"Okelah kalau begitu." Nisa tersenyum. Ina memilih sendiri tugas yang tepat untuknya."Tapi Kamu beneran nggak capek, Na?""Nggak lah, Nis. Biasanya Aku jauh lebih capek dari ini.""Tapi hasilnya juga jauh lebih banyak." Nisa mengusap bahu Ina. "Bagaimana reaksi Tanto kalau Kamu kerja di sini? Malam, lagi.""Aku nggak perduli, Nisa. Aku bilang Aku cari uang cuma buat jajan anak - anakku. Sekarang kalau Dia masih malu nganggep Aku istrinya, masih ngerasa jadi Bapak, Dia harus usaha." pikiran Nisa traveling. Sebenarnya dirinya juga bernasib sama andai tidak ada pemancingan ini. "Aku bilang, Aku dan anak - anak nggak makan kalau Dia nggak mau nyari uang."Nisa menghela nafas."Kamu pasti masih punya simpanan, ya?" Ina mengangguk. Tapi Tanto tidak tahu ia punya simpanan itu karena Ina selalu mengatakan tidak punya uang untuk mereka makan sehari - hari."Nisa yang kasih." itu kalauTanto bertanya bila ada lauk di meja makan mereka. Kalau simpanan itu sudah habis, ia tidak tahu lagi baga
Dahi Anet yang berkerut menjadi pertanyaan Ina. Ia meletakkan gelas - gelas kotor di dalam tempat cucian piring tapi tidak langsung mencucinya. Ina memilih mendekati Anet yang menghadapi buku catatannya. "Kenapa, Net?" Anet mengangkat wajahnya. Alisnya yang tebal juga terangkat menanggapi pertanyaan Ina. "Itu, muka Kamu sampai butek banget kayak air kobokan." Anet menarik nafas panjang. "Ada orang gila, Bu." hah? "Ada orang gila? Dimana? Kok nggak ada yang ribut? Kenapa nggak diusir, sih?" tanya Ina beruntun. Ia langsung berdiri di pintu warung dan melihat keluar. Mana orang gilanya? "Orang gilanya ikut mancing." Hah? Ada orang gila ikut mancing? Ina semakin tidak mengerti. "Ibu nyuci gelasnya aja dulu, Aku ngitung dulu. Nanti Aku ceritain, deh." Ina terpaksa mengangguk. Ina kembali ke tempat cuci piring dan mengerjakan tugasnya. Anet juga mulai menghitung. Ina lebih dulu selesai. Ia dengan tidak sabar duduk menunggu Anet. "Cepat, Net! Keburu masuk season 2.""Iya." jawab Ane
Meski yang bertugas di lampak kecil tetap merasa berat melangkah, mereka tetap bertahan. Kini Cepot juga merasakannya. "Beneran berat, Bos." kali ini Iman percaya."Sekarang banyakin kocokan di lampak besar."Iman meminta yang bertugas di papan lebih banyak memilih nomor di lampak besar untuk dikocok. "Bagaimana kalau lampaknya penuh, Bos?""Itu 'kan baru kalau. Nyatanya lampak Kita nggak pernah penuh bulan - bulan terakhir ini.""Ini 'kan kalau, Bos.""Nanti Aku bantuin. Rewel banget, sih?" sungut Iman. Tapi ia berharap lampaknya akan penuh lagi seperti dulu. "Maaf ya para sedulur." Ia juga meminta pemancing yang duduk di lampak kecil agar lebih bersabar. "Nambaha orang aja atuh, Bos!" tetap saja para pemancing itu complain. Mereka itu memang selalu ingin cepat. Iman hanya dapat tersenyun pahit. "Jangan nambah orang ya, Bos."Anak - anak itu sendiri yang tidak mau orangnya ditambah karena penghasilan mereka lebih sedikit karena harus dibagi 4."Memang nggak bisa terus begini, Bo
"Papah kok lebih ngebelain mereka, sih? Mereka itu cuma sementara, Pah. Kalau renovnya udah selesai mereka juga nggak mancing lagi di sini.""Nah, itu Mamah tau. Kita manfaatin aja yang 3 hari ini. Lampak penuh, Mah. 2 season! Udah lama Kita nggak begitu.""Tapi cuma 3 hari, Pah. Bagaimana kalau pemancing Kita yang memilih pergi?""Nggak akan, Mah. Mereka pemancing - pemancing setia Kita. Udah tahunan mereka di sini."Meski tidak suka, Nisa tidak ingin berdebat lagi. Ia hanya berharap para pemancingnya tidak benar - benar 77kabur ke tempat lain gara - gara ini."Apalagi orang gila itu ada terus!" dengusnya sebal. Anet harus datang lebih awal karena Ina tidak mau menghadapi mereka sendirian."Sebel, Net. Mereka itu udah samanya sama yang punya empang.""Sama gimana, Bu?" Anet bertanya meski ia sudah dapat menebak jawabannya. Ina memiringkan telunjuk di dahinya. "Sinting, gila, miring." Anet tertawa. Ia menyerahkan kopi pada orang di depannya sambil bertanya, "Nama Abang siapa?""Ko
Anet tersenyum. Ia berusaha menahan dirinya agar tetap bersikap sopan. "Manusia tempatnya lupa, Bang. Maaf.""Tulisin aja, deh. Nabilla, kopi susu." mata Anet membulat tapi ia tetap menulis. Jadi yang namanya Nabilla itu laki - laki? "Itu nama anak Saya." seperti dapat menebak jalan pikiran Anet orang itu langsung menjelaskan. Ina yang sudah membuatkan kopi susunya langsung memberikannya."Ini, Bapaknya Nabilla." orang itu nengambil gelas itu tanpa menjawab sepatah katapun. "Jutek amat." sembur Ina. Anet tertawa. "Untung ini hari terakhir mereka di sini." Ina dan Anet merasa lega. Lain halnya dengan Iman. Meski Ia harus rela bertugas di papan karena yang bertugas di lampak kecil mesti 2 orang karena ia tidak ingin mengecewakan mereka. Iman senang melihat pemancingannya penuh.Para pemancing itu bahkan meminta melanjutkan ke season 3, tapi Iman menolaknya."Maaf, di sini cuma ada 2 season." Itu membuat anak - anak buahnya lega. Mereka pikir Iman akan menuruti para pemancing itu.
