mending kita pergi saja dari kota ini, Mas! Aku tidak tahan kalau terus begini," kataku.

Aku kasih kamu kesempatan, Mas. Aku mau lihat siapa yang akan kamu pilih, Sinta atau aku. Kalau kamu mau pindah dan kita pergi dari kota ini, aku tidak akan gugat cerai kamu.

"Tidak bisa gitu, Din! Aku sudah nyaman sama pekerjaan aku. Bukannya kamu juga mau bangun rumah di kota ini nanti, lagian pekerjaan kamu juga bagus tuh," tolak Mas Danu.

Aku menarik napas dalam-dalam, tanganku semakin gatal saja mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Kalau gitu, aku berhenti kerja ajalah. Aku kan tanggung jawab kamu, aku juga—"

"Apa-apaan kamu mau berhenti kerja segala?! Terus uang buat bangun rumah kita apa, hah?!" Suaranya meninggi.

Terlihat Mas Danu gelagapan setelah mengatakan itu, mungkin dia sadar kalau sekarang sifat aslinya mulai terlihat sedikit.

"Tidak bisa gitu dong, Din. Sekarang kamu yang punya pekerjaan bagus dan juga dari gaji kamu bisa buat nabung," kata Mas Danu memelankan suaranya, berusaha untuk mengelus kepalaku tapi langsung aku tepis kasar.

"Benar ya kata orang, janji sebelum pernikahan yang terucap dari mulut laki-laki tidak akan bisa dia tepati. Kamu jahat, Mas! Aku itu istri kamu. Tanggung jawab kamu, tapi kenapa aku yang malah menanggung keluarga kamu?" Lirihku.

Sesak di dada terasa berat sekali, inikah yang dinamakan putus cinta atau putus kepercayaan? Aku salah dalam memilih pasangan, bukan, bukan aku yang salah. Orang yang bersamaku yang tidak menghargai aku, Mas Danu yang tidak menjadikan aku sebagai cintanya.

"Aku minta maaf ya, sayang. Aku belum bisa kasih kamu yang terbaik. Aku janji, setelah adik aku selesai kuliah, aku akan kasih gaji aku sama kamu setengahnya," kata Mas Danu sambil mengelus kepalaku.

Tidak ada rasa nyaman di sana, yang ada hatiku malah semakin perih. Seperti ada yang memukul ulu hatiku, kata-kata manisnya yang selama ini aku yakini malah membuat diriku jatuh semakin dalam ke jurang nestapa.

"Mas, mari bercerai," ujarku pelan.

"Din, kamu ngomong apa, hah?! Kamu boleh ngeluh dan juga marah sama aku, tapi jangan sesekali kamu ngomong gitu!" Bentak Mas Danu dengan kilatan amarah tercetak jelas di wajahnya.

"Kita tetap bisa komunikasi, sampai adik kamu selesai kuliah saja. Aku capek, Mas, kalau harus lakukan ini itu tapi tidak dihargai sama sekali. Setiap kali aku ngomong dan cerita sama kamu, yang ada kamu cuma bilang aku harus sabar. Sesekali ngertiin sama ibu kamu kalau aku juga butuh dinafkahi, bukan aku tidak bersyukur, Mas. Tapi aku mau aku sedikit dihargai," jelasku.

"Tidak! Aku tidak mau kamu jauh dari aku, Dina. Aku akan bilang sama ibu kalau nanti uang gaji aku buat kamu dulu. Kamu tidak boleh jauh dari aku. Siapa nanti yang akan masak dan nyuci bajuku, hah?!" kata Mas Danu.

"Suruh Sinta aja, kasih dia uang. Dia pasti bakalan mau," jawabku.

Enak saja aku dibuat babu, selama ini aku mau melakukan pekerjaan rumah sebab aku masih menghargai ayah. Tapi setelah sekian lama, rupanya apa yang aku lakukan itu tidak dihargai oleh ayah sendiri. Yang ada aku malah terus dipaksa bekerja, putus sekolah, dan mengalah agar Sinta bisa kuliah.

"Kamu ngomong apa sih?! Kamu masih cemburu sama Sinta sebab aku belikan dia makanan?" Tanya Mas Danu.

