Share

Part 4

Seminggu sesudah acara reuni, aku sudah kembali menjalani aktivitas sehari-hari di Ibukota Milton sebagai pegawai pemerintahan. Tentu saja, karena kemarin aku tidak mengajukan cuti sama sekali jadi Senin subuh dengan menggunakan kereta pertama aku kembali ke kota perantauan.

Selesai dari car free day minggu lalu, Jendra yang dulu meminta nomor ponselku, sampai saat ini tidak ada pesan masuk ataupun telepon darinya. Dan aku juga tidak mengharapkan hal itu, sebenarnya. Aku hanya berfikir mungkin kemarin dia hanya basa basi saja meminta nomor ponselku saat kami bertemu.

Ponselku yang berada di atas meja bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas id pemanggilnya, betapa terkejutnya aku saat nama Jendra terpampang di layar ponselku. Baru juga dipikirkan langsung telepon. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat teleponnya.

"Ya halo."

"Halo Del, lo di mana?ada di rumah gak?"

Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya.

"Gue lagi ada di Ibukota Milton, udah balik kerja lagi."

"Loh lo gak kerja di sini?"

Jawaban Jendra semakin membuatku bingung, apa dia tidak tahu kalau aku kerja di Ibukota?ahh siapa sih aku, sampai Jendra harus tahu tentangku. Buru-buru aku membuang jauh-jauh pikiranku.

"Gue kerja di Dinas Pariwisata Ibukota Milton. Udah 7 tahun gue kerja disini."

"Oh, gue baru tahu lo di Ibukota Milton. Gue kira masih di sini dan kerja di Aare."

"Hehe iya gak apa-apa gue juga banyak yang lost contact sama teman-teman jadi ya gak heran kalau lo ga tahu. Ada apa Dra lo telepon gue?" tanyaku penasaran.

"Gak apa-apa cuman pengen denger kabar lo doang. By the way udah dulu ya, gue mau lanjut meeting dulu, see you.”

"Oke bye, see you Dra."

Setelah menutup telepon Jendra, aku melanjutkan kembali pekerjaanku yang sempat tertunda. By the way ini hari Jumat dan pukul 18.00, aku masih bertahan di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku.

Memandang sekeliling, aku baru sadar hari sudah gelap. Pukul 6 sore , sudah sepi, dan panggilan senja berbunyi nyaring. Senyaring notifikasi revisi desain leaflet UMKM daerah pilihan Dinas Pariwisata untuk yang ke sekian kalinya.

***

Saat ini aku sedang di salah satu kafe dekat apartemenku, memakan menu brunch yang telah tersaji di mejaku. Ada menu fish and chips serta ice lemon tea. Aku menikmati makan pagi sekaligus makan siangku ini seorang diri. Iya, sendirian karena Shela sedang pulang ke kampungnya.

Selesai menyantap makanan yang ada di mejaku, aku masih belum beranjak dari kafe—malah menambah kentang goreng untuk menemaniku di sini. Masih malas saja kembali ke apartemen karena pasti akan terasa sepi. Sedang asyik-asyiknya bermain ponsel, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Jendra.

"Ya, Dra. Kenapa?" sapaku begitu panggilan terhubung.

"Lagi ngapain, Del?"

"Lagi brunch di Kafe Senja, kenapa, Dra?"

"Gak apa-apa. Tunggu di sana, ya, jangan pulang dulu," jawabnya yang langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu responsku.

Aku hanya bisa melongo menatap ponselku, "Apa coba maksudnya suruh jangan pulang dulu? Emang dia mau nyusul ke sini, gitu?" dumelku dalam hati.

Tak mengubris panggilan Jendra barusan, aku pun lanjut memainkan ponselku, kembali berselancar di dunia maya.

***

Selang tiga puluh menit, aku mulai merasa bosan sendirian di kafe dan hanya bermain ponsel sejak tadi. Mengedarkan pandangan, ternyata kafe sudah mulai ramai, pantas saja karena waktu sudah menunjukan pukul 12:30. Saat bersiap untuk pulang, aku terkejut saat dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di kursi seberangku.

"Udah gue bilang, jangan pulang dulu, malah udah mau cabut aja," ucapnya sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

"Jendra! Lo ngapain di sini?" Aku melotot tak percaya melihat orang itu.

Ya, Jendra.

"Kan, tadi gue bilang tungguin dulu."

"Untuk? Ngapain nyuruh gue jangan pulang dulu? Kan, tadi gak bilang kalau mau ke sini. Terus, lo ke sini sama siapa? Mana pengawal lo?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan, mencari di mana pengawalnya. Tidak mungkin dia bisa bebas sendirian.

