Denan berjalan ke arah Flara yang sedang bersiap akan makan. Dengan santainya ia duduk dan mengambil piring yang tersedia di sana.
"Jangan lancang! Aku nggak nyuruh kamu makan, dan aku tidak sudi kamu makan di sini!" ucap Flara dengan tegas.
"Ayolah, Fla. Jangan buat aku setiap waktu mengingatkan kamu dengan perjanjian kita. Turuti aku dan jangan pernah menolak apa yang aku mau. Eh, nggak apa-apa, sih kalau kamu nolak. Aku buat kekacauan saja sekarang," kata Denan merogoh ponselnya yang berada di saku celana.
Dengan cepat Flara mencegah Denan melakukan niatnya, ia tak mau melihat keluarga suaminya berantakan.
"Makan!" titah Flara kemudian.
"Nah gitu dong, ngomong-ngomong kamu kenapa mau berkorban sebegitu jauhnya buat Zaki? Padahal kamu menjatuhkan harga dirimu untuk pria yang tidak tahu terima kasih itu." Denan dengan semangat empat lima mengambil nasi dan lauk pauk yang berjejer rapi di meja makan.
"Dia sayang padaku dengan tulus, dia menerima aku apa adanya, nggak pernah sakiti aku. Dia yang selalu ada buat aku disaat aku di titik terendah sekalipun."
Denan hanya manggut-manggut seraya mengunyah sarapannya. Jujur saja masakan Flara membuatnya teringat pada masakan ibunya yang sudah lama hanya berbaring di ranjang.
Sudah belasan tahun Bu Salma, orang tua satu-satunya yang menerima kehadirannya terbaring lemah dan tak berdaya di atas ranjang.
"Udah selesai, kan makannya. Lebih baik kamu pulang, nggak enak di lihat tetangga."
"Kamu berani usir aku?" tanya Denan dengan tatapan tajam.
"Ya terus kamu mau ngapain di sini?" tanya Flara memberanikan diri.
Denan berdiri dari duduknya dan memutari kursi tempat duduk Flara. Membungkukkan sedikit badannya dan mendekatkan kepalanya di kepala Flara. Wanita itu hanya menelan ludahnya kasar, sungguh ia takut dengan setiap pergerakan yang diciptakan Denan.
"Kita lanjutkan yang semalam," bisik Denan di telinga Flara.
Tangan Denan mulai aktif menjelajah ke area leher depan dan bermain-main sejenak di sana. Memberikan sentuhan-sentuhan kecil di area belakang lehernya dengan mulut mungilnya.
Pergerakan Denan semakin meliar saat merasakan nafas Flara yang sudah naik turun dengan cepat. Ia tahu betul di mana letak kelemahan Flara, jangan lupa bahwa mereka adalah sepasang kekasih beberapa tahun yang lalu.
Denan lalu memberikan kecupan-kecupan singkat di setiap inci leher Flara. Wanita itu hanya memejamkan mata tak mampu menolak hasrat yang tiba-tiba muncul dengan sendirinya.
Bibir Denan beralih ke atas dan sedikit menggerakkan kepala Flara agar menghadap padanya. Saat bibir mereka hampir saja bersentuhan tiba-tiba Zaki datang dan berteriak dengan lantang.
"Biadab kalian!" teriaknya sembari berjalan ke arah keduanya.
Tanpa pikir panjang Zaki memberikan satu bogeman di rahang Denan. Pria itu seketika terjengkang ke belakang, tak mau membuang kesempatan berharga, Zaki memberikan pukulan yang bertubi-tubi di seluruh bagian wajahnya. Zaki kembali kesetanan saat melihat istrinya yang hampir saja bercumbu dengan temannya sendiri.
Sementara Flara hanya diam dengan ketakutan yang memuncak hingga ubun-ubun. Ia tak ada nyali untuk memisahkan keduanya. Ia takut jika ia membuka suara maka suaminya akan semakin murka.
Beberapa kali menerima pukulan tak membuat Denan menyerah, dengan keadaan wajah yang sudah penuh dengan lebam ia bangkit dan kini posisi mereka berbanding terbalik.
Denan pun tak mau kalah, ia juga memberikan beberapa pukulan dia wajah tampan Zaki.
"Cukup, Denan! Jangan pukul suamiku lagi atau kamu akan ku bunuh!" ancam Flara menodongkan sebuah pisau di leher Denan.
Dengan senyum dan tatapan menyeringai ia menatap Flara.
