Sejak keluar tadi siang. Zaki tak kunjung pulang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Flara sudah menghubungi suaminya itu sejak sore tadi, tapi nomernya tak dapat dihubungi.
Sudah dua jam Flara duduk di meja makan dengan gelisah. Sesekali berdiri seraya melirik jam yang terpasang di dinding. Sejak tadi hanya dentingan jam lah yang menemani Flara di rumah sebesar itu.
Disaat kegelisahan mendera hingga ubun-ubun, dering ponsel Flara berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon dirinya, jari Flara menggeser tombol menerima panggilan.
"Mas, kamu di mana? Ini sudah malam. Kamu buruan pulang. Aku takut di rumah sendirian."
"Oh, jadi kamu sedang sendiri?" tanya si penelepon.
Flara sedikit tersentak, ia segera mengecek ponselnya begitu ia sadar suara di seberang bukan suara sang suami.
"Ngapain kamu telepon aku? Please lah, Den. Aku dan Zaki sama sekali tidak ada hubungannya dengan dendam kamu sama..."
"Jangan atur aku!" potong Denan dengan bentakan. "Semua akan aman kalau kamu nurut sama aku. Kalau nggak mau nurut, ya nggak apa-apa, nggak masalah. Kamu bisa bayangkan bagaimana kehidupan Zaki ketika dia tahu semuanya. Dia tahu kamu di atas ranjang denganku saja dia sudah hancur, bagaimana jika dia tahu betapa busuknya orang tuanya," imbuhnya.
"Tapi tidak seharusnya kamu hancurkan hidup aku dan Zaki. Dia pun tak tahu apa-apa. Yang salah orang tuanya, kenapa kamu bawa-bawa dia?"
"Justru itulah, sayangku. Aku ingin menghancurkan mertuamu itu melalui suamimu. Jangan banyak tanya! Dandan yang cantik, aku akan ke rumahmu sekarang. Nggak ada orang, kan? Kalau begitu, layani aku!"
Sambungan telepon terputus setelah itu. Flara seketika membanting ponselnya dengan keras. Ia kesal sekaligus frustasi dengan kehidupannya sendiri. Kenapa harus dirinya yang terjebak dalam urusan yang rumit dan menyakitkan ini.
Beberapa hari yang lalu, Denan yang sudah lama tak berkomunikasi dengan Flara tiba-tiba saja kembali menghubunginya. Tanpa sebab dan musabab yang jelas, Denan meminta Flara untuk bertemu dengannya.
Dengan dalih membawa nama Zaki, akhirnya Flara bersedia bertemu.
"Langsung to the point aja, nggak usah basa basi. Hubungan kita ini bukan teman, aku takut kalau Zaki tahu akan terjadi kesalahpahaman. Apa yang mau kamu kasih tahu soal Zaki?" tanya Flara begitu mereka sudah bertemu.
"Kamu sayang sama dia? Sesayang apa?"
"Bukan urusan kamu, lagi pula pertanyaan itu tidak penting untuk aku jawab. Cepat katakan intinya saja, Den!" kata Flara dengan setengah membentak.
Denan lalu memperlihatkan beberapa foto dan menjelaskan maksud dari pertemuannya. Ia menjelaskan sesuatu yang tidak semua orang tahu. Bahkan untuk pertama kalinya Denan membeberkan ini pada orang lain.
Denan sebenarnya tak ada niatan untuk menyakiti Zaki. Ia sadar, bahwa yang terjadi di masa lalu memang bukan salah Zaki, tapi kedua orang tuanya. Namun, semua berubah ketika Denan tahu bahwa Zaki akan menikah dengan Flara. Sakit hatinya kian bertambah melebar.
"Nggak mungkin, kamu pasti bohong, Den. Kamu ngarang cerita, kan? Supaya apa? Supaya aku bisa balik ke kamu, iya?" kata Flara emosi.
"Nggak, aku sama sekali tidak mengarang apapun. Akan aku beri bukti jika kamu tidak percaya."
Denan lalu memberikan selembar kertas yang sedikit usang. Flara melihatnya dengan teliti dan kening yang mengkerut. Kertas yang diperkirakan usianya lebih dari dirinya itu membuat matanya terbelalak.
