Zayen melihat raut wajah istrinya yang nampak gelisah. Ingin sekali ia membawa istrinya ke kamar dan bertanya. Tapi kerabat dan tetangga masih datang silih berganti. Bisa jadi bulan-bulanan dia, jika siang bolong ketahuan mengajak Aira ke kamar.Zayen tersenyum sendiri, ingat bagaimana pernikahan pertamanya dengan Aira yang penuh kepalsuan, bagaimana Aira pingsan setelah ia mengucapkan Ijab qobul, bagaimana mereka bertengkar sepanjang bulan madu yang penuh kepalsuan.Zayen sedikit heran dengan reaksi sebagian orang. Ia diam-diam memperhatikan mereka seperti menemoohkan istrinya. Mungkin itu sebabnya Aira gelisah. "Ah ... lambat kali matahari tenggelam," gumam Zayen dalam hati.Menjelang Ashar, kerabat sudah mulai pulangan. Rumah mereka mulai sepi. Aira dan Alya membersihkan sisa-sisa piring kotor yang belum di cuci. Sebagian tadi sudah di cuci oleh orang-orang yang berdatangan secara bergantian. Sementara itu Zayen membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan Aqua yang masih berceceran.K
Aira dan Zayen baru saja selesai salat subuh. Zayen masih saja mengajak Aira bermanja-manjaan dan melarang Aira keluar dari kamar. Aira terpaksa menuruti kemauan bayi besarnya tersebut."Zayen, Bank jauh gak dari sini?" Tiba-tiba Aira bertanya.Zayen diam tak menjawab."Zayeeen! Dengar enggak sih Aku nanya!" Sungut Aira kesal."Enggak!""Enggak kok jawab.""Panggil Aku, Mas dulu ... baru aku jawab!""Hedeeh! Iya ... iyaaa ... Mas Zayen Zeyeeeenggg. Bank jauh enggak dari sini?""Mau ngapain ke Bank?"Aira duduk di samping Zayen dan meraih tangan suaminya. "Kalau aku panggil sayang aja, enggak papa kan?"goda Aira tanpa menghiraukan pertanyaan Zayen sebelumnya."Terserah dah, penting jangan panggil nama, ya! Mau ngapain ke Bank?" Ulangnya."Ya ... ya ... ya ... Sayaang, tadi malam, Bu Indarti transfer uang kita yang udah masuk untuk bayar rumah sama motor yang disana dia bayar juga. Karena rumahnya sekarang ditempatin sendiri ama Niko, jadi uang kita total di ganti.""Oh, Gitu! Tapi bia
4 tahun kemudian ....Sebuah keluarga kecil beranggotakan 4 orang melangkah turun dari pesawat. Kedua orang tuanya tersenyum lebar, doa mereka terkabul untuk bisa kembali menjajakkan kaki di pulau Kalimantan.Setengah berlari mereka mengejar langkah kedua bocah yang tak pernah lelah berlari."Ragil ... Rasya ... jangan lari-lari terus, bunda capek, Nak!" Seru Ibunya yang menggunakan baju gamis berwarna merah maron dengan jilbab hitam. Ia nampak kesulitan, mengejar dua bocah yang sedang lincah-lincahnya.Sang Bapak, yang mengenakan jaket berwarna senada, hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat tingkah kedua bocahnya.Dari jauh tampak dua orang berdiri, untuk menyambut kedatangan mereka. "Ibuuuu ....""Airaaa ...."Kedua wanita tersebut saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Sementara kedua bocah yang tadi berlari-lari menyembunyikan wajah di belakang ayahnya."Hey, Ragil! Rasya! Sini ... ini juga Nenek dan Kakek" ucap Aira memperkenalkan Bu Indarti dan Pak Margono pada ked
"Buuu … Ibu … tolong, dong. Aku mau foto di sini." Aira meminta tolong pada Bu Indarti untuk mengambil fotonya. Bu Indarti tersenyum seraya mengambil handphone milik Aira kemudian menjepretnya beberapa kali."Udah, ayuk pulang! Sebentar lagi sore, kamu belum masak," ajak Bu Indarti."Bentar lagi, Bu … belum dapat posisi yang bagus." Aira menawar. Sementara Bu Indarti hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pembantunya yang masih sangat muda.Aira yang kurang puas dengan hasil jepretan Bu Indarti, akhirnya mengambil swafoto berkali-kali dengan berbagai pose. Ia sengaja memperlihatkan posisinya yang sedang berada di sebuah toko, seolah sedang memilih-milih berlian. Jari-jari centilnya langsung menyentuh aplikasi berwarna hijau. Dia pilih satu gambar terbaik untuk dipajang di kolom history WA miliknya. Tak lupa tertulis caption di sana. 'Edisi jenuh di rumah terus, cuci mata di sini dulu'.Aira sedang berusaha menarik perhatian seorang lelaki tampan, yang baru dikenalnya sebulan lalu
