MasukSinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden tipis kamar kos Rania. Udara pengap bercampur aroma kayu tua membuatnya perlahan mengerjapkan mata.
“Aduh… kepalaku…” Rania merintih sambil menekan pelipis. Rasa pusing dan perut mual sisa mabuk semalam masih membekas. Ia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat. Begitu kepalanya menoleh ke samping, jantungnya langsung melompat. Di kursi kayu sempit, seorang pria bersetelan rapi meski kusut Leodric terlihat tertidur. Garis rahangnya tegas, wajahnya dingin walau dalam keadaan terpejam. “M-mimpi buruk apa lagi ini?!” bisik Rania panik. Ia buru-buru menyingkap selimut, lalu pelan-pelan turun dari ranjang. Pikirannya hanya satu: kabur. Namun baru beberapa langkah ia melangkah ke pintu, suara berat dan dingin menyambar telinganya. “Mau kemana pagi-pagi begini?” Rania langsung terlonjak. Ia menoleh dengan wajah pucat. Leodric sudah membuka mata, menatapnya dengan sorot tajam yang membuat bulu kuduknya berdiri. “J-jangan nakutin gitu dong!” seru Rania gugup. Leodric berdiri, merenggangkan bahunya yang kaku. “Kamu pikir aku akan tidur nyenyak di kursi keras semalaman? Jangan mimpi. Satu-satunya alasan aku ada di sini, karena pintumu macet.” “Kenapa nggak bilang dari tadi?!” Rania berusaha membela diri, meski suaranya bergetar. “Mau teriak? Tengah malam? Biar semua orang kosan ini lihat aku keluar dari kamarmu? Bagus sekali kalau kamu ingin dihujat satu kos,” balasnya dingin. Rania menelan ludah, wajahnya makin panas. “I-ih… galak banget sih! Kamu sengaja ya pura-pura tidur biar aku malu?!” Leodric mendekat perlahan, tatapannya menusuk. “Kalau kamu tahu malu, seharusnya kamu juga tahu cara menjaga diri. Mabuk sampai muntah di jalan bukan salah siapa-siapa selain dirimu.” Rania terdiam, tak bisa membalas. Pipi pucatnya memerah karena malu sekaligus tersinggung. “Sudah. Mandi sana. Bau alkoholmu mengganggu.” Nada suaranya terdengar seperti perintah, dingin tanpa ampun. Rania mendengus kesal, lalu buru-buru masuk kamar mandi dengan wajah merah padam. Pintu kamar mandi tertutup keras. Leodric menghela napas, mengusap wajahnya dengan kasar. “Dasar gadis merepotkan…” Beberapa menit kemudian, Rania keluar dengan rambut basah yang diikat seadanya. Ia berharap Leodric sudah pergi. Tapi pria itu masih duduk di kursi dengan wajah sama dinginnya. “Kamu… masih di sini?!” Rania nyaris menjerit. "Tentu saja masih di sini.Pintumu macet,tidak bisa dibuka.Sebelum kamu masuk kamar mandi,kamu belum membukakannya.Aku terjebak semalaman... atau jangan-jangan kamu memang tidaj ingat?" ucap leodric dengan kesal Rania panik, lalu buru-buru mengambil sendok dari meja. Krek! Sekali gerakan, pintu terbuka dengan mudah. “Lho, gampang kok.”Ucap rania dengan polosnya Leodric terdiam, lalu menatapnya tajam. “Jadi semalaman aku sia-sia di sini… sementara kamu bisa membukanya hanya dengan sendok?” Rania hanya bisa nyengir kaku. “Hehe…” Wajah Leodric menegang, jelas ia menahan emosi. Rania buru-buru mencoba menebus kesalahannya. “Eh… kamu mau mandi dulu? Biar seger gitu…” Leodric langsung menyilangkan tangan di dada. Tatapannya mencemooh. “Apa maksudmu? Kau mau mengintip?” “APA?!” Rania melongo. “Kalau ya, bilang saja. Biar aku sekalian laporkan pegawaiku sendiri yang punya pikiran kotor.” Nada suaranya dingin, tapi ada sindiran halus yang membuat Rania ingin menjerit karena malu. “Dasar narsis! Nih, pake kaosku aja, biar bajumu nggak kusut lagi!” Rania melemparkan kaos putih oversize. Leodric menatap kaos itu dengan wajah tak bersahabat. “Bagus. Kalau aku pakai ini, jangan salahkan aku kalau kaosmu berubah jadi kain lap.” Rania mendengus. “Terserah!” Tak lama, suara air berhenti. Leodric keluar dengan rambut basah, mengenakan kaos putih Rania yang jelas kebesaran di bahu, tapi tetap menempel di tubuh bidangnya. Rania refleks menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah. “Um… aku bikinin sarapan. Jangan salah paham, aku cuma kasihan aja.” Di meja kecil, ada telur dadar, nasi hangat, dan teh manis. Leodric duduk, menatap makanan itu sebentar, lalu mengambil sendok. Setelah satu suap, ia mendengus pelan. “Telurnya gosong di pinggir. Tehnya terlalu manis. Dan nasinya… keras.” Rania ternganga. “Hei! Itu sudah susah payah aku bikin!” Leodric menatapnya dingin, menyendok lagi dengan tenang. “Diam saja. Kalau aku masih mau