Beberapa kali Flara membaca deretan huruf yang tercatat di sana. Berharap salah baca, namun nyatanya bacaan di kertas tersebut tetap sama.
"Jadi, kamu..."
"Iya, sekarang kunci kehancuran kebahagiaan Zaki tidak ada padaku, tapi padamu. Itu sebabnya aku tadi bertanya, sesayang apa kamu sama dia?"
"Maksudnya apa, sih? Bicara yang jelas, Denan. Ini semua nggak ada hubungannya sama aku ataupun Zaki. Kesalahan orang tuanya bukan kesalahan Zaki."
"Iya, aku tahu. Aku ngerti ini salah orang tuanya, tapi Zaki sudah merebut kamu dariku. Jadi, ya memang semua keluarga Zaki harus menerima konsekuensi dari apa yang meraka perbuat."
"Zaki tidak merebut apapun darimu. Kamu yang udah lepas aku, Den. Kamu udah lepas aku dengan caramu mengkhianatiku. Memang kamu sudah gila. Tidak seharusnya aku temui kamu di sini!"
Flara beranjak pergi dari duduknya, namun pergelangan tangannya di cekal dengan kuat oleh Denan. Gadis itu kesakitan dan berusaha melepas cengkraman itu, namun semakin berusaha melepas, tangan Flara terasa semakin sakit.
Sementara Denan menatap mantan kekasihnya dengan tatapan tajam dan dingin. Tatapan yang menunjukkan seakan tak suka dengan perlawanan yang Flara berikan.
"Jangan main-main denganku, Fla. Aku tidak pernah basa-basi dengan apa yang keluar dari mulutku, aku juga tidak pernah membual. Nggak apa-apa kalau kamu nggak anggap omonganku serius, itu artinya kamu siap melihat kehancuran Zaki dan keluarganya."
"Apa maumu?"
"Turuti apa yang aku minta! Apapun itu, tanpa pertanyaan apalagi penolakan."
"Kenapa kamu jadi kesannya memanfaatkan aku?"
"Apapun akan aku lakukan demi hancurnya keluarga laknat itu."
Sejak saat itulah, Flara menjadi budak Denan. Saat mereka ketahuan hampir berhubungan badan pun, itu juga atas permintaan Denan.
Flara sangat mencintai Zaki, ia melakukan ini karena cintanya yang besar terhadap calon suaminya. Ia tak mau lelakinya itu hancur karena kesalahan kedua orang tuanya yang di lakukan di masa lalu.
Apalagi kedua orang tua Zaki adalah orang yang terpandang dan seorang publik figur yang terkenal dengan kebaikan hatinya. Bahkan, saat Denan menceritakan masa lalunya tadi, Flara sama sekali tak percaya. Tapi sebuah kertas usang menghancurkan segala keyakinan Flara.
Akhirnya mau tak mau gadis itu menerima permintaan Denan dengan catatan, rahasia yang selama ini terkubur dalam tak muncul ke permukaan, meskipun sebenarnya ini tak adil bagi Denan. Tapi ini yang ia mau, kan?
Tapi sebenarnya, Flara tak tahu apa rencana Denan selanjutnya. Tak ada yang menjamin, rahasia besar itu tak di bongkar oleh Denan.
"Halo sayangku."
Flara yang sedang duduk di ruang makan terperanjat dengan datangnya seseorang yang masuk rumah tanpa permisi.
