Share

Kemarahan karena Diabaikan

PoV Namira

Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi.

Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku.

“Dingin tanganmu.”

Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan.

“Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya.

Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh.

“Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu.

“Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.”

“Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.”

“Jangan gitu dong, Sayang. Jangan bikin Lita curiga.”

“Aku nggak perduli. Mas gak liat tadi, aku Cuma disuruh-suruh persis seperti babunya. Sedangkan kamu sama sama sekali gak perduli.”

Aku menepis tangannya. Kesal bercampur marah berbaur jadi satu.

“Kalau aku membelamu, Lita bakal curiga, dong ah. Sudahlah, sabar saja.”

Sudah kuduga, jawaban seperti ini yang pasti aku dapatkan. Mana mungkin Mas Tama menjelekkan istrinya, apalagi di hadapanku?

“Aku juga terserah kalau begitu. Mau datang terserah, mau cuek terserah, mau pergi jauh-jauh juga terserah.”

“Sayan, kok begitu ngomongnya.”

Aku tak menjawab, lebih memilih mengamati rumah yang gelap karena seharian aku tinggalkan.

“Bagus-bagus, dong ngomongnya.”

Aku menoleh seketika mendengar ucapan Mas Tama yang bernada menyalahkan itu.

“Apa? Bagus-bagus? Mas pikir, kurang sabar apa aku menghadapi pencitraan istrimu itu. Setiap hari, entah ngobrol sama tetangga, di kampus bahkan di sosmed, obrolan mereka gak jauh-jauh seputar Mbak Lita. Mata mereka saja yang tertutupi tingkah istrimu yang sok sempurna. Nyatanya ... zonk!”

“Na, cukup!”

Mas Tama membentakku?

“Biarkan saja jika yang dilakukan Lita hanya pencitraan. Dia memang sosialita, itu gaya hidupnya. Tapi dia tak pernah merendahkan orang lain dalam kehidupan nyata.”

Aku tersenyum miris. Merasai ribuan jarum yang menancap kuat di ulu hati.

“Oh, jadi benar, ya? Dia memang berhati peri yang sudah meracuni pikiranmu. Di mana Mas Tama ku yang selalu menganggap aku istimewa itu, hah? Apa keperawanan yang sudah aku korbankan untukmu tidak cukup menjadi jaminan bahwa aku lebih baik darinya, hah?”

“Na!”

“Tak perlu menunjukkan bahwa dia lebih baik. Aku juga bisa pencitraan seperti dia. Sayangnya, Mas Tama membatasi kebebasanku. Ah, sudahlah! Percuma aku ngomong. Toh, kamu pasti lebih memilih dia dari pada aku yang hanya bisa diam dan menangis.”

Tak perduli gelap, aku menuruni mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah yang gulita. Hanya pencahayaan sorot lampu rumah tetangga yang menjadi penerangan.

Terdengar Mas Tama menutup pintu mobil. Aku tak berniat menoleh, mencari tau posisinya.

Hatiku sudah terbakar. Ingin segera dinginkan, tetapi kemana? Sedangkan semua tempat tak lepas dari intaiannya.

Dalam keremangan, aku mencoba membuka pintu rumah dengan susah payah. Berusaha memasukkan kunci, tapi selalu gagal.

“Na.”

Ternyata mas Tama sudah berada di belakangku. Dia mengambil alih membuka pintu dengan kunci cadangan miliknya. Pintu pun terbuka.

Cepat-cepat aku langkahkan kaki menjauhinya. Sayang sekali, sebuah tarikan pada lengan berhasil membuatku terhenti. Mas Tama menarikku ke dalam pelukannya.

Aku meronta menunjukkan penolakan, tapi sia-sia. Tenaganya jauh lebih kuat, sehingga membuatku tetap berdiam dalam pelukan.

Berusaha sekuat tenaga menahan tangis, agar tidak dianggap lemah olehnya, tetapi yang terjadi malah isakan yang tertahan membuat dadaku sesak. Sehingga mau tak mau harus terisak juga.

“Maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak untukmu. Sudah, jangan menangis.”

Seperti biasa, aku akan tenang jika diperlakukan seperti ini.

Mas Tama mengajakku membersihkan diri setelah dia menghidupkan penerangan di seluruh ruangan.

**

Entah sudah jam berapa saat ini. Rasa dingin menyeruak menembus kulit ari. Aku menggeliat, masih merasakan tangan Mas Tama melingkar di pinggangku yang polos.

“Mas,” panggilku, lirih.

Mas Tama tak merespon. Dia terlalu nyenyak untuk kubangunakan. Jadi tak tega. Namun, jika kubiarkan saja, dia bisa tak pulang semalaman.

“Mas,” panggilku lagi. Kali ini dengan menggoyang lengannya, kemudian mengelus pipinya yang mulus.

Aku mengaguminya dari dulu. Bahkan seperti mimpi ketika dia mengucapkan ijab kobul untukku. Seluruh jiwa raga kupersiapkan untuk mengabadikan diri padanya. Dia, Tamadika yang tampak sempurna di mataku.

Namun, kecacatan mulai terkuat. Sayangnya, rasa ini semakin menggunung, sehingga aku pun sama sekali tak berniat pergi, meskipun sakit kerap kali lebih mendominasi.

“Jam berapa?”

Setelah sekian menit, akhirnya lelakiku ini merespons.

“Jam dua,” jawabku.

Dia menggeliat masih dengan tangan melingkar, seperti enggan melepaskan.

Netra terbuka dan langsung menangkap wajahku. Dia tersenyum.

“Makasih untuk malam ini,” ucapnya.

Jemarinya bergerak mengelus pipiku. Perlahan dia mendekap dan memberikan sebuah kecupan di pucuk kepala.

“Jangan marah lagi seperti semalam. Oke?”

Mengangguk, tampak bodoh memang, tapi biarlah. Tak ada cinta yang berhasil tanpa pengorbanan.

Setelah itu, Mas Tama ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku memunguti pakaiannya, juga pakaianku yang berserakan di lantai.

“Mungkin beberapa hari ke depan aku akan jarang menghubungimu. Mas lagi banyak kerjaan. Jangan berpikir aneh lagi, seperti semalam.”

Mas tama mulai mengenakan pakaiannya. Aku menanggapi dengan anggukan.

“Kalau butuh apa-apa, telepon saja,” sambungnya sambil menarik tanganku agar aku berdiri bersamanya.

“Jangan bertindak bodoh. Kalau kamu nekat, Mas yang hancur. Apapun yang kamu lakukan jangan sampai menunjukkan kecurigaan. Paham!”

Seperti terhipnotis, lagi-lagi aku mengangguk.

“Apa yang kamu butuhkan?”

Mas Tama membingkai wajahku, pandangannya membawaku pada satu titik temu.

“Kamu,” jawabku.

Mendengar jawabanku, Mas Tama menarik dalam pelukan.

“Kamu sudah mendapatkannya.” Balasannya terdengar menyakitkan.

“Seutuhnya.” Aku memperjelas.

“Tetaplah seperti ini. Kita punya banyak kesempatan, bukan?”

“Aku gak berharap apa-apa lagi. Aku Cuma mau Mas Tama seutuhnya. Milikku seutuhnya,” bisikku masih dalam dekapannya.

“Jangan dibahas lagi. Seperti inipun, kamu sudah mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”

Dia melepaskan pelukan.

“Jangan sering-sering mengintip status f******k Lolita, maka kamu tidak akan merasa sakit. Jangan pula berusaha ingin tau kehidupannya di media sosial. Sebab, kamu tidak akan menjadi seperti dirinya. Kamu dan dia jelas berbeda. Biarkan hanya aku yang menikmati keistimewaan kamu.”

Mas Tama meninggalkan sebuah kecupan sebelum ke luar dari kamar. Aku mengantarkan hingga di depan pintu depan.

“Berliburlah, bersenang-senang dengan caramu. Ajak teman-temanmu, Mas sudah menambahkan saldo.”

Dia mengelus kepalaku sebelum menutup pintu dan bergerak menjauh. Aku membiarkan dia pergi, tanpa bisa mencegah.

Jangan tanya bagaimana sakitnya aku. Hanya bisa menghela nafas dalam-dalam untuk memperbanyak stok oksigen. Tapi, masih saja tarasa sesak.

Sebuah notifikasi masuk ke ponsel. Aku langsung membukanya.

Sudah kuduga. Siapa lagi kalau bukan Mbak Lita.

Dia baru saja mengupdate status barunya di F******k.

“Happy birthday, Sayangku, Tiara Anggia Tamadika ....”

Sebuah caption panjang hingga aku malas membacanya. Aku abaikan. Sayangnya, sebuah notifikasi kembali terdengar. Kali ini dari akun I*.

Penasaran, aku membukanya. Sederet foto-foto terpampang di sana. Dengan berbagai gaya dan senyum yang menghias di bibir mereka.

Ingin sekali melempar benda pintar ini agar tidak lagi menampakkan gambar-gambar yang menjadikan aku seperti orang bo*oh.

Mirisnya lagi, tak satupun sosokku terlihat di sana. Lalu, aku di mana? Tega, kamu Mas! Tunggu saja permainanku.

****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Mita Aprilia
malas baca ginian bikin emosi ... ganti judul aja.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
umur belasan udah jadi pelakor, dan wanita yg disakiti yg baik sama kamu. sekarang pingin jadi pemeran utama. nyadar g klu kamu dinikahi krn kasihan. kemampuan cuman ngangkang tapi g bersyukur.
goodnovel comment avatar
Isabella
dasar si pelakor pingin tak tonjok aja wajahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status