Gara-Gara Nikah di KUA
Part 1 : Nikah Tanpa Resepsi
"Kayaknya sih hamil duluan deh makanya nikah di KUA."
"Masa? Perutnya masih rata aja tuh."
"Dugaanku sih karena lakinya kere."
"Kasihan, ya, pernikahannya nggak berkesan sama sekali. Nggak ada pestanya."
"Tebakanku, Mas kawinnya cuma dua ribu kali."
"Ngenes banget, ya, jadi Naima. Nasibnya malang sekali."
Begitulah ocehan yang kudengar dari tetangga sejak tiga minggu pasca pernikahanku dengan Bang Yusril, pemuda desa yang selama ini hanya berani saling lirik denganku, namun tiba-tiba datang melamar.
“Assalammualaikum. Nai, kamu udah siap belum, Nak?” Suara Ibu terdengar di depan pintu.
Aku yang sedang duduk melamun di tengah ruangan langsung beranjak di ke depan pintu dan menepikan pakaian yang hendak kulipat namun tak jadi karena terngiang-ngiang ocehan tetangga setiap aku keluar rumah untuk berlanja sayur atau juga ke warung. Heran saja, tetanggaku di kampung ini paling hoby berghibah padahal aku dan suami tak punya salah sama mereka.
“Waalaikumsalam,” sahutku pada Ibu saat membuka pintu yang terbuat dari kayu yang sudah sedikit lapuk itu.
“Nai, kok belum siap-siap sih? Kamu lupa kalau hari ini kita ada acara kumpul-kumpul di rumah nenekmu,” sambut wanita bergamis kuning muda itu, entah warna yang memudar atau warnanya seperti itu, aku tak tahu juga. Kami memang keluarga kurang mampu, jatah beli pakaian memang nunggu lebaran saja yaitu setahun sekali.
“Eh, masuk dulu deh, Bu. Naima lupa lihat jam saking asyiknya ngelipat pakaian,” jawabku dengan sambil menggandeng Ibu untuk masuk ke dalam rumah gubukku bersama Bang Yusril.
“Hmm ... mana pakaian yang dilipat, wong itu masih berserakan saja?” sanggah Ibu dengan sambil tersenyum lalu duduk di dekat tumpukan pakaian.
Aku jadi kikuk juga dan tersenyum tak enak, ketahuan kalau sedang berbohong.
“Buruan mandi sana, dan dandan yang cantik serta kenakan pakaian yang bagus soalnya kita akan kumpul dengan sepupu-sepupumu juga keluargamu yang lain,” ujar Ibu.
Aku mengangguk dan segera ke kamar untuk mengambil handuk lalu setengah berlari menuju dapur untuk mandi. Setelah mandi, aku malah kebingungan untuk mengenakan pakaian apa soalnya pakaianku tak ada yang bagus.
“Naima, cepat ah!” teriak Ibu dari luar kamar.
Aku menghela napas lalu mengenakan gamis warna biru yang kubeli lebaran dua tahun yang lalu soalnya lebaran tahun ini aku tak beli baju soalnya gamis yang ini masih bagus menurutku.
Beberapa saat kemudian, aku dan Ibu sudah berjalan menuju rumah Nenek yang tak begitu jauh dari rumah kami. Di rumah dengan desain kayu jati itu terlihat sudah ramai oleh para keluarga, sebab kata Ibu ada acara kumpul-kumpul oleh saudara sepupuku yang baru menikah seminggu yang lalu.
Di ruang tamu rumah nenek, terlihat Mira, sepupuku, sang pengantin baru itu sedang duduk di samping Nenek dengan sambil menunjukkan album foto pernikahannya.
“Kamu cantik sekali, Mira, kamu memang cucu Nenek yang paling membanggakan,” ujar Nenek dengan mengusap bahu Mira. “Gaun pengantin dan derokasinya sangat mewah, kalian terlihat seperti ratu dan raja,” sambung wanita yang kulitnya sudah terlihat keriput itu.
“Iya dong, Nek, bagi Mira dan Bang Amir, pernikahan itu cuma sekali seumur hidup jadi memang harus dirayakan secara besar-besar. Makanya aku dan Bang Amir rela nabung dua tahun agar bisa membuat pesta pernikahan yang mewah.” Mira terlihat bangga dengan sambil melirikku yang sedang duduk di samping Ibu.
“Betul itu, Mira, kamu juga pandai milih suami, punya kerjaan mapan dan bertanggung jawab. Nggak kayak laki-laki kere yang berani melamar tapi tanpa modal, tahu-tahunya Cuma diajak nikah di KUA.” Bude Marni, Ibunya Mira ikut bergabung dengan membawa sepiring gorengan dan meletakkannya di hadapan kami yang kini duduk melingkar, menghadap Nenek dan Mira.
