Tepat pukul tujuh malam, Jendra sudah berdiri di depan pintu unit apartemenku. Aku sudah siap berangkat, rapi dengan mengenakan midi dress serta flatshoes. Sedangkan Jendra tampil dengan kemeja flanel yang di buka seluruh kancingnya dan memperlihatkan kaos hitam polos di dalamnya serta celana jeans. Tak akan ada yang mengira bahwa Jendra adalah seorang wali kota jika melihat penampilannya saat ini.
Kami berjalan beriringan di koridor menuju lift untuk ke lobi apartemen.Di lobi sudah terparkir mobil Camry yang tadi siang digunakannya. Di belakangnya ada satu mobil lagi yang sepertinya berisi asisten dan para pegawalnya."Itu mobil belakang, mobil pengawal lo?" tanyaku pada Jendra begitu kami meninggalkan pelataran apartemen."Iya, lo kok tau?" jawabnya sambil melirikku sekilas."Soalnya dari tadi siang kayaknya ngikutin mobil lo mulu. Ngomong-ngomong kita mau makan di mana?""Ada, deh, rahasia itu," jawabnya dengan kerlingan jail, yang kubalas dengan memutar bola mata malas.Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalanan sedikit padat hari ini, mungkin karena malam minggu, jadi banyak orang yang sedang menghabiskan waktunya bersama keluarga, atau pasangan muda mudi yang sedang berkencan. Tak terasa, sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah kompleks apartemen mewah yang tak jauh dari apartemenku. Aku tahu apartemen ini termasuk mewah karena aku dulu sempat melihat-lihat apartemen ini."Kita mau makan di sini?" tanyaku karena penasaran. Kenapa harus ke ‘apartemen’ untuk makan malam? Biasanya, kan, di restoran atau kafe—atau warung makan di pinggir jalan?"Bukan, kita makan malam di apartemen gue," jawabnya sambil tetap berkonsentrasi memarkirkan mobilnya. Sedangkan mobil yang berisi pengawal Jendra sudah berada di sebelah. Dengan sigap mereka membukakan pintu untuk Jendra dan untukku."Hah? Gimana maksudnya? Kita makan malam di apartemen lo?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Jendra dengan santainya- seolah hal yang biasa - menggenggam tanganku dan menuntunku masuk ke dalam lobi apartemennya. Berbeda dengan apartemenku, apartemen milik Jendra ini memiliki tingkat keamanan yang cukup tinggi. Untuk menaiki liftnya saja harus menggunakan access card.Begitu memasuki lift, aku langsung menghadap ke Jendra. Perbedaan tinggi badan yang mencolok—Jendra dengan tinggi 180 senti, sedangkan aku 160 senti— membuatku harus mengangkat kepalaku untuk berbicara dengannya."Kenapa di apartemen lo? Kan bisa di restoran atau di tempat makan lain?" tanyaku pada Jendra.Bukannya aku takut masuk apartemen seorang laki-laki, tapi kami belum sedekat itu. Aku dan Jendra baru bertemu tiga kali, itu pun sebentar saja."Tadi siang kita udah makan di kafe, jadi malam ini kita makan di apartemen. Gue capek kalau harus makan di luar lagi."Alasannya membuatku merengut tak mengerti."Kalau lo capek, ngapain juga ngajakin gue makan malam? Lo bisa makan malam sendiri di apartemen lo tanpa harus capek-capek jemput gue dulu."Jendra yang mendengarku menggerutu, menghadapkan tubuhnya ke arahku. "Lo cukup temenin gue makan malam. Mau secapek apa pun gue, gue cuma butuh temen buat nemenin gue makan, oke? Cukup alasan gue, kan?"Setelah itu, kembali Jendra menghadap pintu lift yang sudah terbuka pada lantai 27, lantai tertinggi di sini. Jendra masih saja menggenggam tanganku menuju ke