"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri."
"Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu."
"Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Suasana hening dini hari sebuah apartemen tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan sang pemilik apartemen tersebut."Ibuuu ... "Lelaki itu bangun sambil terengah seolah habis berlari puluhan kilometer. Tangannya masih menggapai ke depan dan keringat dingin tampak memenuhi sekujur tubuhnya. Telapak tangannya meraup kasar wajah tampan perpaduan dari wajah ayah dan ibu kandungnya.Jantung berdegup kencang bila mengingat mimpi yang hadir dalam lelapnya tadi. Apakah dia terlalu berpikir dalam tentang sang ibu hingga terbawa ke alam mimpi. Saking rindunya dia pada ibu yang telah melahirkannya."Dafa," panggil seorang wanita berparas cantik. Wajahnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu seolah tak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Ataukah memang i
Nadia bergegas keluar dari ruangan Awan tapi kakinya serasa tak berpijak. Telunjuk tangan kanannya tampak bermain di sekitar dagunya. Pikirannya masih melayang pada sikap Awan yang tak biasa. Mereka tak seakrab itu hingga Awan sampai meminta Nadia untuk tinggal di apartemennya. "Ada apa sama pak Awan, ya? Aneh banget sikapnya kayak gitu. Lagi kesambet kali ya, makanya pak Awan bersikap aneh. Kalau fansnya pak Awan sampai tahu, hiiii. Aku nggak bisa bayangin sampai diserang sama mereka. Apalagi kalau sampai ada yang bertingkah bar-bar." Brukk. Nadia bertabrakan dengen seseorang hingga bokongnya mencium lantai yang dingin. Gadis itu meringis sambil memegang area tubuhnya yang sakit. "Aww, sssh, sakit." "Maaf, maaf, aku nggak sengaja," sahut seseorang sambil mengulurkan tangan pada Nadia. Nadia mendongak dan dilihatnya seorang pemuda yang tersenyum manis padanya. Tanpa menerima uluran tangan pemuda itu, Nadia berdiri sendiri sambil bersungut kesal. Pe
"Apaan sih malah kedip-kedip kayak orang cacingan gitu," sungut Nadia. "Hehe." "Malah ketawa sekarang. Apanya yang lucu, Sal?" "Hahaha," tawa keras Salsa memenuhi ruangan kelas yang dihuni tiga puluh mahasiswa itu. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arah kedua sahabat itu yang memaksa Nadia mengangguk sambil tersenyum meminta maaf. Nadia memukul pelan lengan Salsa yang masih saja menutup mulutnya menahan tawa. Nadia merengut sebal sambil bersedekap tangan. Gais itu memalingkan wajahnya dari sahabat karib yang selalu menemaninya itu. "Hehehe, maaf Nad, abisnya kamu lucu banget, kalian lebih tepatnya." Nadia memicingkan mata sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ibu, jangan pergi, jangan tinggalin Dafa. Huhuhuhu." Ismail meraup kasar wajahnya. Saat ini, lelaki itu sedang menunggui Dafa di rumah sakit. Sudah dua hari, putra semata wayangnya menderita sakit typhus. Berhari-hari Dafa tak mau makan. Dia hanya mau bertemu dengan Astri, sang ibu. Bahkan, bujukan Mirna pun tak digubris anak kelas satu SD itu. "Harus kemana aku mencarimu As, kamu nggak kasihan sama anak kita? Dafa butuh kamu. Sedangkan aku tak tahu harus kemana untuk menemukanmu. Aku sudah menghubungi keluargamu tapi mereka sama sekali tak tahu kamu kemana. Aku pikir, kamu kembali ke rumah orang tuamu. Tapi ternyata, kamu tak ke sana. Aku merindukanmu As, walau aku tahu sudah tak berhak lagi untuk itu." "Dafa, cepat sembuh Na
