Share

Gara-Gara Utang
Gara-Gara Utang
Author: umi roihan

Bab 1

Author: umi roihan
last update Last Updated: 2022-03-01 09:54:10

"Pergi kamu dari sini sekarang juga. Kamu sudah tak pantas lagi tinggal di sini. Jangan pernah temui anak dan cucu saya."

Astri tergugu dalam keheningan malam terusir dari rumah yang sudah ditinggalinya beberapa tahun ini.

"Bu, biarkan Astri menginap malam ini. Aku tak mungkin membiarkan dia terlunta di jalan. Walau bagaimanapun Astri masih berstatus istri aku."

Wanita setengah baya itu masih terengah menahan emosi.

"Terserah kamu Is, ibu tak mau lagi melihat muka dia besok pagi."

Ibu mertua Astri meninggalkan keluarga kecil itu dengan raut wajah kecewa.

Ismail membangunkan istrinya lalu memapah wanita yang telah membersamainya sepuluh tahun itu.

"Aku benar-benar minta maaf, Mas, aku tak bisa menjadi istri dan ibu yang baik."

"Sudahlah As, toh semuanya juga sudah terjadi. Aku sudah berusaha sebisa mungkin menutupi kesalahan kamu. Apalah dayaku, aku tak tahu kalau tante Hamidah bercerita pada ibu."

"Aku tahu Mas, aku hanya tak menyangka akan secepat ini semuanya terbongkar. Sekarang terserah mas Is bagaimana kelanjutan semua ini. Aku pasrah, memang aku yang bersalah. Mas mau mempertahankan aku sejauh ini saja aku sudah sangat bersyukur."

"Jangan hanya menyalahkan diri sendiri. Di sini aku juga ikut bersalah karena tak bisa memenuhi apa yang sudah menjadi hakmu. Aku minta maaf."

"Sekarang, terserah mas Is masih mau bersamaku ataukah melepaskanku. Aku pasrah. Mas Is tak perlu memikirkan semua hutang yang kutinggalkan. Aku akan bertanggung jawab melunasi semuanya. Mas tidak usah khawatir. Terserah juga apakah Dafa akan tinggal di sini ataukah harus kubawa. Aku sadar, aku tak punya apa-apa. Mungkin lebih baik kalau Dafa di sini karena sudah pasti terjamin kehidupannya daripada bersamaku yang tak tentu arah dan tujuan. Maaf atas segala kesalahanku."

Ismail merengkuh pundak istrinya yang menangis terisak. Pelan tangannya mengusap bahu yang semakin rapuh seolah tak kuat menanggung beban dalam hidupnya.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi yang mulai ada tanda kerutan. Terbayang kembali peristiwa bertahun-tahun lalu. Betapa sakit hatinya harus mengalami semua ini.

"Mi, mami kenapa melamun di sini?"

Cepat disekanya air mata lalu tersenyum lebar pada gadis cantik beranjak dewasa yang telah menegurnya. Gadis yang selalu bersamanya dalam suka dan duka.

"Mami nggak ngelamun kok, Sayang. Kamu habis dari mana?"

"Biasalah, Mi, habis jalan sama Salsa. Minta ditemenin dia tuh ketemuan sama cowok."

"Trus kamu kapan, Sayang?"

Dahi gadis berambut hitam sebahu itu tampak mengernyit tak paham akan pertanyaan sang ibu.

"Apanya yang kapan, Mi?"

"Kapan putri kesayangan mami ngenalin cowoknya sama mami?"

Semburat merah menghiasi pipi putih gadis itu.

"Mami apaan sih. Aku kan belum punya cowok."

"Tapi yang ditaksir ada kan?" Sang mami makin menggodanya.

"Ah udah ah, mami mah suka gitu. Godain aku terus. Udah mau magrib Mi, kita masuk yuk."

Astri beranjak dari taman samping rumah sambil menggenggam tangan sang putri. Kalau nggak ada kamu, bagaimana mami bisa bertahan, Nak. Terima kasih atas segala kasih sayang yang kamu curahkan buat mami, batinnya.

Gadis itu memasukkan tangannya di antara celah lengan Astri dan pinggangnya. Kepalanya disandarkan pada pundak sang ibu.

"Mi, mami masak apa?"

"Mami masak ikan goreng sama sambal terasi, sayur bayam."

"Wah asyik, ada sayur bayam. Mami tahu banget sih kesukaan aku."

"Iya dong, Sayang, mau makan sekarang apa nanti habis sholat?"

"Nanti aja Mi, aku mau bersih-bersih dulu. Nggak enak rasanya lengket banget badan aku."

"Ya udah, sana cepet mandi. Mami juga mau ke kamar dulu."

"Siap Mi."

Astri berbalik menuju kamarnya yang ada di sebelah kamar putrinya. Wanita setengah baya yang masih cantik itu, mengusap kembali matanya yang berembun.

"Mami harap kamu selalu bahagia, Sayang. Mami akan selalu mempertahankan kamu apa pun yang terjadi. Mami nggak mau dipisahin sama kamu. Cukup mami dulu berbuat bodoh meninggalkan Dafa yang sampai sekarang tak bisa mami temui," ucap Astri sambil melihat fotonya bersama sang putri tercinta.

Astri segera mengambil wudu begitu azan magrib berkumandang. Bersimpuh di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Meminta agar selalu diberi kesehatan agar bisa menjaga putri yang amat disayanginya.

Tok. Tok. Tok.

"Mi, mami udah selesai sholatnya?"

Astri menoleh pada jam dinding yang ada di kamarnya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat hingga setengah jam ia habiskan dalam doa panjangnya.