apartemennya. Saat tadi Jendra menjawab protesku, dapat aku lihat pada matanya yang menunjukkan rasa kesepian. Aku membisu. Melihat sorot matanya yang berbeda dari tadi siang, membuatku urung memprotes lagi.Jendra berhenti di salah satu pintu unit apartemen. Aku menatap sekeliling. Sepanjang koridor ini hanya terdapat tiga pintu unit. Eksklusif. Bisa kubayangkan seberapa luasnya unit teratas ini. Sejak kapan Jendra menghuni tempat ini?Fokusku teralihkan karena genggaman tangan Jendra terasa lebih erat saat menarikku dengan lembut untuk masuk ke dalam unitnya. Setelah mengunci pintu, Jendra mengajakku ke meja makan yang berada di bagian tengah apartemen. Di dekat meja sudah ada seorang pelayan dan koki yang siap sedia menghidangkan makan malam.Jendra mengajakku duduk di salah satu kursi , kemudian dia menempatkan dirinya duduk di kursi depanku. Setelah kami duduk, pelayan mulai menyajikan appetizer, kemudian tak lama setelah kami menghabiskan appetizer, chef muncul dengan membawa hidangan utama berupa Steak daging Wagyu dengan mashed potato. Sepanjang makan malam kami mengobrol ringan, menanyakan kabar satu sama selain setelah 13 tahun tidak bertemu. Meskipun masih ada sedikit rasa canggung tapi aku akui, Jendra pintar membawa obrolan untuk mencairkan suasana.Dipertengahan kami makan steak, chef kembali mengeluarkan spaghetti aglio e olio."Lo coba dulu deh spaghetti-nya, ini enak banget." Katanya sambil menaruh spaghetti ke atas piringku.Setelah mengucapkan terima kasih, aku mulai mencicipi spaghetti dipiringku. Dan benar saja, spaghetti ini rasanya enak. Seperti yang ada di hotel bintang 5."Hmm bener kata lo, enak banget." Ucapku begitu spaghetti masuk ke dalam mulutku."Benarkan, gue kalau tiap ke Ibukota, selalu minta sama asisten gue buat pesenin spaghetti aglio e olio ini. Berhubung malam ini gue makan sama lo, gue suruh asisten buat panggil langsung chef-nya untuk datang ke apartemen."Kembali kami berdua mengobrol-obrol ringan. Dan ternyata aku baru tahu kalau apartemen ini adalah apartemen pribadinya, alasan dia membeli apartemen ini karena seringnya dia bolak balik dari kota Aare ke ibukota Milton. Sebenarnya, setiap Jendra ada tugas di ibukota Milton mendapatkan fasilitas hotel, namun dia tidak nyaman dan setiap menyewa hotel akan menghambur-hamburkan anggaran saja. Jadi lebih baik membeli apartemen agar mengurangi anggaran akomodasi dinas luar sekaligus apartemen ini untuk investasi properti.***Selesai makan malam, Jendra mengajakku duduk di balkon yang terhubung dengan ruang tengah. Sementara chef dan pelayan tadi membereskan meja makan yang telah selesai kami gunakan.Kalau di deskripsikan, apartemen Jendra ini hampir mirip seperti penthouse mewah. Ukurannya 2x lipat dari apartemen studio yang aku tempati. Dari pintu masuk tadi, langsung terhubung dengan ruang tamu yang sangat minimalis hanya terisi dengan sofa yang berbentuk L, hiasan dinding yang tidak terlalu banyak. Masuk lebih ke dalam ada ruang keluarga yang hanya di sekat dengan lemari hiasan minimalis. Di ruang keluarga ini ada balkon yang bisa langsung melihat pemandangan ibukota Milton dari ketinggian, balkon ini diisi dengan berbagai tanaman hias dan ada kursi ayunan serta 2 beanbag.Di samping ruang keluarga, ada ruang makan yang merangkap dengan kitchen. Untuk kamar sepertinya ada di lantai atas semua, karena