"Mas, astaga, kamu kenapa?" Flara membantu Zaki yang tersungkur di lantai dengan keadaan mabuk. Baru kali ini Flara melihat Zaki yang seperti ini. "Kau tahu, aku sangat mencintainya. Tapi dia mengkhianatiku, dia menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya di belakangku. Bahkan kesucian yang harusnya dia berikan untukku malah dia berikan pada laki-laki lain. Aku sangat benci padanya. Hahaha." Zaki terus berceloteh dengan mata yang sudah terpejam. "Aku masih suci, mas. Aku nggak melakukan apapun dengan Denan. Bagaimana caraku menjelaskannya ke kamu? Kenapa kamu jadi seperti ini?" gumam Flara menidurkan suaminya di sofa ruang tengah. Flara menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Entah apa saja yang ia lakukan sejak siang tadi. Wajah yang dahulu memanjakan dirinya kini terlihat juga guratan kekecewaan. Flara jadi teringat ucapan Denan. Mengetahui dirinya berkhianat saja Zaki sudah menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana jika ia tahu kalau orang tuanya juga pernah berbuat dosa di m
Denan berjalan ke arah Flara yang sedang bersiap akan makan. Dengan santainya ia duduk dan mengambil piring yang tersedia di sana. "Jangan lancang! Aku nggak nyuruh kamu makan, dan aku tidak sudi kamu makan di sini!" ucap Flara dengan tegas. "Ayolah, Fla. Jangan buat aku setiap waktu mengingatkan kamu dengan perjanjian kita. Turuti aku dan jangan pernah menolak apa yang aku mau. Eh, nggak apa-apa, sih kalau kamu nolak. Aku buat kekacauan saja sekarang," kata Denan merogoh ponselnya yang berada di saku celana. Dengan cepat Flara mencegah Denan melakukan niatnya, ia tak mau melihat keluarga suaminya berantakan. "Makan!" titah Flara kemudian. "Nah gitu dong, ngomong-ngomong kamu kenapa mau berkorban sebegitu jauhnya buat Zaki? Padahal kamu menjatuhkan harga dirimu untuk pria yang tidak tahu terima kasih itu." Denan dengan semangat empat lima mengambil nasi dan lauk pauk yang berjejer rapi di meja makan. "Dia sayang padaku dengan tulus, dia menerima aku apa adanya, nggak pernah saki
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Flara masih mondar-mandir di teras menunggu kepulangan suaminya. Ia rela menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya serta menahan dinginnya malam yang menusuk hingga tulang demi menunggu dan memastikan bahwa Zaki pulang dengan baik-baik saja. Sementara yang ditunggu malah sedang asyik bersama dua wanita yang menemaninya hingga mabuk. Zaki tak kalah frustasi dengan Flara. Ia muak dengan pernikahan yang ia jalani. Ia ingin meninggalkan Flara namun, entah mengapa ia tak bisa melakukan itu. Ia merasa masih ada alasan untuk bertahan. Jangan tanya apa alasannya, karena Zaki sendiri tak tahu, ia bingung dengan kemauannya sendiri. Lagi pula jika ia memilih berpisah dari Flara, pasti nama baik kedua orang tua yang selama ini dijaga dan dijunjung tinggi akan hangus karena perkara anaknya yang hanya menjalin hubungan rumah tangga seumur jagung. "Mau tidur dengan kami, boy?" Salah satu wanita yang berpakaian nyaris telanjang menawarkan diri untuk berc
Tidak ada hari yang istimewa bagi Denan, semua hari terasa suram sejak ia berusia sepuluh tahun. Kecelakaan yang merenggut kesehatan sang ibu membuat dunianya terasa runtuh dan tak utuh, semua terasa memiliki warna yang sama. Sama-sama gelap dalam cahaya yang terang, seterang bulan yang kini menyaksikan Denan mengenang masa lalunya. Bukit mungil, satu-satunya tempat yang Denan temukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah ibunya, Denan hanya punya tempat ini untuk meletakkan kepalanya dari hiruk pikuk dunia yang kejam dan terasa menyiksa. Hanya seorang diri, hanya dirinya sendiri yang di temani ribuan bintang yang bercahaya, namun tak ada satupun bintang yang bisa menerangi kelamnya kehidupan sang Arjuna yang di siram oleh kegelapan. Denan sedang memikirkan alasan, kenapa ia memilih lahir di dunia ini. Denan pernah dengar dari salah satu manusia yang menempati dunia terkutuk ini. "Kita sebelum lahir itu di tanya sama Allah sebanyak tujuh puluh tujuh kali. Mau lahir ke dunia a