"Tidak, Mas! Kamu nikah aja sama dia, aku tidak akan cemburu," ketusku.

Mas Danu menelan ludah kelat, tampak jakunnya naik turun setelah aku mengatakan itu.

"Nanti kamu nangis lagi kalau aku beneran nikah sama dia," kata Mas Danu dengan nada mengejek.

"Tidak bakalan, coba aja nikah sama dia biar kalian aku usir dari rumah ibu ini. Sekalipun kamu tidak nikah sama dia, tapi kamu ketahuan selingkuh sama orang lain, siap-siap aja buat pergi dari pekerjaan kamu itu. Paman Sapto kan sayang banget sama aku, aku akan buat kamu dipecat dari pekerjaan kamu itu dalam waktu satu menit," tegas aku.

Kembali Mas Danu menelan ludah, takut juga kan kamu, Mas?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    kejutan

    Handphone Sinta masih berada di genggaman ku, sedikit penasaran dengan isinya, aku membuka handphone tersebut. Ternyata tidak di kunci, mungkin Sinta yakin aku tidak akan mencurigai nya sebab selama ini aku masa bodoh dengan urusannya. Aku tidak pernah ikut campur urusan Sinta, kecuali itu urusan keuangan. Namun, sekarang setelah dia bekerja, aku tidak pernah lagi dia mintai uang. Berganti pada ibuk yang hampir setiap minggu meminta uang dengan alasan arisan dan juga uang iuran. Untuk urusan dapur, mereka tidak pernah ambil pusing. Akulah yang selama ini memenuhi kebutuhan dapur, mengesampingkan perawatan dan juga keperluan badanku demi bisa memenuhi kebutuhan keluarga. "Astaga!" Seruku dengan suara tertahan, aku refleks menutup mulut saat melihat galeri foto Sinta yang penuh dengan isi gambar terlarang. Begitu banyak, bahkan ada juga beberapa video biru yang diambil secara langsung dari handphone tersebut. Tanganku gemetar melihat gambar-gambar itu, Sinta dengan tak tau malu mem

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Awal Dekat

    Satu hari sebelum pesta yang dikatakan oleh pihak percetakan, aku langsung pergi untuk melihat lokasi yang sudah ditentukan. Gedung mewah yang Mas Danu sewa ternyata begitu ramai, banyak perias ruangan dan juga beberapa staf yang mempersiapkan pesta besok.Aku tahu untuk sewa gedung lantai bawah ini saja kita harus merogoh kocek sebanyak 3 juta dalam satu jam. Pantas saja uang di tabunganku hilang lebih dari setengahnya. Aku mengumpulkan uang itu selama lebih dari dua tahun bekerja di restoran, dengan gaji lima juta sebulan aku harus bisa hemat. Kebutuhan rumah akulah yang mengadakan. Bahkan saat Sinta kuliah, akulah orang yang membiayai kuliahnya.Maka dari itu, selama dia kuliah aku tidak bisa menabung apa pun untuk diriku. Setelah dia selesai kuliah, aku mulai diangkat menjadi manajer di restoran mewah yang lebih dari lima tahun aku huni. Bekerja dari tukang bersih-bersih sampai jadi pelayan sudah aku lakukan. Bahkan aku melakukan pekerjaan mencuci piring sampai sekarang, itu sem

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Ancaman

    "Din, kamu kenapa sih jadi cuek gini? Mas ada salah ya?" Mas Danu mengelus wajahku. Aku merasa jijik melihat tangannya itu, pasti dia sering memegang tangan Sinta. Aku masih penasaran awal pertama mereka dekat bagaimana, perasaan dari dulu Mas Danu terlihat dingin pada Sinta. Mas Danu juga jarang bicara pada Sinta saat di rumah, mungkin cara bermain mereka rapi sampai aku tidak menyadari."Mas jangan pegang-pegang! Tangan kamu kotor itu. Pasti di pabrik kamu sering memegang benda kotor! Siapa tahu kamu juga sering memegang perempuan lagi," ketusku."Enak saja kamu! Kamu pikir aku di pabrik itu kerjanya jadi penghibur istri orang. Kerjaku di pabrik itu cuma melihat-lihat ruangan dan juga pekerja yang membuat kasur, otak kamu yang kotor itu," seru Mas Danu.Pantatnya menjauh sedikit dariku, wajahnya berubah masam dan sesekali melirik aku dengan tatapan tajam."Kamu ini jadi istri tidak pernah mengerti perasaan aku, Din. Selama enam bulan kita nikah, kamu belum pernah berbuat hal yang

