Share

Sakit Hati

Author: TintaMerah
last update Last Updated: 2025-09-06 18:41:16

"Kakak yakin kalau ini benar-benar dari Bapak Danuarta?" Tanyaku pada seorang kurir pengantar makanan.

Sampai di rumah, bukannya langsung istirahat, aku malah mendapati kurir makanan yang sedang menunggu. Rupanya Mas Danu memesan makanan untuk Sinta, tapi yang membayar malah aku.

"Iya, Buk. Ini atas nama Bu Dina kan? Tapi di pesan yang dikirim makanannya untuk Bu Sinta. Mungkin ada kesalahpahaman di sini," jawab kurir tersebut.

Ting!

Sebuah pesan masuk.

"Sayang, kamu bayarin makanan yang aku pesan itu dulu ya. Nanti kasih sama Sinta, dia sudah lama minta makanan itu. Katanya kamu tidak mau belikan dia." Pesan dari Mas Danu aku baca dalam hati. Aku langsung membayar biaya makanan dan membawanya masuk.

Seonggok mie ayam dengan es yang sedang viral aku tatap dengan perasaan jengkel. Sepertinya hatiku sudah menjadi batu sekarang karena aku tidak sakit hati dengan perbuatan Mas Danu.

Lagian untuk apa aku sakit hati? Tuhan sudah baik padaku dengan menunjukkan kebusukan mereka dan sekarang tugasku hanya menjauh dari semua bau busuk itu.

Mie ayam itu aku makan dengan lahap, begitu juga dengan es yang tidak aku masukkan ke kulkas tapi aku masukkan ke perutku. Benar-benar enak sekali, pantas saja dari kemarin Sinta minta dibelikan es tersebut. Tapi aku menolak, lagian dia memintanya dengan ekspresi seperti menyuruh pelayannya sendiri.

Setelah selesai makan, aku malah termenung di atas kasur. Memikirkan bagaimana caranya agar aku tahu di mana resepsi Mas Danu dan Sinta akan dilakukan, aku harus tahu dan aku tidak akan melepaskan keduanya.

Untung saja aku hidup bersama Mas Danu hanya enam bulan, kalau ke depannya masih lanjut apa rasa sakitnya masih bisa terobati? Bukan sakit hati, aku pasti akan gila.

Untungnya lagi, aku tipe wanita yang keras kepala. Tidak mudah ditindas, hanya saja aku sedikit baik hati dan mudah kasihan.

"Mas Danu, wajahnya itu tidak tampan-tampan amat, kenapa dulu aku suka?!" Gerutuku.

Ada rasa kecewa yang teramat besar yang aku rasakan. Setelah semua yang aku berikan padanya, pria satu itu malah mendorongku ke lubang neraka yang amat membara.

"Enak saja aku yang sakit hati, kamu yang akan menyesal sudah menyia-nyiakan aku, Mas! Kamu pikir Sinta itu akan mau menerima keluarga kamu yang super menyebalkan itu, hah?! Mimpi kamu, Mas!" Aku terus bermonolog layaknya orang gila.

Melampiaskan amarah di dalam kamar setelah kenyang makan mie ayam.

"Kamu kuat, Dina. Siapa bilang kamu tidak bisa hidup sendiri tanpa mereka? Dina kuat dan tidak mau dijatuhkan apalagi harga dirinya dipermainkan." Aku menepuk dadaku. Menyemangati diri sendiri meski air mata malah luruh begitu saja.

"Brengsek! Kamu pria brengsek, Mas!" Teriakku.

Apa mungkin aku akan gila? Aku bicara dengan diri sendiri, meratapi nasib yang begitu nestapa ini. Wanita mana yang tidak akan sakit hati melihat prianya memiliki pasangan dengan orang terdekatnya? Wanita mana, hah?! Mungkin di seluruh dunia ini tidak akan ada wanita yang tetap tegar jika mendapatkan nasib sepertiku.

