Share

Gara-Gara Utang
Gara-Gara Utang
Author: umi roihan

Bab 1

"Pergi kamu dari sini sekarang juga. Kamu sudah tak pantas lagi tinggal di sini. Jangan pernah temui anak dan cucu saya."

Astri tergugu dalam keheningan malam terusir dari rumah yang sudah ditinggalinya beberapa tahun ini.

"Bu, biarkan Astri menginap malam ini. Aku tak mungkin membiarkan dia terlunta di jalan. Walau bagaimanapun Astri masih berstatus istri aku."

Wanita setengah baya itu masih terengah menahan emosi.

"Terserah kamu Is, ibu tak mau lagi melihat muka dia besok pagi."

Ibu mertua Astri meninggalkan keluarga kecil itu dengan raut wajah kecewa.

Ismail membangunkan istrinya lalu memapah wanita yang telah membersamainya sepuluh tahun itu.

"Aku benar-benar minta maaf, Mas, aku tak bisa menjadi istri dan ibu yang baik."

"Sudahlah As, toh semuanya juga sudah terjadi. Aku sudah berusaha sebisa mungkin menutupi kesalahan kamu. Apalah dayaku, aku tak tahu kalau tante Hamidah bercerita pada ibu."

"Aku tahu Mas, aku hanya tak menyangka akan secepat ini semuanya terbongkar. Sekarang terserah mas Is bagaimana kelanjutan semua ini. Aku pasrah, memang aku yang bersalah. Mas mau mempertahankan aku sejauh ini saja aku sudah sangat bersyukur."

"Jangan hanya menyalahkan diri sendiri. Di sini aku juga ikut bersalah karena tak bisa memenuhi apa yang sudah menjadi hakmu. Aku minta maaf."

"Sekarang, terserah mas Is masih mau bersamaku ataukah melepaskanku. Aku pasrah. Mas Is tak perlu memikirkan semua hutang yang kutinggalkan. Aku akan bertanggung jawab melunasi semuanya. Mas tidak usah khawatir. Terserah juga apakah Dafa akan tinggal di sini ataukah harus kubawa. Aku sadar, aku tak punya apa-apa. Mungkin lebih baik kalau Dafa di sini karena sudah pasti terjamin kehidupannya daripada bersamaku yang tak tentu arah dan tujuan. Maaf atas segala kesalahanku."

Ismail merengkuh pundak istrinya yang menangis terisak. Pelan tangannya mengusap bahu yang semakin rapuh seolah tak kuat menanggung beban dalam hidupnya.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi yang mulai ada tanda kerutan. Terbayang kembali peristiwa bertahun-tahun lalu. Betapa sakit hatinya harus mengalami semua ini.

"Mi, mami kenapa melamun di sini?"

Cepat disekanya air mata lalu tersenyum lebar pada gadis cantik beranjak dewasa yang telah menegurnya. Gadis yang selalu bersamanya dalam suka dan duka.

"Mami nggak ngelamun kok, Sayang. Kamu habis dari mana?"

"Biasalah, Mi, habis jalan sama Salsa. Minta ditemenin dia tuh ketemuan sama cowok."

"Trus kamu kapan, Sayang?"

Dahi gadis berambut hitam sebahu itu tampak mengernyit tak paham akan pertanyaan sang ibu.

"Apanya yang kapan, Mi?"

"Kapan putri kesayangan mami ngenalin cowoknya sama mami?"

Semburat merah menghiasi pipi putih gadis itu.

"Mami apaan sih. Aku kan belum punya cowok."

"Tapi yang ditaksir ada kan?" Sang mami makin menggodanya.

"Ah udah ah, mami mah suka gitu. Godain aku terus. Udah mau magrib Mi, kita masuk yuk."

Astri beranjak dari taman samping rumah sambil menggenggam tangan sang putri. Kalau nggak ada kamu, bagaimana mami bisa bertahan, Nak. Terima kasih atas segala kasih sayang yang kamu curahkan buat mami, batinnya.

Gadis itu memasukkan tangannya di antara celah lengan Astri dan pinggangnya. Kepalanya disandarkan pada pundak sang ibu.

"Mi, mami masak apa?"