Sudah sebulan pernikahan Zaki dan Flara, namun hubungan mereka tetap saja tak ada perubahan. Meskipun begitu, Flara masih sangat berusaha untuk mengembalikan lagi hati dan cinta Zaki. Ia masih meyakini bahwa cinta masih bisa untuk ia dapatkan kembali. Walapun beberapa minggu terakhir Flara selalu mencium bau perempuan dan beberapa kali kemeja suaminya meninggalkan bekas lipstik, entah mengapa Flara merasa Zaki tak benar-benar mengkhianati dirinya. Flara kenal betul suaminya itu, ia tak semudah itu untuk berpaling dari cintanya. Flara juga merasa bahwa yang dilakukan Zaki hanyalah sebagai bentuk pelampiasan atas kesalahannya. Di suatu malam, Flara mengendap-endap mengikuti ke mana Zaki pergi. Entah ingin ke mana pria itu di hari yang sudah sedikit malam. Penasaran dengan apa yang di lakukan suaminya di luar sana, Flara mengikuti ke mana perginya pria itu. Dengan hati dan debaran halus di dadanya ia masih berada di dalam taksi dengan terus menatap mobil yang berada di depannya. Flara
Flara membuka mata dengan pelan. Memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rasa sakit yang mendera. Ia duduk diam seraya mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mengingatnya, Flara sudah tak menemukan Zaki di sampingnya. Flara tak terkejut, ia sudah menduga hal seperti ini. Ia merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh suaminya sendiri. Ia bagaikan wanita yang tak ada harga diri. "Mudah-mudahan dia sadar dengan apa yang terjadi semalam. Aku nggak mau jadi bahan amukan dia." Flara menggerutu seraya bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. *"Pemisi, Pak. Asisten yang Bapak minta sudah bisa hadir hari ini, saya langsung suruh masuk saja, Pak?" tanya sang sekretaris. "Hm." Hanya itu yang menjadi jawaban atas pertanyaan sekretarisnya. Zaki memang terkenal dingin, cuek dan bermulut pedas saat di kantor. Tak ada yang boleh menggangunya ketika ia tenggelam dalam tumpukan berkas yang menjulang tinggi di depan mejanya. "Masuk!" teriaknya saat terdengar pintu di ketuk. "Selamat
Rania masih berusaha untuk melepaskan rambutnya, Namun entah apa yang membuatnya sangat susah. Terdengar suara kaki yang melangkah masuk ke ruangan. Rania mengintip dari kolong meja siapakah gerangan pemilik kaki tersebut. Bagaimana bisa lancang tak mengetuk pintu terlebih dahulu sedangkan sekretarisnya saja tadi mengetuk pintu sebelum masuk. Bahkan tak berani masuk ketika belum terdengar teriakan dari Zaki. 'Perempuan? Dari kakinya itu perempuan, apa itu istrinya Zaki? Aku rasa, iya. Tidak mungkin orang lain jika dia saja masuk tanpa mengetuk pintu.' Rania membatin seraya tersenyum licik. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menciptakan kesalahpahaman di antara mereka. "Ah, Pak ini sangat susah. Aku kesulitan melepaskannya." Zaki mendelik seketika ke arah Rania. Bagaimana ia bicara dengan nada seperti itu? Ia sangat khawatir jika yang masuk ruangannya itu adalah sang Ayah. Ia takut jika ayahnya murka mendapati ia dengan posisi seperti ini. "Kenapa nada bicaramu seperti itu? Bi
Rania melempar tatapan piciknya ke arah Zaki yang tengah fokus pada tumpukan berkas di hadapannya itu, di tangan Rania sudah ada secangkir kopi yang dirinya buat beberapa saat lalu, sengaja ia datang pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk membuat Zaki luluh padanya.Langkah anggunnya tampak membawa Rania memasuki ruangan Zaki, senyum menggoda yang tersemat di wajah cantiknya enggan hanya sekedar ia lunturkan. "Pak," sapa Rania semakin melangkah mendekat, "Saya membuatkan kopi untuk bapak," sambungnya meletakan cangkir kopi itu di samping tumpukan berkas. Menyadari itu, Zaki mengernyitkan dahinya bingung, menatap penuh tanya ke arah cangkir kopi yang baru saja Rania letakkan, "Bukankah saya tak meminta dibuatkan kopi?" tanyanya kemudian mengangkat dagunya hingga pandangannya terpaku pada Rania. Rania tersipu malu, senyumnya dibuat sebaik mungkin, "Saya cuman ingin bapak sedikit lebih santai saja, lagipula saya lihat sedari awal saya bertemu bapak, sepertinya bapak terlalu memikirkan