"Dina! Buka pintunya! Dasar anak tidak tahu diri kamu. Kamu permalukan aku di hadapan ibu-ibu arisan! Keluar, anak kurang ajar!" Pintu kamar di gebrak kuat oleh Ibu.

"Makanan aku mana, Kak?! Kata Mas Danu kamu yang ambil tadi." Berlanjut dengan teriakan Sinta.

"Dina, buka!" Teriak Ibu lagi.

Dengan langkah malas, aku mendekat ke arah pintu dan membuka pelan. Ibu malah terjatuh tepat di hadapanku. Aku meringis kesakitan dengan posisinya yang telungkup ke lantai.

"Astaga, Ibu! Kamu ini apa-apaan, Kak?!" Teriak Sinta. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal melihat Sinta yang berusaha untuk membantu Ibu.

"Nggak sengaja, lagian kalian kenapa ribut-ribut? Aku lagi tidur malah diganggu," ketusku sambil menggaruk ketiak.

Padahal aku hanya berusaha untuk menyembunyikan kesedihan, pasti mataku sedikit bengkak akibat menangis tadi.

"Kenapa kamu tidak ngirim uang arisan ibu, hah?!" Bentak wanita bertubuh bongsor di hadapanku. Matanya menatapku tajam, membuat keriput di sekeliling matanya langsung berlipat.

"Aku kan sudah bilang, Bu. Aku tidak ada uang. Kayaknya Ibu sudah mulai tuli ini, dari kemarin kan aku sudah bilang tidak ada," jawabku santai.

"Halah! Terus uang yang di tabungan kamu itu buat apa, hah?! Buat bangun rumah kamu di kubur nanti. Jadi orang jangan pelit, Din!" Bentak Ibu.

"Tabunganku yang mana? Sejak kapan aku punya tabungan? Kayak anak orang kaya aja aku punya tabungan segala. Coba tanya Mas Danu, siapa tahu dia punya tabungan buat bayar arisan Ibu itu," jawabku.

"Udahlah, Bu! Nanti aku yang bayarin arisan Ibu. Ibu mending pergi ke kamar, istirahat atau mandi," Sinta mendorong pelan punggung Ibu agar menjauh dari hadapanku.

Aku bisa melihat wajah kepanikan di wajah Sinta. Kalau aku belum tahu bangkai yang dia sembunyikan, aku hanya akan bersikap biasa saja. Tapi melihat wajahnya, aku ingin sekali menggaruknya dan juga menyiramnya dengan air aki.

"Mana makananku, Kak? Kata Mas Danu kamu yang ambil tadi," tanya Sinta.

"Itu... udah aku habisin. Lagian siapa bilang makanan itu buat kamu? Orang istrinya Mas Danu aku, bukan kamu. Uang buat bayarnya aja uang aku, bukan uang kamu," jawabku.

Aku menunjuk ke meja di dalam kamar. Mulut Sinta seketika menganga lebar. Aku mendorongnya ke atas dengan jari telunjuk, tapi langsung dia tepis.

"Kak! Makanan itu buat aku tahu! Mas Danu! Lihat itu, Kak Dina habisin makanan aku!" Teriak Sinta yang langsung pergi menjauh untuk memanggil Mas Danu.

Ting!

"Kak, ini kita dari pihak percetakan. Lokasi dan juga pihak dekor sudah kita dapat, ini nomornya." Aku tersenyum sedikit melihat pesan yang masuk.

Jadi mereka sudah menyiapkan pesta itu. Baiklah, mari kita hadiri undangan mantan suami dan juga adik tiri.

"Din! Kamu ini apa-apaan?! Makanan itu buat Sinta tahu, bukan buat kamu!" Bentak Mas Danu yang tiba-tiba muncul.

Sinta mengekor di belakang dengan wajah masam. Aku abaikan, namun tatapan tajam terjurus pada Mas Danu.

"Kamu pria pelit ya, Mas! Sinta kamu belikan sedang aku tidak. Dia kan punya gaji dan bisa beli sendiri, lagian semenjak kita nikah kamu tidak pernah belikan aku makanan kayak dia. Guna kamu jadi suami apa, Mas?!" Gerutuku membuat Mas Danu melihat ke sekeliling dengan wajah gelisah.