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Sakit Hati

    "Kakak yakin kalau ini benar-benar dari Bapak Danuarta?" Tanyaku pada seorang kurir pengantar makanan. Sampai di rumah, bukannya langsung istirahat, aku malah mendapati kurir makanan yang sedang menunggu. Rupanya Mas Danu memesan makanan untuk Sinta, tapi yang membayar malah aku."Iya, Buk. Ini atas nama Bu Dina kan? Tapi di pesan yang dikirim makanannya untuk Bu Sinta. Mungkin ada kesalahpahaman di sini," jawab kurir tersebut. Ting! Sebuah pesan masuk. "Sayang, kamu bayarin makanan yang aku pesan itu dulu ya. Nanti kasih sama Sinta, dia sudah lama minta makanan itu. Katanya kamu tidak mau belikan dia." Pesan dari Mas Danu aku baca dalam hati. Aku langsung membayar biaya makanan dan membawanya masuk.Seonggok mie ayam dengan es yang sedang viral aku tatap dengan perasaan jengkel. Sepertinya hatiku sudah menjadi batu sekarang karena aku tidak sakit hati dengan perbuatan Mas Danu. Lagian untuk apa aku sakit hati? Tuhan sudah baik padaku dengan menunjukkan kebusukan mereka dan seka

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Saatnya Berpisah

    Aku bangkit dari keterpurukan, memilih tegar meski hatiku sudah setengah luruh. Sebelum nyawa melayang, aku masih bisa berjuang dan tidak akan mau dijadikan budak lagi. Sudah cukup enam bulan ini, ke depannya tidak akan ada lagi Dina yang sabar dan juga pengertian. Tidak akan ada lagi pengeluaran untuk besok dan seterusnya.Cermin di depanku menunjukkan wajah yang sangat lelah. Untung saja hari ini aku sedang libur kerja dan aku bisa melakukan sedikit pemulihan hati. Aku mentransfer uang yang dari m-banking ke kartu ku yang lain, kartu dari restoran yang tersedia untuk semua karyawan.Sebenarnya uang di tabungan itu bukan keseluruhan uang yang aku miliki. Gaji selama enam bulan ini belum tersentuh dan aku simpan di kartu karyawan tersebut. Sekarang aku harus ke kantor pengadilan, meminta surat cerai setelah itu pergi dari rumah ini. Biarlah rumah mendiang ibu ini aku hadiahkan untuk mereka karena selama ini sudah merawatku secara tidak adil. Biar bagaimanapun, aku sudah mendapatkan n

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Gajiku untuk Pernikahan Suamiku

    "Dina! Kamu di mana?!" Mas Danu berseru dari luar. Aku buru-buru mengelap wajah dan masuk ke kamar mandi. Aku tidak mau dia melihat kondisiku yang berantakan, bisa saja nanti dia curiga kalau aku sudah mengetahui kelakuan busuknya. Tok-tok-tok! "Sayang, kamu di dalam ya? Aku lanjut pergi kerja ya." Pintu kamar mandi diketuknya. "Iya, Mas! Hati-hati," seruku.Biasanya aku selalu menyalami tangannya saat dia pergi bekerja. Mas Danu juga akan mencium keningku dengan senyum yang terus terukir di wajahnya. Hari ini, bahkan bekal yang selalu aku siapkan tidak dia pertanyakan lagi."Mas, apa ada yang masih kurang dariku?" Aku terduduk di lantai, perlahan tubuhku merosot begitu saja dan badanku kini sudah rebahan di lantai kamar mandi yang masih basah.Berpacaran selama dua tahun dengannya bukanlah waktu yang sebentar. Kami sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan aku sering kerumah orang tuanya. Aku pikir dengan hubungan yang terjalin hangat akan membuat kebahagiaan berpihak padaku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status