MasukUdara malam cukup dingin ketika Rania berjalan sempoyongan keluar dari restoran. Kakinya goyah, sesekali hampir tersandung pot tanaman di pinggir trotoar.
“Duh… bumi ini kenapa muter-muter, sih?!” gerutunya sambil menepuk-nepuk dinding. Belum sempat ia jatuh, sebuah tangan sigap meraih lengannya. “Rania!” Rania mendongak dengan mata setengah terpejam. Begitu melihat siapa yang menahannya, ia langsung cemberut. “Haaah… Iblis jahat! Lepasin aku!” Leodric menghela napas dalam, mencoba sabar. “Jangan aneh-aneh. Kamu hampir jatuh barusan.” “Aku nggak mau ditolong sama kamu,” Rania mengibaskan tangannya, meski gerakannya malah bikin dirinya hampir tersungkur lagi. “Kamu itu… bos kejam. Iblis jahat bersetelan jas! Hahaha…” Rania cekikikan sendiri, lalu menepuk dada Leodric seenaknya. Leodric terdiam, urat di pelipisnya menegang. “Rania…” suaranya dalam, mengandung peringatan. “Apa-apaan sih? Jangan ‘Rania’… ‘Rania’! Suaramu tuh kayak alarm kebakaran. Bikin deg-degan nggak jelas!” oceh Rania sambil mendorong dada Leodric pelan. Leodric menahan bahu Rania agar tetap seimbang. “Diam, jangan berisik. Aku antar kamu pulang.” “Nggak mauuu!” Rania menggeleng keras, rambutnya berantakan. “Aku bisa pulang sendiri. Aku… aku punya kaki! Nih, liat…” Ia mencoba melangkah lurus, tapi malah goyah seperti kepiting mabuk. Leodric langsung menahan pinggangnya sebelum jatuh. “Kamu mau jatuh di jalan?!” nada suaranya naik, tapi sorot matanya lebih khawatir daripada marah. Rania terkekeh sambil menatap wajahnya dari dekat. “Ih… kalo kamu marah tuh serem. Tapi… kamu punya mata bagus ya, Pak Iblis? Eh… jangan senyum-senyum. Aku nggak suka. Dasar jahat!” Leodric menutup mata sejenak, menahan kesal sekaligus pusing menghadapi tingkah polos gadis itu. “Ya Tuhan… kenapa aku harus repot sama gadis keras kepala begini…” gumamnya lirih. “Karena… kamu iblis jahat! Jadi harus tanggung jawab kalau bikin orang nangis…” jawab Rania asal, lalu tiba-tiba menyender ke dada Leodric, membuat pria itu kaku di tempat. Untuk pertama kalinya, Leodric tidak tahu harus bersikap bagaimana. ___ “Ran, hati-hati—” Belum sempat Leodric menyelesaikan kalimatnya, Rania tiba-tiba berhenti melangkah, menunduk, lalu “Uuurrghhh…!” Rania muntah di pinggir trotoar, membuat beberapa orang yang lewat menoleh jijik. Leodric refleks menahan rambut Rania agar tidak berantakan. Wajahnya berubah serius, jelas ia mulai panik. “Ya ampun… dasar merepotkan.” Rania yang sudah lemas mendongak dengan mata berair. “Ih… liat kan, gara-gara kamu aku mabuk. Iblis jahat… huhuhu…” Suaranya sengau, seperti anak kecil yang ngambek. Leodric mendesah berat, melepas jasnya untuk menutupi bahu Rania yang gemetar. “Sudahlah. Nggak ada pilihan lain.” Dengan gerakan tegas, ia merunduk dan mengangkat Rania ke dalam gendongan bridal style. Rania menjerit kecil lalu terkekeh. “Waaaah… aku digendong iblis jahat! Hahaha… jangan gigit aku yaa…” Leodric mengetatkan rahangnya, tapi wajahnya memerah tipis karena malu. “Diam, atau kutinggal di sini.” “Jangan~ nanti aku kesepian…” Rania menempelkan wajah ke dada Leodric, membuat langkah pria itu semakin kaku. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di mobil. Leodric dengan hati-hati membaringkan Rania di kursi belakang, lalu segera melajukan mobil menuju kosannya. Sesampainya di depan kos, Leodric memapah Rania yang sudah setengah pingsan naik ke lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar Rania, tapi tak ada yang keluar. “Ran, kuncinya mana?” tanyanya. Rania merogoh tas dengan asal, lalu menyodorkan kunci ke Leodric. Setelah berusaha sebentar, pintu berhasil terbuka. Leodric membaringkan Rania di ranjang kecil dengan selimut seadanya. Baru saja hendak pergi, ia menarik gagang pintu. KREKK! Pintu itu tersangkut. Leodric mencoba lagi, tapi hasilnya sama. Pintu tua itu benar-benar macet. “Serius?” gumamnya dengan wajah masam. Ia menoleh ke arah Rania yang sudah terlelap dengan napas berat. Leodric mendekat ke jendela, sempat berpikir untuk memanggil ibu kos atau tetangga. Tapi