"Iya, Sayang, sebentar, mami lipat dulu mukenanya."

Astri membereskan mukena dan sajadahnya lalu membuka pintu dimana wajah cantik berseri menyambutnya. Akan tetapi, senyum di wajah gadis itu memudar seketika melihat mata sembab ibunya.

"Mami kenapa? Ada masalah? Mami kok nggak cerita sama aku?"

"Nggak apa-apa, Sayang. Mami cuma inget sama papa kamu."

"Mami kangen ya sama papa?"

"Iya, Sayang. Papa orang yang sangat baik. Mami, mami berutang banyak hal sama papa. Gimana kalau kamu libur nanti kita ke makam papa?"

"Boleh Mi, kita kan udah lama nggak ke sana. Akan tetapi, penjaga makam sering bersihin kan Mi, tempat tinggal papa sekarang?"

"Tentu saja, Sayang," kata Astri sambil mengusap lembut rambut panjang putrinya.

"Mi, kalau mami kesepian, mami boleh kok cari pengganti papa. Aku nggak apa-apa. Mami tenang aja. Aku sangat berharap mami bisa bahagia menikmati masa tua. Jangan pikirin soal aku, Mi."

"Sayang, mami nggak pernah kepikiran untuk menikah lagi. Kenangan bersama papa nggak bisa mami lupain. Harusnya itu, bukan mami yang cari pasangan, tapi kamu. Kapan kamu kenalin cowok sama mami?"

"Mami ih, aku kan nggak punya cowok."

"Gebetan pasti ada dong?"

"Nggak ada Mi, beneran."

"Masa' sih putri cantiknya mami nggak ada yang naksir? Kamu judes ya kalau di kampus?"

"Enggak Mi, aku selalu ramah sama semua orang. Temen sih banyak dan aku nggak tahu di antara mereka ada yang suka sama aku atau enggak. Tapi yang jelas, aku belum pernah ngerasain deg-degan atau hati berdebar gitu kalau deket sama cowok. Pas SMA dulu juga pernah pacaran tapi rasanya biasa aja. Cuma seneng-seneng aja, ikut-ikutan tren karena banyak temen yang pacaran. Tapi, ya gitu, nggak ada rasa sama sekali. Pas putus juga nggak ngerasa sakit hati. Mungkin emang belum waktunya aku nemuin seseorang yang buat aku jatuh cinta aja, Mi. Udah ah, kok bahas masalah cowok sih. Kita makan yuk, aku dah laper."

"Ayo."

Kedua ibu dan anak itu menuju meja makan yang ada di dapur. Sesekali terdengar candaan dari keduanya. Sang putri menceritakan bagaimana kesehariannya di kampus dan Astri menyimak sambil sesekali melempar godaan. Sungguh, pasangan ibu dan anak yang saling menyayangi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gara-Gara Utang   Bab 43

    Awan berlalu menuju pantry yang tak jauh dari tempat Nadia mendudukkan bokongnya. Awan membuka lemari es dan mengambil susu kotak rasa coklat yang tersedia di sana."Nih, minum dulu sambil nungguin aku.""Mas Awan nyetok kayak ginian?" tanya Nadia heran."Emang kamu pikir aku bakal nyetok apaan? Yang di kulkas ya cuma isinya kayak gitu, susu kotak, minuman soda, air putih sama buah-buahan. Aku jarang masak jadi ya paling kalau mau masak baru beli bahan-bahannya.""Mas bisa masak?" Nadia memelototkan matanya tak percaya. Wow, udah ganteng, pinter, mapan, mandiri, bisa masak, perfect, suamiable banget. Dan dia adalah suami aku sekarang. Ah, sekarang ya, belum tentu selamanya."Bisa, tapi ya yang gampang-gampang aja. Aku ke kamar dulu, ya. Kamu kuliahnya jam berapa?""Nanti jam sebelas, Mas. Cuma satu jam pelajaran.""Oh, ya udah nggak bakalan telat."Awan berlalu memasuki sebuah ruangan yang diyakini Nadia sebagai kamar lelaki itu. Nadia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Apar

  • Gara-Gara Utang   Bab 42

    "Kamu kenapa diem aja, Nad?" tanya Awan pada gadis yang ada di sampingnya saat ini.Nadia menolehkan kepalanya yang semula melihat pemandangan jalan yang mereka lewati. Saat ini, mereka berdua sedang ada di dalam perjalanan menuju apartemen Awan sebelum berangkat ke kampus."Nggak papa, Mas. Aku bingung mau ngobrol apa."Awan tersenyum tanpa menoleh karena tak ingin konsentrasinya terpecah."Mas, mending aku berangkat sendiri aja ya, kuliahnya," Nadia memohon dengan tatapan memelas."Lalu, kamu mau ambil resiko anak buah pak Budi nyulik kamu lagi?""Kan urusan sama pak Budi udah beres, Mas.""Kita nggak akan tahu apa yang akan diperbuat lelaki tua itu kalau sampai aku lengah jagain kamu. Walaupun mungkin dia bilang kemarin urusan kita sudah beres, bisa aja dia ingkar janji, kan?""Iya sih, aku masih trauma lihat orang-orang berbadan gede dan berpakaian hitam ala bodyguard gitu.""Makanya, aku nggak mau biarin kamu pulang pergi sendiri sekarang."Awan memarkirkan mobilnya di parkiran b

  • Gara-Gara Utang   Bab 41

    Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala

  • Gara-Gara Utang   Bab 40

    "Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih

  • Gara-Gara Utang   Bab 39

    Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny

  • Gara-Gara Utang   Bab 38

    Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status