MasukPagi itu, kantor dipenuhi suara ketikan keyboard dan nada dering telepon yang bersahut-sahutan. Rania baru saja menyelesaikan laporan mingguan yang harus diserahkan ke Leodric. Ia menarik napas lega setelah begadang semalaman.
“Ran, laporan udah kelar?” tanya Siska, teman satu divisi yang duduk di sebelahnya. “Udah kok. Tinggal kirim ke emailnya Pak Leo.” Rania tersenyum bangga, meski matanya masih merah karena kurang tidur. Namun beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka keras. Semua orang sontak menoleh. Leodric muncul dengan wajah dingin dan sorot mata tajam. “Rania!” panggilnya singkat. Jantung Rania langsung berdegup kencang. “I-iya, Pak?” Ia berdiri tergagap. Leodric melempar berkas laporan ke meja rapat. Suara kertas menampar meja terdengar keras di ruangan yang mendadak sunyi. “Ini apa?” Rania melangkah pelan mendekat, tangannya gemetar membuka berkas itu. Matanya membesar—angka di tabel salah total, grafik melenceng, bahkan ada data yang terduplikat. “Saya… saya—” “Kesalahan seperti ini bukan level anak magang, apalagi karyawan tetap. Rapat penting nanti sore bisa kacau gara-gara laporan begini!” suara Leodric meninggi. Beberapa rekan kerja terdiam, saling pandang tak enak. Rania menunduk, wajahnya memerah karena malu. Ia ingin sekali menghilang dari ruangan itu. Leodric menatap tajam lalu berkata dengan nada sarkastis, menusuk: “Ini bukan main-main Rania. Kemarin saya ramah ke kamu bukan berarti kamu bisa kerja seenaknya.” Kata-kata itu menancap seperti duri. Rania menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata. “Aku… maaf, Pak. Saya akan perbaiki sekarang juga,” suaranya bergetar. Leodric hanya mendengus. “Saya tunggu hasil revisinya satu jam lagi. Kalau kamu anggap kerjaan ini main-main, lebih baik keluar dari sini.” Rania menunduk dalam-dalam, lalu bergegas kembali ke meja kerjanya. Hatinya hancur—malu, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Bayangan Leodric yang semalam menenangkannya terasa begitu jauh berbeda dengan sosok dingin yang memarahinya sekarang. ‘Kenapa sih… dia harus segitu jahatnya?’ batinnya perih. Namun di balik tatapannya yang dingin, Leodric sebenarnya menahan diri. Ia sadar ucapannya terlalu keras, tapi gengsinya sebagai bos membuatnya tak bisa menarik kata-kata itu kembali. ___ Rania duduk di pantry kantor, mencoba mengatur napas. Ia meneguk air mineral cepat-cepat, tapi rasa sesak di dadanya tak hilang. Matanya basah, meski ia berusaha keras menahannya. “Ya ampun, Ran… jangan nangis. Malu ah kalau ada yang lihat,” gumamnya pelan pada diri sendiri. Langkah sepatu terdengar mendekat. Rania buru-buru mengusap wajah dengan tisu. Saat menoleh, ternyata Leodric. Ia berdiri di ambang pintu pantry, wajah tetap dingin, tapi tatapannya jelas menyorot mata Rania yang memerah. Sesaat suasana jadi canggung. Leodric berjalan mendekat, lalu meletakkan kaleng minuman dingin di meja. “Minum. Biar nggak pusing.” Suaranya datar, tapi ada kelembutan tersembunyi di baliknya. Rania menatap kaleng itu, lalu menoleh sekilas padanya. Hatinya bergetar, tapi rasa sakit karena ucapannya tadi masih segar. “Terima kasih, Pak. Tapi saya nggak haus,” jawabnya singkat, lalu mendorong kaleng itu kembali. Leodric terdiam, rahangnya mengeras. Ia menatap Rania cukup lama, lalu menghela napas, mengambil kembali minuman itu. “Kalau begitu, cepat perbaiki laporannya. Jangan buang waktu di sini.” Ia berbalik pergi, menyembunyikan wajahnya yang sempat melunak. Begitu pintu pantry menutup, Rania menggenggam tisu erat-erat. Air mata jatuh lagi, bercampur dengan rasa bingung. ‘Kenapa dia harus perhatian setelah nyakitin aku? Kenapa… aku nggak bisa benci sepenuhnya?’ Di ruangannya, Leodric menatap kaleng minuman yang masih utuh di tangannya, lalu bergumam lirih, “Dasar keras kepala…” Namun sudut bibirnya terangkat tipis, seolah marah dan cemas berjalan beriringan di hatinya. ___ Siang harinya, seluruh tim dipanggil ke ruang rapat. Rania berjalan pelan, masih menunduk, tak ingin menarik perhatian. Leodric sudah berdiri di depan, tegap dengan jas hitamnya. Sorot matanya dingin—sosok bos yang tegas. “Baik. Sebelum kita mulai rapat, saya ingin memperkenalkan anggota baru di tim kita.” Pintu terbuka. Seorang wanita masuk. Rambut hitamnya tergerai rapi, kulit cerah, senyum hangat memikat. Dengan blouse putih elegan dan rok pensil, ia tampak profesional sekaligus memesona. “Perkenalkan, ini Clara, karyawan baru di divisi kita. Dia akan banyak terlibat dalam project mendatang,” ujar Leodric mantap. Clara menunduk sopan. “Halo semuanya, saya senang bisa bergabung. Mohon bimbingannya.” Beberapa rekan pria tampak terkesima. Bahkan Siska sempat berbisik, “Ran, cakep banget ya? Kayak artis Korea gitu.” Rania hanya tersenyum kaku. Hatinya tercekat. Matanya menangkap tatapan Leodric yang sesekali mengarah ke Clara, seolah memastikan ia merasa nyaman. Dan anehnya, itu membuat perasaan Rania makin perih. ‘Kenapa aku harus peduli? Dia kan cuma bos. Tapi… kenapa rasanya kayak ditusuk lagi?’ Leodric melanjutkan, “Clara, kamu boleh duduk di sebelah Rania. Dia yang akan jadi mentor kamu sementara.” Rania terperanjat. “Eh? S-saya, Pak?” Leodric menatapnya sebentar, dingin penuh tekanan. “Ada masalah?” “Tidak, Pak…” Rania cepat menunduk, wajahnya panas. Clara pun duduk di sebelahnya, menyapa ramah. “Hai, Rania. Senang banget bisa kenalan langsung sama kamu.” Rania mencoba tersenyum, tapi senyumnya kaku. Dalam hati, ia merasa seperti berada di persimpangan yang makin rumit: dimarahi bos, ditolak perhatiannya, dan sekarang harus mendampingi seorang wanita cantik yang mungkin saja… akan menarik perhatian pria itu lebih jauh. Di ujung meja, Leodric memperhatikan sekilas. Ada kilatan aneh di matanya—seperti sengaja menguji, atau mungkin sekadar memastikan timnya berjalan sesuai arahannya. ___ Hari itu berakhir dengan kabar baik. Proyek besar yang selama berminggu-minggu membuat semua orang kewalahan akhirnya berjalan lancar. Tim pun memutuskan mengadakan perayaan kecil di sebuah restoran dekat kantor. Meja panjang dipenuhi gelas, botol minuman, dan tawa yang memenuhi ruangan. Suasana jauh berbeda dengan tegangnya kantor pagi tadi. “Ran, ayo minum lagi! Biar lupa sama Pak Leo yang galak itu,” goda Siska sambil menuangkan minuman ke gelas Rania. Rania tersenyum kaku. “Aku… udah cukup, Sis.” “Tuh, jangan nanggung. Sekali-sekali aja!” teman lain ikut bersorak. Akhirnya, Rania menyerah. Ia menenggak minumannya, lalu satu gelas lagi, hingga kepalanya terasa ringan. Tawa yang awalnya tulus perlahan berubah menjadi cekikan kecil tanpa arah. Di seberang meja, Clara pun sudah mabuk berat. Pipi putihnya memerah, matanya sayu. Ia sempat bersandar ke bahu Siska, lalu terhuyung hampir jatuh. Leodric yang sejak tadi hanya duduk dengan segelas air mineral memperhatikan semuanya dengan wajah datar. Ia memang tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tatapannya