"Kakak yakin kalau ini benar-benar dari Bapak Danuarta?" Tanyaku pada seorang kurir pengantar makanan.
Sampai di rumah, bukannya langsung istirahat, aku malah mendapati kurir makanan yang sedang menunggu. Rupanya Mas Danu memesan makanan untuk Sinta, tapi yang membayar malah aku. "Iya, Buk. Ini atas nama Bu Dina kan? Tapi di pesan yang dikirim makanannya untuk Bu Sinta. Mungkin ada kesalahpahaman di sini," jawab kurir tersebut. Ting! Sebuah pesan masuk. "Sayang, kamu bayarin makanan yang aku pesan itu dulu ya. Nanti kasih sama Sinta, dia sudah lama minta makanan itu. Katanya kamu tidak mau belikan dia." Pesan dari Mas Danu aku baca dalam hati. Aku langsung membayar biaya makanan dan membawanya masuk. Seonggok mie ayam dengan es yang sedang viral aku tatap dengan perasaan jengkel. Sepertinya hatiku sudah menjadi batu sekarang karena aku tidak sakit hati dengan perbuatan Mas Danu. Lagian untuk apa aku sakit hati? Tuhan sudah baik padaku dengan menunjukkan kebusukan mereka dan sekarang tugasku hanya menjauh dari semua bau busuk itu. Mie ayam itu aku makan dengan lahap, begitu juga dengan es yang tidak aku masukkan ke kulkas tapi aku masukkan ke perutku. Benar-benar enak sekali, pantas saja dari kemarin Sinta minta dibelikan es tersebut. Tapi aku menolak, lagian dia memintanya dengan ekspresi seperti menyuruh pelayannya sendiri. Setelah selesai makan, aku malah termenung di atas kasur. Memikirkan bagaimana caranya agar aku tahu di mana resepsi Mas Danu dan Sinta akan dilakukan, aku harus tahu dan aku tidak akan melepaskan keduanya. Untung saja aku hidup bersama Mas Danu hanya enam bulan, kalau ke depannya masih lanjut apa rasa sakitnya masih bisa terobati? Bukan sakit hati, aku pasti akan gila. Untungnya lagi, aku tipe wanita yang keras kepala. Tidak mudah ditindas, hanya saja aku sedikit baik hati dan mudah kasihan. "Mas Danu, wajahnya itu tidak tampan-tampan amat, kenapa dulu aku suka?!" Gerutuku. Ada rasa kecewa yang teramat besar yang aku rasakan. Setelah semua yang aku berikan padanya, pria satu itu malah mendorongku ke lubang neraka yang amat membara. "Enak saja aku yang sakit hati, kamu yang akan menyesal sudah menyia-nyiakan aku, Mas! Kamu pikir Sinta itu akan mau menerima keluarga kamu yang super menyebalkan itu, hah?! Mimpi kamu, Mas!" Aku terus bermonolog layaknya orang gila. Melampiaskan amarah di dalam kamar setelah kenyang makan mie ayam. "Kamu kuat, Dina. Siapa bilang kamu tidak bisa hidup sendiri tanpa mereka? Dina kuat dan tidak mau dijatuhkan apalagi harga dirinya dipermainkan." Aku menepuk dadaku. Menyemangati diri sendiri meski air mata malah luruh begitu saja. "Brengsek! Kamu pria brengsek, Mas!" Teriakku. Apa mungkin aku akan gila? Aku bicara dengan diri sendiri, meratapi nasib yang begitu nestapa ini. Wanita mana yang tidak akan sakit hati melihat prianya memiliki pasangan dengan orang terdekatnya? Wanita mana, hah?! Mungkin di seluruh dunia ini tidak akan ada wanita yang tetap tegar jika mendapatkan nasib sepertiku. "Dina! Buka pintunya! Dasar anak tidak tahu diri kamu. Kamu permalukan aku di hadapan ibu-ibu arisan! Keluar, anak kurang ajar!" Pintu kamar di gebrak kuat oleh Ibu. "Makanan aku mana, Kak?! Kata Mas Danu kamu yang ambil tadi." Berlanjut dengan teriakan Sinta. "Dina, buka!" Teriak Ibu lagi. Dengan langkah malas, aku mendekat ke arah pintu dan membuka pelan. Ibu malah terjatuh tepat di hadapanku. Aku meringis kesakitan dengan posisinya yang telungkup ke lantai. "Astaga, Ibu! Kamu ini apa-apaan, Kak?!" Teriak Sinta. