"Mi, aku berangkat kuliah dulu ya," ucap Nadia setelah selesai membantu Astri mencuci piring.
"Nggak mau bareng sama mami?"
"Emang Mami mau kemana?"
"Kamu gimana sih Sayang, kemarin 'kan mami udah bilang mau ke konveksi."
Nadia menepuk keningnya pelan.
"Oh iya, aku lupa Mi, maaf ya."
"Iya, nggak papa. Kamu udah selesai beres-beresnya? Lihat lagi, siapa tahu ada yang ketinggalan."
Nadia membongkar kembali ranselnya dan menghitung buku dan juga tugasnya.
"Udah semua, Mi. Mau berangkat sekarang?"
"Yuk, mami udah pesen taksi."
"Mi, padahal kita naik angkot aja nggak papa."
"Sekali-sekali, Sayang. Mami juga pengen bahagiain kamu kayak dulu."
"Mi, aku bahagia selama Mami ada di samping aku. Kalau Mami ninggalin aku, aku pasti akan sedih banget."
"Mami nggak akan mungkin ninggalin kamu, Nad. Mami sayang sama kamu. Nggak ada alasan apapun yang membuat mami harus ninggalin kamu. Malah mungkin kamu yang nanti ninggalin mami kalau udah nikah."
"Mami ih, kok bahas nikah. Aku tuh masih kecil Mi, aku pengen kuliah dulu, pengen kerja dulu. Pengen bahagiain mami. Harusnya Mami udah nggak kerja lagi, diem di rumah. Sekarang malah harus pergi ke konveksi."
"Sayang, kalau mami nggak ke sana nanti kliennya marah. Beliau cuma mau ketemu sama mami sebagai pemilik konveksi itu. Memang ada asisten mami tetapi mami juga harus sekali-sekali mengontrol kinerja mereka kan?"
"Iya Mi, itu taksinya udah dateng. Let's go kita berangkat."
Astri hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putri tersayangnya. Andai Dafa ada di sini juga, pasti aku akan lebih bahagia. Entah seperti apa wajahnya sekarang. Ibu merindukanmu, Daf.
Taksi berhenti di depan kampus tempat Nadia menimba ilmu. Gadis itu meraih tangan Astri dan mencium punggung tangan maminya takdzim.
"Mi, aku masuk dulu ya, Mami jangan sampai kecapekan. Kan udah ada mbak Aini yang bisa ngawasin karyawan Mami."
"Iya Sayang, kamu tenang aja. Udah sana, nanti keburu telat."
Nadia mencium kedua pipi Astri sebelum keluar dari taksi. Tak lupa, ia melambaikan tangan pada sang mami.
***
"Nad, coba lihat deh. Pak Awan dari tadi ngeliatin kamu terus."
"Masa' sih Sal, kamu salah liat kali."
"Ih, coba aja kamu noleh ke pak Awan, pasti dia langsung ngalihin pandangan."
Nadia percaya perkataan sahabatnya karena saat itu juga dosen yang sedang mengajar mereka tampak salah tingkah begitu Nadia menatapnya lama.
"Udah, jangan diliatin terus. Ntar lama-lama jatuh cinta."
"Apaan sih Sal, nggak usah aneh-aneh deh. Lagian tuh ya pak Awan pasti sudah punya istri. Kalo nggak ya pacar lah."
"Yee, siapa tahu aja dia jodoh kamu."
"Jangan ngarang ah."
"Ehemm, sudah selesai diskusinya?"
Rasanya jantung Nadia berhenti berdetak saat itu juga. Suara sang dosen yang tadi terlihat di depan sana, kini terdengar sangat dekat.
"Kalian berdua kalau hanya mau mengobrol, sebaiknya di luar, jangan di kelas saya."
"Maaf Pak," ucap kedua sahabat itu.
"Baiklah, kita akhiri saja kelas kita hari ini. Sampai jumpa minggu depan dan jangan lupa tugas yang sudah saya berikan."
Seluruh mahasiswa di kelas itu baru bisa menghembuskan nafas lega ketika dosen yang disebut-sebut dosen paling tampan di kampus itu keluar ruangan.
"Kalian sih berisik banget," tegur Alan, sang ketua kelas.
"Ya maaf, kita nggak sengaja. Padahal tuh ya, kita ngomongnya udah bisik-bisik tapi tetep aja tuh dosen tahu."
"Capek juga ya tiap pertemuan dikasih tugas. Kapan kita bisa hangout," keluh Shilla, cewek manja yang terkenal dari keluarga kaya.
"Kamu sih enak Shil, tinggal bayar orang buat ngerjain tugas dari pak Awan. Lah kita, harus muter otak tiap hari. Mana kadang tugasnya susah banget lagi."