“Iya, kalau aku sih mending tak nikah aja kalau cuma diajak nikah di KUA, tampak benar tak bermodalnya. Jijik aku sama laki-laki modal dengkul doang gitu.” Mira mencebik.
“Dia cucu paling memalukan, dia telah mencoreng nama baik keluarga Jannah binti Abdul Malik. Cukup dia saja yang bikin malu, kalian semua jangan ada yang seperti itu hmmm .... “ Nenek melirikku dengan sinis.
Hatiku terasa ditusuk-tusuk, mereka terang-terangan membicarakan aku dan suamiku. Tangan ini mengepal, sedang Ibu terlihat menatapku dari samping dan memberi isyarat agar tak tersinggung.
“Naima, apa kamu punya foto pernikahan seperti milik Mira dan Amir ini?” tanya Nenek menunjukkan album foto sepupuku itu.
Aku menggeleng dengan menehan buliran air mata.
“Eh iya, foto nikah di KUA aja kali nggak punya mereka, Nek. Kasihan sekali Naima, tak punya kenang-kenangan juga cerita kepada anaknya nanti,” cibir Martha, sepupuku juga.
“Sudah, Naima, tak usah dimasukkan ke hati!” bisik Ibu pelan.
Napas ini kembang-kempis menahan gejolak emosi, bukan kali ini saja mereka selalu mempermasalahkan pernikahanku, bahkan setiap kali bertemu. Waktu itu juga, tak ada yang mau datang, hanya kedua orangtuaku juga orantua Bang Yusril.
Sebenarnya akulah yang mengajak Bang Yusril untuk menikah ke KUA saja, biar tak terlalu repot dan mengeluarkan banyak uang untuk acara resepsi sebab aku memikirkan kesakralan saja. Pesta besar-besaran hanya buang-buang uang saja, aku tak mau terlalu banyak menuntut kepada laki-laki yang tak banyak bicara itu, apalagi dia memang tak punya banyak uang. Menikah di KUA juga tak gratis, ada biaya administrasinya juga. Mengapa keluargaku selalu merendahkan pernikahan KUA yang tanpa menggelar pesta?
Untuk apa juga menikah dengan pesta megah tapi setelah nikah malah terjerat hutang sana-sini, aku tak mau seperti itu. Lebih baik uang untuk pesta itu digunakan untuk biaya hidup setelah menikah, seperti yang kami lakukan yaitu membeli rumah sederhana walau gubuk juga.
“Untuk cucu-cucu Nenek yang lain, jangan cari suami kayak suami Naima, ya! Cari suami yang mapan dan bisa bikin pesta yang mewah biar bisa membanggakan keluarga!” Nenek kembali berkata dengan angkuh.
Aku menarik napas panjang, emosi ini tak bisa ditahan lagi.
“Maaf, Nek, kalau Naima telah mengecewakan keluaga, tak ada maksud seperti itu, tapi tolong ... berhentilah membicarakan pernikahanku yang hanya digelar di KUA ini! Yang menjalani semua ini Naima, dan kami baik-baik saja. Naima senang, sehabis nikah sudah tak perlu memikirkan hutang pernikahan atau juga menumpang tinggal di rumah orangtua, tapi kami langsung beli rumah walaupun jelek dan gubuk. Tolong hargai keputusan Naima!” ujarku dengan air mata yang membanjiri wajah.
“Nak, sabar! Jangan laden Nenekmu yang sudah lali!” Ibu mengusap punggungku.
“Hehh ... kamu berani melawan Nenekmu hanya karena lelaki gembala miskin itu! Nidupmu takkan bahagia, Naima, kamu telah salah pilih suami!” Bude Mirna berdiri dengan berkacak pinggang.
Tanpa pamit lagi, aku berlari keluar dari rumah Nenek, tak ada gunanya aku di sini, mereka hanya terus menghina saja. Aku menyesal mengikuti ajakan Ibu. Banggakan saja Mira, Nek, dan lihatlah nanti, pernikahan siapa yang akan bahagia dan langgeng nanti. Pernikahan yang hanya dilangsungkan di KUA atau pernikahan yang mewah dengan hasil menggadaikan sertifikat rumah Budeku itu, aku tahu semuanya.
Bersambung ....
