"Kamu tidur di sofa!" ujar Zaki begitu Flara keluar dari kamar mandi.
Flara masih terdiam memperhatikan Zaki yang menata bantal dan selimut di sofa. Lagi-lagi ia berharap bahwa apa yang dikatakan Zaki hanyalah halusinasinya atau ia salah dengar.
"Kenapa masih diam berdiri di situ? Kamu tidur di sofa, kalau kurang luas bisa tidur di karpet," ucap Zaki lagi lalu merebahkan dirinya di ranjang besar miliknya.
"Mas, kita ini suami istri. Kenapa tidur terpisah?"
"Suami istri hanya status, aku tidak sudi bergaul dengan wanita kotor sepertimu. Tidur dan jangan tanya apapun lagi!"
Bagai belati yang menancap pas di hatinya, sungguh sakit hati Flara mendengar ucapan Zaki. Bagaimana ia bersikap seperti ini sementara ia sama sekali tak mendengar penjelasan darinya. Jangankan mendengar, diberi waktu untuk bicarapun tidak.
Dengan langkah gontai, Flara berjalan menuju sofa dan berbaring di sana. Ia menyelimuti tubuhnya hingga leher. Menyisakan wajah yang sudah basah oleh air mata.
Zaki pun sama, ia juga menangis dalam diam. Hanya itu yang bisa di lakukan Zaki setelah melihat calon istrinya berada di kamar dengan teman sekaligus mantan kekasihnya.
Zaki masih memiliki rasa cinta terhadap istrinya, namun keegoisan dan bisikan setan mampu mengalihkan cinta Zaki menjadi kebencian dan penuh dendam.
"Zaki, sudahlah jangan tangisi wanita yang sudah benar-benar jahat padamu. Dia jahat dan sudah menyakitimu."
"Zaki, setidaknya dengarkan dulu penjelasan darinya. Apa yang kamu lihat belum tentu itu kebenarannya."
"Zaki, memangnya apa yang akan di lakukan oleh dua manusia berbeda jenis kelamin di sebuah kamar? Rapat?"
Hati dan pikiran Zaki sering kali bertengkar sejak kemarin. Namun, lagi-lagi logikanya mengambil alih semuanya hingga ia terselimuti emosi dan berujung pada ia yang sakit hati dan berniat balas dendam dengan menyiksa hidup Flara di bawah kungkungannya.
*
"Mas, udah pagi. Bangun, yuk! Sarapan sudah siap. Ditunggu sama mama papa, katanya mau pindah rumah." Flara menggoyang-goyangkan tubuh Zaki pelan.Didetik berikutnya, nampak Zaki yang sedang membuka mata secara perlahan. Ia melihat Flara yang sudah cantik seperti biasanya. Wanita itu memang selalu cantik meski tanpa make up, setidaknya itulah yang pernah dikatakan oleh Zaki.
Tanpa bicara sepatah katapun, Zaki bangkit dari berbaring dan menuju kamar mandi. Sementara Flara menyiapkan baju ganti untuk suaminya. Ia letakkan sebuah kaos oblong putih dan hem coklat lengan panjang. Tak lupa celana berwarna hitam beserta sepatu yang berwarna senada dengan kaosnya.
"Mas, itu udah aku siapin bajunya, aku taruh di ranjang," kata Flara yang duduk merias diri di meja rias. Ia menghentikan aktivitasnya sebentar saat melihat suaminya keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju lemari.
Zaki menoleh ke arah ranjang, melirik Flara sebentar lalu kembali fokus pada lemari yang baru saja ia buka.
"Kamu nggak perlu repot-repot untuk menyiapkan apapun keperluanku. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Aku hanya ingin menjalankan tugasku sebagai istri. Kamu boleh benci aku, tapi jangan halangi aku untuk menjalankan kewajibanku dan kamu sebagai suami, harus menerima hakmu dan ini salah satu contohnya. Kamu berhak mendapat pelayanan dariku."
"Kamu saja sudah menghilangkan hakku atas dirimu. Jangan ajari aku mana hak dan kewajiban. Sudah tidak ada itu di antara kita. Kita memang suami istri, kita tinggal satu atap, bahkan kita sangat dekat. Tapi kamu hanyalah orang asing bagiku."
Zaki membanting pintu lemari lalu kembali ke kamar mandi untuk berpakaian. Sementara Flara masih terpaku di tempat dengan mata yang sudah memanas. Tak ia sangka akan seperti ini ujungnya.
Baru satu hari, ya baru kemarin mereka melangsungkan pernikahan tapi rasanya sudah sesakit ini. Flara bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah perlakuan ini akan ia terima sepanjang hidupnya?
"Ngapain masih di sini? Ayo turun! Jangan perlihatkan apa yang terjadi pada semua orang. Kita harus bersikap seperti suami istri saat di depan orang tua." Zaki mengarahkan tangan Flara untuk melingkar di lengannya. Lalu berjalan menuju lantai bawah untuk sarapan.