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal melihat Sinta yang berusaha untuk membantu Ibu. "Nggak sengaja, lagian kalian kenapa ribut-ribut? Aku lagi tidur malah diganggu," ketusku sambil menggaruk ketiak. Padahal aku hanya berusaha untuk menyembunyikan kesedihan, pasti mataku sedikit bengkak akibat menangis tadi. "Kenapa kamu tidak ngirim uang arisan ibu, hah?!" Bentak wanita bertubuh bongsor di hadapanku. Matanya menatapku tajam, membuat keriput di sekeliling matanya langsung berlipat. "Aku kan sudah bilang, Bu. Aku tidak ada uang. Kayaknya Ibu sudah mulai tuli ini, dari kemarin kan aku sudah bilang tidak ada," jawabku santai. "Halah! Terus uang yang di tabungan kamu itu buat apa, hah?! Buat bangun rumah kamu di kubur nanti. Jadi orang jangan pelit, Din!" Bentak Ibu. "Tabunganku yang mana? Sejak kapan aku punya tabungan? Kayak anak orang kaya aja aku punya tabungan segala. Coba tanya Mas Danu, siapa tahu dia punya tabungan buat bayar arisan Ibu itu," jawabku. "Udahlah, Bu! Nanti aku yang bayarin arisan Ibu. Ibu mending pergi ke kamar, istirahat atau mandi," Sinta mendorong pelan punggung Ibu agar menjauh dari hadapanku. Aku bisa melihat wajah kepanikan di wajah Sinta. Kalau aku belum tahu bangkai yang dia sembunyikan, aku hanya akan bersikap biasa saja. Tapi melihat wajahnya, aku ingin sekali menggaruknya dan juga menyiramnya dengan air aki. "Mana makananku, Kak? Kata Mas Danu kamu yang ambil tadi," tanya Sinta. "Itu... udah aku habisin. Lagian siapa bilang makanan itu buat kamu? Orang istrinya Mas Danu aku, bukan kamu. Uang buat bayarnya aja uang aku, bukan uang kamu," jawabku. Aku menunjuk ke meja di dalam kamar. Mulut Sinta seketika menganga lebar. Aku mendorongnya ke atas dengan jari telunjuk, tapi langsung dia tepis. "Kak! Makanan itu buat aku tahu! Mas Danu! Lihat itu, Kak Dina habisin makanan aku!" Teriak Sinta yang langsung pergi menjauh untuk memanggil Mas Danu. Ting! "Kak, ini kita dari pihak percetakan. Lokasi dan juga pihak dekor sudah kita dapat, ini nomornya." Aku tersenyum sedikit melihat pesan yang masuk. Jadi mereka sudah menyiapkan pesta itu. Baiklah, mari kita hadiri undangan mantan suami dan juga adik tiri. "Din! Kamu ini apa-apaan?! Makanan itu buat Sinta tahu, bukan buat kamu!" Bentak Mas Danu yang tiba-tiba muncul. Sinta mengekor di belakang dengan wajah masam. Aku abaikan, namun tatapan tajam terjurus pada Mas Danu. "Kamu pria pelit ya, Mas! Sinta kamu belikan sedang aku tidak. Dia kan punya gaji dan bisa beli sendiri, lagian semenjak kita nikah kamu tidak pernah belikan aku makanan kayak dia. Guna kamu jadi suami apa, Mas?!" Gerutuku membuat Mas Danu melihat ke sekeliling dengan wajah gelisah. "Kamu juga!" Tunjukku pada