Share

002 | Pria arogan yang menyebalkan

Keesokan harinya. Bella bekerja seperti biasa; mengantar pesanan pelanggan ke meja mereka. 

Namun, pikirannya masih mengingat pria misterius itu.

Jujur saja, ia merasa kurang nyaman dan ia benar-benar berharap pria itu tak akan pernah menampakkan batang hidungnya sama sekali. 

Akan tetapi, tampaknya keinginan Bella harus kandas secepat tarikan napas.

Bulu kuduknya berdiri dan tubuhnya memberi alarm tanda bahaya. Sebuah insting yang tepat saat sang iblis hendak memperlihatkan wujudnya. 

Benar saja, iblis yang tak ia harapkan kedatangannya tengah berdiri di ambang pintu. 

Bella memberengut kesal. Tetapi sesuai kesepakatan, ia terpaksa harus melayaninya.

Tapi ia malah memandangi iblis itu dengan marah. Bagaimana Bella tak marah jika pada pada kenyataannya, pria arogan itu nampak sempurna.

Tubuhnya terbalut  jubah musim dingin bermerek dunia, syal kelabu yang memeluk leher kukuhnya dan sarung tangan berbahan kulit yang bisa menghangatkan pada cuaca sedingin ini. 

Dia berdiri tangguh dan tinggi di sana. Mata ke'emasannya sangat kontras dengan rambut legam yang tersisir rapi ke arah belakang. Tepat seperti supermodel pembunuh bayaran ; sangat menarik perhatian, tampan, gelap, sekaligus berbahaya.

"Bella, lihat itu! Singa jantanmu sudah datang. Cepat layani dia, supaya dia tak mengancam akan membuat bangkrut kedai kita!" Summer berbisik pada Bella dengan ketakutan yang bercampur rasa antusias.  

Summer bahkan diam-diam menatap pria itu. 

"Man is a fire. Aku bersedia bercinta dengannya di lantai sekali pun! Ngomong-ngomong, siapa namanya?" Summer kembali bertanya tak sabar. 

"Aku tak mengenalnya, jadi aku tidak tahu namanya. Puas?" Bella berujar sinis saking kesalnya, sembari membuatkan satu cangkir kopi Espresso favorit pria itu.

Sebenarnya Bella tak benar-benar benci pada pria misterius itu. 

Bella hanya ketakutan. 

Takut tertarik pada pria yang memiliki sejuta pesona itu. 

*** 

Pria itu duduk dengan gagah. 

"Hallo." 

Pria itu menyapa, suaranya dalam dan rendah, mata itu diselubungi kabut kesedihan dan eskpresi wajahnya terlihat muram. 

Bella menghela napas panjang. 

Tidak biasanya pria ini memasang tampang seperti itu. Apakah telah terjadi sesuatu padanya?

Deg! lebih baik hempaskan saja dan jangan pernah memikirkan pria ini! 

"Mau pesan menu yang lainnya, Tuan?" Bella bertanya dengan lembut. 

Sementara pria di depannya terlihat tercenung untuk sesaat. Hanya napasnya yang terasa hangat berhembus, sampai membentuk uap dari mulutnya. 

Dia mendongak. "Seharusnya aku tak berada di sini, seperti yang kau inginkan," ia berucap setelah sekian lama berpikir keras. Itu terlihat dari keningnya yang mengkerut. 

Dalam satu kali tarikan napas, ia berujar dengan kekesalan. "Tepat sekali seperti perkataan Anda, Tuan. Mana mungkin aku ingin Anda datang lagi, setelah Anda mengancam dan berkata bahwa Anda akan membuat kedai ini bangkrut hanya dalam satu malam!" Bella bersungut-sungut mengamatinya. 

Apakah pria ini sudah lupa dengan ancamannya tempo hari yang membuat panik semua karyawan? 

Namun, sepertinya singa dominan itu menekan bibirnya sampai sebentuk garis keras. Dia mendongak dan meluruskan tatapannya tepat ke mata Bella, mengabaikan omelan barusan. 

