MasukHari Minggu siang, matahari bersinar hangat di langit kota. Rania bersyukur hari ini ia libur kerja. Setelah seminggu penuh drama—mulai dari ketahuan telat sampai chat absurd di Bubble Gum—akhirnya ia bisa bernapas lega.
“Ran, ayo cepet! Udah ditungguin di café!” seru Siska dari motor matiknya. Rania tersenyum kecil. “Iya, iya. Santai, Sis. Aku masih manusia, bukan The Flash.” Mereka berdua meluncur ke sebuah café hits di pusat kota. Begitu sampai, meja sudah dipenuhi oleh beberapa teman. Suasana riuh, penuh tawa, dan musik akustik pelan jadi latar. Rania ikut tertawa, bercanda, meski sesekali pikirannya melayang ke notifikasi Bubble Gum yang masih ada di ponselnya. Tapi tawa itu mendadak beku begitu pintu café terbuka. Seorang pria masuk, mengenakan kemeja putih yang rapi, wajahnya begitu familiar. " Adrian." Dan di sampingnya, seorang wanita cantik dengan gaun sederhana namun elegan. Tangannya menggenggam lengan Adrian erat, senyumnya manis, tapi matanya menyapu ruangan penuh percaya diri. "Livia." Dada Rania langsung sesak. Tangannya refleks meremas sendok di atas meja. Teman-temannya ikut menoleh, lalu saling berbisik pelan. Adrian pun melihat. Sekilas tatapan matanya bertemu dengan Rania—tatapan yang singkat, tapi cukup untuk mengguncang hatinya. Lalu ia segera mengalihkan pandangan, menuntun Livia ke meja seberang. Rania berusaha tersenyum, pura-pura sibuk menyesap minuman. Tapi senyum itu hambar. Beberapa menit kemudian, tanpa diduga, Livia menghampiri meja Rania. Dengan langkah anggun, ia berdiri di samping sambil memandang Rania dari atas sampai bawah. “Oh, kamu Rania, kan?” suaranya terdengar manis, tapi ada sesuatu yang menusuk di dalamnya. Rania menoleh pelan, tersenyum kaku. “Iya. Halo…” Livia menyeringai tipis. “Aku sering dengar nama kamu. Teman kantor Adrian, ya?” “Hmm, iya, kebetulan…” jawab Rania singkat. Livia mendekat, suaranya direndahkan seolah berbisik, tapi cukup keras untuk didengar. “Kamu manis, sih. Tapi, maaf ya… ada hal-hal yang nggak bisa kamu punya. Termasuk Adrian.” Rania membeku. Kata-kata itu seperti tamparan halus tapi menyakitkan. Livia menambahkan, kali ini dengan senyum dingin. “Sebentar lagi kami akan menikah. Jadi… jangan pernah berharap lebih, ya. Nggak pantas.” Hatinya tercekat. Teman-temannya terdiam, suasana meja jadi kikuk. Rania mencoba menahan senyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca. Ia menunduk, lalu berbisik pelan. “Selamat ya… semoga kalian bahagia.” Ia segera berdiri, meraih tasnya. “Guys, aku… aku pulang duluan.” “Ran, kamu kenapa?” Siska mencoba menahan, tapi Rania hanya menggeleng cepat. Dengan langkah tergesa, ia keluar dari café, menahan napas berat. Begitu sampai di luar, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Air matanya jatuh juga, membasahi pipi. Di belakangnya, Adrian sempat berdiri dari kursinya, ingin menyusul. Tapi Livia menahan tangannya erat. “Biarkan saja. Dia hanya teman kantor.” Adrian terdiam. Tapi matanya masih menatap pintu café, ke arah kepergian Rania. -- Rania berjalan cepat keluar café, menahan sesak di dada. Ia terus melangkah sampai menemukan sebuah taman kecil di sisi gedung, sepi, hanya ada kursi panjang di bawah pohon rindang. Di sana, akhirnya ia tak bisa lagi menahan semuanya. Air mata jatuh deras. “Kenapa harus sesakit ini, sih? Aku tahu dia bukan milikku… aku tahu aku nggak punya hak… tapi kata-kata Livia… sakit banget.” Rania menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya bergetar, tangisnya pecah, terdengar lirih di antara deru lalu lintas yang samar. Tiba-tiba, sebuah suara dalam namun tenang terdengar dari samping. “Tumben banget. Biasanya cuma telat doang yang bikin kamu panik. Sekarang ditambah paket nangis gratis?” Rania tersentak, buru-buru mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Ia menoleh—dan nyaris tersedak napasnya sendiri. Leodric, bosnya yang terkenal dingin