"Lakukan kalau kamu berani, ayo!" tantang Denan.
Tak mau membuang waktu, Zaki bergerak cepat dengan menyeret Denan keluar rumah.
"Dasar manusia tidak punya harga diri! Pergi lu, rawat saja nyokap lu yang nggak bisa apa-apa itu. Nggak usah buat masalah baru!" Emosi yang memuncak membuat Zaki hilang kendali.
Tatapan jalang Denan semakin mematikan saat mendengar kata-kata Zaki.
"Nyokap gue memang nggak bisa apa-apa. Tapi jauh lebih baik nyokap gue dari pada nyokap lu. Gue bersumpah gue akan buat lu sujud di kaki gue karena ucapan lu itu. Lu itu cuman mainan, kalau lu tahu. Lu itu bodoh, terlalu mudah di tipu karena cover seseorang." Denan melenggang pergi setelah mengatakan itu.
Zaki tak peduli dengan sumpah serapah Denan. Ia kembali ke dalam rumah lalu menyeret Flara ke dalam kamar. Wanita itu hanya pasrah saat suaminya menyeretnya dengan kasar. Ia sadar ia salah, meskipun ia melakukan ini bukan karena keinginan dan kehendaknya, ia tetaplah salah di mata suaminya.
Begitu sampai kamar, Zaki melempar istrinya ke ranjang. Menatap dengan tatapan jalang dan penuh amarah. Tiba-tiba tangannya tergerak untuk melepaskan gesper yang mengelilingi pinggangnya.
"Kamu mau apa, Mas?" tanya Flara dengan suara bergetar menahan takut.
Zaki tak menjawab, namun ia memajukan langkahnya agar lebih dekat dengan ranjang Flara. Sementara wanita itu semakin ketakutan dan terus memundurkan tubuhnya.
Ctas!
Entah setan apa yang merasuki tubuh Zaki, pria itu berkali-kali mencambuk tubuh Flara dengan gesper miliknya. Sementara wanita itu hanya mampu menangis dan memohon pada suaminya untuk berhenti memperlakukannya dengan kasar.
Melihat tubuh Flara yang sudah penuh dengan bekas cambukan, akhirnya pria itu berhenti melakukan aktivitasnya.
"Kamu tahu? Aku bersedia menikahimu bukan berarti aku mau kamu perlakukan seperti ini, Fla. Jangan buat aku semakin benci dan muak dengan semua ini. Kamu masih cinta sama Denan? Mau balik lagi kamu sama dia?" Zaki bertanya dengan suara pelan namun penuh penekan.
"Nggak! Aku sama sekali nggak ada perasaan lagi sama dia, Mas," jawab Flara dengan sesenggukan.
"LALU KENAPA KAMU MAU DIPERLAKUKAN SEPERTI ITU? Atau kamu yang memang murahan? Kalau kamu bahagia dengan apa yang dia lakukan Denan terhadapmu, tinggalkan rumah ini dan kembalilah padanya. Aku tak sudi melihat wanita menjijikkan seperti kamu ada di rumah ini."
Belum sempat Flara mengucapkan sesuatu, Zaki keluar kamar dan berjalan keluar rumah lagi. Flara membiarkan suaminya itu pergi entah kemana. Lagi-lagi ia hanya menangisi nasibnya yang buruk.
*
Denan yang sakit hati dengan ucapan dari Zaki melampiaskan amarahnya di rumah. Sudah menjadi kebiasaannya jika ia sedang marah akan menyendiri di kamar dan melukai dirinya sendiri. Lalu darahnya akan ia keringkan di foto orang-orang yang akan menjadi targetnya.Dari dulu hingga sekarang, foto dua orang yang sudah merusak hidupnya dan ibunya tetap terpajang rapi di kamarnya. Sudah menjadi sumpahnya untuk menghancurkan kedua orang tua yang kini masih menikmati keindahan dunia fana ini.
"Dengaan cara apapun dan bagaimanapun kondisinya, aku bersumpah, aku sendirilah yang akan membunuh kalian."