"Sekarang ini, seharusnya aku berada di kota lain untuk mengurus bisnisku." Dia terkekeh-kekeh dan merasa dirinya sendiri tolol dengan seluruh perasaannya.

"Tapi bisa-bisanya aku datang kemari karena hanya ingin menemuimu. Aku bodoh, bukan? Apa aku memang sudah gila? Aku tahu keberadaanku di sini, hanya akan menghancurkan kedamaianmu," ungkapnya, menjelaskan. 

Dia membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi ia mengatupkan bibirnya tidak jadi berbicara.  

"Kau mengerti apa yang aku katakan barusan?" tanyanya frustasi.

"Ya, kau seharusnya mengurus bisnismu, tetapi kau malah datang menemuiku. Kau kesal karena tidak bisa mengendalikan situasi." Bella menjawabnya dengan spontanitas, meski sedikit kebingungan dengan semua ucapan itu. 

Jangan-jangan memang benar pria ini tertarik padanya? 

Bella melihat pria ini memutar-mutar cincin berbentuk simbol khusus yang tersemat di jari kelingking kanan. Sesekali keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. 

Pria itu masih saja terdiam dan gelisah. 

"So, Bella. Apa kau memiliki kekasih?" Dia mengangkat satu alisnya, melihat Bella dengan pandangan kelaparan. 

Bella lantas berdehem demi membasahi tenggorokannya yang mendadak mengering dan berusaha meredakan degup jantungnya yang berdebar-debar, karena entah sejak kapan ia merasa gugup berada di dekat pria ini.

Ah, Hans. Dia adalah kekasih Bella yang terbaik. Setidaknya, mungkin. Hans tak akan pernah berkhianat.

"Aku sudah punya kekasih, tetapi—" dan perkataan Bella terjeda saat pria ini menyelanya, membuat Bella menggerutu dalam hati, "Pria sombong ini, sungguh tipe orang yang tidak sabar." 

"Kau hanya harus menjawab ya atau tidak. Apa kau single?" Pria ini menekankan setiap kata-kata yang dilontarkannya. 

Bella tersenyum pasrah. 

"Tidak."  Bella membuang napasnya kesal. Singa ini sangat dominan, Bella bahkan merasa kesabarannya tengah di uji. 

"Bagaimana denganmu, Tuan?" Bella balik bertanya dan sepertinya sampai membuat pria ini gugup. Itu terlihat dari dirinya yang memainkan ponsel terus menerus.  

Setelah cukup lama seperti itu, akhirnya ia meletakkan benda persegi ke atas meja. Menumpu siku dengan jari-jemari yang saling bertautan menopang dagu.

Sementara, Bella yang masih berdiri didepannya menunduk. Tanpa di sengaja, kedua orang itu saling memandangi dengan cukup lama. Sampai-sampai semburat merah muda, naik menjalari wajahnya. 

Dia terlihat malu-malu dan menggemaskan. Ini adalah hal baru yang baru saja Bella lihat dari pria dingin ini. 

Ah, mungkin pria ini tidak seburuk yang ia pikir. 

"Aku tidak pernah berhubungan seperti itu," ucapnya, pelan. Pada kenyataannya memang demikian. Menjalin hubungan kekasih resmi hanyalah buang-buang waktu. Tetapi beda cerita jika wanitanya adalah Bella. 

"Oh, apakah semacam, kau penggemar hubungan one night stand, Tuan?" Bella menyengir, sampai pria itu terbatuk-batuk. 

"Tidak, bukan seperti itu." Pria ini mengalihkan pembicaraan dan terlihat kurang nyaman membicarakan kehidupannya. 

"Aku kemari, karena kapan-kapan ingin mengajakmu makan malam dan aku harus mempunyai nomor ponselmu, bukan?" Dia mengelak bahwa sedang menjalankan misi untuk mendekati Bella. 

Tetapi Bella menyipitkan mata, berusaha menebak apa yang pria ini pikirkan. Dia jadi sangat penasaran dengan jawaban dari pertanyaan ini. "Mengapa kau mengajakku makan malam meskipun tahu, aku telah memiliki kekasih?" 

