Share

Bab 3

"Mi, aku berangkat kuliah dulu ya," ucap Nadia setelah selesai membantu Astri mencuci piring.

"Nggak mau bareng sama mami?"

"Emang Mami mau kemana?"

"Kamu gimana sih Sayang, kemarin 'kan mami udah bilang mau ke konveksi."

Nadia menepuk keningnya pelan.

"Oh iya, aku lupa Mi, maaf ya."

"Iya, nggak papa. Kamu udah selesai beres-beresnya? Lihat lagi, siapa tahu ada yang ketinggalan."

Nadia membongkar kembali ranselnya dan menghitung buku dan juga tugasnya.

"Udah semua, Mi. Mau berangkat sekarang?"

"Yuk, mami udah pesen taksi."

"Mi, padahal kita naik angkot aja nggak papa."

"Sekali-sekali, Sayang. Mami juga pengen bahagiain kamu kayak dulu."

"Mi, aku bahagia selama Mami ada di samping aku. Kalau Mami ninggalin aku, aku pasti akan sedih banget."

"Mami nggak akan mungkin ninggalin kamu, Nad. Mami sayang sama kamu. Nggak ada alasan apapun yang membuat mami harus ninggalin kamu. Malah mungkin kamu yang nanti ninggalin mami kalau udah nikah."

"Mami ih, kok bahas nikah. Aku tuh masih kecil Mi, aku pengen kuliah dulu, pengen kerja dulu. Pengen bahagiain mami. Harusnya Mami udah nggak kerja lagi, diem di rumah. Sekarang malah harus pergi ke konveksi."

"Sayang, kalau mami nggak ke sana nanti kliennya marah. Beliau cuma mau ketemu sama mami sebagai pemilik konveksi itu. Memang ada asisten mami tetapi mami juga harus sekali-sekali mengontrol kinerja mereka kan?"

"Iya Mi, itu taksinya udah dateng. Let's go kita berangkat."

Astri hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putri tersayangnya. Andai Dafa ada di sini juga, pasti aku akan lebih bahagia. Entah seperti apa wajahnya sekarang. Ibu merindukanmu, Daf.

Taksi berhenti di depan kampus tempat Nadia menimba ilmu. Gadis itu meraih tangan Astri dan mencium punggung tangan maminya takdzim.

"Mi, aku masuk dulu ya, Mami jangan sampai kecapekan. Kan udah ada mbak Aini yang bisa ngawasin karyawan Mami."

"Iya Sayang, kamu tenang aja. Udah sana, nanti keburu telat."

Nadia mencium kedua pipi Astri sebelum keluar dari taksi. Tak lupa, ia melambaikan tangan pada sang mami.

***

"Nad, coba lihat deh. Pak Awan dari tadi ngeliatin kamu terus."

"Masa' sih Sal, kamu salah liat kali."

"Ih, coba aja kamu noleh ke pak Awan, pasti dia langsung ngalihin pandangan."

Nadia percaya perkataan sahabatnya karena saat itu juga dosen yang sedang mengajar mereka tampak salah tingkah begitu Nadia menatapnya lama.

"Udah, jangan diliatin terus. Ntar lama-lama jatuh cinta."

"Apaan sih Sal, nggak usah aneh-aneh deh. Lagian tuh ya pak Awan pasti sudah punya istri. Kalo nggak ya pacar lah."

"Yee, siapa tahu aja dia jodoh kamu."

"Jangan ngarang ah."

"Ehemm, sudah selesai diskusinya?"

Rasanya jantung Nadia berhenti berdetak saat itu juga. Suara sang dosen yang tadi terlihat di depan sana, kini terdengar sangat dekat.

"Kalian berdua kalau hanya mau mengobrol, sebaiknya di luar, jangan di kelas saya."

"Maaf Pak," ucap kedua sahabat itu.

"Baiklah, kita akhiri saja kelas kita hari ini. Sampai jumpa minggu depan dan jangan lupa tugas yang sudah saya berikan."

Seluruh mahasiswa di kelas itu baru bisa menghembuskan nafas lega ketika dosen yang disebut-sebut dosen paling tampan di kampus itu keluar ruangan.

"Kalian sih berisik banget," tegur Alan, sang ketua kelas.

