Seminggu sesudah acara reuni, aku sudah kembali menjalani aktivitas sehari-hari di Ibukota Milton sebagai pegawai pemerintahan. Tentu saja, karena kemarin aku tidak mengajukan cuti sama sekali jadi Senin subuh dengan menggunakan kereta pertama aku kembali ke kota perantauan.
Selesai dari car free day minggu lalu, Jendra yang dulu meminta nomor ponselku, sampai saat ini tidak ada pesan masuk ataupun telepon darinya. Dan aku juga tidak mengharapkan hal itu, sebenarnya. Aku hanya berfikir mungkin kemarin dia hanya basa basi saja meminta nomor ponselku saat kami bertemu.Ponselku yang berada di atas meja bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas id pemanggilnya, betapa terkejutnya aku saat nama Jendra terpampang di layar ponselku. Baru juga dipikirkan langsung telepon. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat teleponnya."Ya halo.""Halo Del, lo di mana?ada di rumah gak?"Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya."Gue lagi ada di Ibukota Milton, udah balik kerja lagi.""Loh lo gak kerja di sini?"Jawaban Jendra semakin membuatku bingung, apa dia tidak tahu kalau aku kerja di Ibukota?ahh siapa sih aku, sampai Jendra harus tahu tentangku. Buru-buru aku membuang jauh-jauh pikiranku."Gue kerja di Dinas Pariwisata Ibukota Milton. Udah 7 tahun gue kerja disini.""Oh, gue baru tahu lo di Ibukota Milton. Gue kira masih di sini dan kerja di Aare.""Hehe iya gak apa-apa gue juga banyak yang lost contact sama teman-teman jadi ya gak heran kalau lo ga tahu. Ada apa Dra lo telepon gue?" tanyaku penasaran."Gak apa-apa cuman pengen denger kabar lo doang. By the way udah dulu ya, gue mau lanjut meeting dulu, see you.”"Oke bye, see you Dra."Setelah menutup telepon Jendra, aku melanjutkan kembali pekerjaanku yang sempat tertunda. By the way ini hari Jumat dan pukul 18.00, aku masih bertahan di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku.Memandang sekeliling, aku baru sadar hari sudah gelap. Pukul 6 sore , sudah sepi, dan panggilan senja berbunyi nyaring. Senyaring notifikasi revisi desain leaflet UMKM daerah pilihan Dinas Pariwisata untuk yang ke sekian kalinya.***Saat ini aku sedang di salah satu kafe dekat apartemenku, memakan menu brunch yang telah tersaji di mejaku. Ada menu fish and chips serta ice lemon tea. Aku menikmati makan pagi sekaligus makan siangku ini seorang diri. Iya, sendirian karena Shela sedang pulang ke kampungnya.Selesai menyantap makanan yang ada di mejaku, aku masih belum beranjak dari kafe—malah menambah kentang goreng untuk menemaniku di sini. Masih malas saja kembali ke apartemen karena pasti akan terasa sepi. Sedang asyik-asyiknya bermain ponsel, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Jendra."Ya, Dra. Kenapa?" sapaku begitu panggilan terhubung."Lagi ngapain, Del?""Lagi brunch di Kafe Senja, kenapa, Dra?""Gak apa-apa. Tunggu di sana, ya, jangan pulang dulu," jawabnya yang langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu responsku.Aku hanya bisa melongo menatap ponselku, "Apa coba maksudnya suruh jangan pulang dulu? Emang dia mau nyusul ke sini, gitu?" dumelku dalam hati.Tak mengubris panggilan Jendra barusan, aku pun lanjut memainkan ponselku, kembali berselancar di dunia maya.***Selang tiga puluh menit, aku mulai merasa bosan sendirian di kafe dan hanya bermain ponsel sejak tadi. Mengedarkan pandangan, ternyata kafe sudah mulai ramai, pantas saja karena waktu sudah menunjukan pukul 12:30. Saat bersiap untuk pulang, aku terkejut saat dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di kursi seberangku."Udah gue bilang, jangan pulang dulu, malah udah mau cabut aja," ucapnya sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan."Jendra! Lo ngapain di sini?" Aku melotot tak percaya melihat orang itu.Ya, Jendra."Kan, tadi gue bilang tungguin dulu.""Untuk? Ngapain nyuruh gue jangan pulang dulu? Kan, tadi gak bilang kalau mau ke sini. Terus, lo ke sini sama siapa? Mana pengawal lo?