Sinta. "Kamu jadi cewek jangan gatal ya! Mas Danu itu ipar kamu, bukan orang yang bisa kamu suruh-suruh aja." Wanita itu malah membelalakkan matanya. Aku melengos pergi dari hadapan mereka, muak sekali melihat keduanya dengan ekspresi tanpa rasa dosa itu.Handphone Sinta masih berada di genggaman ku, sedikit penasaran dengan isinya, aku membuka handphone tersebut. Ternyata tidak di kunci, mungkin Sinta yakin aku tidak akan mencurigai nya sebab selama ini aku masa bodoh dengan urusannya. Aku tidak pernah ikut campur urusan Sinta, kecuali itu urusan keuangan. Namun, sekarang setelah dia bekerja, aku tidak pernah lagi dia mintai uang. Berganti pada ibuk yang hampir setiap minggu meminta uang dengan alasan arisan dan juga uang iuran. Untuk urusan dapur, mereka tidak pernah ambil pusing. Akulah yang selama ini memenuhi kebutuhan dapur, mengesampingkan perawatan dan juga keperluan badanku demi bisa memenuhi kebutuhan keluarga. "Astaga!" Seruku dengan suara tertahan, aku refleks menutup mulut saat melihat galeri foto Sinta yang penuh dengan isi gambar terlarang. Begitu banyak, bahkan ada juga beberapa video biru yang diambil secara langsung dari handphone tersebut. Tanganku gemetar melihat gambar-gambar itu, Sinta dengan tak tau malu mem
Satu hari sebelum pesta yang dikatakan oleh pihak percetakan, aku langsung pergi untuk melihat lokasi yang sudah ditentukan. Gedung mewah yang Mas Danu sewa ternyata begitu ramai, banyak perias ruangan dan juga beberapa staf yang mempersiapkan pesta besok.Aku tahu untuk sewa gedung lantai bawah ini saja kita harus merogoh kocek sebanyak 3 juta dalam satu jam. Pantas saja uang di tabunganku hilang lebih dari setengahnya. Aku mengumpulkan uang itu selama lebih dari dua tahun bekerja di restoran, dengan gaji lima juta sebulan aku harus bisa hemat. Kebutuhan rumah akulah yang mengadakan. Bahkan saat Sinta kuliah, akulah orang yang membiayai kuliahnya.Maka dari itu, selama dia kuliah aku tidak bisa menabung apa pun untuk diriku. Setelah dia selesai kuliah, aku mulai diangkat menjadi manajer di restoran mewah yang lebih dari lima tahun aku huni. Bekerja dari tukang bersih-bersih sampai jadi pelayan sudah aku lakukan. Bahkan aku melakukan pekerjaan mencuci piring sampai sekarang, itu sem
"Din, kamu kenapa sih jadi cuek gini? Mas ada salah ya?" Mas Danu mengelus wajahku. Aku merasa jijik melihat tangannya itu, pasti dia sering memegang tangan Sinta. Aku masih penasaran awal pertama mereka dekat bagaimana, perasaan dari dulu Mas Danu terlihat dingin pada Sinta. Mas Danu juga jarang bicara pada Sinta saat di rumah, mungkin cara bermain mereka rapi sampai aku tidak menyadari."Mas jangan pegang-pegang! Tangan kamu kotor itu. Pasti di pabrik kamu sering memegang benda kotor! Siapa tahu kamu juga sering memegang perempuan lagi," ketusku."Enak saja kamu! Kamu pikir aku di pabrik itu kerjanya jadi penghibur istri orang. Kerjaku di pabrik itu cuma melihat-lihat ruangan dan juga pekerja yang membuat kasur, otak kamu yang kotor itu," seru Mas Danu.Pantatnya menjauh sedikit dariku, wajahnya berubah masam dan sesekali melirik aku dengan tatapan tajam."Kamu ini jadi istri tidak pernah mengerti perasaan aku, Din. Selama enam bulan kita nikah, kamu belum pernah berbuat hal yang