makan, berarti masih bisa ditoleransi.” Rania mendidih menahan emosi, tapi diam-diam jantungnya berdegup kencang melihat pria itu makan sarapannya dengan tenang meski mulutnya judes.Ia menikmati sarapan sederhana itu, meski mulutnya terus saja mengeluarkan komentar ketus. Rania yang sejak tadi berdiri di dekat meja akhirnya menghela napas panjang. “Kalau nggak suka, nggak usah dimakan!” omelnya sambil manyun. Namun, alih-alih berhenti, Leodric justru mengambil suapan lagi. Gerakannya santai, seakan tidak peduli dengan protes Rania. Rania mengamati wajahnya diam-diam. Rambut hitamnya masih sedikit basah, kaos putih oversize itu tampak ketat di dadanya, dan entah kenapa, melihat pria itu sarapan dengan tenang justru membuat hatinya berdebar aneh. Tanpa sadar, ia meraih gelas teh dan menyodorkannya. “Nih, minum dulu… biar nggak keselek.” Leodric menoleh sekilas. Tatapan tajamnya membuat tangan Rania hampir gemetar. Tapi ia sudah terlanjur menyodorkan gelas itu, jadi mau tidak mau ia harus tetap bertahan. Pria itu menerima gelasnya, meneguk sedikit, lalu mengangguk pelan. “Lumayan. Masih bisa diminum.” Rania mendengus. “Dasar mulutnya susah dikasih manis.” Untuk pertama kalinya, sudut bibir Leodric terangkat samar. Rania kaget bukan main. Jantungnya berdebar keras melihat senyuman tipis itu, dan wajahnya langsung panas. “Eh, aku… aku cuci piring dulu deh!” katanya gugup, berlari ke wastafel kecil di pojok kamar. Dengan kikuk, Rania mencuci piring yang baru saja dipakai Leodric. Ia berusaha keras agar wajahnya tidak terlihat merah padam. Tapi saat ia menoleh, ternyata pria itu masih menatapnya. “Kenapa lihat-lihat?!” protesnya cepat, mencoba menutupi rasa gugup. Leodric bersandar santai di kursi, tangannya terlipat di dada. “Aku hanya heran. Seorang gadis ceroboh yang bisa mabuk sampai muntah di trotoar… ternyata tahu caranya menyiapkan sarapan, mencuci piring, dan… merawat tamunya.” Rania terdiam. Hatinya menghangat mendengar kalimat itu. Untuk sesaat, ia merasa Leodric tidak sedingin biasanya. Ia memberanikan diri tersenyum tipis. “Yah… aku kan nggak seburuk itu. Kadang bisa juga jadi manis, tahu.” Leodric berdiri. Langkahnya pelan tapi pasti mendekati Rania. Ia berhenti tepat di belakangnya. Rania bisa merasakan hawa tubuhnya begitu dekat, membuat bulu kuduknya meremang. “Manis, ya?” bisik Leodric rendah di telinganya. “Kalau memang manis… jangan sampai suatu hari ada yang tergoda mencicipinya.” Rania membeku di tempat. Tangan yang memegang piring hampir terlepas karena merinding hebat. Ia menoleh cepat, tapi Leodric sudah melangkah ke arah pintu, meninggalkannya dengan wajah merah padam sekaligus jantung berdebar tak karuan.Angin pagi di atap itu berhembus lembut, seolah ingin meredakan segala riak kecil yang mulai muncul di hati dua manusia yang berdiri dalam diam. Rania menatap ujung gedung, hembusan angin dingin menyentuh pipinya, membuatnya sedikit tersadar dari ketegangan yang sempat menahan dadanya ketika melihat Leodric berdiri di sana lebih dulu.Leodric, yang sejak tadi hanya memandangi horizon, akhirnya berbicara tanpa menoleh.“Sering ke sini pagi-pagi?” suaranya datar, tapi tidak dingin. Hanya… ingin tahu.Rania mengerjapkan mata pelan sebelum menjawab, “Kadang, Pak. Kalau lagi pengen tenang.”Leodric mengangguk kecil. “Tempat ini memang enak buat kabur sebentar.”Rania tersenyum tipis. “Bapak juga suka ke sini?”Leodric mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian kecil itu. “Kita semua butuh ketenangan dari sesuatu, kan. Walau itu sebentar."Ada jeda. Angin kembali berembus, membawa aroma kopi mereka berdua.Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa hangat meski kata-kat
Pagi setelah pulang dari rumah Ibu, Rania tiba lebih cepat dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit saat ia memasuki apartemennya kembali subuh tadi untuk tidur sebentar hanya dua puluh menit, tetapi cukup membuat tubuhnya terasa lebih segar dan kepala sedikit lebih ringan. Begitu masuk mobil lagi untuk berangkat ke kantor, ia sempat menatap layar ponsel. Ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Sebelum menyalakan mesin mobil, Rania mengetik pesan cepat. Rania: "Bu, aku udah sampai apartemen tadi. Sekarang mau berangkat kerja." "Ibu jangan lupa sarapan ya ❤️" Tak sampai satu menit, balasan masuk. Ibu: "Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan maksain diri. Jangan lupa sarapan juga yah nak." Pesan itu membuat Rania tersenyum kecil senyum yang masih membawa kehangatan pelukan dini hari tadi. Rania membalas dengan nada ringan dan manja, tapi tetap sopan. Rania: "Iya, Bu. Aku nurut kok. Nanti sarapan dulu sebelum kerja.❤️" Tak memakan waktu lama pes