singkat berhenti pada Clara yang tampak benar-benar kehilangan kesadaran. Seorang staf berbisik, “Pak, mungkin Clara perlu diantar pulang…” Leodric hendak berdiri, namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok lain. Rania. Gadis itu berjalan sempoyongan keluar restoran, memegang dinding agar tak jatuh. Rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tak ada seorang pun yang menyertainya karena hampir semua temannya sudah sama-sama mabuk. Alis Leodric mengernyit. Dadanya seperti ditarik kuat melihat kondisi itu. Ia melirik sekali lagi pada Clara, lalu kembali menatap Rania yang hampir tersandung. Rahangnya menegang. “Clara bisa saya titipkan ke tim lain,” gumamnya pelan. “Tapi kalau Rania… siapa yang akan menjaganya?” Tanpa pikir panjang, ia segera berdiri, melangkah cepat ke arah pintu, menyusul Rania yang sudah hampir kehilangan keseimbangan.Angin pagi di atap itu berhembus lembut, seolah ingin meredakan segala riak kecil yang mulai muncul di hati dua manusia yang berdiri dalam diam. Rania menatap ujung gedung, hembusan angin dingin menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersadar dari ketegangan yang sempat menahan dadanya ketika melihat Leodric berdiri di sana lebih dulu.Leodric, yang sejak tadi hanya memandangi horizon, akhirnya berbicara tanpa menoleh.“Sering ke sini pagi-pagi?” suaranya datar, tapi tidak dingin. Hanya… ingin tahu.Rania mengerjapkan mata pelan sebelum menjawab, “Kadang, Pak. Kalau lagi pengen tenang.”Leodric mengangguk kecil. “Tempat ini memang enak buat kabur sebentar.”Rania tersenyum tipis. “Bapak juga suka ke sini?”Leodric mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian kecil itu. “Kita semua butuh ketenangan dari sesuatu, kan. Walau itu sebentar."Ada jeda. Angin kembali berembus, membawa aroma kopi mereka berdua.Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa hangat meski kata-kat
Pagi setelah pulang dari rumah Ibu, Rania tiba lebih cepat dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit saat ia memasuki apartemennya kembali subuh tadi untuk tidur sebentar hanya dua puluh menit, tetapi cukup membuat tubuhnya terasa lebih segar dan kepala sedikit lebih ringan. Begitu masuk mobil lagi untuk berangkat ke kantor, ia sempat menatap layar ponsel. Ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Sebelum menyalakan mesin mobil, Rania mengetik pesan cepat. Rania: "Bu, aku udah sampai apartemen tadi. Sekarang mau berangkat kerja." "Ibu jangan lupa sarapan ya ❤️" Tak sampai satu menit, balasan masuk. Ibu: "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan maksain diri. Jangan lupa sarapan juga yah nak." Pesan itu membuat Rania tersenyum kecil senyum yang masih membawa kehangatan pelukan dini hari tadi. Rania membalas dengan nada ringan dan manja, tapi tetap sopan. Rania: "Iya, Bu. Aku nurut kok. Nanti sarapan dulu sebelum kerja.❤️" Tak memakan waktu lama pes
Malam setelah hari itu, Rania tidur dengan hati ringan. Tidak ada pikiran yang menyesakkan, tidak ada bayangan masa lalu yang menahan langkahnya. Hanya rasa tenang seperti udara setelah hujan yang sempat ia rasakan pagi tadi.Keesokan harinya adalah hari libur. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada tumpukan laporan di meja kerja. Hanya cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar apartemennya dan suara burung yang terdengar sayup dari luar jendela.Rania menggeliat malas, lalu tersenyum kecil. “Hari ini, pulang ke rumah Ibu aja, deh…”Ia menatap kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali pulang. Tanpa pikir panjang, ia mulai berkemas ringan beberapa pakaian, oleh-oleh kecil, dan sekotak kue kesukaan ibunya.Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Jalanan pagi itu cukup sepi, dan pemandangan di luar jendela perlahan berganti dari gedung tinggi menjadi deretan rumah-rumah sederhana dan pepohonan hijau. Semakin dekat, hatinya terasa makin hangat.Begitu mobi