Sepulang kuliah, Nadia berjalan bersama Salsa menuju parkiran. Kedua gadis yang telah lama bersahabat itu, tampak asyik bercanda sepanjang jalan menuju tempat Salsa memarkirkan mobilnya. "Kamu aku anterin aja ya, Nad." "Nggak usah Sal, aku nggak mau ngerepotin kamu." Salsa berhenti dan menahan tangan Nadia agar berhenti berjalan. "Nad, aku kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalo kamu ngerepotin aku. Aku yang nawarin kok. Atau, kamu ngarepnya dianterin sama pak Awan ya," Salsa mulai menggoda Nadia yang langsung memerah pipinya. "Apaan sih Sal, nggak ada ya, pemikiran kayak gitu di otak cantik aku." "Hahaha, narsis amat, Neng. Jadi gimana, mau kan aku anterin? Aku juga nggak buru-buru amat, kok. Ntar aku kirim pesan sama mama kalo aku pulangnya telat." "Duh, aku nggak enak dong sama mama kamu." "Justru mama aku malah seneng. Tahu sendiri kan, mama itu paling heboh kalo ketemu kamu." "Iya sih, kadang aku heran sama sikap mama kamu." Salsa mendekatkan diri pada telinga sahabatn
Astri dan Nadia duduk berhadapan di meja makan dengan empat buah kursi itu. Nadia tampak lahap menyantap masakan Astri yang sangat dia sukai. "Habis makan, kamu cepetan mandi, ya." "Emang mau ke mana, Mi?" "Mumpung masih agak siang, kita ke makam papa, mau?" "Mau, Mi. Ya udah, nanti aku mandinya sepulang dari makam aja gimana?" "Nanti kesorean, Sayang. Kamu bisa-bisa masuk angin lho." "Hehe, iya deh Mi." Selesai makan, Nadia bergegas ke kamarnya untuk menyimpan ransel yang dipakainya kuliah kemudian mengambil handuk dan beranjak ke kamar mandi. Lima belas menit di kamar mandi, Nadia keluar dengan baju yang sudah terganti. Handuk membungkus rambutnya yang basah. "Sudah selesai, Nad?" "Bentar Mi, aku ngeringin rambut dulu." "Ya udah, mami tunggu di depan ya." "Oke, Mi. Aku nggak lama kok." Nadia memasuki kamar dan mengambil hair dryer agar rambutnya tidak terlalu lembab. Sepuluh menit kemudian, gadis itu sudah keluar kamar dengan mencangklong tas kecil berisi ponsel dan domp
"Dafa, nanti kalau besar Dafa cita-citanya jadi apa?""Dafa pengen jadi guru atau pengajar, Bu. Di sekolah Dafa, gurunya baik-baik dan sabar. Nggak pernah marah sama anak-anak. Dafa senang sekolah di sana, Bu."Astri mengusap lembut rambut hitam putranya. Lelaki kecil yang baru masuk TK itu masih asyik berceloteh tentang teman-teman dan gurunya di sekolah.Astri berusaha sebisa mungkin menjawab semua pertanyaan yang diajukan Dafa. Terkadang, pemikiran anak itu begitu kritis sehingga apa pun yang dilihatnya membuat rasa ingin tahunya semakin besar.Makin bertambahnya usia sang anak, makin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Dulu, sebelum sekolah hanya perlu uang untuk jajan dari pedagang keliling yang kebetulan lewat depan rumah. Sedangkan saat sudah sekolah seperti sekarang, tentu harus ada uang saku walau tak seberapa.Astri bukan bermaksud menyalahkan keadaan anaknya yang semakin besar dan membutuhkan banyak biaya. Hanya saja, dia menyesali diri sendiri yang tak bisa membantu perek
"Assalamualaikum," Astri mengetuk pintu sambil mengucap salam di sebuah rumah yang lumayan mentereng di desa itu. Sudah sepuluh menit Astri menunggu, tapi sang pemilik rumah tak kunjung membuka pintu. Astri menghembuskan napas panjang kemudian berbalik pergi. Ketika hendak menutup pintu pagar rumah tersebut, seorang wanita paruh baya tampak tergopoh-gopoh menghampirinya. "Astri ..." panggilnya. Astri menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya lalu menyalami wanita paruh baya itu yang adalah Hamidah, sang pemilik rumah. Hamidah memindai penampilan Astri dengan tas ransel besar di tangannya. "As ... kamu mau ke mana?" tanya Hamidah penasaran. Dia tak mengetahui bahwa Halimah telah mengusir Astri dari rumah. Astri menunduk ke arah ransel di tangan kirinya. Wanita berumur tiga puluhan itu tersenyum tetapi tak sampai ke mata. Terlihat jelas kalau Astri memaksakan senyumnya. Mungkin tante Halimah belum tahu berita pengusiranku oleh ibu. Biarlah begini saja. Aku tak mau sampai ta