Malam setelah hari itu, Rania tidur dengan hati ringan. Tidak ada pikiran yang menyesakkan, tidak ada bayangan masa lalu yang menahan langkahnya. Hanya rasa tenang seperti udara setelah hujan yang sempat ia rasakan pagi tadi.Keesokan harinya adalah hari libur. Tidak ada alarm yang berdering, tidak ada tumpukan laporan di meja kerja. Hanya cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar apartemennya dan suara burung yang terdengar sayup dari luar jendela.Rania menggeliat malas, lalu tersenyum kecil. “Hari ini, pulang ke rumah Ibu aja, deh…”Ia menatap kalender di dinding. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali pulang. Tanpa pikir panjang, ia mulai berkemas ringan beberapa pakaian, oleh-oleh kecil, dan sekotak kue kesukaan ibunya.Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Jalanan pagi itu cukup sepi, dan pemandangan di luar jendela perlahan berganti dari gedung tinggi menjadi deretan rumah-rumah sederhana dan pepohonan hijau. Semakin dekat, hatinya terasa makin hangat.Begitu mobi
Pagi itu, udara masih membawa aroma tanah basah sisa hujan malam. Langit belum benar-benar cerah, tapi bias cahaya mulai menembus jendela kaca tinggi gedung kantor. Di halaman depan, petugas kebersihan sibuk menyapu daun-daun yang menempel di trotoar, sementara beberapa karyawan berlari kecil agar sepatu mereka tidak basah. Rania melangkah masuk dengan langkah ringan. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa riasan berlebih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sorot matanya lebih lembut, tenangnya bukan karena menyerah, tapi karena akhirnya ia berhenti melawan hal-hal yang sudah seharusnya dilepas. Begitu sampai di lantai divisi marketing, aroma kopi dan suara mesin printer menyambutnya. Dari arah pantry, Siska sudah melambaikan tangan lebar-lebar. “Raniaaa! Sini, aku beliin roti keju. Jangan bilang kamu belum sarapan lagi!” Rania terkekeh, menaruh tas di kursi lalu menghampirinya. “Kamu selalu punya timing yang pas banget, Sis.” “Feeling sahabat level tinggi,
Udara malam terasa lembap. Lampu jalan memantul di genangan air yang tersisa setelah hujan sore. Rania berdiri di depan halte bus, memeluk tasnya rapat-rapat sambil menatap ke arah jalan yang ramai tapi berantakan. Entah kenapa malam ini terasa terlalu berat — bukan hanya karena hari yang panjang di kantor, tapi juga karena suasana hati yang masih belum sepenuhnya pulih sejak rapat tadi. Beberapa bus melintas, tapi semuanya penuh. Orang-orang berdesakan di bawah atap halte yang bocor, sebagian memegang payung yang robek, sebagian lagi menggerutu karena aplikasi transportasi tak bisa memesan kendaraan akibat hujan. Rania menghela napas pelan. “Udah lengkap banget deh harinya,” gumamnya getir. “Capek, lembur, hujan, dan sekarang… gak bisa pulang.” Ia mencoba menelpon ojek online, tapi sinyalnya buruk. Hujan turun lagi, kali ini lebih deras. Beberapa penumpang yang tadi menunggu ikut panik mencari tempat berteduh, membuat Rania terdorong keluar dari atap halte yang sempit.
Pagi di kantor terasa lebih ringan dari biasanya. Rania datang lebih awal, dengan senyum kecil yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Ia menyapa beberapa rekan kerja, membantu satu dua hal kecil, bahkan sempat bercanda ringan dengan Siska. Dari kejauhan, beberapa pegawai saling berbisik, “Kayaknya Kak Rania udah lebih ceria, ya?” “Iya, kemarin sempat murung banget, sekarang kayak balik lagi ke versi lamanya.” Di lantai atas, suasana serupa juga terlihat. Leodric tampak santai, sesekali melempar komentar ringan ke timnya, bahkan sempat tertawa kecil saat rapat pagi, hal yang membuat semua orang sedikit heran. “Pak Leodric ketawa? Wah, catat tanggalnya,” celetuk salah satu staf pelan, membuat suasana ruangan ikut mencair. Namun, kehangatan itu seolah punya batas tak terlihat. Sebab setiap kali Rania dan Leodric berpapasan di lorong atau lift, semuanya kembali dingin dan formal. Hanya sapaan singkat, atau sekadar anggukan sopan. Tidak ada senyum kecil, tidak ada per