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan, mencari di mana pengawalnya. Tidak mungkin dia bisa bebas sendirian."Mereka ada. Tapi, lo jangan cabut dulu! Temenin gue makan bentar, habis itu gue anter lo balik." Dengan entengnya Jendra berkata seperti itu, dan langsung memesan makanan. Tak lupa dia menawariku juga yang langsung mendapat penolakan dariku karena masih merasa kenyang.Selama di kafe, aku menemani Jendra makan sambil kami mengobrol ringan. Selesai Jendra makan, aku segera pamit. Tak nyaman rasanya diperhatikan banyak pasang mata selama berada di kafe. Bagaimana tidak, penampilan dan wajah tampannya benar-benar mencolok meski dia hanya menggunakan kaos polo dan celana khaki polos, serta tak lupa topi yang menghiasi kepalanya.Memang tidak banyak penduduk sini yang sadar bahwa orang yang berada di hadapanku ini seorang wali kota karena ini bukan daerah yang dipimpinnya. Lain lagi kalau sudah berada di kota kami, sudah pasti Jendra tidak akan bisa makan di kafe dengan tenang seperti ini."Lo pulang sama gue aja, Del," ajak Jendra begitu melihatku berdiri."Gak, gue bisa pulang sendiri. Apartemen gue deket, di perempatan depan doang. Gue bisa jalan kaki sendiri," tolakku langsung.Tanpa mempedulikan penolakanku, seenaknya Jendra menarik tanganku menuju mobilnya. Sampai di depan mobil, asistennya dengan sigap membukakan pintu depan penumpang untukku dan Jendra segera mendorong pelan tubuhku untuk duduk. Jendra sendiri lalu berputar menuju pintu sebelah pengemudi meski tetap saja asistennya yang membukakan pintu.Aku mendengkus begitu Jendra duduk di balik kemudi. "Lo pemaksa banget, ya. Gue bisa balik sendiri."Jendra menyamping dan menatapku sekilas, lalu tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku yang terkejut dengan tindakan tiba-tiba Jendra hanya bisa menahan napas sampai wajah Jendra tepat berada di depan wajahku. Tangannya terulur ke belakang kepalaku. Aku refleks menutup mata, tak lama aku mendengar bunyi 'click' di sampingku."Lo ngapain tutup mata segala? Gue cuma masangin seatbelt lo," kata Jendra sambil memandangku dengan tatapan jail."Kan, lo bisa bilang aja sama gue. Ngapain pakai lo pasangin segala, sih?" omelku pada Jendra untuk menutupi rasa malu dan diam-diam mengembuskan napas lega."Kelamaan, Dela. Udah, lo jangan ngomel mulu. Tunjukin jalan ke apartemen lo," kata Jendra sambil terkekeh pelan dan mengacak lembut rambutku.***Tak sampai sepuluh menit, mobil yang dikendarai Jendra sudah sampai di apartemenku. Saat aku akan turun, Jendra pun melakukan hal yang sama denganku.Aku berdecak pelan sambil menutup pintu. "Lo ngapain ikutan turun, Dra?""Mau nganterin lo sampai depan pintu unit apartemen," jawabnya santai.Karena terlalu lelah untuk berdebat, aku membiarkan saja Jendra mengikutiku sampai ke pintu unit apartemenku. Ketika sudah sampai di depan pintu, aku membalikkan badan menghadap Jendra dengan tatapan malas, yang dibalas cengiran menyebalkannya."Udah sampai pintu unit apartemen gue, sekarang lo pulang sana," usirku."Oke, sekarang gue udah tahu unit apartemen lo. Ntar malem makan bareng gue, ya. Gue jemput jam 7."Aku hanya bisa melongo mendengar ajakan tiba-tiba Jendra. Apa-apaan si Jendra ini, tadi dia memaksaku menemaninya makan siang, sekarang malah mengajakku makan malam.Duh, ternyata sifat pemaksa Jendra masih sama seperti dulu."Halo, Dela? Lo dengerin gue gak, sih?" tanya Jendra sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku yang tersadar dari lamunanku langsung menatapnya tajam."Ngapain lo ngajakin gue makan malam? Bukannya lo mau langsung balik ke Aare?""Gue baru sampai beberapa jam yang lalu, masak udah langsung balik? Mubazir bangetlah. Pokoknya nanti malem gue jemput lo, oke?" Tanpa menunggu persetujuanku, Jendra langsung melenggang pergi dari lorong apartemenku menuju lift.Aku hanya bisa menghentakan kaki sebal melihat tingkah seenaknya Jendra. Kebiasaan jadi wali kota, main perintah-perintah segala, gerutuku sendiri sambil menatap punggung Jendra yang hilang tertutup pintu lift.Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe