Share

Bab 2

Petir menggelegar di tengah malam disertai hujan deras. Astri terbangun dari tidurnya. Ditengoknya jam dinding berwarna hijau yang ternyata menunjukkan waktu dini hari.

Kakinya menuruni ranjang menuju kamar mandi. Berwudhu lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat yang menjadi kebiasaannya.

Tangan menengadah, kaki bersimpuh dengan berurai air mata. Teringat akan putranya yang telah lama tak ditemui. Mungkin sekarang sudah dewasa. Bukan Astri tak mau menemuinya, tapi dia tak sanggup jika Dafa membenci ibu yang telah meninggalkannya dua puluh tahun lamanya. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah dia tumbuh menjadi lelaki yang tampan seperti ayahnya? Masihkah Dafa ingat pada Astri setelah sekian lamanya tak bertemu? Akankah nasib mempertemukan mereka kembali suatu saat nanti?

"Ya Allah, jagalah selalu putra hamba dimanapun dia berada. Semoga hidupnya selalu dilimpahi kebahagiaan walau tanpa ada hamba di sisinya. Hamba sangat merindukannya, ya Allah. Hamba ingin bertemu dengannya walau hanya sekali saja sebelum hamba meninggalkan dunia ini. Hamba ingin melihatnya, melihat darah daging hamba, melihat anak yang telah hamba perjuangkan dengan taruhan nyawa. Ampuni hamba ya Rabb, ampuni hamba yang telah meninggalkannya dulu. Hamba tak bisa memutar waktu, hamba juga tak mungkin berandai-andai karena semua ini sudah dalam ketentuan-Mu. Hamba hanya berharap bisa bertemu lagi dengan putra hamba tercinta."

Dibukanya kitab suci dan membaca lembar demi lembar untuk menenangkan hatinya yang gundah. 

"As, aku tak sanggup jika harus berpisah denganmu. Tolong, jangan dengarkan permintaan ibu untuk pergi dari sini. Kita pasti bisa menghadapi semuanya. Aku sangat mencintaimu, As."

"Aku yang merasa tak sanggup, Mas. Janganlah menentang keinginan ibu. Kamu anak yang berbakti. Seorang laki-laki akan tetap menjadi milik ibunya sampai kapanpun. Aku berterima kasih atas segala cinta kasihmu selama ini. Aku yang telah menghancurkan semuanya. Mungkin selama ini akulah penghalang rejekimu sehingga hidup kita selalu pas-pasan bahkan kurang. Aku yang tak pandai mengatur keuangan sehingga berutang kesana kemari. Aku akan berusaha melunasi semua utang itu."

"As, tolong jangan pikirkan masalah itu. Aku tak mempermasalahkanmu yang berutang karena semua juga salahku yang tak mampu bekerja lebih giat."

"Tidak Mas, kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk menafkahi kami. Aku yang salah."

"Jangan salahkan dirimu sendiri, As. Aku juga ikut andil di sini. Sekarang, kita harus memikirkan bagaimana membayar hutang pada tante Hamidah. Aku akan bekerja lebih keras lagi, As. Aku janji."

Astri menggeleng. Air mata telah berjatuhan di wajah wanita beranak satu itu.

"Mas, jatuhkanlah talak padaku, aku tak ingin ibu juga membencimu. Cukup aku saja yang beliau benci."

"As, sadarkah kamu dengan apa yang kamu ucapkan? Atau kamu sudah mempunyai kekasih lain sehingga begitu mudahnya meminta cerai dariku?"

"Mana mungkin aku mempunyai lelaki lain sedangkan kamu tahu sendiri aku selalu ada di sampingmu? Aku hanya tak ingin menghancurkan hubunganmu dengan ibu. Biarlah aku saja yang mengalah, aku pergi dari kehidupan kalian. Carilah penggantiku yang bisa menyayangi Dafa dan sesuai dengan kriteria idaman ibu. Jangan cari wanita yang bermasalah sepertiku. Aku mencintaimu, Mas. Aku tak ingin kamu semakin durhaka jika tetap mempertahankanku. Tolong, aku mohon, kalau mas Is juga mencintaiku, tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi seperti keinginan ibu."

"As ...."

"Mas, aku mohon ...." Astri menyatukan kedua tangan di depan dadanya.

