"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Apa-apaan ini Flara!" teriak Zaki dengan wajah yang sudah dipenuhi amarah.Gadis yang di panggil seketika menoleh ke arah pintu, berdiri sosok Zaki di sana. Pria yang akan menjadi suaminya esok hari. Dengan secepat kilat Flara berdiri dari ranjang dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut tebal yang sebelumnya tergeletak di lantai."Zaki, aku ... Aku bisa jelaskan!"Zaki tak menghiraukan kata-kata yang keluar dari mulut calon istrinya. Ia melangkah lebih masuk ke dalam kamar dan menghampiri pria yang masih duduk menatap dirinya. Dari wajah pria itu, tidak ada sama sekali gurat takut, penyesalan, panik atau reaksi lainnya. Ia menatap Zaki seakan tak terjadi apa-apa.Bugh!Satu bogeman dari Zaki berhasil membuat pria itu tersungkur ke ranjang. Terlihat sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. Dengan percaya diri yang entah dari mana datangnya, pria yang hampir bercinta dengan Flara itu beranjak berdiri dengan tanpa sehelei benang pun. Ia mendekati Zaki dan melempar tatapan seol
Mata Flara masih menatap lekat wajah Zaki yang sedang fokus menatap jalanan. Ia sedang menerka-nerka apakah yang ia dengar tadi hanyalah halusinasi semata atau Zaki memang mengatakannya. "Kamu serius? Aku nggak salah dengar, Zak?""Nggak. Semuanya udah di persiapkan dengan matang. Nggak mungkin aku mempermalukan keluargaku sendiri. Kamu kan tahu, harga diri papa adalah segalanya.""Jadi kamu nikahi aku karena menjaga harga diri papa kamu?" tanya Flara yang merubah wajahnya menjadi sendu. Zaki menoleh ke arah Flara sejenak lalu kembali fokus pada jalan yang mulai sepi karena memang sudah larut malam. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang. Suasana dingin yang menusuk hingga tulang, nyatanya tak mampu membuat keduanya untuk saling menghangatkan meskipun hanya dengan sentuhan tangan. Justru suasana dingin ini sangat mewakili perasaan Zaki yang seketika membeku karena kesalahan fatal sangat kekasih. "Kamu maafin aku, kan? Aku tadi belum melakukan apapun, Zak. Aku memang
"Kamu tidur di sofa!" ujar Zaki begitu Flara keluar dari kamar mandi. Flara masih terdiam memperhatikan Zaki yang menata bantal dan selimut di sofa. Lagi-lagi ia berharap bahwa apa yang dikatakan Zaki hanyalah halusinasinya atau ia salah dengar. "Kenapa masih diam berdiri di situ? Kamu tidur di sofa, kalau kurang luas bisa tidur di karpet," ucap Zaki lagi lalu merebahkan dirinya di ranjang besar miliknya. "Mas, kita ini suami istri. Kenapa tidur terpisah?""Suami istri hanya status, aku tidak sudi bergaul dengan wanita kotor sepertimu. Tidur dan jangan tanya apapun lagi!"Bagai belati yang menancap pas di hatinya, sungguh sakit hati Flara mendengar ucapan Zaki. Bagaimana ia bersikap seperti ini sementara ia sama sekali tak mendengar penjelasan darinya. Jangankan mendengar, diberi waktu untuk bicarapun tidak. Dengan langkah gontai, Flara berjalan menuju sofa dan berbaring di sana. Ia menyelimuti tubuhnya hingga leher. Menyisakan wajah yang sudah basah oleh air mata. Zaki pun sama,
Sejak keluar tadi siang. Zaki tak kunjung pulang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Flara sudah menghubungi suaminya itu sejak sore tadi, tapi nomernya tak dapat dihubungi. Sudah dua jam Flara duduk di meja makan dengan gelisah. Sesekali berdiri seraya melirik jam yang terpasang di dinding. Sejak tadi hanya dentingan jam lah yang menemani Flara di rumah sebesar itu. Disaat kegelisahan mendera hingga ubun-ubun, dering ponsel Flara berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon dirinya, jari Flara menggeser tombol menerima panggilan. "Mas, kamu di mana? Ini sudah malam. Kamu buruan pulang. Aku takut di rumah sendirian.""Oh, jadi kamu sedang sendiri?" tanya si penelepon. Flara sedikit tersentak, ia segera mengecek ponselnya begitu ia sadar suara di seberang bukan suara sang suami. "Ngapain kamu telepon aku? Please lah, Den. Aku dan Zaki sama sekali tidak ada hubungannya dengan dendam kamu sama...""Jangan atur aku!" potong Denan dengan bentakan. "Semua akan aman kalau kamu
"Mas, astaga, kamu kenapa?" Flara membantu Zaki yang tersungkur di lantai dengan keadaan mabuk. Baru kali ini Flara melihat Zaki yang seperti ini. "Kau tahu, aku sangat mencintainya. Tapi dia mengkhianatiku, dia menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya di belakangku. Bahkan kesucian yang harusnya dia berikan untukku malah dia berikan pada laki-laki lain. Aku sangat benci padanya. Hahaha." Zaki terus berceloteh dengan mata yang sudah terpejam. "Aku masih suci, mas. Aku nggak melakukan apapun dengan Denan. Bagaimana caraku menjelaskannya ke kamu? Kenapa kamu jadi seperti ini?" gumam Flara menidurkan suaminya di sofa ruang tengah. Flara menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Entah apa saja yang ia lakukan sejak siang tadi. Wajah yang dahulu memanjakan dirinya kini terlihat juga guratan kekecewaan. Flara jadi teringat ucapan Denan. Mengetahui dirinya berkhianat saja Zaki sudah menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana jika ia tahu kalau orang tuanya juga pernah berbuat dosa di m