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Flara masih mondar-mandir di teras menunggu kepulangan suaminya. Ia rela menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya serta menahan dinginnya malam yang menusuk hingga tulang demi menunggu dan memastikan bahwa Zaki pulang dengan baik-baik saja. Sementara yang ditunggu malah sedang asyik bersama dua wanita yang menemaninya hingga mabuk. Zaki tak kalah frustasi dengan Flara. Ia muak dengan pernikahan yang ia jalani. Ia ingin meninggalkan Flara namun, entah mengapa ia tak bisa melakukan itu. Ia merasa masih ada alasan untuk bertahan. Jangan tanya apa alasannya, karena Zaki sendiri tak tahu, ia bingung dengan kemauannya sendiri. Lagi pula jika ia memilih berpisah dari Flara, pasti nama baik kedua orang tua yang selama ini dijaga dan dijunjung tinggi akan hangus karena perkara anaknya yang hanya menjalin hubungan rumah tangga seumur jagung. "Mau tidur dengan kami, boy?" Salah satu wanita yang berpakaian nyaris telanjang menawarkan diri untuk berc
Tidak ada hari yang istimewa bagi Denan, semua hari terasa suram sejak ia berusia sepuluh tahun. Kecelakaan yang merenggut kesehatan sang ibu membuat dunianya terasa runtuh dan tak utuh, semua terasa memiliki warna yang sama. Sama-sama gelap dalam cahaya yang terang, seterang bulan yang kini menyaksikan Denan mengenang masa lalunya. Bukit mungil, satu-satunya tempat yang Denan temukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah ibunya, Denan hanya punya tempat ini untuk meletakkan kepalanya dari hiruk pikuk dunia yang kejam dan terasa menyiksa. Hanya seorang diri, hanya dirinya sendiri yang di temani ribuan bintang yang bercahaya, namun tak ada satupun bintang yang bisa menerangi kelamnya kehidupan sang Arjuna yang di siram oleh kegelapan. Denan sedang memikirkan alasan, kenapa ia memilih lahir di dunia ini. Denan pernah dengar dari salah satu manusia yang menempati dunia terkutuk ini. "Kita sebelum lahir itu di tanya sama Allah sebanyak tujuh puluh tujuh kali. Mau lahir ke dunia a
Sudah sebulan pernikahan Zaki dan Flara, namun hubungan mereka tetap saja tak ada perubahan. Meskipun begitu, Flara masih sangat berusaha untuk mengembalikan lagi hati dan cinta Zaki. Ia masih meyakini bahwa cinta masih bisa untuk ia dapatkan kembali. Walapun beberapa minggu terakhir Flara selalu mencium bau perempuan dan beberapa kali kemeja suaminya meninggalkan bekas lipstik, entah mengapa Flara merasa Zaki tak benar-benar mengkhianati dirinya. Flara kenal betul suaminya itu, ia tak semudah itu untuk berpaling dari cintanya. Flara juga merasa bahwa yang dilakukan Zaki hanyalah sebagai bentuk pelampiasan atas kesalahannya. Di suatu malam, Flara mengendap-endap mengikuti ke mana Zaki pergi. Entah ingin ke mana pria itu di hari yang sudah sedikit malam. Penasaran dengan apa yang di lakukan suaminya di luar sana, Flara mengikuti ke mana perginya pria itu. Dengan hati dan debaran halus di dadanya ia masih berada di dalam taksi dengan terus menatap mobil yang berada di depannya. Flara
Flara membuka mata dengan pelan. Memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rasa sakit yang mendera. Ia duduk diam seraya mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mengingatnya, Flara sudah tak menemukan Zaki di sampingnya. Flara tak terkejut, ia sudah menduga hal seperti ini. Ia merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh suaminya sendiri. Ia bagaikan wanita yang tak ada harga diri. "Mudah-mudahan dia sadar dengan apa yang terjadi semalam. Aku nggak mau jadi bahan amukan dia." Flara menggerutu seraya bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. *"Pemisi, Pak. Asisten yang Bapak minta sudah bisa hadir hari ini, saya langsung suruh masuk saja, Pak?" tanya sang sekretaris. "Hm." Hanya itu yang menjadi jawaban atas pertanyaan sekretarisnya. Zaki memang terkenal dingin, cuek dan bermulut pedas saat di kantor. Tak ada yang boleh menggangunya ketika ia tenggelam dalam tumpukan berkas yang menjulang tinggi di depan mejanya. "Masuk!" teriaknya saat terdengar pintu di ketuk. "Selamat
