Share

Part 3

Untungnya, ada orang lain yang memanggilnya.

Kini aku sedang di toilet untuk buang air kecil dan sedikit memperbaiki make up. 

Setelahnya, aku pun keluar. Namun,  tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Jendra yang juga baru keluar toilet laki-laki!

"Sial banget sih, kenapa harus ketemu lagi?" gerutuku pelan.

Tanpa bisa menghindar, aku berjalan santai kembali menuju ballroom dan saat melewati Jendra, aku hanya melempar senyum untuk menyapanya karena aku tidak ingin dianggap sok kenal dengan berbasa-basi dengannya.

"Habis dari toilet Del?" sapanya.

Menghembuskan nafas pelan, aku berbalik badan menghadap Jendra untuk menjawab basa basinya. "Iya Dra, lo,..aduh sorry maksudku kamu udah mau cabut sekarang?" tanyaku saat kulihat asisten dan beberapa pengawalnya terlihat bersiap meninggalkan ballroom hotel.

"Udah gue bilang, santai aja. Sesantainya lo aja, ga usah formal-formal sama gue, lo bukan bawahan gue.” Ucapnya dengan santai. “Iya, masih ada kerjaan yang harus gue urus. Gue pamit dulu ya, nice to meet you again, Dela."

"Ah iya, nice to meet you too," balasku pada Jendra.

Begitu Jendra berjalan keluar ballroom dan masuk ke dalam mobilnya yang sudah standby didepan, aku melanjutkan langkah kembali ke mejaku. Disana Tina sudah menungguku.

"Lama banget sih di toilet, lo boker ya?" Sembur Tina saat aku duduk kembali ke kursiku.

"Antri tadi toiletnya, makanya lama." Dustaku pada Tina.

"Masih lama acaranya?gue boring pengen cepet pulang deh."

"Bentar lagi selesai kayaknya, sabar bentar lah. Jarang-jarang kita kumpul kayak gini"

Dengan penuh kesabaran, aku menunggu acara selesai. Sejujurnya aku kurang nyaman berada disini, karena banyak yang aku tidak kenal, ya bisa di bilang aku lupa dengan beberapa teman-temanku. Dan aku sedikit tidak enak dengan mereka, saat mereka mengingatku, sedangkan aku lupa pada nama mereka. Aku memang mempunyai kekurangan dalam mengingat nama orang, terkadang aku mengingat wajahnya, tapi lupa dengan namanya.

***

Tepat pukul tujuh malam, reuni selesai juga. Aku dan Tina saat ini sedang dalam perjalanan pulang.

"Lo tahu gak, Del, waktu lo ke toilet, temen-temen pada penasaran soal lo yang disapa duluan sama Jendra."

"Terserah Jendra-lah mau nyapa siapa, itu hak dia. Mungkin karena gue baru kali ini ikut reuni lagi, makanya dia nyapa gue. Yang lainnya, kan, udah sering ikut reuni," sahutku malas-malasan dengan kepala yang kusandarkan pada sandaran kursi mobil.

"Hm ... bisa jadi, sih, 14 tahun setelah lulus baru kali ini lo mau ikutan reuni."

Tina masih melanjutkan obrolan, "Terus, ya, lagian lo juga dulu selalu sekelas sama dia selama tiga tahun. Pantes aja, sih, dia ngenalin lo banget."

Bener juga. Aku terdiam, tidak membantah Tina lagi meski merasa aku dan Jendra sebenarnya tidak sedekat itu. Hanya teman sekelas, tidak ada yang spesial dan tidak pernah berpacaran juga.

Sudahlah. Memang paling benar aku tidak membalas apa-apa lagi. Lihat, Tina diam sekarang. Selama sisa perjalanan, kami tidak membahas Jendra lagi.

"Besok jangan lupa car free day sama gue, Del."

"Iya, gue gak lupa, udah pasang alarm. Lo yang jangan ngaret, gue males kalau udah siang, pasti panas sama rame." Yah, karena terkadang Tina sendiri yang susah bangun pagi.

***

"Halo, Dela, gue udah di depan rumah lo. Buruan turun sebelum tambah panas."

"Iya, iya, ini lagi pake sepatu." Setelah menjawab telepon Tina, aku lanjut memakai sepatuku.

"Mau ke mana, Kak? Tumben liburan jam segini udah bangun," tanya Stevan yang heran melihatku pagi-pagi sudah rapi.

"Mau Car free day-an sama Tina. Dah, ya, gue berangkat dulu. Bye!" pamitku, yang dijawab lambaian tangan oleh Stevan.

Selama perjalanan, kami hanya mengobrol ringan. Kali ini untungnya Tina tidak membahas lagi acara reuni semalam.

Sesampainya di lokasi car free day, Tina memarkirkan mobilnya di pelataran parkir yang disediakan di sepanjang sisi jalan. Dari dalam mobil, memperhatikan sekitar yang tampak ramai hari ini.

"Eh, kok rame, ya, Na? Emang tiap minggu rame begini?"

"Ga tau, tumben banget rame. Biasanya ga seramai ini, sih. Mungkin ada komunitas yang lagi pentas, makanya rame."

"Ya udah, yuk turun, Na. Keburu siang, takut tambah panas."

Kami pun akhirnya turun dari mobil dan mulai berjalan ke area stand makanan-makanan. Tujuan kami CFD-an memang untuk kulineran. Tidak seperti yang lain, berkedok olahraga yang ujung-ujungnya tetap kulineran. Sepanjang jalan banyak makanan dan minuman tradisional yang kini jarang ditemui setiap hari.