tapi suka menyindir dengan gaya santai, berdiri sambil menyilangkan tangan. Tatapan matanya datar, tapi sudut bibirnya jelas terangkat menahan senyum. “B-Bapak?!” Rania langsung menunduk malu, mencoba menyembunyikan mata merahnya. Leodric menghela napas dramatis, lalu duduk di kursi seberang. “Rania, Rania… pegawai teladan macam apa ini? Di kantor telat, di luar kantor… lemah. Harusnya saya kasih sertifikat aja: Karyawan Spesialis Drama Kehidupan.” Rania makin menunduk, wajahnya memerah. “Pak, jangan gitu… saya nggak apa-apa kok,” katanya terbata, meski jelas suaranya serak. Leodric menyipitkan mata. “Nggak apa-apa apanya? Kalau nggak apa-apa, kenapa matanya kayak habis balapan renang?” Rania reflek menutup wajah dengan kedua tangan lagi. “Ya ampun, malu banget…” Leodric hanya mengangkat bahu, lalu menepuk-nepuk kursi dengan santai. “Sudahlah. Mau sampai kapan juga saya nggak ngerti. Tapi ingat, kalau kamu terus begini, jangan salahkan saya kalau nanti saya masukin ke divisi air mata.” Sindiran itu bukannya bikin Rania marah, justru membuatnya menunduk lebih dalam, menahan senyum malu di balik tangisnya. “Kenapa sih, Pak, bawaannya suka nyindir aja…” gumamnya lirih. Leodric tersenyum tipis, kali ini sedikit lebih lembut, meski tetap dengan nada menggoda. “Karena kalau saya serius, kamu pasti makin nangis. Jadi ya… mending bikin kamu malu aja.” Rania terdiam, hatinya terasa aneh jadi sedikit lebih ringan. --- Rania masih menunduk, berusaha menghapus sisa air mata. Tiba-tiba, suara itu kembali terdengar lebih lembut dari biasanya. “Ran, kamu kenapa nangis sendirian di sini?” tanya Leodric, kali ini tanpa nada menyindir. Rania menggeleng cepat, meski matanya masih berkaca-kaca. “Nggak apa-apa kok, Pak. Hehe… saya cuma lagi… kepikiran aja.” Leodric menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursi. “Eh, santai aja kali. Jangan panggil ‘Pak’ terus di luar kantor. Saya berasa tua banget tau nggak? Masih ganteng, bugar gini, dipanggil ‘bapak-bapak’ terus. Males banget dengernya,” ucapnya lirih sambil nyengir kecil. Rania menoleh sekilas, matanya sedikit melebar. “Terus… harus panggil apa?” “Leo. Itu aja. Simpel, nggak bikin saya merasa kayak pensiunan,” jawabnya santai. Rania menutup mulut menahan tawa. “Hahaha… iya deh, Pak—eh maksudnya, Leo.” Leodric tersenyum tipis, lalu tanpa banyak kata ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—sebuah sapu tangan kecil berwarna navy. Ia menyodorkannya pada Rania. “Nih. Jangan dipakai buat drama sinetron lagi, ya. Mahal soalnya, kalau penuh air mata nanti saya rugi,” ucapnya, separuh bercanda. Rania terpaku. Tangannya gemetar saat menerima sapu tangan itu. “Terima kasih…” Leodric menatapnya sebentar, kali ini tatapannya tidak datar, melainkan teduh. “Kalau capek nangis sendirian, jangan sembunyi. Lebih baik ketahuan, biar ada yang bisa bilangin: kamu kuat, kok.” Kata-kata itu sederhana, tapi membuat dada Rania hangat. Ia menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa ditahan. Untuk pertama kalinya hari itu, rasa sakit karena perkataan Livia sedikit mereda—berganti dengan perasaan aneh yang membuat pipinya merona. “Leo…” bisiknya pelan, sambil menggenggam sapu tangan itu erat. --- PangeranBerkudaPutih: “Rakyatku! Aku baru aja kepikiran… kalau cicak bisa nempel di tembok, kenapa aku nggak bisa nempel di hatimu? ” Rania terdiam beberapa detik, menatap layar ponselnya dengan mulut terbuka. Lalu, tanpa bisa ditahan, tawa meledak keluar. Ia buru-buru menutup mulut dengan tangan, takut orang sekitar mengira dirinya gila. “Ya Tuhan… absurd banget sih ini orang,” gumamnya, pipinya memerah karena geli sendiri. Tapi dalam hati, ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Chat konyol itu entah kenapa terasa seperti energi baru, seolah hidupnya mendadak punya warna lagi. Senyum lebar mengembang di wajah Rania. Untuk pertama kalinya hari itu, ia berjalan pulang