"Mas, astaga, kamu kenapa?" Flara membantu Zaki yang tersungkur di lantai dengan keadaan mabuk. Baru kali ini Flara melihat Zaki yang seperti ini.
"Kau tahu, aku sangat mencintainya. Tapi dia mengkhianatiku, dia menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya di belakangku. Bahkan kesucian yang harusnya dia berikan untukku malah dia berikan pada laki-laki lain. Aku sangat benci padanya. Hahaha." Zaki terus berceloteh dengan mata yang sudah terpejam.
"Aku masih suci, mas. Aku nggak melakukan apapun dengan Denan. Bagaimana caraku menjelaskannya ke kamu? Kenapa kamu jadi seperti ini?" gumam Flara menidurkan suaminya di sofa ruang tengah.
Flara menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Entah apa saja yang ia lakukan sejak siang tadi. Wajah yang dahulu memanjakan dirinya kini terlihat juga guratan kekecewaan.
Flara jadi teringat ucapan Denan. Mengetahui dirinya berkhianat saja Zaki sudah menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana jika ia tahu kalau orang tuanya juga pernah berbuat dosa di masa lalunya?
Tak berselang lama, pintu utama terdengar di ketuk. Tanpa ragu dan memikirkan apapun wanita itu berjalan menuju pintu utama.
Matanya terbelalak begitu pintu terbuka dan menampilkan sosok Denan di sana.
"Surprise," kata Denan sumringah.
Flara mendorong tubuh Denan ke teras, tak lupa ia menutup pintu.
"Ada apa, sih? Suamimu udah pulang? Ya udah kita bermalam di luar saja," kata Denan dengan entengnya.
"Nggak, mending kamu pulang sekarang! Mau bermain denganku, kan? Kamu mau aku bermain denganku dengan nikmat? Kalau begitu jangan sekarang, Zaki sedang tidak sehat. Kamu mau kita bersenggama tapi pikiran aku di rumah?"
Denan menampakkan wajah heran, keningnya mengkerut menjadi beberapa lipatan. Denan bertanya-tanya, kemarin wanita itu begitu tak terima dengan apa maunya, tapi kenapa sekarang berubah? Begitulah kira-kira pertanyaan yang menggelayut di kepalanya.
"Ok, aku kasih kamu keringanan untuk kali ini. Tapi berikan aku sedikit sentuhan bibirmu," pinta Denan mendekatkan wajahnya di wajah Flara.
Dalam hati Flara sedang berpikir bagaimana caranya untuk menolak dengan alasan masuk akal. Wajah Denan yang semakin dekat membuat kepala Flara semakin buntu saja. Justru yang terjadi sekarang adalah nafas Flara yang sudah memburu, tinggal satu gerakan saja bibir meraka akan bertemu.
Blush
Jantung Flara terasa mencelos, bibir mungil Denan berhasil menerobos pertahanan Flara.
Prank
Beberapa detik-detik setelah pertempuran bibir terdengar suara barang jatuh dari dalam. Sungguh Flara tak memikirkan apapun saat ini selain ia bersyukur karena lepas dari hasrat Denan.
"Aku ke dalam dulu, kamu pulang aja sekarang!" titah Flara berlari ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban dari Denan yang nampak kesal karena gangguan yang datang tiba-tiba.
"Aku ingin minum, hey mana minumanku?" teriak Zaki dari arah dapur.
Flara yang baru sampai segera mendekati suaminya. Menjauhkan dirinya dari pecahan gelas yang sudah berserakan. Dengan susah payah Flara menuntun suaminya menuju kamarnya. Terpaksa ia bawa Zaki ke kamar yang berada di bawah, akan sulit baginya untuk membawa tubuh kekar Zaki ke lantai dua.
Baru saja berhasil menidurkan Zaki di ranjang, tubuh Flara di tarik oleh pria itu hingga tubuh mereka kini saling bersentuhan dengan jarak wajah yang sangat dekat. Bahkan hembusan nafas masing-masing sangat terasa menerpa wajah.
