"Ibu, jangan pergi, jangan tinggalin Dafa. Huhuhuhu."
Ismail meraup kasar wajahnya. Saat ini, lelaki itu sedang menunggui Dafa di rumah sakit. Sudah dua hari, putra semata wayangnya menderita sakit typhus.
Berhari-hari Dafa tak mau makan. Dia hanya mau bertemu dengan Astri, sang ibu. Bahkan, bujukan Mirna pun tak digubris anak kelas satu SD itu.
"Harus kemana aku mencarimu As, kamu nggak kasihan sama anak kita? Dafa butuh kamu. Sedangkan aku tak tahu harus kemana untuk menemukanmu. Aku sudah menghubungi keluargamu tapi mereka sama sekali tak tahu kamu kemana. Aku pikir, kamu kembali ke rumah orang tuamu. Tapi ternyata, kamu tak ke sana. Aku merindukanmu As, walau aku tahu sudah tak berhak lagi untuk itu."
"Dafa, cepat sembuh Na
Selamat membaca
Sepulang kuliah, Nadia berjalan bersama Salsa menuju parkiran. Kedua gadis yang telah lama bersahabat itu, tampak asyik bercanda sepanjang jalan menuju tempat Salsa memarkirkan mobilnya. "Kamu aku anterin aja ya, Nad." "Nggak usah Sal, aku nggak mau ngerepotin kamu." Salsa berhenti dan menahan tangan Nadia agar berhenti berjalan. "Nad, aku kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalo kamu ngerepotin aku. Aku yang nawarin kok. Atau, kamu ngarepnya dianterin sama pak Awan ya," Salsa mulai menggoda Nadia yang langsung memerah pipinya. "Apaan sih Sal, nggak ada ya, pemikiran kayak gitu di otak cantik aku." "Hahaha, narsis amat, Neng. Jadi gimana, mau kan aku anterin? Aku juga nggak buru-buru amat, kok. Ntar aku kirim pesan sama mama kalo aku pulangnya telat." "Duh, aku nggak enak dong sama mama kamu." "Justru mama aku malah seneng. Tahu sendiri kan, mama itu paling heboh kalo ketemu kamu." "Iya sih, kadang aku heran sama sikap mama kamu." Salsa mendekatkan diri pada telinga sahabatn
Astri dan Nadia duduk berhadapan di meja makan dengan empat buah kursi itu. Nadia tampak lahap menyantap masakan Astri yang sangat dia sukai. "Habis makan, kamu cepetan mandi, ya." "Emang mau ke mana, Mi?" "Mumpung masih agak siang, kita ke makam papa, mau?" "Mau, Mi. Ya udah, nanti aku mandinya sepulang dari makam aja gimana?" "Nanti kesorean, Sayang. Kamu bisa-bisa masuk angin lho." "Hehe, iya deh Mi." Selesai makan, Nadia bergegas ke kamarnya untuk menyimpan ransel yang dipakainya kuliah kemudian mengambil handuk dan beranjak ke kamar mandi. Lima belas menit di kamar mandi, Nadia keluar dengan baju yang sudah terganti. Handuk membungkus rambutnya yang basah. "Sudah selesai, Nad?" "Bentar Mi, aku ngeringin rambut dulu." "Ya udah, mami tunggu di depan ya." "Oke, Mi. Aku nggak lama kok." Nadia memasuki kamar dan mengambil hair dryer agar rambutnya tidak terlalu lembab. Sepuluh menit kemudian, gadis itu sudah keluar kamar dengan mencangklong tas kecil berisi ponsel dan domp
"Dafa, nanti kalau besar Dafa cita-citanya jadi apa?""Dafa pengen jadi guru atau pengajar, Bu. Di sekolah Dafa, gurunya baik-baik dan sabar. Nggak pernah marah sama anak-anak. Dafa senang sekolah di sana, Bu."Astri mengusap lembut rambut hitam putranya. Lelaki kecil yang baru masuk TK itu masih asyik berceloteh tentang teman-teman dan gurunya di sekolah.Astri berusaha sebisa mungkin menjawab semua pertanyaan yang diajukan Dafa. Terkadang, pemikiran anak itu begitu kritis sehingga apa pun yang dilihatnya membuat rasa ingin tahunya semakin besar.Makin bertambahnya usia sang anak, makin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Dulu, sebelum sekolah hanya perlu uang untuk jajan dari pedagang keliling yang kebetulan lewat depan rumah. Sedangkan saat sudah sekolah seperti sekarang, tentu harus ada uang saku walau tak seberapa.Astri bukan bermaksud menyalahkan keadaan anaknya yang semakin besar dan membutuhkan banyak biaya. Hanya saja, dia menyesali diri sendiri yang tak bisa membantu perek
"Assalamualaikum," Astri mengetuk pintu sambil mengucap salam di sebuah rumah yang lumayan mentereng di desa itu. Sudah sepuluh menit Astri menunggu, tapi sang pemilik rumah tak kunjung membuka pintu. Astri menghembuskan napas panjang kemudian berbalik pergi. Ketika hendak menutup pintu pagar rumah tersebut, seorang wanita paruh baya tampak tergopoh-gopoh menghampirinya. "Astri ..." panggilnya. Astri menoleh ke arah suara yang baru saja memanggilnya lalu menyalami wanita paruh baya itu yang adalah Hamidah, sang pemilik rumah. Hamidah memindai penampilan Astri dengan tas ransel besar di tangannya. "As ... kamu mau ke mana?" tanya Hamidah penasaran. Dia tak mengetahui bahwa Halimah telah mengusir Astri dari rumah. Astri menunduk ke arah ransel di tangan kirinya. Wanita berumur tiga puluhan itu tersenyum tetapi tak sampai ke mata. Terlihat jelas kalau Astri memaksakan senyumnya. Mungkin tante Halimah belum tahu berita pengusiranku oleh ibu. Biarlah begini saja. Aku tak mau sampai ta