"Mereka ada. Tapi, lo jangan cabut dulu! Temenin gue makan bentar, habis itu gue anter lo balik." Dengan entengnya Jendra berkata seperti itu, dan langsung memesan makanan. Tak lupa dia menawariku juga yang langsung mendapat penolakan dariku karena masih merasa kenyang.

Selama di kafe, aku menemani Jendra makan sambil kami mengobrol ringan. Selesai Jendra makan, aku segera pamit. Tak nyaman rasanya diperhatikan banyak pasang mata selama berada di kafe. Bagaimana tidak, penampilan dan wajah tampannya benar-benar mencolok meski dia hanya menggunakan kaos polo dan celana khaki polos, serta tak lupa topi yang menghiasi kepalanya.

Memang tidak banyak penduduk sini yang sadar bahwa orang yang berada di hadapanku ini seorang wali kota karena ini bukan daerah yang dipimpinnya. Lain lagi kalau sudah berada di kota kami, sudah pasti Jendra tidak akan bisa makan di kafe dengan tenang seperti ini.

"Lo pulang sama gue aja, Del," ajak Jendra begitu melihatku berdiri.

"Gak, gue bisa pulang sendiri. Apartemen gue deket, di perempatan depan doang. Gue bisa jalan kaki sendiri," tolakku langsung.

Tanpa mempedulikan penolakanku, seenaknya Jendra menarik tanganku menuju mobilnya. Sampai di depan mobil, asistennya dengan sigap membukakan pintu depan penumpang untukku dan Jendra segera mendorong pelan tubuhku untuk duduk. Jendra sendiri lalu berputar menuju pintu sebelah pengemudi meski tetap saja asistennya yang membukakan pintu.

Aku mendengkus begitu Jendra duduk di balik kemudi. "Lo pemaksa banget, ya. Gue bisa balik sendiri."

Jendra menyamping dan menatapku sekilas, lalu tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku yang terkejut dengan tindakan tiba-tiba Jendra hanya bisa menahan napas sampai wajah Jendra tepat berada di depan wajahku. Tangannya terulur ke belakang kepalaku. Aku refleks menutup mata, tak lama aku mendengar bunyi 'click' di sampingku.

"Lo ngapain tutup mata segala? Gue cuma masangin seatbelt lo," kata Jendra sambil memandangku dengan tatapan jail.

"Kan, lo bisa bilang aja sama gue. Ngapain pakai lo pasangin segala, sih?" omelku pada Jendra untuk menutupi rasa malu dan diam-diam mengembuskan napas lega.

"Kelamaan, Dela. Udah, lo jangan ngomel mulu. Tunjukin jalan ke apartemen lo," kata Jendra sambil terkekeh pelan dan mengacak lembut rambutku.

***

Tak sampai sepuluh menit, mobil yang dikendarai Jendra sudah sampai di apartemenku. Saat aku akan turun, Jendra pun melakukan hal yang sama denganku.

Aku berdecak pelan sambil menutup pintu. "Lo ngapain ikutan turun, Dra?"

"Mau nganterin lo sampai depan pintu unit apartemen," jawabnya santai.

Karena terlalu lelah untuk berdebat, aku membiarkan saja Jendra mengikutiku sampai ke pintu unit apartemenku. Ketika sudah sampai di depan pintu, aku membalikkan badan menghadap Jendra dengan tatapan malas, yang dibalas cengiran menyebalkannya.

"Udah sampai pintu unit apartemen gue, sekarang lo pulang sana," usirku.

"Oke, sekarang gue udah tahu unit apartemen lo. Ntar malem makan bareng gue, ya. Gue jemput jam 7."

Aku hanya bisa melongo mendengar ajakan tiba-tiba Jendra. Apa-apaan si Jendra ini, tadi dia memaksaku menemaninya makan siang, sekarang malah mengajakku makan malam.

Duh, ternyata sifat pemaksa Jendra masih sama seperti dulu.

"Halo, Dela? Lo dengerin gue gak, sih?" tanya Jendra sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku yang tersadar dari lamunanku langsung menatapnya tajam.

"Ngapain lo ngajakin gue makan malam? Bukannya lo mau langsung balik ke Aare?"

"Gue baru sampai beberapa jam yang lalu, masak udah langsung balik? Mubazir bangetlah. Pokoknya nanti malem gue jemput lo, oke?" Tanpa menunggu persetujuanku, Jendra langsung melenggang pergi dari lorong apartemenku menuju lift.

Aku hanya bisa menghentakan kaki sebal melihat tingkah seenaknya Jendra. Kebiasaan jadi wali kota, main perintah-perintah segala, gerutuku sendiri sambil menatap punggung Jendra yang hilang tertutup pintu lift.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status