Aku dan Tina kalap mencoba jajanan tradisional karena belum sarapan dari rumah—memang sengaja, agar bisa puas kulineran di sini. Setelah kenyang, kami duduk di parkiran stadion yang ada dekat area CFD. Masih dengan telur gulung dan jus yang kami beli tadi sebagai makanan penutup.

Terdengar suara panggilan dari ponsel Tina.

"Halo, iya, ini aku masih di CFD", jawab Tina pada si penelepon. Tiba-tiba ekspresinya berubah gusar. "Hah, kok dadak banget, sih, Sayang? Ya udah, aku pulang sekarang." Buru-buru Tina berdiri ketika telepon diakhiri.

"Kenapa, Na?" tanyaku khawatir karena wajah Tina yang tampak panik.

"Gue harus pulang sekarang, Dela. Mertua gue mendadak datang. Ayo, gue anter pulang, Del."

Oh, dikira apa.

Aku sontak menggeleng, menolak. "Gak apa-apa, lo pulang aja duluan. Nanti gue bisa minta jemput Stevan atau naik ojek online.” Tidak tega aku jika Tina harus mengantarku pulang terlebih dahulu.

"Yakin lo? Gue gak apa-apa, kok, kalau nganterin lo dulu."

"Iya, gue yakin. Buruan lo pulang aja, gue gampanglah. Salam, ya, buat mertua lo."

"Iya udah. Sorry, ya, gue gak bisa anterin lo. Kapan-kapan kalau lo pulang lagi, kabarin gue, ya. Awas aja lo diem-diem."

Tina masih sempat-sempatnya mengomel, yang aku jawab 'iya' saja biar dia cepat pulang. Kasihan kalau sampai mertuanya terlalu lama menunggu Tina.

Setelah Tina pergi, aku lanjut menghabiskan telur gulung sambil mencoba menghubungi Stevan untuk menjemputku.

Saat aku sibuk menghubungi Stevan, tiba-tiba ada lelaki misterius yang menghampiriku.

Lelaki itu duduk di sampingku. Aku masih mengamatinya. Wajahnya seperti tidak asing. Tapi, aku pernah melihat dia di mana, ya?

Dia menggunakan jersei, celana pendek, dan sepatu sneakers. Jangan lupakan topi dan masker di wajahnya, sehingga aku semakin sulit mengenalinya.

"Hai, di sini sendirian aja?" sapanya.

Aku belum menjawab, masih mengamatinya. Aku yang tak kunjung menjawab—dan mungkin dia juga menyadari aku yang menatapnya bingung—membuatnya terkekeh. Saat dia membuka sedikit maskernya, aku hanya bisa membelalakan mata melihatnya.

"Jendra!" Aku hanya bisa memekik tertahan saat menyadari lelaki yang ada di hadapanku. Aku menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendengar suaraku tadi.

"Halo? Halo, Kak? Lo ngomong apa sih?" Terdengar suara adikku di sambungan telepon.

Aku baru sadar tadi sedang menghubungi Stevan, saking terkejutnya didekati lelaki asing yang ternyata adalah Jendra.

Mengabaikan Jendra sesaat, aku melanjutkan panggilan dengan Stevan.

"Halo, Stev? Eh, iya, sorry. Jemput gue di CFD, ya.”

"Males banget, sih, Kak. Tadi berangkat sama Kak Tina, ya minta anterin pulang sekalianlah."

"Ah, elah. Tina udah pulang duluan. Cepetan mandi, gue tunggu di deket stadion. Oke, bye!"

Aku langsung menutup teleponnya dan kembali menatap Jendra yang masih duduk di sampingku. Aku otomatis menoleh sekitar, mencari keberadaan pengawal atau asistennya. Bagaimana seorang wali kota bisa jalan-jalan sendiri seperti—

"Lo nyariin siapa, Del?"

"Gak nyari siapa-siapa. Ngomong-ngomong, lo sendirian aja?" tanyaku akhirnya karena penasaran.

"Gak mungkin gue sendirianlah. Ada asisten sama pengawal juga. Lo cuma gak bisa ngenalin mereka."

"Terus lo ngapain di sini?" tanyaku padanya yang langsung kusesali detik itu juga. Pertanyaan bodoh. Ini, kan, tempat umum.

Suara tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Kenapa, gak boleh?"

"Ya ... gak apa-apa, sih," jawabku sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain karena menyadari Jendra yang terus menatapku.

"Dela, boleh gue minta nomor ponsel lo? Terakhir kita ketemu, gue lupa mau minta nomor lo." Jendra tiba-tiba meminta dengan menyodorkan ponselnya padaku.

Mau tak mau aku memberikan nomorku padanya. Toh, tidak ada alasan untukku buat menolaknya. Kukembalikan ponselnya begitu aku selesai mengetikkan nomorku. Tak lama ponselku berbunyi.

"Simpan, ya, itu nomor pribadi gue," ucapnya yang kujawab dengan anggukan kepala. "Lo mau pulang sekarang?”

"Iya, tapi masih nunggu jemputan."

“Oke, gue temenin di sini sampai jemputan lo datang.”

Untungnya tak lama ponselku berbunyi lagi, ternyata Stevan yang menelepon dan mengatakan dia sudah di parkiran dekat stadion. Aku pun berpamitan pada Jendra.

"Gue duluan, ya, Dra. Jemputan gue udah dateng." Aku pun berdiri dan berpamitan dengan Jendra. Aku menatap sekitar, orang benar-benar tidak ada yang menyadari keberadaan wali kota mereka di sini. Penyamaran Jendra benar-benar berhasil.

"Oke, hati-hati di jalan, ya. See you next time."

Aku tidak membalas. Hanya mengangguk dan melambaikan tangan sebelum menjauh menuju Stevan.

'Justru, aku harap tidak bertemu lagi dengannya.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status