"As, tante rasanya masih tak percaya kalau kamu dan Ismail berpisah. Apa tak ada jalan lain? Kamu tetap menjadi istrinya meski kalian tak bersama untuk sementara waktu."Astri menghela napas panjang. Seandainya saja hal itu bisa ia lakukan. Astri sangat mencintai anak dan suaminya. Namun, mungkin kebersamaan mereka hanya tak selama yang dulu Astri bayangkan.Hamidah mengusap pelan bahu Astri. Luka perpisahan itu terlihat jelas di mata istri - ralat mantan istri keponakannya."As, kalian baru bercerai secara agama. Bahkan, kalaupun kamu dan Ismail sudah bercerai secara resmi, kalian bisa rujuk kembali. Kasihan Dafa, kalau kedua orang tuanya harus berpisah. Tante tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak itu."Setetes bening luruh membasahi pipi Astri. Sakit. Terlalu sakit rasanya harus berpisah dengan orang-orang yang ia cintai. Akan tetapi, Astri terpaksa oleh keadaan. Jika saja bisa, Astri ingin selalu bersama keluarga kecilnya. Namun, Halimah tak akan mungkin tinggal diam karena
Astri sedang berdiri menunggu angkot sepulang dari pasar pagi itu. Nadia di sampingnya sudah mengelap keringat berulang kali. Kadang, kaki kanannya terhentak kesal tanpa ia sadari. Astri hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putrinya."Mi, lama amat sih angkotnya.""Kan dari tadi juga penuh terus, Nad. Kamu bilang nggak mau desak-desakan dalam angkot.""Iya sih Mi, tapi cuacanya tambah panas nih, Mi.""Jangan manja, ih. Biasanya juga suka panas-panasan.""Iya sih, tapi ini tuh panasnya super duper hot, Mi. Lagian aku panas-panasan nggak sampe yang keringetan banget.""Udah, sabar dulu aja. Nanti kalau ada lagi angkotnya kita pulang."Nadia mengipas-ngipaskan tangannya mengurangi gerah yang dia rasa. Gadis itu mengeluarkan ponsel sambil menunggu angkot yang agak lengang.Grep. Nadia terbengong sesaat sebelum gadis itu berteriak kencang."Jambreeet. Toloooong! Hape saya dijambret."Orang-orang di sekitar mereka pun membantu mengejar jambret itu. Kejar-kejaran pun tak terelakkan. H
Beberapa hari ini Awan tampak semakin sering memerhatikan Nadia. Salsa yang menyadari hal tersebut tentu bertanya-tanya. Apalagi Nadia juga tak menampik perhatian itu."Nad, kalian ada hubungan apa sih? Aku lihat makin hari kamu makin akrab sama pak Awan."Nadia mengedikkan bahu mendengar ucapan Salsa yang sarat akan rasa penasaran itu."Cuma dosen sama mahasiswanya aja kok Sal, emang kamu pikir aku sama pak Awan punya hubungan khusus?" Nadia sedikit melirik Salsa lewat ekor matanya."Abisnya kalian tuh suka diem-diem saling pandang. Trus, wajah kamu kayak tersipu malu gitu kalau ketahuan merhatiin pak Awan. Jadi, nggak salah dong kalau aku bilang kalian sama-sama punya perasaan terpendam."Nadia memukul pelan lengan sahabatnya. Dengan lebaynya, Salsa mengaduh membuat Nadia mencebikkan bibir."Jangan ngaco Sal, ntar kalo ada yang denger bisa salah paham. Apalagi kalo pacar atau istrinya pak Awan denger. Aku nggak mau ya, sampai ada gosip yang enggak bener.""Iya, iya, maaf. Tapi, kalo
Salsa saat ini sedang bersantai di belakang rumahnya bersama dengan seorang lelaki. Dering telepon genggam di dekatnya menarik perhatian lelaki itu. Seorang remaja mendekati mereka berdua dan menyadarkan Salsa bahwa ponsel miliknya berdering sedari tadi. Dahi Salsa terlipat saat melihat pemilik nama yang sedang meneleponnya.Mami Nadia calling ...Ada apa tante Astri menelepon? Atau Nadia ada perlu tapi pake ponsel maminya? Batinnya bertanya-tanya."Kenapa, Sa? Angkat tuh teleponnya siapa tahu penting.""Iya nih kak Salsa, berisik tahu dari tadi bunyi terus.""Iya, iya, ini mau diangkat."Salsa menggeser layar ke arah kanan lalu menempelkan benda canggih itu ke telinganya."Halo, assalamualaikum Tante.""Cieee, tumben kakak ucapin salam," ledek remaja itu yang mendapat pelototan Salsa."Waalaikums