Bella mengamati keseluruhan pria tampan ini yang hendak mengatakan sesuatu, tetapi malah tak jadi. Pada akhirnya membuat Bella penasaran. 

Sedangkan dalam hati pria ini, bergumam sesuatu hal yang posesif menandakan kepemilikannya. "Aku kompetitif dan aku pasti akan merebutmu darinya." Dia lantas memandangi mata hijau Bella yang memukau, hidung mancungnya, kulit seputih salju dan bibir meranum itu yang sangat menggiurkan. 

Dia bertanya-tanya, sensasi apa yang akan tercipta saat lidahnya bergerilya di sana dan melumat bibir Bella? 

Namun, ketika ia memikirkan Bella, gadis itu meneguk saliva saat pria ini lagi-lagi memandanginya dengan saksama seperti mesin pemindai sidik jari. 

Bella bergidik. 

Demi Tuhan, bahkan belum pernah sekalipun, kekasihnya menatap Bella seintens, selapar dan semenggairahkan ini! 

"Aku hanya ingin lebih mengenalmu, tanpa bermaksud apa-apa." Dia menjawab acuh tak acuh, sembari mengibas tangan di udara. 

"Aku tak ingin mengenalmu. Aku terpaksa menolak ajakan kencanmu, Tuan. Aku harap Anda bisa mengerti." Bella menolak pria itu dengan halus. Tetapi, ia tak tahu bahwa sang pria masih memiliki sejuta cara berbeda untuk menarik perhatiannya. 

Tetapi, Bella keheranan saat pria ini malah samar-samar menyeringai, kemudian berdiri sampai terdengar derit kursi. 

"Hanya makan malam biasa, sebagai bentuk pemintaan maafku yang telah membuatmu kesal setiap hari." Dia memberikan sorot mata yang tulus tanpa motif apapun, hingga Bella menganga dan tak bisa berkata-kata. 

Bahkan kesedihan di wajah pria itu, terlampau jelas untuk di sembunyikan. 

Pria misterius berpakaian serba hitam itu pergi meninggalkan Bella yang tercenung seorang diri. 

*** 

Rintikan salju, dingin, membosankan dan membeku. 

Pria misterius itu masuk ke dalam mobil. 

Dia mengumpat kesal dan duduk terdiam di kursi penumpang. 

Sudah selama enam bulan ini ia setiap hari mengunjungi kedai kopi, tetapi Bella menolak untuk melayaninya dan setelah di ancam, gadis itu baru bersedia patuh padanya. 

Tatapan kesal Bella sungguh menganggunya. 

"Goddammit! Goddammit all to hell!" 

Seharusnya ia tak boleh memberi kesan menyebalkan seperti itu! Dia tak ingin Bella sampai membencinya. 

Namun, tidak ada-apa. 

Karena seharusnya ia sadar diri bahwa Bella bukanlah untuknya. Jadi ia tak akan repot-repot memedulikan apakah Bella akan membenci atau menyukainya. 

Di sisi lain, perasaan tertarik pada Bella harus di buang jauh-jauh, sebelum ia semakin tenggelam ke dalam cinta dan tidak bisa di selamatkan. 

Apakah adalah murni kesalahannya, karena ternyata ia menyimpan hasrat pada Bella?  

Salahkan saja pada seseorang yang selalu menceritakan tentang Bella bertahun-tahun lamanya. Sehingga pria ini amat sangat penasaran akan sosok gadis itu.

Dia menghela napas panjang. Seiring mobil yang ditumpanginya melaju membelah keheningan malam. 

Dia tampak menatap ke langit dan memandangi rintikan salju yang menyelimuti bumi. Sampai-sampai pemandangan di hadapannya seputih tulang. 

Terasa dingin dan tak tersentuh. 

Sama seperti senyuman Bella yang di tujukan padanya selama ini. 

"Bella," gumamnya, dengan memejamkan mata. Darah mendesir merangkak naik di wajahnya yang pucat dan mulutnya melengkung membentuk senyuman. 