"Kamu juga!" Tunjukku pada Sinta.

"Kamu jadi cewek jangan gatal ya! Mas Danu itu ipar kamu, bukan orang yang bisa kamu suruh-suruh aja." Wanita itu malah membelalakkan matanya.

Aku melengos pergi dari hadapan mereka, muak sekali melihat keduanya dengan ekspresi tanpa rasa dosa itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Sidang Pertama

    Aku mendapatkan kabar bahwa dari pihak mas Danu tidak bisa datang karena alasan sakit, aku tau mereka hanya menghindari sidang ini saja. Mereka pikir saat mereka tidak datang semuanya akan berlalu begitu saja, tidak akan. Aku pastikan jika sidang ke tiga mereka tidak datang, maka kepolisian yang akan datang ke tempat mereka. "Kenapa murung terus sih? Coba cerita dikit." Aku hanya tersenyum sedikit menanggapi Rara yang dari tadi berusaha untuk menghibur ku, sudah hampir sebulan setelah bercerai dengan mas Danu dan selama itu juga aku merasa hidupku tidak ada kebahagiaan lagi. "Kamu yang sudah jadi manajer di restoran ini saja masih sering galau, gimana sama anak-anak di bawah kamu, kayak aku ini. Udah lah Dina, semuanya akan berakhir baik nanti. Jangan pikirkan apa yang membuat kamu merasakan sakit hati, jalan kita masih panjang dan seharusnya kamu buktikan pada mereka kalau kamu bisa berkembang dengan baik." Penjelasan dari Rara hanya aku angguki pelan, apa yang dia kataka

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Sengketa

    "Sudah disini kamu rupanya, mana sertifikat rumah itu hah?! Enak saja kamu main ambil dan jual rumah itu. Rumah itu masih ada hak milik Sinta disitu." Suara ibunya Sinta memberhentikan pembicaraan ku dan istri barunya ayah, aku berdiri dan mendekat ke arah ibu Reni yang berdiri angkuh di depan warung. Di belakangnya terlihat mas Danu dan juga Sinta mendekat, Sinta memasang wajah angkuhnya sedang mas Danu terlihat tertekan. Tidak ada raut kebahagiaan di wajah mantan suamiku itu, mungkin dia sudah mulai mendapatkan karma nya sendiri. "Ayah saja yang sebagai istri dari ibu ku tidak memiliki hak disitu, apalagi anakmu itu. Lagian kalau mau sertifikat nya minta sama kepala desa, sertifikat nya sudah ada di tangannya," tegasku. "Kamu pikir dengan keangkuhan kamu itu aku bakalan takut?! nggak akan. Selama ini kamu juga sudah memakan uang ku, dan semua itu tidak akan pernah aku maafkan," lanjutku membuat ibunya Sinta langsung terkekeh kecil. "Jangan terlalu kejam kak, ingat, karma

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Ayah Selingkuh?

    "Kamu pulang dulu, ibu dan ayah akan berpisah. Ayah ketahuan selingkuh sama janda anak tiga." Pesan dari Santi aku baca dalam hati, pantas saja akhir-akhir ini ayah dan ibu sering adu mulut. Entah apa yang ada di dalam pikiran ayah sampai harus melakukan itu, padahal umurnya sudah tua dan tidak akan kuat lagi bekerja. Sinta mengirimkan lokasi mereka, tida terlalu jauh dari apartemen yang aku sewa. Setelah pulang bekerja aku langsung menuju ke lokasi yang Sinta katakan, belum sempat turun dari ojek aku melihat ayah yang sedang bermain dengan seorang anak kecil berumur sekitar delapan tahun. Aku berhenti, mendekat ke arah mereka yang sedang bermain di depan sebuah rumah makan kecil. Saat ada pelanggan yang datang, ayah langsung buru-buru menggendong anak itu lantas membuat kan pesanan pada pelanggan yang datang. "Doni duduk yang manis dulu ya, ayah siapkan makanan dulu. Jangan bandel, nanti ayah nggak akan mau main lagi kalau Doni bandel," ujar ayah dengan senyum tercetak je