Mereka menerima hasil pembagiannya dengan senang. Hari ini Iman hanya mengambil sedikit, 2 hari kemarin ia membaginya sama rata. "Bos udah ketularan bu Nisa." bisik Cepot. Keduanya mengangguk setuju. "Besok Kita kembali lagi seperti semula.""Iya. Tapi kok rasanya lebih tenang, ya.""Iya. Mereka belagu - belagu banget.""Tapi mereka juga nguntungin Kita.""Cuma 3 hari.""Disyukurin aja." Catur mengangguk. Iya, semua itu harus disyukuri, meskipun sebentar. Meskipun cuma sedikit. Apalagi 3 hari ini mereka cukup banyak mendapatkan uang. Catur menepuk jidatnya dengan keras. Cepot dan Anda tentu saja terkejut. "Dasar nggak tahu bersyukur!" umpatnya pada diri sendiri. Cepot dan Anda tertawa. "Memang manusia itu selalu begitu, A. Selalu merasa kurang." Cepot menepuk bahu Catur."Akhirnya kembali lagi."Pemancingan kembali terlihat normal meski sebenarnya tidak. Ada beberapa pemancing yang tidak kembali sementara pemancing pendatang tidak ada yang menetap sama sekali."Bener - bener ngga
Nisa tersenyum. Ia merasa sangat senang tapi ia harus lebih memastikan lagi."Tapi jangan yang genit ya, Na. Nggak boleh pakai baju terbuka. Nggak boleh pakai celana pendek..""Emang Aku nyari jablay?" potong Ina. Nisa mengangkat alisnya. "Bukan, ya?" mereka kembali tertawa."Aku pasti kangen sama Kamu.""Jangan lebay, ah. Kayak jarak Kita ratusan kilometer aja. Rumah Kita cuma ratusan meter! Masih bisa jalan!""Ah, Kamu Na! Nggak tau Orang lagi melow." Nisa menyeka airmatanya dengan ujung lengan dasternya. Bagaimanapun Ia akan sangat kehilangan Ina. Ina menepati janjinya. Ia mencari pengganti dirinya dan membawanya ke warung Nisa untuk dapat langsung bekerja. Tapi..Waktu yang datang adalah gadis bohay dengan memakai celana jeans yang robek di sana sini, bahkan menyembulkan kulit pahanya yang putih, Nisa langsung menolaknya dan menyuruhnya pulang. Sedang Anet tidak dapat menahan mulutnya untuk tidak terbuka. Ia bingung. Darimana Ina membawa gadis itu? Ia cantik tapi terlihat dekil
"APA?!" serempak Ina dan Nisa berteriak. Mereka langsung bergidig ngeri. Apalagi Ina. Ia tinggal satu rumah dengan pembunuh? Dan di rumah Nisa sedang sendirian. Baru saja Iman pergi ke rumah Anto. "Barangkali ada kerjaan yang ada duitnya." begitu kata Iman tadi.Mereka menatap Rima dengan netra terbuka sebesar - besarnya. Rima tersadar telah membuat mereka takut. "Dalam pikiran Saya, Bu. Saya tidak ingin melihatnya lagi." "Ooh, syukurlah." mereka menghela nafas lega.Bugh!Ina menonjok bahu Rima. "Ngagetin aja!" omelnya. Nisa juga mengelus dadanya."Jadi bagaimana? Kamu siap kerja nanti malam?""Siap, Bu."Ina tersenyum."Mudah - mudahan Dia nggak ngecewain Kamu, Nisa.""Ya. Tapi Kamu juga tolong masuk dulu untuk ngajarin Dia, ya?""Kan ada Anet.""Yailah, segitunya. Udah nggak mau ke warung lagi ceritanya?" Nisa berlagak cemberut."Iya - iya! Sensi amat, sih?" Ina menoyor kepala Nisa. Rima memperhatikan semua itu dengan keheranan yang tidak dapat disembunyikannya. 'Mereka ak