"Kamu mau aku tidur di sini?" tanya Flara
Zaki hanya mengangguk seraya melingkarkan tangannya di sepanjang pinggang istrinya. Berada di pelukan Zaki seperti ini membuat Flara merasa tenang dan nyaman. Tak mau membuang momen berharga ini, Flara tak langsung tidur, ia mengamati setiap inci wajah sang suami yang kini tak bisa lagi ia sentuh seperti dulu.
*
Bruk"Au," pekik Flara seraya meletakkan tangannya di punggung.
Entah bagaimana ceritanya Flara bisa terjatuh dari ranjang. Netranya lalu menatap ranjang dan mendapati Zaki yang sudah terduduk di atasnya.
"Berani sekali kamu menyentuhku. Apa yang kamu lakukan semalam sampai aku tertidur di sini?" tanya Zaki dengan marah.
"Kamu semalam mabuk berat, aku nggak bisa bawa kamu ke atas. Makanya aku bawa ke sini aja."
"Terus ngapain kamu tidur-tidur dekat aku?"
"Ya, kan kita suami istri, salahnya di mana?" tanya Flara dengan entengnya seraya berusaha berdiri.
"Jelas salah! Aku sudah bilang aku nggak sudi dekat-dekat denganmu. Lain kali jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Atau aku akan menghabiskan malam dengan wanita di luar sana. Menjijikkan!" ujar Zaki sembari membersihkan kemeja yang ia kenakan lalu pergi dari sana.
Flara berusaha belajar untuk membiasakan diri dengan kata-kata Zaki yang menyakitkan. Ia meyakini bahwa suatu saat nanti cinta Zaki akan kembali. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan membersihkan namanya dan juga mencari cara agar Denan tak melakukan apapun di kemudian hari.
Merasa cukup merenung, Flara pergi ke kamar mandi agar bisa melakukan kewajibannya sebagai istri. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh suaminya.
"Mas, kok pakai jas? Mau ngantor? Ini masih hari cuti kamu, loh."
"Bukan urusan kamu. Jangan urus aku, urus diri kamu sendiri!" jawabnya dingin.
"Ya udah, kita makan dulu. Aku udah masak."
"Makan saja sendiri!"
Dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin Zaki meninggalkan Flara yang masih mematung. Pria itu meninggalkan istrinya dengan luka yang sedikit demi sedikit akan melebar kemana-mana.
Tak berselang lama setelah kepegian Zaki, pintu utama tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya. Dengan menghembuskan nafas kasar dan tatapan malas, Flara malah melipir ke meja makan. Tak menggubris tamu yang baru saja lancang membuka pintu tuan rumah.
Denan berjalan ke arah Flara yang sedang bersiap akan makan. Dengan santainya ia duduk dan mengambil piring yang tersedia di sana. "Jangan lancang! Aku nggak nyuruh kamu makan, dan aku tidak sudi kamu makan di sini!" ucap Flara dengan tegas. "Ayolah, Fla. Jangan buat aku setiap waktu mengingatkan kamu dengan perjanjian kita. Turuti aku dan jangan pernah menolak apa yang aku mau. Eh, nggak apa-apa, sih kalau kamu nolak. Aku buat kekacauan saja sekarang," kata Denan merogoh ponselnya yang berada di saku celana. Dengan cepat Flara mencegah Denan melakukan niatnya, ia tak mau melihat keluarga suaminya berantakan. "Makan!" titah Flara kemudian. "Nah gitu dong, ngomong-ngomong kamu kenapa mau berkorban sebegitu jauhnya buat Zaki? Padahal kamu menjatuhkan harga dirimu untuk pria yang tidak tahu terima kasih itu." Denan dengan semangat empat lima mengambil nasi dan lauk pauk yang berjejer rapi di meja makan. "Dia sayang padaku dengan tulus, dia menerima aku apa adanya, nggak pernah saki
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Flara masih mondar-mandir di teras menunggu kepulangan suaminya. Ia rela menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya serta menahan dinginnya malam yang menusuk hingga tulang demi menunggu dan memastikan bahwa Zaki pulang dengan baik-baik saja. Sementara yang ditunggu malah sedang asyik bersama dua wanita yang menemaninya hingga mabuk. Zaki tak kalah frustasi dengan Flara. Ia muak dengan pernikahan yang ia jalani. Ia ingin meninggalkan Flara namun, entah mengapa ia tak bisa melakukan itu. Ia merasa masih ada alasan untuk bertahan. Jangan tanya apa alasannya, karena Zaki sendiri tak tahu, ia bingung dengan kemauannya sendiri. Lagi pula jika ia memilih berpisah dari Flara, pasti nama baik kedua orang tua yang selama ini dijaga dan dijunjung tinggi akan hangus karena perkara anaknya yang hanya menjalin hubungan rumah tangga seumur jagung. "Mau tidur dengan kami, boy?" Salah satu wanita yang berpakaian nyaris telanjang menawarkan diri untuk berc
Tidak ada hari yang istimewa bagi Denan, semua hari terasa suram sejak ia berusia sepuluh tahun. Kecelakaan yang merenggut kesehatan sang ibu membuat dunianya terasa runtuh dan tak utuh, semua terasa memiliki warna yang sama. Sama-sama gelap dalam cahaya yang terang, seterang bulan yang kini menyaksikan Denan mengenang masa lalunya. Bukit mungil, satu-satunya tempat yang Denan temukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah ibunya, Denan hanya punya tempat ini untuk meletakkan kepalanya dari hiruk pikuk dunia yang kejam dan terasa menyiksa. Hanya seorang diri, hanya dirinya sendiri yang di temani ribuan bintang yang bercahaya, namun tak ada satupun bintang yang bisa menerangi kelamnya kehidupan sang Arjuna yang di siram oleh kegelapan. Denan sedang memikirkan alasan, kenapa ia memilih lahir di dunia ini. Denan pernah dengar dari salah satu manusia yang menempati dunia terkutuk ini. "Kita sebelum lahir itu di tanya sama Allah sebanyak tujuh puluh tujuh kali. Mau lahir ke dunia a
Sudah sebulan pernikahan Zaki dan Flara, namun hubungan mereka tetap saja tak ada perubahan. Meskipun begitu, Flara masih sangat berusaha untuk mengembalikan lagi hati dan cinta Zaki. Ia masih meyakini bahwa cinta masih bisa untuk ia dapatkan kembali. Walapun beberapa minggu terakhir Flara selalu mencium bau perempuan dan beberapa kali kemeja suaminya meninggalkan bekas lipstik, entah mengapa Flara merasa Zaki tak benar-benar mengkhianati dirinya. Flara kenal betul suaminya itu, ia tak semudah itu untuk berpaling dari cintanya. Flara juga merasa bahwa yang dilakukan Zaki hanyalah sebagai bentuk pelampiasan atas kesalahannya. Di suatu malam, Flara mengendap-endap mengikuti ke mana Zaki pergi. Entah ingin ke mana pria itu di hari yang sudah sedikit malam. Penasaran dengan apa yang di lakukan suaminya di luar sana, Flara mengikuti ke mana perginya pria itu. Dengan hati dan debaran halus di dadanya ia masih berada di dalam taksi dengan terus menatap mobil yang berada di depannya. Flara
Flara membuka mata dengan pelan. Memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rasa sakit yang mendera. Ia duduk diam seraya mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mengingatnya, Flara sudah tak menemukan Zaki di sampingnya. Flara tak terkejut, ia sudah menduga hal seperti ini. Ia merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh suaminya sendiri. Ia bagaikan wanita yang tak ada harga diri. "Mudah-mudahan dia sadar dengan apa yang terjadi semalam. Aku nggak mau jadi bahan amukan dia." Flara menggerutu seraya bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. *"Pemisi, Pak. Asisten yang Bapak minta sudah bisa hadir hari ini, saya langsung suruh masuk saja, Pak?" tanya sang sekretaris. "Hm." Hanya itu yang menjadi jawaban atas pertanyaan sekretarisnya. Zaki memang terkenal dingin, cuek dan bermulut pedas saat di kantor. Tak ada yang boleh menggangunya ketika ia tenggelam dalam tumpukan berkas yang menjulang tinggi di depan mejanya. "Masuk!" teriaknya saat terdengar pintu di ketuk. "Selamat
Rania masih berusaha untuk melepaskan rambutnya, Namun entah apa yang membuatnya sangat susah. Terdengar suara kaki yang melangkah masuk ke ruangan. Rania mengintip dari kolong meja siapakah gerangan pemilik kaki tersebut. Bagaimana bisa lancang tak mengetuk pintu terlebih dahulu sedangkan sekretarisnya saja tadi mengetuk pintu sebelum masuk. Bahkan tak berani masuk ketika belum terdengar teriakan dari Zaki. 'Perempuan? Dari kakinya itu perempuan, apa itu istrinya Zaki? Aku rasa, iya. Tidak mungkin orang lain jika dia saja masuk tanpa mengetuk pintu.' Rania membatin seraya tersenyum licik. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menciptakan kesalahpahaman di antara mereka. "Ah, Pak ini sangat susah. Aku kesulitan melepaskannya." Zaki mendelik seketika ke arah Rania. Bagaimana ia bicara dengan nada seperti itu? Ia sangat khawatir jika yang masuk ruangannya itu adalah sang Ayah. Ia takut jika ayahnya murka mendapati ia dengan posisi seperti ini. "Kenapa nada bicaramu seperti itu? Bi
Rania melempar tatapan piciknya ke arah Zaki yang tengah fokus pada tumpukan berkas di hadapannya itu, di tangan Rania sudah ada secangkir kopi yang dirinya buat beberapa saat lalu, sengaja ia datang pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk membuat Zaki luluh padanya.Langkah anggunnya tampak membawa Rania memasuki ruangan Zaki, senyum menggoda yang tersemat di wajah cantiknya enggan hanya sekedar ia lunturkan. "Pak," sapa Rania semakin melangkah mendekat, "Saya membuatkan kopi untuk bapak," sambungnya meletakan cangkir kopi itu di samping tumpukan berkas. Menyadari itu, Zaki mengernyitkan dahinya bingung, menatap penuh tanya ke arah cangkir kopi yang baru saja Rania letakkan, "Bukankah saya tak meminta dibuatkan kopi?" tanyanya kemudian mengangkat dagunya hingga pandangannya terpaku pada Rania. Rania tersipu malu, senyumnya dibuat sebaik mungkin, "Saya cuman ingin bapak sedikit lebih santai saja, lagipula saya lihat sedari awal saya bertemu bapak, sepertinya bapak terlalu memikirkan
Rania keluar dari dalam taksi, dirinya menatap sebuah restoran yang ada di hadapannya itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Denan tiba-tiba menghubunginya, mengatur pertemuan mereka di restoran ini. Terlepas dari apapun yang akan mereka bicarakan, yang terpenting Rania datang, karena hanya hal itulah yang Rania pikirkan. Semua hal yang akan Denan sampaikan, jelas bisa Rania dengar saat setelah mereka bertemu."Selamat datang di restoran..""Apa kau bisa menunjukan meja atas nama Denan?" tukas Rania cepat. Sembari menyusuri setiap sudut ruangan dengan sorot matanya, dirasa tidak ada Denan diantara mereka yang duduk di ruangan ini. "Baik, ikuti saya!" ujar pelayan itu berjalan mendahului Rania, membuat Rania pun ikut melangkahkan kakinya.Rania rasa, Denan masih belum datang, namun ternyata dugaannya salah. Denan pasti sudah memesan meja khusus untuk pertemuan mereka, mengingat perbincangan mereka akan sangat rahasia. "Apa kau tak salah?" tanya Rania saat pelayan itu menunt