Namaku Zayelani, atau panggil saja aku Zayen. Tempat kelahiranku adalah pulau Jawa, dan aku besar di sana. Sebuah daerah yang terkenal dengan kebun apelnya. Orang-orang dari luar daerah, setiap musim liburan akan berbondong-bondong datang ke tempat asalku.Kota Batu memang memiliki wahana beragam. Selecta yang memanjakan mata dengan keindahan bunga-bunga. Predator Fun Park mengenalkan hewan-hewan dari bangsa predator, termasuk buaya darat seperti diriku. Sore sampai malam hari, BNS atau Batu Night Spektakuller menyuguhkan permainan yang memacu adrenalin. Jatimpark 1, 2, dan 3 dengan ciri khas masing-masing, dan banyak lagi tempat wisata lainnya yang ditawarkan kota asalku. Namun, entah mengapa aku memilih merantau ke Kalimantan daripada mencari pekerjaan di Kota Batu. Samarinda adalah kota yang kupilih. Aku mengabdi pada keluarga kaya yang baik hati, Pak Gunawan dan Bu May.Aku sering dibelikan barang-barang mewah. Mereka memperlakukan aku bukan seperti seorang supir pribadi, melain
"Aira pingsan ...." tiba-tiba terdengar suara bu Indarti berteriak panik."Ra ... bangun, Ra? Kamu kenapa Ra?" Bu Indarti menyandarkan kepala Aira di pangkuan bu May kemudian berlari mengambil minyak kayu putih. Zayen hanya bengong memandang istrinya yang tiba-tiba ambruk. Dia tidak tau harus berbuat apa. "Zayen ... sini! Kamu gimana sih? Kok diam aja dari tadi. Lupa apa, kalau sudah punya istri?" Bu May langsung mengomeli Zayen yang tidak berinisiatif mendekat."Oh, ya Bu, Maaf!" Zayen gelagapan sendiri. Akibat berhayal yang tidak-tidak dia jadi di omelin. Zayen segera meraih botol aqua lalu beringsut mendekat. Dibuka tutupnya dan dituang sedikit ke telapak tangan. Lalu di percikkan ke wajah Aira. "Astagfirullah, kaya Mbah Dukun yang ngobati pasien aja kamu!" Bu may ngomel lagi melihat kelakuan Zayen.Zayen jadi bingung mau berbuat apa. Bu Indarti dan Bu May bergantian menggosok-gosokkan minyak kayu putih ke telapak kaki dan tangan Aira. Sekali-sekali botol minyak kayu putih yang
Perlahan mobil yang mengantarkan pasangan pengantin baru tersebut bergerak meninggalkan Kota Samarinda. Sepanjang perjalanan tidak ada canda atau tawa, yang menyiratkan kebahagian sepasang insan yang pergi berbulan madu. "Mbak sama Masnya, tegang amat," celetuk driver travel yang matanya naik turun bergantian memandang jalan dan kaca.Senyum di bibir Zayen sedikit terkembang, lalu hilang saat ujung mata Aira meliriknya tajam. "Mau di putarin lagu apa biar rilexs?" Lanjut sang driver ingin menawarkan kenyamanan untuk penumpangnya."Terserah situ," jawab Aira karena sedang malas berbicara."Kalau gitu lagu kesukaanku, gak papa ya mbak?" Tanyanya lagi."Uuh, apa semua sopir memang banyak omong? Sudah ku bilang terserah, suka-suka Bapak!" Jawab Aira dengan tekanan pada kata sopir. Sekilas Aira melirik Zayen dengan dongkol yang tertahan.Zayen berpura-pura tak mendengar ucapan Aira. Ia berlagak asik menikmati perjalanan dengan melihat-lihat keluar.Pak Sopir memilih-milih kaset dengan
**Zayen bangun untuk membersihkan diri, membuka koper lalu menarik lipatan handuknya. Walaupun di hotel sudah di sediakan handuk, tapi karena di koper ada handuk sendiri Zayen lebih memilih memakai miliknya pribadi. Tiba-tiba botol obat perangsang ikut melompat keluar koper, bersamaan dengan tarikan handuknya."Siapa ya yang masukin pakaianku, kok obat sialan ini ikut juga, kalau Pak Gun atau Bu May,aduh! Tapi semoga mereka enggak paham ini obat apa."Pikiran Zayen berkelana hingga tak menyadari botol tersebut berguling dan berhenti tepat di dekat jempol kaki Aira yang sedang menjuntai di sofa.Tangan Aira lekas mengambil botol tersebut dan memandangnya sambil memicingkan mata."Obat apa ini?" "Emm ... anu, itu obat ... a-anu ...."Zayen yang tak menyangka botol tersebut juga di sertakan oleh majikannya dalam koper jadi gagu menjawab, karena tidak ada persiapan ber bohong untuk satu hal tersebut. Beruntung sebelumnya dia sudah melepas gambar yang menempel di botol luarnya sehingga t