sedari tadi aku melihat apartemen ini, yang terlihat hanya 1 pintu yang ternyata toilet, karena aku tadi sempat menumpang untuk buang air kecil."Apartemen lo bersih juga ya, untuk ukuran apartemen yang jarang dihuni. Kalau lo lagi gak kesini siapa yang bersihin?" tanyaku penasaran."Tiap 2 hari sekali ada ART yang bersihin apartemen gue, jadi kalau sewaktu-waktu gue ada kunjungan kerja atau gue sekedar main kesini, apartemen gue udah ready""Oh pantesan bersih banget, emang lo sering banget ya kesini?kok gue ga pernah ketemu lo ya?"Jendra terkekeh pelan mendengar pertanyaanku, "ya jelas aja kita ga pernah ketemu, lo aja ngilang gak pernah ikutan reuni." Kulihat Jendra melirikku sekilas lalu melanjutnya, "lo aja baru gabung grup w******p belakangan ini.""Ya gue males aja, kebanyakan grup w******p bikin ponsel gue lemot," jawabku memberi alasan.Jendra tambah memicingkan matanya melihatku, seakan tidak percaya dengan alasanku dan yang aku lakukan hanya melengos menghindari tatapannya.Alasanku tadi sebenarnya tidak mengada-ada memang benar di aplikasi w******p ada banyak grup sehingga membuat ponselku menjadi lemot. Dan aku juga dulu tidak terlalu akrab dengan teman seangkatan SMP, jadi daripada aku menjadi silent reader, mending ku decline saja permintaan grup w******p SMP. Hanya Tina yang masih akrab dan keep contact denganku, dan dari Tina aku mengetahui update tentang teman-teman SMP, serta atas rayuan Tina akhirnya aku masuk di grup w******p tersebut."Dan lo, kenapa tiba-tiba ngadain reuni terus mau biayain semua acaranya?jangan-jangan ini strategi lo buat mau maju 2 periode ya?" tuduhku yang hanya di jawab dengan tawa kerasnya. Aku hanya memicingkan mataku, memintanya untuk berhenti tertawa."Pikiran lo negatif mulu," Jendra menjawab setelah tawanya reda. "Gak lah, gue di chat sama si Angga, katanya mau ngadain reuni, lagian udah 2 tahun vaccum reuninya, makanya mau ngadain lagi. Ya udah gue sih setuju – setuju aja, anggap gue syukuran buat kepilihnya gue jadi Walikota.""Telat banget syukuran lo, udah setahun menjabat baru syukuran tahun ini.""Gak apa-apa telat, daripada gak sama sekali. Seperti kata lo tadi sekalian prospek buat gue maju lagi 2 periode." Jelasnya dengan senyum jahilnya.Aku hanya mendengus mendengar penjelasannya."Ada untungnya juga gue ngadain reuni kemarin, akhirnya bisa ketemu lo."Kernyitan muncul di dahiku, "maksudnya?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Jendra justru mengacak rambutku dan tersenyum jahil.Sepanjang malam kami mengobrol cukup lama di balkon dan minum kopi yang tadi sempat dibuatkan chef-nya sebelum meninggalkan apartemen Jendra. Ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta Jendra mengantarkanku kembali ke Apartemen."Thank's ya Dra, buat makan malamnya." Ucapku tulus begitu kami sampai di lobby apartemenku."You're welcome. Besok lo ada acara ga?""Hmm ga ada kayaknya, kenapa?""Temenin gue ke pasar minggu ya, mau survei pasar minggu yang ada di sini. Buat perbandingan sama di kota kita""Gak janji ya, gue kalau hari minggu susah bangun pagi."Jelas hari minggu adalah hari bermalas-malasan untukku, karena hanya di hari sabtu dan minggu, aku bisa bangun siang. Sedangkan di hari biasa, aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang lalu berangkat bekerja."Gampang, ntar gue telepon lo berkali-kali sampai lo bangun.”