Ternyata semua orang sudah berada di meja makan. Mereka sedang ngobrol ringan sembari menunggu pengantin baru untuk bergabung di meja makan.
"Selamat pagi, pengantin baru. Aduh duh, wanginya," goda kakak ipar Zaki.
Mereka hanya tersipu malu sama seperti pengantin baru pada umumnya jika digoda orang lain. Zaki memang pandai jika bersandiwara di depan orang. Ia benar-benar bersikap mesra pada istrinya seakan tak terjadi apa-apa.
Selesai sarapan mereka langsung pindah ke rumah yang sudah dihadiahkan oleh orang tua Zaki. Tak ada obrolan di antara mereka selama dalam perjalanan yang di tempuh selama setengah jam.
Baik Flara maupun Zaki sama-sama tak ingin memulai percakapan.
*
"Kamu tidur di kamar bawah, buruan ambil baju kamu. Baju aku taruh di kamar atas, tata yang rapi sekalian. Aku mau keluar." Tanpa mendengar apapun lagi, Zaki berjalan keluar rumah.Sementara Flara hanya terdiam dengan mata yang sudah berembun. Cairan bening yang akhir-akhir ini sering tumpah begitu saja, seakan sudah menjadi teman dan akan selalu menemaninya diwaktu yang akan datang.
"Aku harus kuat, akan aku buat Zaki kembali mencintaiku. Bagaimanapun caranya," tekad Flara bulat seraya menghapus air matanya.
Baru saja hendak beranjak dari tempatnya berdiri, ponsel Flara berdering mengagetkannya.
Tertera nama 'Denan' di sana.
"Kenapa?" tanya Flara ketus.
"Jangan begitulah, Fla. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa kita punya kesepakatan yang tertulis. Jangan mencoba untuk melupakannya."
"Apa maumu?"
"Temani aku nanti malam, di club jalan senturi. Aku tunggu jam sepuluh malam. Kalau kamu tidak datang, aku yang akan datang bersama dengan media lengkap berserta wartawan."
"Denan, kamu sadar nggak, sih. Papa mertuaku juga orang...."
Tuuut tuuutttuuutt
Sambungan terputus begitu saja.
Mendengar teriakan Zaki refleks Denan berlari ke arah kamar mandi, ia meninggalkan ibunya yang juga sama terkejutnya. Namun beliau tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu kedua anaknya, karena jangankan ikut mereka melihat apa yang terjadi, membawa kursi rodanya untuk maju saja beliau tak bisa melakukannya."Ada apa, Ki?" Mata Denan teralihkan pada sang Ayah yang sudah tergelak di lantai. "Kenapa diam saja? Siapkan mobil kita bawa ke rumah sakit biar aku yang bawa." Denan masuk ke kamar mandi dan mengangkat tubuh kurus Pak Burhan.Tak pernah ia sangka atau bahkan terbesit di kepalanya jika ia akan menggotong tubuh Pak Burhan dengan rasa khawatir yang seperti sekarang ini."Astaga, apa yang terjadi dengan ayahmu?"Denan tak sempat menjawab, ia harus cepat membawa ayahnya ke mobil untuk ia bawa ke rumah sakit."Aku bawa Ibu bentar." Denan kembali berlari ke dalam rumah setelah meletakkan ayahnya ke kursi penumpang bagian depan.Zaki memberanikan diri untuk mengecek nadi ayahnya. Sung
"Haruskah aku berdamai denganmu? Aku merasa ibuku bahagia saat mengajakku ke sini. Senyum yang puluhan tahun hilang akhirnya sering aku lihat belakangan ini. Ibu juga nggak pernah marah-marah ke aku hanya karena aku memaksakan diri untuk berbuat baik ke kalian. Mungkin saatnya aku membuka lembaran baru.""Dengan cara?""Mengubah Denan yang dulu. Yah, meskipun jujur saja aku berat melakukannya, aku akan lakukan demi Ibu. Hanya itu yang dia minta ke aku.""Kau masih berat memberi maaf pada Ayah?"Denan mengangguk. "Banyak hal menyakitkan yang aku lalui, aku berjuang sendirian untuk buat aku sembuh, aku punya orang tua lengkap, tapi rasanya tidak punya orang tua. Apa yang dilakukan Pak Burhan seakan membuat lukaku abadi. Tapi mau bagaimana lagi? Ibuku menuntutku untuk berlapang dada memberikan maaf, jadi meskipun lukaku akan menganga selamanya aku akan berusaha untuk lupa.""Lalu bagaimana denganku?""Sebenarnya aku masih sakit karena kau menikahi Flara, tapi, ya sudahlah lupakan saja. K
"Iya, aku ini memang mengharapkan maaf Denan, tapi jika memang kesalahan dan dosa aku terlalu besar baginya. Aku tidak akan mengharapkan itu lagi, yang penting Denan mau ketemu aku, itu sudah cukup." Pak Burhan menatap dalam anak keduanya itu. "Denan, tidak apa-apa kamu tidak menganggap Ayah adalah ayahmu, tapi setidaknya biarkan Ayah menjadi teman. Atau perlakukan Ayah seperti orang asing. Setidaknya, kamu pasti memanusiakan orang asing."Saking putus asanya Pak Burhan, beliau sampai rela dianggap orang asing agar Denan bisa bicara dengan ramah padanya. "Anak didikan Ibu pasti baik dan tidak akan membiarkan orang tuanya memohon secara terus menerus." Bu Salma mengatakan itu dengan penuh penekan sama tatapan yang menusuk. Denan sampai sedikit gugup melihat tatapan ibunya yang lain dari biasanya. Sepertinya Bu Salma benar-benar sudah tidak bisa memberikan toleransi pada sang anak. Akhirnya Denan memaksakan diri untuk berperilaku dan bersikap baik pada ayahnya. Dan keterpaksaan itu
"Kalau kamu nggak dianggap anak, kamu nggak akan bisa ketemu sama Ayah sekarang, kamu sudah di buang dan nggak akan tahu, kenal, apalagi ketemu sama Ayah. Nyatanya sekarang kamu masih bisa hidup sehat dan bebas ketemu sama ayah. Diakui, dianggap itu bukan hanya perkara kamu diperkenalkan sama publik atas semua orang, Den. Dengan membetikan kehidupan yang layak juga termasuk diakui." Zaki nampak lebih dewasa setelah setelah Roda Kehidupan membuatnya jungkir balik. "Nggk usah banyak komentar, nggak usah ngajarin aku kalau kau tidak pernah jadi aku.""Aku memang tidak pernah menjadi kamu. Tapi aku sekarang merasakan hal yang sama sakitnya seperti kamu meskipun dalam versi yang berbeda. Ayolah Denan, kita ini sama-sama saling tersakiti karena seseorang. Tapi tidak perlu kita bawa rasa sakit itu sampai ke masa depan, karena itu akan menggerogoti kebaikan dan hati kita sendiri.""Ibu bangga sama kamu, Zaki. kamu bisa berpikiran sepositif itu dengan kondisi kamu yang sekarang. Ibu bangga sa
"Kamu berskiap begini bisa membuat Ibu sehat memang?""Ya nggak juga, orang kayak gitu nggak pantas dimaafkan, Ibu. Kesalahannya udah berkerak.""Denan, Ibu kasih tahu, ya. Kamu udah terlalu lama tenggelam, Nak. Ayo kita buka lembaran baru sama Ibu. Kita damai dengan masa lalu. Ibu benar-benar akan merasa tenag dan damai kalau kamu mau dengerin kata Ibu. Pelan-pelan, Nak. Yang jadi korban nggak hanya kamu, Zaki juga. Setidaknya kamu damai sama adik kamu, Nak. Kalian saudara, kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada, kalian harusnya saling jaga. Tidak bermusuhan seperti ini. Kamu hanya punya Zaki, begitu pula sebaliknya. Zaki malah hancur karirnya, kamu pun tahu. Sekarang dia jadi kerja apa adanya, kan? Dia jadi t8oang punggung untuk ayahnya yang sering sakit. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bekerja dengan baik, tenang, kamu nggak perlu besok mikir mau makan apa, tidur nyenyak atau tidak, nggak pernah kesusahan. Kesusahan kita sudah berakhir di masa lalu. Sekarang mereka menerima karma dari
"Salma, kamu datang?" tanya Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Zaki mendorong kursi roda Bu Salma agar lebih dekat dengan ayahnya. "Aku tinggal dulu, ya. Ada urusan sebentar." Zaki sengaja memberikan waktu pada mereka untuk bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun status mereka masih suami istri meski tidak diakui negara."Bagaimana kabarmu?" Pak Burhan yang bertanya. "Alhamdulillah, baik. Aku dengar kamu sering sakit. Apa ada yang kamu pikirkan?""Tentu saja ada, banyak malah. Sejak kehidupan aku berantakan aku terpikir bahwa ini adalah hasil dari apa yang aku perbuat selama ini. Mumpung diberi kesempatan, aku ingin meminta maaf padamu dan Denan. Ngomong-ngomong ke mana dia? Tidak ikut denganmu? Dia belum mau menemui aku?""Kamu tahu sendir, kan Denan seperti apa anaknya? Dia yang keras kepala. Mana mungkin bisa memaafkan seseorang dengan begitu mudahnya. Kalau dia bisa memaafkan orang dengan mudah, hal yang terjadi akhir-akhir ini tidak akan pernah te