begitu ia membayangkan wajah mereka yang pasti akan salah paham melihatnya keluar dari kamar Rania tengah malam… ia langsung mengurungkan niat. “Bagus sekali. Bos besar terjebak di kamar kos pegawainya sendiri.” Ia menepuk kening, frustasi. Sambil duduk di kursi kayu dekat ranjang, Leodric menghela napas panjang. Tatapannya melembut, meski bibirnya masih menggerutu. “Dasar gadis merepotkan… bikin aku pusing, bikin aku kesal, tapi juga bikin aku nggak tega ninggalin.” Rania bergumam dalam tidurnya, “Iblis jahat… jangan pergi…” sambil menggenggam ujung jas Leodric yang tergeletak di kasur. Leodric terdiam, dadanya bergetar aneh. Ia menunduk, lalu menghela napas berat sekali lagi. “Terserah. Malam ini aku pasrah jadi tahanan kosanmu, Rania.” Malam itu pun berlalu dengan Leodric yang terjebak—antara pintu kosan yang macet dan perasaan yang semakin sulit ia kendalikan. ___ Leodric duduk di kursi kayu dengan wajah lelah. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel, dan menyalakannya. Suasana kamar kos yang sepi hanya ditemani suara kipas angin tua yang berdecit pelan. Ia membuka aplikasi Bubble Gum. Pesan terakhirnya pada martabakmanis_extrakeju masih terbuka di layar. PangeranBerkudaPutih: “Kamu sibuk ya hari ini?” Biasanya, balasan dari gadis itu selalu cepat. Entah hanya stiker lucu atau ocehan panjang yang kadang membuatnya tersenyum tanpa sadar. Tapi malam ini… hening. Tidak ada balasan sama sekali. Alis Leodric berkerut. “Tumben. Biasanya cerewet sekali.” Ia menunggu sebentar, menatap layar ponsel yang bercahaya, lalu melirik sekilas ke arah Rania yang tidur dengan wajah tenang, seakan tidak ada beban. Leodric mengembuskan napas. “Sudahlah.” Ia menaruh ponsel di meja kecil, menyandarkan tubuh di kursi kayu yang keras. Niatnya hanya memejamkan mata sebentar sambil menunggu pintu bisa diperbaiki esok pagi. Namun, rasa kantuk yang berat menekannya. Tanpa sadar, kepala Leodric terkulai ke samping, napasnya teratur, dan ia pun tertidur di kursi kayu, tepat di sisi ranjang tempat Rania terlelap.Angin pagi di atap itu berhembus lembut, seolah ingin meredakan segala riak kecil yang mulai muncul di hati dua manusia yang berdiri dalam diam. Rania menatap ujung gedung, hembusan angin dingin menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersadar dari ketegangan yang sempat menahan dadanya ketika melihat Leodric berdiri di sana lebih dulu.Leodric, yang sejak tadi hanya memandangi horizon, akhirnya berbicara tanpa menoleh.“Sering ke sini pagi-pagi?” suaranya datar, tapi tidak dingin. Hanya… ingin tahu.Rania mengerjapkan mata pelan sebelum menjawab, “Kadang, Pak. Kalau lagi pengen tenang.”Leodric mengangguk kecil. “Tempat ini memang enak buat kabur sebentar.”Rania tersenyum tipis. “Bapak juga suka ke sini?”Leodric mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian kecil itu. “Kita semua butuh ketenangan dari sesuatu, kan. Walau itu sebentar."Ada jeda. Angin kembali berembus, membawa aroma kopi mereka berdua.Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa hangat meski kata-kat
Pagi setelah pulang dari rumah Ibu, Rania tiba lebih cepat dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit saat ia memasuki apartemennya kembali subuh tadi untuk tidur sebentar hanya dua puluh menit, tetapi cukup membuat tubuhnya terasa lebih segar dan kepala sedikit lebih ringan. Begitu masuk mobil lagi untuk berangkat ke kantor, ia sempat menatap layar ponsel. Ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Sebelum menyalakan mesin mobil, Rania mengetik pesan cepat. Rania: "Bu, aku udah sampai apartemen tadi. Sekarang mau berangkat kerja." "Ibu jangan lupa sarapan ya ❤️" Tak sampai satu menit, balasan masuk. Ibu: "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan maksain diri. Jangan lupa sarapan juga yah nak." Pesan itu membuat Rania tersenyum kecil senyum yang masih membawa kehangatan pelukan dini hari tadi. Rania membalas dengan nada ringan dan manja, tapi tetap sopan. Rania: "Iya, Bu. Aku nurut kok. Nanti sarapan dulu sebelum kerja.❤️" Tak memakan waktu lama pes
