Byurrrr ....Aira terlempar ke kolam tanpa perlawanan. Zayen yang sudah merasa menang bersiap-siap kembali ke kamar. "Zay ... Za-yen! To-long! To-long!"Zayen menghentikan langkahnya mendengar suara Aira meminta tolong yang terputus-putus di sela kecipak suara air yang tak beraturan. Zayen membalikkan badannya segera. Dilihatnya kepala Aira timbul tenggelam, dengan kedua tangan terulur ke atas."Astaga! Aku enggak pernah bertanya dia bisa berenang atau enggak selama ini! Mati anak orang!" Zayen langsung panik melihat Aira yang sudah mau tenggelam.Byuuurrrrr ....Tanpa pikir panjang Zayen ikut menceburkan dirinya ke dalam air kolam yang dingin. Secepat mungkin Zayen mendekati Aira. Tangan kirinya langsung meraih pinggang Aira, dan ditopangkan perut Aira di bahunya. Lalu dengan sekuat tenaga tangan kanannya mengayuh di air supaya cepat sampai ke tepi. Nafas Zayen terengah-engah begitu sampai ditepi kolam. Tangan kanan menahan tubuhnya, perlahan ia merebahkan Aira yang terlihat lemas
"Uhuk! Za-yen ...." Terdengar suara Aira memanggilnya lirih. Zayen mendekat, ia lega akhirnya Aira sudah sadar. Ia memberanikan diri mendekati istrinya."Emm ... Ma-maaf ya, Ra!, Ak-aku enggak tau kalau Kamu, gak bisa berenang."Zayen berbicara dengan terbata-bata karena merasa bersalah. Aira hanya diam sambil membalikkan badan enggan melihat ke arah Zayen."Marahkah dia?" Zayen bertanya dalam hati."Ra, maaf!" Zayen duduk disebelah Aira dengan kaki menjuntai ke bawah. "Ra ..."Hening.Wanita, jika marahnya sambil berbicara tanpa berhenti berarti masih normal. Tetapi jika marahnya wanita tanpa mengeluarkan suara lagi, itu berbahaya. Di atas Normal. Begitu pikir Zayen, karena sering melihat meme yang sering berseliweran di status WA maupun Facebook teman-temannya."Ra, maaf! Aku ngapain? Buat nebus kesalahanku tadi?" Suara Zayen mulai memelas karena benar-benar merasa bersalah.Aira membalikkan tubuhnya, dan menatap Zayen dengan nanar."Pijitin Aku, dari kaki sampai kepala!"Aira mel
Diluar dugaan, Zayen mengirim pesan lebih dulu pada Aira agar menunggunya pada pukul 09.00 pagi. Zayen mengirim pesan tanpa penjelasan mau kemana ataupun dimana keberadaannya saat itu. Karena penasaran, Aira langsung bersiap-siap dan menunggu di depan hotel seperti yang diperintahkan Zayen. Hampir setengah jam menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza berwarna silver menepi menghampiri."Woy, Ra. Bengong aja. Cepat masuk!" Kepala Zayen menyembul keluar setelah kaca mobil di turunkan.Wajah Aira berubah masam. Dengan kaki yang dihentak-hentakkan, Aira melangkah menuju mobil. Aira lebih memilih membuka pintu depan dan duduk di sebelah driver grab yang di sewa Zayen."Loh, Mbak jangan duduk di sini, di belakang aja sama Masnya," protes Driver."Tapi aku pengennya, disini!" jawab Aira ketus."Tapi enggak boleh, Mbak! Penumpang harus duduk di belakang.""Kata siapa?" Aira mulai dibuat kesal."Kata Masnya," ucap Driver polos sambil mengerlingkan mata ke Zayen."Pokoknya, Aku tetap di sini!" A
"Maksudmu? Waa ... wa ... waah! Kamu kemaren malam pingsan bohongan, Ra?" Otak Zayen cukup cerdas untuk membuat kesimpulan sendiri."Kalau iya kenapa? Aku juga tau kalau ternyata tanganmu jahil juga. Suka gentayangan kemana-mana di badan orang. Katanya enggak tertarik, nyatanya .... he-em!" Mulut Aira mencebik sambil melepaskan dirinya dari Zayen."Ooohhh! Dasar kamu, Ra! Ratunya dalam berpura-pura. Nyesal aku cuma pakai tangan kemaren malam. Tau gitu sekalian aja kulahap kamu, Ra," getutu Zayen yang makin salah tingkah."Sekalian aja apa?" ketus Aira sambil menatap Zayen tajam."Sekalian pake kaki, kuinjak-injak!" sahut Zayen asal.Aira mencibir, tapi tak menjawab. Ia takut Zayen marah, lalu meninggalkannya sendiri di atas pohon bila ia banyak bicara. Zayen berbalik bersiap-siap kembali menuju pohon."Zayeeen, tunggu! Aku enggak bisa jalan," pinta Aira karena ia masih ketakutan jika melihat ke bawah.Zayen berpura pura tak mendengar, dan terus aja melangkah menuju ke ujung jembatan.