dengan hati yang lebih ringan, sambil menggenggam ponsel erat-erat seakan tak ingin melewatkan satu pun pesan dari si Pangeran konyol itu. --- Rania mengetik balasannya sambil meringis sendiri. Pipinya memanas, tapi jemarinya lancar menekan tombol kirim. MartabakManis_ExtraKeju: “Cicak aja bisa betah nempel di tembok… apalagi kamu kalau udah nempel di aku, jangan-jangan malah ogah lepas. ” Begitu pesan itu terkirim, Rania langsung menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya ampun, Ran! Apa-apaan sih ini… bisa bikin malu sendiri gini.” Tapi diam-diam senyumnya nggak bisa hilang. Di sisi lain layar, Leodric atau yang dikenal Rania sebagai PangeranBerkudaPutih membaca pesan itu dengan tatapan heran, lalu meledak tertawa keras. “Hahahaha! Astaga, ini orang bener-bener…” Leo sampai menepuk meja, menahan sakit perut karena kebanyakan ketawa. Tapi setelah tawa mereda, ia justru merasa panas di telinga sendiri. Kata-kata Rania seolah nyangkut, membuatnya tanpa sadar menggigit bibir sambil bergumam lirih, “Ogah lepas, ya? Hmm… jangan-jangan aku beneran betah.” Ia mengacak rambutnya sendiri, separuh kesal, separuh malu. “Gila, masa chat begini bisa bikin gue senyum-senyum bego.” Rania di sisi lain layar juga tak kalah heboh. Ia gelisah, bolak-balik guling, takut balasan dari si Pangeran konyol itu malah makin membuatnya malu. Tapi jujur saja, hatinya berdebar menunggu. Dan tepat saat Rania hendak memejamkan mata, notifikasi ponselnya berbunyi lagi. Nama si PangeranBerkudaPutih muncul. PangeranBerkudaPutih: “Tahu nggak? Aku lagi mikir keras sekarang… cicak sih bisa kabur kalau diganggu. Tapi kalau aku udah nempel di kamu, kayaknya aku nggak bakal punya alasan buat pergi.” Rania membeku, matanya membesar. Jantungnya berdetak makin kencang.Angin pagi di atap itu berhembus lembut, seolah ingin meredakan segala riak kecil yang mulai muncul di hati dua manusia yang berdiri dalam diam. Rania menatap ujung gedung, hembusan angin dingin menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersadar dari ketegangan yang sempat menahan dadanya ketika melihat Leodric berdiri di sana lebih dulu.Leodric, yang sejak tadi hanya memandangi horizon, akhirnya berbicara tanpa menoleh.“Sering ke sini pagi-pagi?” suaranya datar, tapi tidak dingin. Hanya… ingin tahu.Rania mengerjapkan mata pelan sebelum menjawab, “Kadang, Pak. Kalau lagi pengen tenang.”Leodric mengangguk kecil. “Tempat ini memang enak buat kabur sebentar.”Rania tersenyum tipis. “Bapak juga suka ke sini?”Leodric mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian kecil itu. “Kita semua butuh ketenangan dari sesuatu, kan. Walau itu sebentar."Ada jeda. Angin kembali berembus, membawa aroma kopi mereka berdua.Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa hangat meski kata-kat
Pagi setelah pulang dari rumah Ibu, Rania tiba lebih cepat dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit saat ia memasuki apartemennya kembali subuh tadi untuk tidur sebentar hanya dua puluh menit, tetapi cukup membuat tubuhnya terasa lebih segar dan kepala sedikit lebih ringan. Begitu masuk mobil lagi untuk berangkat ke kantor, ia sempat menatap layar ponsel. Ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Sebelum menyalakan mesin mobil, Rania mengetik pesan cepat. Rania: "Bu, aku udah sampai apartemen tadi. Sekarang mau berangkat kerja." "Ibu jangan lupa sarapan ya ❤️" Tak sampai satu menit, balasan masuk. Ibu: "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan maksain diri. Jangan lupa sarapan juga yah nak." Pesan itu membuat Rania tersenyum kecil senyum yang masih membawa kehangatan pelukan dini hari tadi. Rania membalas dengan nada ringan dan manja, tapi tetap sopan. Rania: "Iya, Bu. Aku nurut kok. Nanti sarapan dulu sebelum kerja.❤️" Tak memakan waktu lama pes
