Share

Part 3

Penulis: Putri Dita
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-06 10:00:10

Untungnya, ada orang lain yang memanggilnya.

Kini aku sedang di toilet untuk buang air kecil dan sedikit memperbaiki make up. 

Setelahnya, aku pun keluar. Namun,  tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Jendra yang juga baru keluar toilet laki-laki!

"Sial banget sih, kenapa harus ketemu lagi?" gerutuku pelan.

Tanpa bisa menghindar, aku berjalan santai kembali menuju ballroom dan saat melewati Jendra, aku hanya melempar senyum untuk menyapanya karena aku tidak ingin dianggap sok kenal dengan berbasa-basi dengannya.

"Habis dari toilet Del?" sapanya.

Menghembuskan nafas pelan, aku berbalik badan menghadap Jendra untuk menjawab basa basinya. "Iya Dra, lo,..aduh sorry maksudku kamu udah mau cabut sekarang?" tanyaku saat kulihat asisten dan beberapa pengawalnya terlihat bersiap meninggalkan ballroom hotel.

"Udah gue bilang, santai aja. Sesantainya lo aja, ga usah formal-formal sama gue, lo bukan bawahan gue.” Ucapnya dengan santai. “Iya, masih ada kerjaan yang harus gue urus. Gue pamit dulu ya, nice to meet you again, Dela."

"Ah iya, nice to meet you too," balasku pada Jendra.

Begitu Jendra berjalan keluar ballroom dan masuk ke dalam mobilnya yang sudah standby didepan, aku melanjutkan langkah kembali ke mejaku. Disana Tina sudah menungguku.

"Lama banget sih di toilet, lo boker ya?" Sembur Tina saat aku duduk kembali ke kursiku.

"Antri tadi toiletnya, makanya lama." Dustaku pada Tina.

"Masih lama acaranya?gue boring pengen cepet pulang deh."

"Bentar lagi selesai kayaknya, sabar bentar lah. Jarang-jarang kita kumpul kayak gini"

Dengan penuh kesabaran, aku menunggu acara selesai. Sejujurnya aku kurang nyaman berada disini, karena banyak yang aku tidak kenal, ya bisa di bilang aku lupa dengan beberapa teman-temanku. Dan aku sedikit tidak enak dengan mereka, saat mereka mengingatku, sedangkan aku lupa pada nama mereka. Aku memang mempunyai kekurangan dalam mengingat nama orang, terkadang aku mengingat wajahnya, tapi lupa dengan namanya.

***

Tepat pukul tujuh malam, reuni selesai juga. Aku dan Tina saat ini sedang dalam perjalanan pulang.

"Lo tahu gak, Del, waktu lo ke toilet, temen-temen pada penasaran soal lo yang disapa duluan sama Jendra."

"Terserah Jendra-lah mau nyapa siapa, itu hak dia. Mungkin karena gue baru kali ini ikut reuni lagi, makanya dia nyapa gue. Yang lainnya, kan, udah sering ikut reuni," sahutku malas-malasan dengan kepala yang kusandarkan pada sandaran kursi mobil.

"Hm ... bisa jadi, sih, 14 tahun setelah lulus baru kali ini lo mau ikutan reuni."

Tina masih melanjutkan obrolan, "Terus, ya, lagian lo juga dulu selalu sekelas sama dia selama tiga tahun. Pantes aja, sih, dia ngenalin lo banget."

Bener juga. Aku terdiam, tidak membantah Tina lagi meski merasa aku dan Jendra sebenarnya tidak sedekat itu. Hanya teman sekelas, tidak ada yang spesial dan tidak pernah berpacaran juga.

Sudahlah. Memang paling benar aku tidak membalas apa-apa lagi. Lihat, Tina diam sekarang. Selama sisa perjalanan, kami tidak membahas Jendra lagi.

"Besok jangan lupa car free day sama gue, Del."

"Iya, gue gak lupa, udah pasang alarm. Lo yang jangan ngaret, gue males kalau udah siang, pasti panas sama rame." Yah, karena terkadang Tina sendiri yang susah bangun pagi.