Malam setelah hari itu, Rania tidur dengan hati ringan. Tidak ada pikiran yang menyesakkan, tidak ada bayangan masa lalu yang menahan langkahnya. Hanya rasa tenang seperti udara setelah hujan yang sempat ia rasakan pagi tadi.Keesokan harinya adalah hari libur. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada tumpukan laporan di meja kerja. Hanya cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar apartemennya dan suara burung yang terdengar sayup dari luar jendela.Rania menggeliat malas, lalu tersenyum kecil. “Hari ini, pulang ke rumah Ibu aja, deh…”Ia menatap kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali pulang. Tanpa pikir panjang, ia mulai berkemas ringan beberapa pakaian, oleh-oleh kecil, dan sekotak kue kesukaan ibunya.Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Jalanan pagi itu cukup sepi, dan pemandangan di luar jendela perlahan berganti dari gedung tinggi menjadi deretan rumah-rumah sederhana dan pepohonan hijau. Semakin dekat, hatinya terasa makin hangat.Begitu mobi
Pagi itu, udara masih membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Langit belum benar-benar cerah, tapi bias cahaya mulai menembus jendela kaca tinggi gedung kantor. Di halaman depan, petugas kebersihan sibuk menyapu daun-daun yang menempel di trotoar, sementara beberapa karyawan berlari kecil agar sepatu mereka tidak basah. Rania melangkah masuk dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan berlebih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih lembut, tenangnya bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya ia berhenti melawan hal-hal yang sudah seharusnya dilepas. Begitu sampai di lantai divisi marketing, aroma kopi dan suara mesin printer menyambutnya. Dari arah pantry, Siska sudah melambaikan tangan lebar-lebar. “Raniaaa! Sini, aku beliin roti keju. Jangan bilang kamu belum sarapan lagi!” Rania terkekeh, menaruh tas di kursi lalu menghampirinya. “Kamu selalu punya timing yang pas banget, Sis.” “Feeling sahabat level tinggi,
Udara malam terasa lembap. Lampu jalan memantul di genangan air yang tersisa setelah hujan sore. Rania berdiri di depan halte bus, memeluk tasnya rapat-rapat sambil menatap ke arah jalan yang ramai tapi berantakan. Entah kenapa malam ini terasa terlalu berat — bukan hanya karena hari yang panjang di kantor, tapi juga karena suasana hati yang masih belum sepenuhnya pulih sejak rapat tadi. Beberapa bus melintas, tapi semuanya penuh. Orang-orang berdesakan di bawah atap halte yang bocor, sebagian memegang payung yang robek, sebagian lagi menggerutu karena aplikasi transportasi tak bisa memesan kendaraan akibat hujan. Rania menghela napas pelan. “Udah lengkap banget deh harinya,” gumamnya getir. “Capek, lembur, hujan, dan sekarang… gak bisa pulang.” Ia mencoba menelpon ojek online, tapi sinyalnya buruk. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa penumpang yang tadi menunggu ikut panik mencari tempat berteduh, membuat Rania terdorong keluar dari atap halte yang sempit.
Pagi di kantor terasa lebih ringan dari biasanya. Rania datang lebih awal, dengan senyum kecil yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Ia menyapa beberapa rekan kerja, membantu satu dua hal kecil, bahkan sempat bercanda ringan dengan Siska. Dari kejauhan, beberapa pegawai saling berbisik, “Kayaknya Kak Rania udah lebih ceria, ya?” “Iya, kemarin sempat murung banget, sekarang kayak balik lagi ke versi lamanya.” Di lantai atas, suasana serupa juga terlihat. Leodric tampak santai, sesekali melempar komentar ringan ke timnya, bahkan sempat tertawa kecil saat rapat pagi, hal yang membuat semua orang sedikit heran. “Pak Leodric ketawa? Wah, catat tanggalnya,” celetuk salah satu staf pelan, membuat suasana ruangan ikut mencair. Namun, kehangatan itu seolah punya batas tak terlihat. Sebab setiap kali Rania dan Leodric berpapasan di lorong atau lift, semuanya kembali dingin dan formal. Hanya sapaan singkat, atau sekadar anggukan sopan. Tidak ada senyum kecil, tidak ada per