Pagi itu, udara masih membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Langit belum benar-benar cerah, tapi bias cahaya mulai menembus jendela kaca tinggi gedung kantor. Di halaman depan, petugas kebersihan sibuk menyapu daun-daun yang menempel di trotoar, sementara beberapa karyawan berlari kecil agar sepatu mereka tidak basah. Rania melangkah masuk dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan berlebih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih lembut, tenangnya bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya ia berhenti melawan hal-hal yang sudah seharusnya dilepas. Begitu sampai di lantai divisi marketing, aroma kopi dan suara mesin printer menyambutnya. Dari arah pantry, Siska sudah melambaikan tangan lebar-lebar. “Raniaaa! Sini, aku beliin roti keju. Jangan bilang kamu belum sarapan lagi!” Rania terkekeh, menaruh tas di kursi lalu menghampirinya. “Kamu selalu punya timing yang pas banget, Sis.” “Feeling sahabat level tinggi,
Udara malam terasa lembap. Lampu jalan memantul di genangan air yang tersisa setelah hujan sore. Rania berdiri di depan halte bus, memeluk tasnya rapat-rapat sambil menatap ke arah jalan yang ramai tapi berantakan. Entah kenapa malam ini terasa terlalu berat — bukan hanya karena hari yang panjang di kantor, tapi juga karena suasana hati yang masih belum sepenuhnya pulih sejak rapat tadi. Beberapa bus melintas, tapi semuanya penuh. Orang-orang berdesakan di bawah atap halte yang bocor, sebagian memegang payung yang robek, sebagian lagi menggerutu karena aplikasi transportasi tak bisa memesan kendaraan akibat hujan. Rania menghela napas pelan. “Udah lengkap banget deh harinya,” gumamnya getir. “Capek, lembur, hujan, dan sekarang… gak bisa pulang.” Ia mencoba menelpon ojek online, tapi sinyalnya buruk. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa penumpang yang tadi menunggu ikut panik mencari tempat berteduh, membuat Rania terdorong keluar dari atap halte yang sempit.
Pagi di kantor terasa lebih ringan dari biasanya. Rania datang lebih awal, dengan senyum kecil yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Ia menyapa beberapa rekan kerja, membantu satu dua hal kecil, bahkan sempat bercanda ringan dengan Siska. Dari kejauhan, beberapa pegawai saling berbisik, “Kayaknya Kak Rania udah lebih ceria, ya?” “Iya, kemarin sempat murung banget, sekarang kayak balik lagi ke versi lamanya.” Di lantai atas, suasana serupa juga terlihat. Leodric tampak santai, sesekali melempar komentar ringan ke timnya, bahkan sempat tertawa kecil saat rapat pagi, hal yang membuat semua orang sedikit heran. “Pak Leodric ketawa? Wah, catat tanggalnya,” celetuk salah satu staf pelan, membuat suasana ruangan ikut mencair. Namun, kehangatan itu seolah punya batas tak terlihat. Sebab setiap kali Rania dan Leodric berpapasan di lorong atau lift, semuanya kembali dingin dan formal. Hanya sapaan singkat, atau sekadar anggukan sopan. Tidak ada senyum kecil, tidak ada per