Gara-Gara Nikah di KUAPart 2 : Curhatan Naima“Dek, kamu kenapa?” tanya Bang Yusril saat kami datang bersamaan di depan rumah.Segera kusapu air mata yang sedari tadi sudah menggenangi wajah. Dengan tergesa-gesa, Bang Yusril memarkirkan motor bututnya yang ia gunakan untuk mencari rumput juga mengangkutnya ke kandang sapi milik Juragan Burhan, majikan suamiku.“Nggak apa-apa. Abang udah pulang?” tanyaku dengan sambil melangkah menuju pintu lalu membukanya.“Iya, hari ini pekerjaan Abang lebih awal selesainya. Ternak Juragan sudah masuk kandang semuanya, rumput untuk makan mereka juga sudah ada,” jawab Bang Yusril sambil melangkah masuk ke dalam rumah gubuk milik kami.Aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian lalu menuju dapur untuk menyiapkan kopi untuk suamiku walau hati masih terasa sakit karena kejadian tadi. Sedangkan suamiku, ia mengambil handuk kemudian menuju dapur untuk mandi dan membersihkan diri.“Dek, kok melamun?” Suara Bang Yusril membuyarkan lamunanku yang sedang meng
Gara-Gara Nikah di KUAPart 3 : Mira Pamer Mobil“Assalammualaikum, Naima,” ujar Ibu.“Waalaikumsalam,” jawabku dengan masih terkejut sembari menciun tangan Ibu juga Bude dan Nenek.“Hmm ... jadi ini rumah kamu Naima?” Nenek mencebik dengan tatapan merendahkan.“Ayo, masuk, semuanya! Inilah rumah Naima,” ujar Ibu dengan senyum semringah sembari melangkah mendahului empat tamu kami.“Ini rumah? Mira kira kandang sapi tempat Yusril kerja, ups!” Sepupuku itu pura-pura keceplosan saat masuk ke dalam rumahku, tatapannya begitu merendahkan.Nenek terkekeh, dengan mata mengelilingi seisi rumahku. Aku masih menahan hati dan berusaha untuk tetap bersikap baik walau hati mulai jengkel dengan tingkah sengit tiga tamuku yang saat ini sedang berbisik-bisik dan menatap jijik rumah gubuk yang hanya ada tiga ruangan ini.“Ayo silakan duduk! Maaf ... rumah Naima nggak ada kursi, jadi duduknya Cuma di lantai,” ujar Ibu lagi.“Kami berdiri saja deh, soalnya nggak terbiasa duduk di lantai,” jawab Mira de
Gara-Gara Nikah di KUAPart 4 : Sabtu-MingguBang Yusril masuk ke rumah, wajahnya terlihat semakin letih. Aku tahu, ia pasti tersinggung dan terhina atas perlakuan norak suami dari sepupuku itu. Aku jadi tak enak hati, padahal banyak juga orang kaya di desa ini tapi tak seheboh mereka.“Maafkan Ibu, Nai, Ibu tak tahu kalau mereka ke sini hanya untuk menghina kamu saja.” Ibu menatapku dengan sambil menyapu matanya yang terlihat basah karena air mata.“Nggak apa, Bu, ini bukan salah Ibu kok. Lain kali, Ibu jangan terpedaya oleh mereka lagi, tak perlu dekat-dekat mereka lagi,” ujarku dengan menghela napas berat.“Iya, Nai. Ya sudah, Ibu pulang dulu, ya!” jawab Ibu dengan sambil memasang sandal jepitnya lalu membalikkan badan dan keluar dari perkarangan rumahku.Kutatap punggung wanita paruh baya yang semakin menjauh itu, dia memang tak pandai berpikiran buruk kepada orang lain, juga saudara-saudaranya yang memang selalu menghina karena kemiskinan kami tapi aku tak mau seperti Ibu yang me
Gara-Gara Nikah di KUAPart 5 : Para Penagih HutangBude Yani terlihat berusaha menenangkan tiga orang wanita di depan rumahnya itu, sedang Mira tak terlihat di sana. Ibu mengajakku untuk segera masuk kembali ke dalam.“Entar, Bu, Nai mau lihat adegan seru ini dulu. Siapa tahu nanti Bude Yani dijambak tiga tamunya itu?” ujarku dengan menahan senyum.“Emangnya kamu ngapain? Mau nolongin Budemu?” Ibu terlihat menautka alis.“Iya, mau nolong ... nolong buat nyorakin.” Aku terkekeh.“Hus, nggak boleh gitu, kualat kamu nanti!” Ibu melotototiku.Aku menutup mulut, menahan tawa. Kini mata kami kembali ke pemandangan depan rumah. Eh, suasana semakin memanas, Bude menyiram satu ember air kepada tiga tamunya itu.“Ya Tuhan!” Ibu memegangi dadanya menyaksikan kebrutalan Kakaknya itu.Tiga tamunya itu semakin meradang dan kini mengurubuti Bude Yani. Beberata tetangga yang kebetulan menyaksikan adegan itu hanya menonton saja.“Nai, ayo bantuin Budemu sana!” Ibu menarikku turun dari rumah.“Nggak u
