Share

Part 5

Tepat pukul tujuh malam, Jendra sudah berdiri di depan pintu unit apartemenku. Aku sudah siap berangkat, rapi dengan mengenakan midi dress serta flatshoes. Sedangkan Jendra tampil dengan kemeja flanel yang di buka seluruh kancingnya dan memperlihatkan kaos hitam polos di dalamnya serta celana jeans. Tak akan ada yang mengira bahwa Jendra adalah seorang wali kota jika melihat penampilannya saat ini.

Kami berjalan beriringan di koridor menuju lift untuk ke lobi apartemen.

Di lobi sudah terparkir mobil Camry yang tadi siang digunakannya. Di belakangnya ada satu mobil lagi yang sepertinya berisi asisten dan para pegawalnya.

"Itu mobil belakang, mobil pengawal lo?" tanyaku pada Jendra begitu kami meninggalkan pelataran apartemen.

"Iya, lo kok tau?" jawabnya sambil melirikku sekilas.

"Soalnya dari tadi siang kayaknya ngikutin mobil lo mulu. Ngomong-ngomong kita mau makan di mana?"

"Ada, deh, rahasia itu," jawabnya dengan kerlingan jail, yang kubalas dengan memutar bola mata malas.

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Jalanan sedikit padat hari ini, mungkin karena malam minggu, jadi banyak orang yang sedang menghabiskan waktunya bersama keluarga, atau pasangan muda mudi yang sedang berkencan. Tak terasa, sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah kompleks apartemen mewah yang tak jauh dari apartemenku. Aku tahu apartemen ini termasuk mewah karena aku dulu sempat melihat-lihat apartemen ini.

"Kita mau makan di sini?" tanyaku karena penasaran. Kenapa harus ke ‘apartemen’ untuk makan malam? Biasanya, kan, di restoran atau kafe—atau warung makan di pinggir jalan?

"Bukan, kita makan malam di apartemen gue," jawabnya sambil tetap berkonsentrasi memarkirkan mobilnya. Sedangkan mobil yang berisi pengawal Jendra sudah berada di sebelah. Dengan sigap mereka membukakan pintu untuk Jendra dan untukku.

"Hah? Gimana maksudnya? Kita makan malam di apartemen lo?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Jendra dengan santainya- seolah hal yang biasa - menggenggam tanganku dan menuntunku masuk ke dalam lobi apartemennya. Berbeda dengan apartemenku, apartemen milik Jendra ini memiliki tingkat keamanan yang cukup tinggi. Untuk menaiki liftnya saja harus menggunakan access card.

Begitu memasuki lift, aku langsung menghadap ke Jendra. Perbedaan tinggi badan yang mencolok—Jendra dengan tinggi 180 senti, sedangkan aku 160 senti— membuatku harus mengangkat kepalaku untuk berbicara dengannya.

"Kenapa di apartemen lo? Kan bisa di restoran atau di tempat makan lain?" tanyaku pada Jendra.

Bukannya aku takut masuk apartemen seorang laki-laki, tapi kami belum sedekat itu. Aku dan Jendra baru bertemu tiga kali, itu pun sebentar saja.

"Tadi siang kita udah makan di kafe, jadi malam ini kita makan di apartemen. Gue capek kalau harus makan di luar lagi."

Alasannya membuatku merengut tak mengerti.

"Kalau lo capek, ngapain juga ngajakin gue makan malam? Lo bisa makan malam sendiri di apartemen lo tanpa harus capek-capek jemput gue dulu."

Jendra yang mendengarku menggerutu, menghadapkan tubuhnya ke arahku. "Lo cukup temenin gue makan malam. Mau secapek apa pun gue, gue cuma butuh temen buat nemenin gue makan, oke? Cukup alasan gue, kan?"

Setelah itu, kembali Jendra menghadap pintu lift yang sudah terbuka pada lantai 27, lantai tertinggi di sini. Jendra masih saja menggenggam tanganku menuju ke apartemennya. Saat tadi Jendra menjawab protesku, dapat aku lihat pada matanya yang menunjukkan rasa kesepian. Aku membisu. Melihat sorot matanya yang berbeda dari tadi siang, membuatku urung memprotes lagi.

Jendra berhenti di salah satu pintu unit apartemen. Aku menatap sekeliling. Sepanjang koridor ini hanya terdapat tiga pintu unit. Eksklusif. Bisa kubayangkan seberapa luasnya unit teratas ini. Sejak kapan Jendra menghuni tempat ini?

Fokusku teralihkan karena genggaman tangan Jendra terasa lebih erat saat menarikku dengan lembut untuk masuk ke dalam unitnya. Setelah mengunci pintu, Jendra mengajakku ke meja makan yang berada di bagian tengah apartemen. Di dekat meja sudah ada seorang pelayan dan koki yang siap sedia menghidangkan makan malam.

Jendra mengajakku duduk di salah satu kursi , kemudian dia menempatkan dirinya duduk di kursi depanku. Setelah kami duduk, pelayan mulai menyajikan appetizer, kemudian tak lama setelah kami menghabiskan appetizer, chef muncul dengan membawa hidangan utama berupa Steak daging Wagyu dengan mashed potato. Sepanjang makan malam kami mengobrol ringan, menanyakan kabar satu sama selain setelah 13 tahun tidak bertemu. Meskipun masih ada sedikit rasa canggung tapi aku akui, Jendra pintar membawa obrolan untuk mencairkan suasana.