“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk. "Dela, lo masih di kantor?" "Iya ini gue masih di kantor, kenapa?" "Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku. "Hah gimana?kok mendadak amat sih." "Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo." "Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini." "Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you." Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?" "Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan." "Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku
"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget. Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada. Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra. "Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya mak
Sebelum berjalan menuju pintu belakang, aku sempatkan untuk melirik sekilas keramaian yang ada di depan cafe. Ada banyak orang yang didominasi oleh kaum hawa yang terlihat penasaran mencari keberadaan Jendra. Mereka berdiri di area parkiran, tidak bisa masuk ke dalam karena café masih belum dibuka untuk umum. Padahal kami sekarang sedang di Ibukota Milton bukan di kota Aare tapi antusias fans Jendra tak kalah dari kota asal kami. Aku merasa tanganku ditarik, karena tidak siap, tangan kiriku refleks memegang lengan Jendra untuk mencari keseimbangan. Sadar dengan yang kulakukan, aku cepat-cepat melepas tangan kiriku dari lengannya, Jendra yang menyadarinya bertanya, "Kenapa Del?" "Gak apa-apa tadi gue kaget aja tiba-tiba lo tarik, untung gak jatuh." Kami pun melanjutkan berjalan menuju pintu belakang, di sana sudah ada Aldo yang keluar dari mobil Jendra. "Silahkan Bapak pergi dulu, kami akan mengatasi yang di sini. Nanti kami akan menyusul Bapak." Ucap Aldo sambil
Setelah perdebatan alot tadi, akhirnya aku di sini sendirian. Jendra yang tadinya tetap ngotot ingin agar sopirnya menungguku karena dia merasa bertanggung jawab telah mengajakku kesini jadi dia ingin memastikan aku nantinya pulang dengan selamat. Tentu saja aku tetap menolaknya dengan ancaman aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi kalau dia tetap memaksa sopirnya menungguku di sini. "Fine, sopir gue gak akan nunggu lo, tapi lo harus janji kabari gue kalau udah sampai apartemen lo." Yang kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu Jendra akhirnya pulang bersama asistennya. Ibu Wahyu, aku sudah tidak asing lagu dengan namanya. Beliau adalah Walikota 2 periode kota Aare saat aku masih SD hingga lulus SMP, dan juga beliau adalah Ibu kandung dari Jendra. Di usianya yang saat ini, bu Wahyu masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan. Jendra sendiri merupakan anak sulung dari 2 bersaudara, setahuku adik perempuannya masih kuliah di luar negeri namanya Dinda. Dari dulu sud
Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya. Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan. Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku. Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang
Tak begitu lama, Jendra mengakhiri pidatonya sekaligus secara resmi membuka acara pameran. Kami semua yang hadir berdiri dan bertepuk tangan. Dengan resminya pameran dibuka, rangkaian acara pembukaan berakhir. Kami para peserta yang tadi mengikuti acarapun kembali pada stand masing-masing. "Gila gila..Walikota lo cakep banget Dela, gue auto naksir sama dia. Pas dia jalan lewat depan stand, buset wangi banget mana mukanya mulus lagi." Ujar Shela heboh saat aku menghampiri stand. "Tuh kan bener kata gue, emang cakep banget, gue yang cowok aja mengakui kegantengannya." Kembali Angga heboh menanggapi Shela. "Berisik deh kalian berdua. Jangan kecentilan Shel, gue laporin lo sama Andri." Ancamku pada Shela. Diantara mereka, Martin paling pendiam karena dia masih junior kami. "Lo mah, tukang ngadu. Gue cuman ngefans ya." "Udah-udah yok siap-siap bentar lagi pengunjung umum udah mau dibuka." Ajakku pada ketiga rekanku. Kalau tidak segera diakhiri, bisa-bisa lebih pa
"Maaf bu Dela, ditunggu bapak di mobil." Ujarnya dengan menunjuk mobil yang kukenali sebagai mobil pribadi Jendra, iya aku mengenalinya, karena beberapa kali saat Jendra menemuiku, dia menggunakan mobil tersebut.Mematikan sambungan telepon yang tak juga mendapat jawaban dari Stevan, aku segera menghadap pada Aldo."Oh iya mas Aldo, sebentar ya." Membalikan badan pada teman-temanku yang kini menatapku penuh tanya. "Guys gue pamit dulu, bye see you tomorrow."Tanpa menunggu respon dari teman-temanku, aku segera melenggang pergi, menghindar sebelum keluar pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Semoga saja besok mereka tidak mencecarku dengan pertanyaan, kalau tidak aku harus segera mengarang cerita.Sambil berjalan aku memejamkan mata sejenak, merutuki diriku sendiri kenapa aku lupa pesan Jendra tadi. Semoga mereka tidak menyadari yang tadi menghampiriku asisten Walikota. Terus berjalan menuju mobil Jendra terparkir dengan Aldo didepanku. Mobilnya sendiri terparkir aga