Gara-Gara Nikah di KUAPart 6 : Sama-sama Hamil“Apa, kantor pengelolaan daging sapi? Kantor apaan itu? Ngarang aja deh kamu, Nai! Hahaaa .... “ Mira cekikikan dengan sambil memegangi perutnya, geli sekali hatinya itu.“Kasihan kamu, Nai! Makanya, kalau pingin punya suami yang kerja kantoran itu, jangan asal nerima lamaran pria gembala seperti Yusril. Pilih-pilih dulu, atau juga ceraikan saja di gembala miskin itu terus nyari suami baru lagi!” timpal Bude dengan mulut yang begitu lemasnya.“Mau bohong juga mesti pakai logika, Naima, masa gembala gak tamat SD gitu mau ngaku kerja kantoran! Hahaa ... orang kerja kantoran itu harus punya ijazah kuliah, S.1,” ujar Mira lagi dengan tatapan merendahkan, sedang aku hanya bisa gigit jari, tak bisa menjawab ejekannya.“Lucu kamu, Nai, suami ngga berpendidikan gitu mau dibilang kerja kantoran. Kalo suami Mira sih ... Sarjana Ekonomi, lulusan Ibu Kota, pantas sekali kerja di kantoran. Ya sudah, ayo pulang, Mir! Perut Mama sakit lama-lama di sini
Gara-gara Nikah di KUAPart 7 : Mangga Harga Sejuta“Nai, jaga ucapan kamu!” bentak Ibu tiba-tiba. “Minta maaf sama Budemu!” sambungnya dengan melotot ke arahku.Aku menggaruk dahi, merasa bersalah juga dengan ucapan yang meluncur begitu saja itu. Rasanya memang tidak pantas aku berkata demikian, duh ... Mulut ini kok mendadak jadi gini, suka nggak bisa dikontrol kata-katanya.“Maaf, Bude,” ujarku lirih.“Huh, penyakit iri dengki itu memang selalu menjadi penyakit yang berbahaya yang hanya bisa diobati jika sudah kaya benaran. Kamu sih bisa jadi kaya, cuma mimpi aja, Nai! Palingan cuma bakal kaya hati saja! Hahaaa .... " cibir Bude Nani lagi dengan sambil menetertawaiku lalu membalikkan tubuhnya. “Kasihan calon anakmu itu, dia akan terlahir dan hidup dalam kemiskinan karena bapaknya cuma gembala kere,” sambungnya dengan sinis kemudian menyeberang jalan untuk pulang ke rumahnya.Ya Allah, jahat sekali mulutnya Bude Nani. Aku tak pernah iri dengan Mira, sepupuku itu, walau nasib kami be
Gara-gara Nikah di KUAPart 8 : Tujuh BulananKututup kembali kardus buah-buahan itu dan berusaha menahan diri untuk tak memakannya sebab tak tahu itu milik siapa, barangkali saja punya orang nitip sama Bang Yusril sebab rasanya mustahil suamiku yang hanya gembala itu bisa membeli buah-buahan mahal. “Assalammualaikum.” Terdengar suara Bang Yusril dari depan pintu.Aku segera melangkah keluar dari dapur, di depan pintu terlihat suamiku dengan setelan khas saat menjadi gembala, yaitu baju dan celana panjang serta topi.“Waalaikumsalam, Bang,” sambutku dengan tersenyum ke arahnya, walau orang melihat Bang Yusril itu dekil dan awut-awutan, tapi bagiku dia tetap tampan dengan kulit kuning langsat itu juga perawakan yang tinggi tegap.Bang Yusril masuk ke dalam dengan membawa sepatu botnya, aku mengekor di belakang. Aku memberikan handuk agar ia mandi dan membersihkan diri, sedang aku membuatkannya kopi seperti biasanya.“Bang, itu kardus buah punya siapa?” tanyaku tak sabar saat Bang Yusr
Gara-gara Nikah di KUAPart 9 : Mira Pergi LahiranHari terus berlalu, aku mulai jarang keluar rumah karena malas dengan ghibahan para tetangga yang sengaja membesarkan volume suara jika melihatku lewat di jalan. Walau berusaha untuk tak memasukkan kata-kata mereka ke relung hati, tapi nyatanya aku terasa juga.“Jangan banyak melamun, Sayang!” Suara Bang Yusril mengagetkanku.Aku mendongakkan kepala saat melihat pria jangkung itu muncul dari balik pintu dengan tampilannya yang baru saja pulang dari mengembala. Dengan berpegang ke dinding, aku berusaha bangkit sebab beban semakin berat sehingga aku selalu kesusahan jika hendak bangun dari duduk atau juga bangkit dari berbaring.Dengan sigap, Bang Yusril memegang lenganku dan membantu untuk berdiri. Aku tersenyum dan hendak memeluknya.“Jangan, Dek! Nanti saja kalau Abang udah wangi.” Bang Yusril mundur ke belakang.Aku menahan tawa melihat tingkahnya yang kini malah setengah berlari menuju dapur. Aku mengekor di belakangnya untuk menyi