Tiiing ....[Kamu masih belum keluar kamar hari ini, Ra?]Aira terlonjak, karena terlalu lama berfikir dia lupa janjinya untuk mengirim foto kepada Bu Indarti hingga notif pesan WA nya berbunyi.[Heheheh ... tadi ke Pantai Lamaru aja, Bu][Fotonya?][Oh, iya ... maaf lupa, Bu.]Lalu Aira memilih-milih foto mereka ketika di pantai. Sesekali dia tersenyum, dipilih 2 foto yang menurutnya terbaik, lalu di kirim ke Bu Indarti.[Besok mau kemana lagi?][Besok enggak kemana-mana, Bu. Capek, hehe]Bu indarti hanya membalas dengan stiker love bertubi-tubi. Entah kebohongan ke berapa yang di katakan Aira. Kini hati kecilnya harus menanggung rasa bersalah, akibat kepalsuan-kepalsuan yang di lakukan sebelum menikah. Jika waktu bisa di putar kembali, Aira tidak akan memilih caranya yang norak untuk mendapatkan laki-laki kaya. Toh, akhirnya yang ia dapatkan hanya seorang Zayen, yang membuatnya hidup dalam kebohongan dan kebohongan yang saling bersambungan.Keesokan harinya, Aira hanya menghabiska
Zayen mengurut-urut pelipisnya dengan jari tengah dan jempolnya. Ada keraguan dihati untuk melepaskan Aira sendiri, ditambah lagi dengan permintaan Aira yang ingin menjauh. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terlanjur menyanggupi. Lagi pula, Zayen sadar jika Aira tidak menginginkan dirinya. Memaksa Aira untuk selalu dekat, akan membuat keduanya sama-sama tersiksa."Kamu benar, Ra! Mungkin memang sebaiknya kita saling menjauh. Lalu pelan-pelan saling melepaskan diri, dari ikatan yang penuh kepalsuan ini."Zayen bergumam lirih di dalam hati. Di lihatnya sekali lagi wajah Aira dengan lekat. Hatinya bertambah masygul."Pak, nanti kita ke tempat dia dulu, ambil semua barang-barangnya," ucap Zayen akhirnya sambil melempar pandangan ke luar.Driver travel tersebut tidak menjawab, hanya melirik di kaca. Perlahan mobil meninggalkan Bukit Soeharto dan mulai memasuki kawasan padat penduduk. Di kanan-kiri jalan banyak terlihat buah-buahan berjejer dengan rapi, dijual langsung dari pe
"Baiklah, kalau begitu! Saya sangat-sangat berterima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu. Saya tidak keberatan menerimanya, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Saya juga tidak keberatan gajih saya di potong. Bagaimana denganmu, Aira?" tanya Zayen sambil berpaling seolah-olah meminta persetujuan Aira."A-Aku ... enggak keberatan, terima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu," ucap Aira terbata-bata sambi menunduk."Alhamdulillah ...." keempat majikan mereka serempak menjawab ucapan Aira sambil menyapu wajah dengan kedua telapak tangan ."Nah, Aira ... mulai sekarang, dapurmu ada dua ya. Masak dulu buat suamimu, baru masak ke tempat Ibu," ucap Bu Indarti sambil menepuk pundak Aira.Aira tersenyum dan cepat-cepat menunduk, menyembunyikan senyum getir yang tersungging di bibirnya.Zayen menarik nafas panjang, lega karena Aira ikut meringankan bebannya menanggung cicilan rumah. Walaupun ia melihat gurat kekecewaan yang berdampingan dengan senyum Aira."Tenang aja Zayen, Aira
Zayen pergi ke belakang untuk melihat-lihat kamar mandi. Walaupun sederhana, namun kamar mandi dan toilet di rumah tersebut tidak bergabung, melainkan berdampingan. Desain yang lumayan bagus oleh pemilik sebelumnya.Masih tanpa bicara, Aira dan Zayen kembali melangkah ke ruang tamu. Walau tanpa meja dan kursi, namun ruangan tersebut tetap terlihat nyaman. Ada sebuah ambal ukuran sedang terhampar di depan meja, di atasnya ada televisi model tabung jaman dahulu dengan layar 14 inch. Cukup untuk sekedar melihat kabar dari berbagai penjuru Indonesia. Toh, jaman now manusia lebih banyak memandang layar handphone daripada layar televisi.Aira mengarahkan pandangannya menuju sebuah pintu yang menghadap ke ruang tamu. Rupanya, rumah tersebut hanya memiliki satu buah kamar tidur. Tentu saja, Aira langsung bergegas menuju kamar. "Omegot!" Seru Aira setengah terpekik begitu tiba di depan pintu kamar. Zayen terkejut dan langsung menghampiri Aira yang masih menutup mulut."Ada apa? Kok teriak-ter