***

"Halo, Dela, gue udah di depan rumah lo. Buruan turun sebelum tambah panas."

"Iya, iya, ini lagi pake sepatu." Setelah menjawab telepon Tina, aku lanjut memakai sepatuku.

"Mau ke mana, Kak? Tumben liburan jam segini udah bangun," tanya Stevan yang heran melihatku pagi-pagi sudah rapi.

"Mau Car free day-an sama Tina. Dah, ya, gue berangkat dulu. Bye!" pamitku, yang dijawab lambaian tangan oleh Stevan.

Selama perjalanan, kami hanya mengobrol ringan. Kali ini untungnya Tina tidak membahas lagi acara reuni semalam.

Sesampainya di lokasi car free day, Tina memarkirkan mobilnya di pelataran parkir yang disediakan di sepanjang sisi jalan. Dari dalam mobil, memperhatikan sekitar yang tampak ramai hari ini.

"Eh, kok rame, ya, Na? Emang tiap minggu rame begini?"

"Ga tau, tumben banget rame. Biasanya ga seramai ini, sih. Mungkin ada komunitas yang lagi pentas, makanya rame."

"Ya udah, yuk turun, Na. Keburu siang, takut tambah panas."

Kami pun akhirnya turun dari mobil dan mulai berjalan ke area stand makanan-makanan. Tujuan kami CFD-an memang untuk kulineran. Tidak seperti yang lain, berkedok olahraga yang ujung-ujungnya tetap kulineran. Sepanjang jalan banyak makanan dan minuman tradisional yang kini jarang ditemui setiap hari.

Aku dan Tina kalap mencoba jajanan tradisional karena belum sarapan dari rumah—memang sengaja, agar bisa puas kulineran di sini. Setelah kenyang, kami duduk di parkiran stadion yang ada dekat area CFD. Masih dengan telur gulung dan jus yang kami beli tadi sebagai makanan penutup.

Terdengar suara panggilan dari ponsel Tina.

"Halo, iya, ini aku masih di CFD", jawab Tina pada si penelepon. Tiba-tiba ekspresinya berubah gusar. "Hah, kok dadak banget, sih, Sayang? Ya udah, aku pulang sekarang." Buru-buru Tina berdiri ketika telepon diakhiri.

"Kenapa, Na?" tanyaku khawatir karena wajah Tina yang tampak panik.

"Gue harus pulang sekarang, Dela. Mertua gue mendadak datang. Ayo, gue anter pulang, Del."

Oh, dikira apa.

Aku sontak menggeleng, menolak. "Gak apa-apa, lo pulang aja duluan. Nanti gue bisa minta jemput Stevan atau naik ojek online.” Tidak tega aku jika Tina harus mengantarku pulang terlebih dahulu.

"Yakin lo? Gue gak apa-apa, kok, kalau nganterin lo dulu."

"Iya, gue yakin. Buruan lo pulang aja, gue gampanglah. Salam, ya, buat mertua lo."

"Iya udah. Sorry, ya, gue gak bisa anterin lo. Kapan-kapan kalau lo pulang lagi, kabarin gue, ya. Awas aja lo diem-diem."

Tina masih sempat-sempatnya mengomel, yang aku jawab 'iya' saja biar dia cepat pulang. Kasihan kalau sampai mertuanya terlalu lama menunggu Tina.

Setelah Tina pergi, aku lanjut menghabiskan telur gulung sambil mencoba menghubungi Stevan untuk menjemputku.

Saat aku sibuk menghubungi Stevan, tiba-tiba ada lelaki misterius yang menghampiriku.

Lelaki itu duduk di sampingku. Aku masih mengamatinya. Wajahnya seperti tidak asing. Tapi, aku pernah melihat dia di mana, ya?

Dia menggunakan jersei, celana pendek, dan sepatu sneakers. Jangan lupakan topi dan masker di wajahnya, sehingga aku semakin sulit mengenalinya.