Dia berpikir, Bella terlihat cantik dan keras kepala sekaligus. 

Seperti tipe orang yang tak akan pernah berhenti berjuang untuk mendapat keinginan. 

Apalagi saat melihat mata iris hijau berkilauan itu, langsung membuat ia percaya. Ternyata masih ada Tuhan di dunia ini, sampai-sampai bisa menciptakan makhluk seindah itu. 

Bodoh, sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? 

"Oleg." Dia memanggil sopir pribadinya yang langsung di respon.

"Yes, Master." Oleg menatap Bos nya melalui kaca spion samping. Bos nya saat ini seperti tengah memikirkan sesuatu dengan begitu dalam. Terlihat dari cara ia menghisap cerutu yang di hembuskan perlahan-lahan. 

Hening. 

Oleg dengan setia menunggu kelanjutan perkataan Tuannya. Apakah kali ini ada seseorang yang harus Oleg bunuh? Padahal Oleg hanya ingin segera pulang dan beristirahat. 

"Carikan sebuket bunga blue hyacinth," ujarnya. Dia berpikir jenis bunga ini sangatlah cocok. 

Bunga dengan beragam warna ini memiliki bentuk yang sangat indah menyerupai bunga lavender dan memiliki aroma yang unik. Tepat untuk menyampaikan permintaan maaf pada seseorang.

Uhhuk! Oleg terbatuk-batuk menahan keterkejutannya. Apa ia tak keliru mendengar? 

Sudah sejak sepuluh tahun lamanya, Oleg mengikuti sang Tuan. Namun, baru kali ini Tuan memesan bunga. Sunggguh aneh tapi nyata! 

Oleg tahu bunga itu ditujukan pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan Erastrabella Dominic, wanita muda pemilik rambut pirang sepanjang punggung! 

Dia sengaja berdehem dengan cukup keras berupaya untuk menggoda. "Sepertinya akan sulit mendapatkan benda itu di jam tengah malam seperti ini."

Di kursi belakang, pria itu menekan sisi pelipisnya dan masih terbayang-bayang wajah kesal Bella. Di atas semua itu, dirinyalah yang menjadi penyebabnya.  

"Hentikan mobilnya." Suara dalam dan berat itu terdengar tak sabar, karena Oleg malah terus melajukan kendaraan yang mereka tumpangi, tanpa melihat ke arah kanan dan kiri!

Sang Tuan menghela napas. Mencondongkan tubuhnya dan berbisik tepat di samping Oleg.

"Apa telingamu harus aku potong, supaya menjadi tuna rungu sekalian? Hentikan mobilnya dan menyingkirlah. Sekarang." Sang Tuan memerintahkan Oleg dengan intonasi suara dingin dan tidak mau dibantah. 

Secepat itu pula, Oleg langsung membanting setir dan berhenti di pinggir jalan. Dia turun sambil menatap Tuannya dengan tak percaya.  

Oleg membungkuk melalui jendela samping. Mengamati sang Tuan yang sekarang bahkan sudah duduk di kursi pengemudi dengan raut wajah mengeras. 

"Master, kau benar-benar tega menurunkan aku di pinggiran jalanan seperti ini?" Oleg meringis ngilu, ketika sang Tuan hanya melempar tatapan setajam bilah pedang yang berkilat. Seolah-olah ingin membunuh Oleg detik ini juga! 

Namun, sang Tuan mengabaikan Oleg. Dengan kecepatan tinggi, mobil itu melaju kencang meninggalkannya sendirian. 

"Master Duanovic, tunggu aku! Master!" Oleg berteriak sekencang-kencangnya. Dia berlari berusaha menyusul mobil itu, sampai napasnya memburu terengah-engah.

Akan tetapi, gagal. Sepertinya Oleg terpaksa harus pulang naik taksi, tepat pada jam setengah dua belas malam. Namun, ia merasa perasannya tidak enak. Seperti sesuatu hal kejam akan segera terjadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status