Dipertengahan kami makan steak, chef kembali mengeluarkan spaghetti aglio e olio.

"Lo coba dulu deh spaghetti-nya, ini enak banget." Katanya sambil menaruh spaghetti ke atas piringku.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku mulai mencicipi spaghetti dipiringku. Dan benar saja, spaghetti ini rasanya enak. Seperti yang ada di hotel bintang 5.

"Hmm bener kata lo, enak banget." Ucapku begitu spaghetti masuk ke dalam mulutku.

"Benarkan, gue kalau tiap ke Ibukota, selalu minta sama asisten gue buat pesenin spaghetti aglio e olio ini. Berhubung malam ini gue makan sama lo, gue suruh asisten buat panggil langsung chef-nya untuk datang ke apartemen."

Kembali kami berdua mengobrol-obrol ringan. Dan ternyata aku baru tahu kalau apartemen ini adalah apartemen pribadinya, alasan dia membeli apartemen ini karena seringnya dia bolak balik dari kota Aare ke ibukota Milton. Sebenarnya, setiap Jendra ada tugas di ibukota Milton mendapatkan fasilitas hotel, namun dia tidak nyaman dan setiap menyewa hotel akan menghambur-hamburkan anggaran saja. Jadi lebih baik membeli apartemen agar mengurangi anggaran akomodasi dinas luar sekaligus apartemen ini untuk investasi properti.

***

Selesai makan malam, Jendra mengajakku duduk di balkon yang terhubung dengan ruang tengah. Sementara chef dan pelayan tadi membereskan meja makan yang telah selesai kami gunakan.

Kalau di deskripsikan, apartemen Jendra ini hampir mirip seperti penthouse mewah. Ukurannya 2x lipat dari apartemen studio yang aku tempati. Dari pintu masuk tadi, langsung terhubung dengan ruang tamu yang sangat minimalis hanya terisi dengan sofa yang berbentuk L, hiasan dinding yang tidak terlalu banyak. Masuk lebih ke dalam ada ruang keluarga yang hanya di sekat dengan lemari hiasan minimalis. Di ruang keluarga ini ada balkon yang bisa langsung melihat pemandangan ibukota Milton dari ketinggian, balkon ini diisi dengan berbagai tanaman hias dan ada kursi ayunan serta 2 beanbag.

Di samping ruang keluarga, ada ruang makan yang merangkap dengan kitchen. Untuk kamar sepertinya ada di lantai atas semua, karena sedari tadi aku melihat apartemen ini, yang terlihat hanya 1 pintu yang ternyata toilet, karena aku tadi sempat menumpang untuk buang air kecil.

"Apartemen lo bersih juga ya, untuk ukuran apartemen yang jarang dihuni. Kalau lo lagi gak kesini siapa yang bersihin?" tanyaku penasaran.

"Tiap 2 hari sekali ada ART yang bersihin apartemen gue, jadi kalau sewaktu-waktu gue ada kunjungan kerja atau gue sekedar main kesini, apartemen gue udah ready"

"Oh pantesan bersih banget, emang lo sering banget ya kesini?kok gue ga pernah ketemu lo ya?"

Jendra terkekeh pelan mendengar pertanyaanku, "ya jelas aja kita ga pernah ketemu, lo aja ngilang gak pernah ikutan reuni." Kulihat Jendra melirikku sekilas lalu melanjutnya, "lo aja baru gabung grup w******p belakangan ini."

"Ya gue males aja, kebanyakan grup w******p bikin ponsel gue lemot," jawabku memberi alasan.

Jendra tambah memicingkan matanya melihatku, seakan tidak percaya dengan alasanku dan yang aku lakukan hanya melengos menghindari tatapannya.

Alasanku tadi sebenarnya tidak mengada-ada memang benar di aplikasi w******p ada banyak grup sehingga membuat ponselku menjadi lemot. Dan aku juga dulu tidak terlalu akrab dengan teman seangkatan SMP, jadi daripada aku menjadi silent reader, mending ku decline saja permintaan grup w******p SMP. Hanya Tina yang masih akrab dan keep contact denganku, dan dari Tina aku mengetahui update tentang teman-teman SMP, serta atas rayuan Tina akhirnya aku masuk di grup w******p tersebut.

"Dan lo, kenapa tiba-tiba ngadain reuni terus mau biayain semua acaranya?jangan-jangan ini strategi lo buat mau maju 2 periode ya?" tuduhku yang hanya di jawab dengan tawa kerasnya. Aku hanya memicingkan mataku, memintanya untuk berhenti tertawa.

"Pikiran lo negatif mulu," Jendra menjawab setelah tawanya reda. "Gak lah, gue di chat sama si Angga, katanya mau ngadain reuni, lagian udah 2 tahun vaccum reuninya, makanya mau ngadain lagi. Ya udah gue sih setuju – setuju aja, anggap gue syukuran buat kepilihnya gue jadi Walikota."

"Telat banget syukuran lo, udah setahun menjabat baru syukuran tahun ini."

"Gak apa-apa telat, daripada gak sama sekali. Seperti kata lo tadi sekalian prospek buat gue maju lagi 2 periode." Jelasnya dengan senyum jahilnya.

Aku hanya mendengus mendengar penjelasannya.

"Ada untungnya juga gue ngadain reuni kemarin, akhirnya bisa ketemu lo."

Kernyitan muncul di dahiku, "maksudnya?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Jendra justru mengacak rambutku dan tersenyum jahil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status