"Hai, di sini sendirian aja?" sapanya.

Aku belum menjawab, masih mengamatinya. Aku yang tak kunjung menjawab—dan mungkin dia juga menyadari aku yang menatapnya bingung—membuatnya terkekeh. Saat dia membuka sedikit maskernya, aku hanya bisa membelalakan mata melihatnya.

"Jendra!" Aku hanya bisa memekik tertahan saat menyadari lelaki yang ada di hadapanku. Aku menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendengar suaraku tadi.

"Halo? Halo, Kak? Lo ngomong apa sih?" Terdengar suara adikku di sambungan telepon.

Aku baru sadar tadi sedang menghubungi Stevan, saking terkejutnya didekati lelaki asing yang ternyata adalah Jendra.

Mengabaikan Jendra sesaat, aku melanjutkan panggilan dengan Stevan.

"Halo, Stev? Eh, iya, sorry. Jemput gue di CFD, ya.”

"Males banget, sih, Kak. Tadi berangkat sama Kak Tina, ya minta anterin pulang sekalianlah."

"Ah, elah. Tina udah pulang duluan. Cepetan mandi, gue tunggu di deket stadion. Oke, bye!"

Aku langsung menutup teleponnya dan kembali menatap Jendra yang masih duduk di sampingku. Aku otomatis menoleh sekitar, mencari keberadaan pengawal atau asistennya. Bagaimana seorang wali kota bisa jalan-jalan sendiri seperti—

"Lo nyariin siapa, Del?"

"Gak nyari siapa-siapa. Ngomong-ngomong, lo sendirian aja?" tanyaku akhirnya karena penasaran.

"Gak mungkin gue sendirianlah. Ada asisten sama pengawal juga. Lo cuma gak bisa ngenalin mereka."

"Terus lo ngapain di sini?" tanyaku padanya yang langsung kusesali detik itu juga. Pertanyaan bodoh. Ini, kan, tempat umum.

Suara tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Kenapa, gak boleh?"

"Ya ... gak apa-apa, sih," jawabku sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain karena menyadari Jendra yang terus menatapku.

"Dela, boleh gue minta nomor ponsel lo? Terakhir kita ketemu, gue lupa mau minta nomor lo." Jendra tiba-tiba meminta dengan menyodorkan ponselnya padaku.

Mau tak mau aku memberikan nomorku padanya. Toh, tidak ada alasan untukku buat menolaknya. Kukembalikan ponselnya begitu aku selesai mengetikkan nomorku. Tak lama ponselku berbunyi.

"Simpan, ya, itu nomor pribadi gue," ucapnya yang kujawab dengan anggukan kepala. "Lo mau pulang sekarang?”

"Iya, tapi masih nunggu jemputan."

“Oke, gue temenin di sini sampai jemputan lo datang.”

Untungnya tak lama ponselku berbunyi lagi, ternyata Stevan yang menelepon dan mengatakan dia sudah di parkiran dekat stadion. Aku pun berpamitan pada Jendra.

"Gue duluan, ya, Dra. Jemputan gue udah dateng." Aku pun berdiri dan berpamitan dengan Jendra. Aku menatap sekitar, orang benar-benar tidak ada yang menyadari keberadaan wali kota mereka di sini. Penyamaran Jendra benar-benar berhasil.

"Oke, hati-hati di jalan, ya. See you next time."

Aku tidak membalas. Hanya mengangguk dan melambaikan tangan sebelum menjauh menuju Stevan.

'Justru, aku harap tidak bertemu lagi dengannya.'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Extra Part 5 -Bertemu Orang Tua Dela (Jendra POV)

    Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Extra Part 4 - Memberi Restu (Jendra POV)

    "Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Extra Part 3 - Berjuang (Jendra POV)

    Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Extra Part 2 - Meninggalkannya (Jendra POV)

    Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Extra Part 1 - Reuni (Jendra POV)

    Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Part 55 (End)

    Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Part 54

    Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Part 53

    “Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t

  • Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri   Part 52

    Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status