"Udah, udah, yang penting kita udah berusaha semaksimal mungkin mengerjakannya. Kalau masalah hasil, kita serahin aja gimana pak Awan menilainya."
"Ke kantin yuk Sal," ajak Nadia.
Mereka berdua berjalan santai menuju kantin di lantai satu yang mengharuskan mereka melewati ruangan dosen fakultas ekonomi. Tak sengaja kedua mata bening Nadia bersitatap dengan dosen yang tadi mengajar di kelasnya. Dosen yang banyak digandrungi mahasiswi itu. Nadia tersenyum kemudian mengangguk sopan walaupun tak mendapat tanggapan dari dosen itu. Hanya tatapan datar tanpa ekspresi berarti ditunjukkan oleh dosen yang baru satu tahun bergabung di universitas tempat Nadia kuliah.
"Kenapa Nad?" tanya Salsa saat sahabatnya itu mengedikkan bahu.
"Ah, nggak papa kok. Yuk, lanjut ke kantin aja," sahut Nadia cuek.
"Beneran? Tapi kamu kayak yang lagi bete gitu. Ada apaan sih?" Salsa masih tak percaya dengan kata-kata Nadia.
Nadia menghembuskan napas panjang kemudian menatap Salsa.
"Itu tadi aku nggak sengaja tatapan sama pak Awan, ya aku senyum lah, sebagai rasa hormat aku sama dosen. Eh, dianya boro-boro bales senyum, sekedar ngangguk aja kagak." Nadia menghentakkan kakinya kesal.
"Lah, kok jadi marah. Jangan-jangan kamu naksir ya sama pak Awan?"
"Apaan sih, masa' aku naksir sama dosen pelit senyum kayak gitu. Bukan tipe aku banget. Aku tuh pengen punya cowok yang baik, ramah, dan sayang sama aku. Bukan yang jutek kayak gitu."
"Awas, jangan sampai rasa nggak suka kamu berubah jadi rasa cinta."
"Nggak mungkin lah. Aku pengen punya cowok yang seumuran atau kalaupun lebih tua juga nggak tua-tua amat. "
***
"Saya mau yang warna biru dongker tapi dikombinasikan dengan warna biru terang ya, Bu."
"Baiklah, bu Aisyah. Nanti saya dan Aini sendiri yang akan datang ke rumah ibu untuk mengambil ukuran ibu-ibu yang mau membuat seragamnya."
"Iya bu Astri. Pokoknya saya percayakan semuanya sama bu Astri. Saya sudah membuktikan kalau semua pakaian yang dibuat oleh konveksi bu Astri kualitasnya bagus."
"Terima kasih pujiannya, bu Aisyah, saya sangat tersanjung mendengarnya. Kami hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk para pelanggan kami."
Tak terasa sudah dua jam kedua ibu yang hampir seumuran itu berbincang.
"Ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu. Ini anak sulung saya sudah menunggu di luar. Saya tunggu kedatangannya ya, Bu."
"Iya Bu, insyaallah beberapa hari lagi saya ke rumah Ibu. Nanti saya kabari lagi waktunya."
"Saya pamit dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Astri menghela napas pelan kemudian duduk kembali di kursi kerjanya. Konveksi yang dibangunnya sejak lima tahun lalu kini semakin banyak pelanggan. Berbekal dari keahliannya menjahit, Astri membuka jasa jahit baju di rumah hingga akhirnya bisa membangun sebuah konveksi dengan sepuluh orang karyawan dan satu orang mandor yang telah dia percayai. Setelah papanya Nadia meninggal, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dia harus berjuang keras menghidupi gadis kecil yang baru saja lulus SMP. Tapi, Astri selalu berusaha menunjukkan bahwa ia mampu dan bisa bertahan bersama putri semata wayangnya.
"Nad, temenin aku dulu yuk ke toko buku," ajak Salsa."Aku mau cepet pulang Sal, udah kangen sama mami.""Dasar anak mami.""Iya lah, anak papa sama mami. Emang anak siapa lagi.""Nad, kok aku ngerasa aneh ya, sama panggilan kamu buat tante Astri.""Aneh gimana? Biasa aja kayaknya.""Ya aneh aja gitu. Kamu manggil almarhum om Adnan papa tapi kamu manggil tante Astri mami, kan biasanya tuh mama papa atau mami papi.""Kok aku nggak nyadar, ya? Namun, dari kecil emang aku panggilnya papa sama mami. Jadi kayak udah biasa aja gitu. Ntar lah aku tanyain sama mami kenapa bisa beda.""Beneran nih N
Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak."Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari."Siapa kam
"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu."Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia."Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?""Saya masih merasa lemas, Dok.""Baik Bu, saya periksa dulu ya."Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya."Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"Dokter Rianti tersenyum manis."Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya b
"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah.""Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah.""Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita.""Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu.""Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b