Share

Bab 3

"Kamu tidur di sofa!" ujar Zaki begitu Flara keluar dari kamar mandi. 

Flara masih terdiam memperhatikan Zaki yang menata bantal dan selimut di sofa. Lagi-lagi ia berharap bahwa apa yang dikatakan Zaki hanyalah halusinasinya atau ia salah dengar. 

"Kenapa masih diam berdiri di situ? Kamu tidur di sofa, kalau kurang luas bisa tidur di karpet," ucap Zaki lagi lalu merebahkan dirinya di ranjang besar miliknya. 

"Mas, kita ini suami istri. Kenapa tidur terpisah?"

"Suami istri hanya status, aku tidak sudi bergaul dengan wanita kotor sepertimu. Tidur dan jangan tanya apapun lagi!"

Bagai belati yang menancap pas di hatinya, sungguh sakit hati Flara mendengar ucapan Zaki. Bagaimana ia bersikap seperti ini sementara ia sama sekali tak mendengar penjelasan darinya. Jangankan mendengar, diberi waktu untuk bicarapun tidak. 

Dengan langkah gontai, Flara berjalan menuju sofa dan berbaring di sana. Ia menyelimuti tubuhnya hingga leher. Menyisakan wajah yang sudah basah oleh air mata. 

Zaki pun sama, ia juga menangis dalam diam. Hanya itu yang bisa di lakukan Zaki setelah melihat calon istrinya berada di kamar dengan teman sekaligus mantan kekasihnya. 

Zaki masih memiliki rasa cinta terhadap istrinya, namun keegoisan dan bisikan setan mampu mengalihkan cinta Zaki menjadi kebencian dan penuh dendam. 

"Zaki, sudahlah jangan tangisi wanita yang sudah benar-benar jahat padamu. Dia jahat dan sudah menyakitimu."

"Zaki, setidaknya dengarkan dulu penjelasan darinya. Apa yang kamu lihat belum tentu itu kebenarannya."

"Zaki, memangnya apa yang akan di lakukan oleh dua manusia berbeda jenis kelamin di sebuah kamar? Rapat?"

Hati dan pikiran Zaki sering kali bertengkar sejak kemarin. Namun, lagi-lagi logikanya mengambil alih semuanya hingga ia terselimuti emosi dan berujung pada ia yang sakit hati dan berniat balas dendam dengan menyiksa hidup Flara di bawah kungkungannya. 

*

"Mas, udah pagi. Bangun, yuk! Sarapan sudah siap. Ditunggu sama mama papa, katanya mau pindah rumah." Flara menggoyang-goyangkan tubuh Zaki pelan. 

Didetik berikutnya, nampak Zaki yang sedang membuka mata secara perlahan. Ia melihat Flara yang sudah cantik seperti biasanya. Wanita itu memang selalu cantik meski tanpa make up, setidaknya itulah yang pernah dikatakan oleh Zaki. 

Tanpa bicara sepatah katapun, Zaki bangkit dari berbaring dan menuju kamar mandi. Sementara Flara menyiapkan baju ganti untuk suaminya. Ia letakkan sebuah kaos oblong putih dan hem coklat lengan panjang. Tak lupa celana berwarna hitam beserta sepatu yang berwarna senada dengan kaosnya. 

"Mas, itu udah aku siapin bajunya, aku taruh di ranjang," kata Flara yang duduk merias diri di meja rias. Ia menghentikan aktivitasnya sebentar saat melihat suaminya keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju lemari. 

Zaki menoleh ke arah ranjang, melirik Flara sebentar lalu kembali fokus pada lemari yang baru saja ia buka. 

"Kamu nggak perlu repot-repot untuk menyiapkan apapun keperluanku. Aku bisa melakukannya sendiri."

"Aku hanya ingin menjalankan tugasku sebagai istri. Kamu boleh benci aku, tapi jangan halangi aku untuk menjalankan kewajibanku dan kamu sebagai suami, harus menerima hakmu dan ini salah satu contohnya. Kamu berhak mendapat pelayanan dariku."

"Kamu saja sudah menghilangkan hakku atas dirimu. Jangan ajari aku mana hak dan kewajiban. Sudah tidak ada itu di antara kita. Kita memang suami istri, kita tinggal satu atap, bahkan kita sangat dekat. Tapi kamu hanyalah orang asing bagiku."

Zaki membanting pintu lemari lalu kembali ke kamar mandi untuk berpakaian. Sementara Flara masih terpaku di tempat dengan mata yang sudah memanas. Tak ia sangka akan seperti ini ujungnya. 

Baru satu hari, ya baru kemarin mereka melangsungkan pernikahan tapi rasanya sudah sesakit ini. Flara bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah perlakuan ini akan ia terima sepanjang hidupnya? 

"Ngapain masih di sini? Ayo turun! Jangan perlihatkan apa yang terjadi pada semua orang. Kita harus bersikap seperti suami istri saat di depan orang tua." Zaki mengarahkan tangan Flara untuk melingkar di lengannya. Lalu berjalan menuju lantai bawah untuk sarapan. 

Ternyata semua orang sudah berada di meja makan. Mereka sedang ngobrol ringan sembari menunggu pengantin baru untuk bergabung di meja makan. 

"Selamat pagi, pengantin baru. Aduh duh, wanginya," goda kakak ipar Zaki. 

Mereka hanya tersipu malu sama seperti pengantin baru pada umumnya jika digoda orang lain. Zaki memang pandai jika bersandiwara di depan orang. Ia benar-benar bersikap mesra pada istrinya seakan tak terjadi apa-apa. 

Selesai sarapan mereka langsung pindah ke rumah yang sudah dihadiahkan oleh orang tua Zaki. Tak ada obrolan di antara mereka selama dalam perjalanan yang di tempuh selama setengah jam. 

Baik Flara maupun Zaki sama-sama tak ingin memulai percakapan. 

*

"Kamu tidur di kamar bawah, buruan ambil baju kamu. Baju aku taruh di kamar atas, tata yang rapi sekalian. Aku mau keluar." Tanpa mendengar apapun lagi, Zaki berjalan keluar rumah. 

Sementara Flara hanya terdiam dengan mata yang sudah berembun. Cairan bening yang akhir-akhir ini sering tumpah begitu saja, seakan sudah menjadi teman dan akan selalu menemaninya diwaktu yang akan datang. 

"Aku harus kuat, akan aku buat Zaki kembali mencintaiku. Bagaimanapun caranya," tekad Flara bulat seraya menghapus air matanya.

Baru saja hendak beranjak dari tempatnya berdiri, ponsel Flara berdering mengagetkannya. 

Tertera nama 'Denan' di sana. 

"Kenapa?" tanya Flara ketus. 

"Jangan begitulah, Fla. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa kita punya kesepakatan yang tertulis. Jangan mencoba untuk melupakannya."

"Apa maumu?"

"Temani aku nanti malam, di club jalan senturi. Aku tunggu jam sepuluh malam. Kalau kamu tidak datang, aku yang akan datang bersama dengan media lengkap berserta wartawan."

"Denan, kamu sadar nggak, sih. Papa mertuaku juga orang...."

Tuuut tuuutttuuutt

Sambungan terputus begitu saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status