"Kakak yakin kalau ini benar-benar dari Bapak Danuarta?" Tanyaku pada seorang kurir pengantar makanan. Sampai di rumah, bukannya langsung istirahat, aku malah mendapati kurir makanan yang sedang menunggu. Rupanya Mas Danu memesan makanan untuk Sinta, tapi yang membayar malah aku."Iya, Buk. Ini atas nama Bu Dina kan? Tapi di pesan yang dikirim makanannya untuk Bu Sinta. Mungkin ada kesalahpahaman di sini," jawab kurir tersebut. Ting! Sebuah pesan masuk. "Sayang, kamu bayarin makanan yang aku pesan itu dulu ya. Nanti kasih sama Sinta, dia sudah lama minta makanan itu. Katanya kamu tidak mau belikan dia." Pesan dari Mas Danu aku baca dalam hati. Aku langsung membayar biaya makanan dan membawanya masuk.Seonggok mie ayam dengan es yang sedang viral aku tatap dengan perasaan jengkel. Sepertinya hatiku sudah menjadi batu sekarang karena aku tidak sakit hati dengan perbuatan Mas Danu. Lagian untuk apa aku sakit hati? Tuhan sudah baik padaku dengan menunjukkan kebusukan mereka dan seka
Aku bangkit dari keterpurukan, memilih tegar meski hatiku sudah setengah luruh. Sebelum nyawa melayang, aku masih bisa berjuang dan tidak akan mau dijadikan budak lagi. Sudah cukup enam bulan ini, ke depannya tidak akan ada lagi Dina yang sabar dan juga pengertian. Tidak akan ada lagi pengeluaran untuk besok dan seterusnya.Cermin di depanku menunjukkan wajah yang sangat lelah. Untung saja hari ini aku sedang libur kerja dan aku bisa melakukan sedikit pemulihan hati. Aku mentransfer uang yang dari m-banking ke kartu ku yang lain, kartu dari restoran yang tersedia untuk semua karyawan.Sebenarnya uang di tabungan itu bukan keseluruhan uang yang aku miliki. Gaji selama enam bulan ini belum tersentuh dan aku simpan di kartu karyawan tersebut. Sekarang aku harus ke kantor pengadilan, meminta surat cerai setelah itu pergi dari rumah ini. Biarlah rumah mendiang ibu ini aku hadiahkan untuk mereka karena selama ini sudah merawatku secara tidak adil. Biar bagaimanapun, aku sudah mendapatkan n
"Dina! Kamu di mana?!" Mas Danu berseru dari luar. Aku buru-buru mengelap wajah dan masuk ke kamar mandi. Aku tidak mau dia melihat kondisiku yang berantakan, bisa saja nanti dia curiga kalau aku sudah mengetahui kelakuan busuknya. Tok-tok-tok! "Sayang, kamu di dalam ya? Aku lanjut pergi kerja ya." Pintu kamar mandi diketuknya. "Iya, Mas! Hati-hati," seruku.Biasanya aku selalu menyalami tangannya saat dia pergi bekerja. Mas Danu juga akan mencium keningku dengan senyum yang terus terukir di wajahnya. Hari ini, bahkan bekal yang selalu aku siapkan tidak dia pertanyakan lagi."Mas, apa ada yang masih kurang dariku?" Aku terduduk di lantai, perlahan tubuhku merosot begitu saja dan badanku kini sudah rebahan di lantai kamar mandi yang masih basah.Berpacaran selama dua tahun dengannya bukanlah waktu yang sebentar. Kami sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan aku sering kerumah orang tuanya. Aku pikir dengan hubungan yang terjalin hangat akan membuat kebahagiaan berpihak padaku