Rania masih berusaha untuk melepaskan rambutnya, Namun entah apa yang membuatnya sangat susah. Terdengar suara kaki yang melangkah masuk ke ruangan. Rania mengintip dari kolong meja siapakah gerangan pemilik kaki tersebut. Bagaimana bisa lancang tak mengetuk pintu terlebih dahulu sedangkan sekretarisnya saja tadi mengetuk pintu sebelum masuk. Bahkan tak berani masuk ketika belum terdengar teriakan dari Zaki. 'Perempuan? Dari kakinya itu perempuan, apa itu istrinya Zaki? Aku rasa, iya. Tidak mungkin orang lain jika dia saja masuk tanpa mengetuk pintu.' Rania membatin seraya tersenyum licik. Ia merasa inilah momen yang tepat untuk menciptakan kesalahpahaman di antara mereka. "Ah, Pak ini sangat susah. Aku kesulitan melepaskannya." Zaki mendelik seketika ke arah Rania. Bagaimana ia bicara dengan nada seperti itu? Ia sangat khawatir jika yang masuk ruangannya itu adalah sang Ayah. Ia takut jika ayahnya murka mendapati ia dengan posisi seperti ini. "Kenapa nada bicaramu seperti itu? Bi
Rania melempar tatapan piciknya ke arah Zaki yang tengah fokus pada tumpukan berkas di hadapannya itu, di tangan Rania sudah ada secangkir kopi yang dirinya buat beberapa saat lalu, sengaja ia datang pagi-pagi buta seperti ini hanya untuk membuat Zaki luluh padanya.Langkah anggunnya tampak membawa Rania memasuki ruangan Zaki, senyum menggoda yang tersemat di wajah cantiknya enggan hanya sekedar ia lunturkan. "Pak," sapa Rania semakin melangkah mendekat, "Saya membuatkan kopi untuk bapak," sambungnya meletakan cangkir kopi itu di samping tumpukan berkas. Menyadari itu, Zaki mengernyitkan dahinya bingung, menatap penuh tanya ke arah cangkir kopi yang baru saja Rania letakkan, "Bukankah saya tak meminta dibuatkan kopi?" tanyanya kemudian mengangkat dagunya hingga pandangannya terpaku pada Rania. Rania tersipu malu, senyumnya dibuat sebaik mungkin, "Saya cuman ingin bapak sedikit lebih santai saja, lagipula saya lihat sedari awal saya bertemu bapak, sepertinya bapak terlalu memikirkan
Rania keluar dari dalam taksi, dirinya menatap sebuah restoran yang ada di hadapannya itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Denan tiba-tiba menghubunginya, mengatur pertemuan mereka di restoran ini. Terlepas dari apapun yang akan mereka bicarakan, yang terpenting Rania datang, karena hanya hal itulah yang Rania pikirkan. Semua hal yang akan Denan sampaikan, jelas bisa Rania dengar saat setelah mereka bertemu."Selamat datang di restoran..""Apa kau bisa menunjukan meja atas nama Denan?" tukas Rania cepat. Sembari menyusuri setiap sudut ruangan dengan sorot matanya, dirasa tidak ada Denan diantara mereka yang duduk di ruangan ini. "Baik, ikuti saya!" ujar pelayan itu berjalan mendahului Rania, membuat Rania pun ikut melangkahkan kakinya.Rania rasa, Denan masih belum datang, namun ternyata dugaannya salah. Denan pasti sudah memesan meja khusus untuk pertemuan mereka, mengingat perbincangan mereka akan sangat rahasia. "Apa kau tak salah?" tanya Rania saat pelayan itu menunt
"Pak, hari ini saya ingin makan siang di luar," kata Rania setelah mendapatkan tanda tangan Zaki. Pria itu pun mengernyitkan dahinya bingung, "Bukannya kamu makan siang dengan saya?" Zaki balik bertanya membuat Rania bersorak dalam hati, dirinya tahu jika Zaki mulai luluh padanya. "Kenapa, Pak? Apa bapak tak bisa makan tanpa saya?" tanyanya semakin berjalan mendekat, menatap Zaki dengan tatapan penuh minat. Zaki menyunggingkan senyumannya, "Apa kau sangat membutuhkan jawaban da...""Sudahlah, Pak. Istri Bapak pasti akan marah jika Bapak terus menerus makan siang dengan saya," tukas Rania menegakan tubuhnya, mengambil langkah mundur. Seolah tak terima dengan apa yang Rania katakan, Zaki bangkit dari duduknya, berjalan mendekat mengitari meja, mengikis jarak di antara dirinya dan Rania, "Apa kamu berniat mempermainkan saya?" tanya Zaki dengan suara rendah namun tersirat ancaman didalamnya.Tangan Rania bergerak, meletakkan sebelah tangannya di dada bidang Zaki, meremas kemeja pria