"Baiklah As, aku akan berikan apa yang kau minta," Ismail memejamkan mata sejenak. Tangan kanan diletakkannya di atas kepala istri yang sangat ia cintai. "Hari ini dengan sadar, aku Ismail bin Dahlan menjatuhkan talak satu kepada kamu Astri Widyani binti Soleh."

Ismail memejamkan mata kembali sambil mengusap pelan rambut hitam istrinya-ralat mantan istrinya.

"Maaf As, maafkan aku." Ismail tergugu dan memeluk Astri. Hatinya tak rela melepaskan wanita yang telah menemani hidupnya selama beberapa tahun.

Astri balas memeluk Ismail erat. Mungkin sebagai pelukan perpisahan antara mereka.

"Aku juga minta maaf Mas, selama ini aku selalu menyusahkanmu. Aku selalu jadi beban untuk dirimu."

"Jangan katakan itu lagi As, aku sangat mencintaimu tapi aku juga tak sanggup jika harus kehilangan orang tuaku."

"Aku paham Mas, aku mengerti. Tak usah khawatirkan diriku. Mas tetap menjadi orang yang berarti dalam hidupku. Terima kasih, telah memberikan talak padaku, setidaknya kakiku lebih ringan melangkah. Aku akan mencari pekerjaan agar bisa membayar utang-utangku pada tante Hamidah. Aku akan menemui beliau dulu sebelum pergi."

Ismail hanya mengangguk-angguk sambil berderai air mata. Tanpa mereka sadari, ada bocah berumur 7 tahun yang menyaksikan semuanya. Walau tak paham keseluruhan pembicaraan orang tuanya, tapi bocah itu tahu kalau esok hari keluarganya takkan lagi sama. Dia yang bernama Dafa Darmawan, anak sepasang suami istri yang kini tak bisa bersama.

Tersadar saat azan subuh berkumandang. Astri segera beranjak menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta. Setelah melipat mukena dan menyimpannya di atas lemari kecil, Astri menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Dua tangan mungil melingkari perutnya saat sampai di dapur.

"Pagi mamiku sayang," ucap gadis pemilik tangan itu.

"Pagi cantiknya mami. Udah sholat belum?"

"Udah barusan Mi, kan tadi aku bangun jam empat buat ngerjain tugas."

"Kamu ini suka menunda-nunda tugas yang dikasih dosen ya, kebiasaan," ucap Astri sambil mencubit sayang hidung mancung putrinya.

"Aww, sakit tahu Mi."

"Halah, dicubit gitu aja masa' sakit sih."

"Hehe, mami mau masak apa buat sarapan biar aku bantuin."

"Nasi goreng aja biar cepet. Mami mau ke konveksi pagi-pagi. Mau ada yang pesen buat seragam arisan katanya."

"Alhamdulillah, semoga rejeki Mami makin lancar ya, Mi."

"Iya sayang, semua ini kan buat masa depan kamu juga."

"Aku bantuin apa Mi?"

"Irisin timun aja buat pelengkap. Mami udah bikin bumbunya kok tinggal digoreng aja nasinya."

"Siap Mi," ucapnya sambil mengangkat tangan ala hormat tentara.

Astri tergelak melihat tingkah gadis yang mewarnai hari-harinya beberapa tahun itu. Tapi tak lama karena dilihatnya gadis itu memakan sebagian besar timun yang telah diirisnya.

"Nadia, kok kamu habisin timunnya."

Nadia nyengir sambil mengangkat dua jarinya.

"Hehe, peace Mi, aku kan suka sama timun. Lagian masih ada kok buat Mami."

"Iya, iya, gimana kamu aja lah," kata Astri sambil menaruh piring berisi nasi goreng di atas meja makan minimalis.

"Kamu mau sarapan dulu apa mandi dulu?"

"Kita sarapan dulu aja ya Mi, aku udah laper."

Kedua ibu dan anak itu saling berhadapan menikmati nasi goreng sambil bersenda gurau. Tatapan sendu kadang menghiasi pelupuk mata Astri karena tak bisa memberikan kemewahan seperti dulu ketika masih ada papanya. Hanya sekedar bisa memberikan biaya kuliah dan tempat tinggal sederhana untuk gadis yang waktu kecil dimanjakan dengan materi itu. Untunglah Nadia bukan gadis yang manja sehingga ketika perubahan dalam hal ekonomi terjadi, Nadia bisa menerimanya dengan sabar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status