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Hilang dan Berganti 2

    "Kalau bukan karena kemanusiaan, akan aku penjarakan kamu mas! Enak saja setelah kamu tipu aku dan khianati aku kamu masih bisa hidup dengan baik," gerutuku sambil naik ke lantai dua restoran. Bruk! "Aduh! Hati-hati kalau jalan!" Seruku saat aku menabrak satu pria yang berjalan di depanku. Padahal salahku karena berjalan terlalu cepat sampai menyenggol tubuh tingginya. Pria itu hanya diam, menatap jasnya lantas beralih padaku. Mata dengan manik coklat itu menajam, aku cuek saja dan memilih langsung pergi. "Hei! Mau kemana kamu hah?!" Teriak pria itu dari belakang. Aku berhenti dan berbalik, menatapnya dengan kekesalan. Pria itu mendekat, tatapan kami beradu. "Kenapa? Aku sedang sibuk dan tidak ada waktu melayani anda." "Apa ini sikap pelayan pada pembelinya? Sepertinya kamu perlu di laporkan pada atasan kamu, melihat sikap kamu yang tidak baik dan juga tidak profesional," dia memperhatikan aku dari atas sampai bawah. Aku diam terpaku mendengar apa yang dia katakan, m

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Hilang dan Berganti

    "Semoga, semoga semuanya akan lebih baik." Aku menarik nafas dalam-dalam, hari pertama bekerja kembali setelah seminggu aku libur. "Jangan banyak pikiran, nanti pak Edward marah loh. Nggak takut apa kalau itu pria tiba-tiba sudah ada di depan matamu dan melotot tajam?!" Ketus Rara dari samping ku. Aku hanya tersenyum samar menanggapi guyonannya, apa yang dia katakan memang benar. Kepala manajer kami itu tidak pandang bulu, aku yang sebagai manajer satu saja sering dia tegur gara-gara terlalu sibuk bekerja. Padahal yang aku lakukan baik dan tidak merugikan restoran, tapi bagi pak Edward bekerja berlebihan itu tidak bagus. "Dina! ke ruangan saya sekarang," baru saja di omongin orangnya sudah muncul. Aku mengekor di belakang pak Edward dan masuk ke dalam ruangannya. "Apa ada masalah pak?" Tanyaku setelah beliau duduk di bangkunya, aku berdiri di depan mejanya dengan perasaan tidak enak. "Tidak ada masalah, hanya saja suami kamu menelpon saya tadi. Apa ada masalah sampai kam

  • Gajiku untuk Pernikahan Suamiku    Pesta atau Petaka?

    "Ini adik kamu itu, jauh cantikan kamu Dina. Dia sudah kayak tante-tante tau, ih! Kalau aku jadi kamu, aku bakalan langsung lapor ke polisi saja mereka ini," cerocos Rara. Wanita yang sudah menjadi sahabatku selama bekerja di restoran itu terlihat begitu marah. Wajar saja dia marah, aku menunjukkan gambar kemesraan Sinta dan mas Danu saat berada di sebuah hotel. Gambar itu aku ambil dari handphone milik Sinta, semua bukti sudah terkumpul dan tinggal menunggu waktu eksekusi."Mereka sudah dekat sejak SMA, aku saja yang bodoh sebab tidak mencari tau bagaimana pertemanan mas Danu selama berpacaran. Sinta itu cinta pertama mas Danu Ra, kamu tau kan kalau cinta pertama itu susah buat di lupakan," jelasku."Nggak masuk itungan kalau udah mantan Dina! Otak mantan suami kamu itu juga yang nggak waras. Terus adik tiri kamu itu, apa dia nggak kasihan sama kamu?! Selama ini kamu yang biayain dia biar bisa kuliah. Kamu rela lembur dan ngambil pekerjaan tambahan, itu wanita kurang ajar banget," s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status