"Ya maaf, kita nggak sengaja. Padahal tuh ya, kita ngomongnya udah bisik-bisik tapi tetep aja tuh dosen tahu."

"Capek juga ya tiap pertemuan dikasih tugas. Kapan kita bisa hangout," keluh Shilla, cewek manja yang terkenal dari keluarga kaya.

"Kamu sih enak Shil, tinggal bayar orang buat ngerjain tugas dari pak Awan. Lah kita, harus muter otak tiap hari. Mana kadang tugasnya susah banget lagi."

"Udah, udah, yang penting kita udah berusaha semaksimal mungkin mengerjakannya. Kalau masalah hasil, kita serahin aja gimana pak Awan menilainya."

"Ke kantin yuk Sal," ajak Nadia.

Mereka berdua berjalan santai menuju kantin di lantai satu yang mengharuskan mereka melewati ruangan dosen fakultas ekonomi. Tak sengaja kedua mata bening Nadia bersitatap dengan dosen yang tadi mengajar di kelasnya. Dosen yang banyak digandrungi mahasiswi itu. Nadia tersenyum kemudian mengangguk sopan walaupun tak mendapat tanggapan dari dosen itu. Hanya tatapan datar tanpa ekspresi berarti ditunjukkan oleh dosen yang baru satu tahun bergabung di universitas tempat Nadia kuliah.

"Kenapa Nad?" tanya Salsa saat sahabatnya itu mengedikkan bahu.

"Ah, nggak papa kok. Yuk, lanjut ke kantin aja," sahut Nadia cuek.

"Beneran? Tapi kamu kayak yang lagi bete gitu. Ada apaan sih?" Salsa masih tak percaya dengan kata-kata Nadia.

Nadia menghembuskan napas panjang kemudian menatap Salsa.

"Itu tadi aku nggak sengaja tatapan sama pak Awan, ya aku senyum lah, sebagai rasa hormat aku sama dosen. Eh, dianya boro-boro bales senyum, sekedar ngangguk aja kagak." Nadia menghentakkan kakinya kesal.

"Lah, kok jadi marah. Jangan-jangan kamu naksir ya sama pak Awan?"

"Apaan sih, masa' aku naksir sama dosen pelit senyum kayak gitu. Bukan tipe aku banget. Aku tuh pengen punya cowok yang baik, ramah, dan sayang sama aku. Bukan yang jutek kayak gitu."

"Awas, jangan sampai rasa nggak suka kamu berubah jadi rasa cinta."

"Nggak mungkin lah. Aku pengen punya cowok yang seumuran atau kalaupun lebih tua juga nggak tua-tua amat. "

***

"Saya mau yang warna biru dongker tapi dikombinasikan dengan warna biru terang ya, Bu."

"Baiklah, bu Aisyah. Nanti saya dan Aini sendiri yang akan datang ke rumah ibu untuk mengambil ukuran ibu-ibu yang mau membuat seragamnya."

"Iya bu Astri. Pokoknya saya percayakan semuanya sama bu Astri. Saya sudah membuktikan kalau semua pakaian yang dibuat oleh konveksi bu Astri kualitasnya bagus."

"Terima kasih pujiannya, bu Aisyah, saya sangat tersanjung mendengarnya. Kami hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk para pelanggan kami."

Tak terasa sudah dua jam kedua ibu yang hampir seumuran itu berbincang.

"Ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu. Ini anak sulung saya sudah menunggu di luar. Saya tunggu kedatangannya ya, Bu."

"Iya Bu, insyaallah beberapa hari lagi saya ke rumah Ibu. Nanti saya kabari lagi waktunya."

"Saya pamit dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Astri menghela napas pelan kemudian duduk kembali di kursi kerjanya. Konveksi yang dibangunnya sejak lima tahun lalu kini semakin banyak pelanggan. Berbekal dari keahliannya menjahit, Astri membuka jasa jahit baju di rumah hingga akhirnya bisa membangun sebuah konveksi dengan sepuluh orang karyawan dan satu orang mandor yang telah dia percayai. Setelah papanya Nadia meninggal, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dia harus berjuang keras menghidupi gadis kecil yang baru saja lulus SMP. Tapi, Astri selalu berusaha menunjukkan bahwa ia mampu dan bisa bertahan bersama putri semata wayangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status