Malam setelah hari itu, Rania tidur dengan hati ringan. Tidak ada pikiran yang menyesakkan, tidak ada bayangan masa lalu yang menahan langkahnya. Hanya rasa tenang seperti udara setelah hujan yang sempat ia rasakan pagi tadi.Keesokan harinya adalah hari libur. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada tumpukan laporan di meja kerja. Hanya cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar apartemennya dan suara burung yang terdengar sayup dari luar jendela.Rania menggeliat malas, lalu tersenyum kecil. “Hari ini, pulang ke rumah Ibu aja, deh…”Ia menatap kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali pulang. Tanpa pikir panjang, ia mulai berkemas ringan beberapa pakaian, oleh-oleh kecil, dan sekotak kue kesukaan ibunya.Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Jalanan pagi itu cukup sepi, dan pemandangan di luar jendela perlahan berganti dari gedung tinggi menjadi deretan rumah-rumah sederhana dan pepohonan hijau. Semakin dekat, hatinya terasa makin hangat.Begitu mobi
Pagi itu, udara masih membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Langit belum benar-benar cerah, tapi bias cahaya mulai menembus jendela kaca tinggi gedung kantor. Di halaman depan, petugas kebersihan sibuk menyapu daun-daun yang menempel di trotoar, sementara beberapa karyawan berlari kecil agar sepatu mereka tidak basah. Rania melangkah masuk dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan berlebih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih lembut, tenangnya bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya ia berhenti melawan hal-hal yang sudah seharusnya dilepas. Begitu sampai di lantai divisi marketing, aroma kopi dan suara mesin printer menyambutnya. Dari arah pantry, Siska sudah melambaikan tangan lebar-lebar. “Raniaaa! Sini, aku beliin roti keju. Jangan bilang kamu belum sarapan lagi!” Rania terkekeh, menaruh tas di kursi lalu menghampirinya. “Kamu selalu punya timing yang pas banget, Sis.” “Feeling sahabat level tinggi,
Udara malam terasa lembap. Lampu jalan memantul di genangan air yang tersisa setelah hujan sore. Rania berdiri di depan halte bus, memeluk tasnya rapat-rapat sambil menatap ke arah jalan yang ramai tapi berantakan. Entah kenapa malam ini terasa terlalu berat — bukan hanya karena hari yang panjang di kantor, tapi juga karena suasana hati yang masih belum sepenuhnya pulih sejak rapat tadi. Beberapa bus melintas, tapi semuanya penuh. Orang-orang berdesakan di bawah atap halte yang bocor, sebagian memegang payung yang robek, sebagian lagi menggerutu karena aplikasi transportasi tak bisa memesan kendaraan akibat hujan. Rania menghela napas pelan. “Udah lengkap banget deh harinya,” gumamnya getir. “Capek, lembur, hujan, dan sekarang… gak bisa pulang.” Ia mencoba menelpon ojek online, tapi sinyalnya buruk. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa penumpang yang tadi menunggu ikut panik mencari tempat berteduh, membuat Rania terdorong keluar dari atap halte yang sempit.
Pagi di kantor terasa lebih ringan dari biasanya. Rania datang lebih awal, dengan senyum kecil yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Ia menyapa beberapa rekan kerja, membantu satu dua hal kecil, bahkan sempat bercanda ringan dengan Siska. Dari kejauhan, beberapa pegawai saling berbisik, “Kayaknya Kak Rania udah lebih ceria, ya?” “Iya, kemarin sempat murung banget, sekarang kayak balik lagi ke versi lamanya.” Di lantai atas, suasana serupa juga terlihat. Leodric tampak santai, sesekali melempar komentar ringan ke timnya, bahkan sempat tertawa kecil saat rapat pagi, hal yang membuat semua orang sedikit heran. “Pak Leodric ketawa? Wah, catat tanggalnya,” celetuk salah satu staf pelan, membuat suasana ruangan ikut mencair. Namun, kehangatan itu seolah punya batas tak terlihat. Sebab setiap kali Rania dan Leodric berpapasan di lorong atau lift, semuanya kembali dingin dan formal. Hanya sapaan singkat, atau sekadar anggukan sopan. Tidak ada senyum kecil, tidak ada per