"Mami masak ikan goreng sama sambal terasi, sayur bayam."

"Wah asyik, ada sayur bayam. Mami tahu banget sih kesukaan aku."

"Iya dong, Sayang, mau makan sekarang apa nanti habis sholat?"

"Nanti aja Mi, aku mau bersih-bersih dulu. Nggak enak rasanya lengket banget badan aku."

"Ya udah, sana cepet mandi. Mami juga mau ke kamar dulu."

"Siap Mi."

Astri berbalik menuju kamarnya yang ada di sebelah kamar putrinya. Wanita setengah baya yang masih cantik itu, mengusap kembali matanya yang berembun.

"Mami harap kamu selalu bahagia, Sayang. Mami akan selalu mempertahankan kamu apa pun yang terjadi. Mami nggak mau dipisahin sama kamu. Cukup mami dulu berbuat bodoh meninggalkan Dafa yang sampai sekarang tak bisa mami temui," ucap Astri sambil melihat fotonya bersama sang putri tercinta.

Astri segera mengambil wudu begitu azan magrib berkumandang. Bersimpuh di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Meminta agar selalu diberi kesehatan agar bisa menjaga putri yang amat disayanginya.

Tok. Tok. Tok.

"Mi, mami udah selesai sholatnya?"

Astri menoleh pada jam dinding yang ada di kamarnya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat hingga setengah jam ia habiskan dalam doa panjangnya.

"Iya, Sayang, sebentar, mami lipat dulu mukenanya."

Astri membereskan mukena dan sajadahnya lalu membuka pintu dimana wajah cantik berseri menyambutnya. Akan tetapi, senyum di wajah gadis itu memudar seketika melihat mata sembab ibunya.

"Mami kenapa? Ada masalah? Mami kok nggak cerita sama aku?"

"Nggak apa-apa, Sayang. Mami cuma inget sama papa kamu."

"Mami kangen ya sama papa?"

"Iya, Sayang. Papa orang yang sangat baik. Mami, mami berutang banyak hal sama papa. Gimana kalau kamu libur nanti kita ke makam papa?"

"Boleh Mi, kita kan udah lama nggak ke sana. Akan tetapi, penjaga makam sering bersihin kan Mi, tempat tinggal papa sekarang?"

"Tentu saja, Sayang," kata Astri sambil mengusap lembut rambut panjang putrinya.

"Mi, kalau mami kesepian, mami boleh kok cari pengganti papa. Aku nggak apa-apa. Mami tenang aja. Aku sangat berharap mami bisa bahagia menikmati masa tua. Jangan pikirin soal aku, Mi."

"Sayang, mami nggak pernah kepikiran untuk menikah lagi. Kenangan bersama papa nggak bisa mami lupain. Harusnya itu, bukan mami yang cari pasangan, tapi kamu. Kapan kamu kenalin cowok sama mami?"

"Mami ih, aku kan nggak punya cowok."

"Gebetan pasti ada dong?"

"Nggak ada Mi, beneran."

"Masa' sih putri cantiknya mami nggak ada yang naksir? Kamu judes ya kalau di kampus?"

"Enggak Mi, aku selalu ramah sama semua orang. Temen sih banyak dan aku nggak tahu di antara mereka ada yang suka sama aku atau enggak. Tapi yang jelas, aku belum pernah ngerasain deg-degan atau hati berdebar gitu kalau deket sama cowok. Pas SMA dulu juga pernah pacaran tapi rasanya biasa aja. Cuma seneng-seneng aja, ikut-ikutan tren karena banyak temen yang pacaran. Tapi, ya gitu, nggak ada rasa sama sekali. Pas putus juga nggak ngerasa sakit hati. Mungkin emang belum waktunya aku nemuin seseorang yang buat aku jatuh cinta aja, Mi. Udah ah, kok bahas masalah cowok sih. Kita makan yuk, aku dah laper."

"Ayo."

Kedua ibu dan anak itu menuju meja makan yang ada di dapur. Sesekali terdengar candaan dari keduanya. Sang putri menceritakan bagaimana kesehariannya di kampus dan Astri menyimak sambil sesekali melempar godaan. Sungguh, pasangan ibu dan anak yang saling menyayangi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status