Share

Kemarahan karena Diabaikan

last update Last Updated: 2022-07-23 18:47:17

PoV Namira

Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi.

Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku.

“Dingin tanganmu.”

Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan.

“Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya.

Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh.

“Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu.

“Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.”

“Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.”

“Jangan gitu dong, Sayang. Jangan bikin Lita curiga.”

“Aku nggak perduli. Mas gak liat tadi, aku Cuma disuruh-suruh persis seperti babunya. Sedangkan kamu sama sama sekali gak perduli.”

Aku menepis tangannya. Kesal bercampur marah berbaur jadi satu.

“Kalau aku membelamu, Lita bakal curiga, dong ah. Sudahlah, sabar saja.”

Sudah kuduga, jawaban seperti ini yang pasti aku dapatkan. Mana mungkin Mas Tama menjelekkan istrinya, apalagi di hadapanku?

“Aku juga terserah kalau begitu. Mau datang terserah, mau cuek terserah, mau pergi jauh-jauh juga terserah.”

“Sayan, kok begitu ngomongnya.”

Aku tak menjawab, lebih memilih mengamati rumah yang gelap karena seharian aku tinggalkan.

“Bagus-bagus, dong ngomongnya.”

Aku menoleh seketika mendengar ucapan Mas Tama yang bernada menyalahkan itu.

“Apa? Bagus-bagus? Mas pikir, kurang sabar apa aku menghadapi pencitraan istrimu itu. Setiap hari, entah ngobrol sama tetangga, di kampus bahkan di sosmed, obrolan mereka gak jauh-jauh seputar Mbak Lita. Mata mereka saja yang tertutupi tingkah istrimu yang sok sempurna. Nyatanya ... zonk!”

“Na, cukup!”

Mas Tama membentakku?

“Biarkan saja jika yang dilakukan Lita hanya pencitraan. Dia memang sosialita, itu gaya hidupnya. Tapi dia tak pernah merendahkan orang lain dalam kehidupan nyata.”

Aku tersenyum miris. Merasai ribuan jarum yang menancap kuat di ulu hati.

“Oh, jadi benar, ya? Dia memang berhati peri yang sudah meracuni pikiranmu. Di mana Mas Tama ku yang selalu menganggap aku istimewa itu, hah? Apa keperawanan yang sudah aku korbankan untukmu tidak cukup menjadi jaminan bahwa aku lebih baik darinya, hah?”

“Na!”

“Tak perlu menunjukkan bahwa dia lebih baik. Aku juga bisa pencitraan seperti dia. Sayangnya, Mas Tama membatasi kebebasanku. Ah, sudahlah! Percuma aku ngomong. Toh, kamu pasti lebih memilih dia dari pada aku yang hanya bisa diam dan menangis.”

Tak perduli gelap, aku menuruni mobil dan menerobos masuk ke dalam rumah yang gulita. Hanya pencahayaan sorot lampu rumah tetangga yang menjadi penerangan.

Terdengar Mas Tama menutup pintu mobil. Aku tak berniat menoleh, mencari tau posisinya.

Hatiku sudah terbakar. Ingin segera dinginkan, tetapi kemana? Sedangkan semua tempat tak lepas dari intaiannya.

Dalam keremangan, aku mencoba membuka pintu rumah dengan susah payah. Berusaha memasukkan kunci, tapi selalu gagal.

“Na.”

Ternyata mas Tama sudah berada di belakangku. Dia mengambil alih membuka pintu dengan kunci cadangan miliknya. Pintu pun terbuka.

Cepat-cepat aku langkahkan kaki menjauhinya. Sayang sekali, sebuah tarikan pada lengan berhasil membuatku terhenti. Mas Tama menarikku ke dalam pelukannya.

Aku meronta menunjukkan penolakan, tapi sia-sia. Tenaganya jauh lebih kuat, sehingga membuatku tetap berdiam dalam pelukan.

Berusaha sekuat tenaga menahan tangis, agar tidak dianggap lemah olehnya, tetapi yang terjadi malah isakan yang tertahan membuat dadaku sesak. Sehingga mau tak mau harus terisak juga.

“Maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak untukmu. Sudah, jangan menangis.”

Seperti biasa, aku akan tenang jika diperlakukan seperti ini.

Mas Tama mengajakku membersihkan diri setelah dia menghidupkan penerangan di seluruh ruangan.

**

Entah sudah jam berapa saat ini. Rasa dingin menyeruak menembus kulit ari. Aku menggeliat, masih merasakan tangan Mas Tama melingkar di pinggangku yang polos.

“Mas,” panggilku, lirih.

Mas Tama tak merespon. Dia terlalu nyenyak untuk kubangunakan. Jadi tak tega. Namun, jika kubiarkan saja, dia bisa tak pulang semalaman.

“Mas,” panggilku lagi. Kali ini dengan menggoyang lengannya, kemudian mengelus pipinya yang mulus.

Aku mengaguminya dari dulu. Bahkan seperti mimpi ketika dia mengucapkan ijab kobul untukku. Seluruh jiwa raga kupersiapkan untuk mengabadikan diri padanya. Dia, Tamadika yang tampak sempurna di mataku.

Namun, kecacatan mulai terkuat. Sayangnya, rasa ini semakin menggunung, sehingga aku pun sama sekali tak berniat pergi, meskipun sakit kerap kali lebih mendominasi.

“Jam berapa?”

Setelah sekian menit, akhirnya lelakiku ini merespons.

“Jam dua,” jawabku.

Dia menggeliat masih dengan tangan melingkar, seperti enggan melepaskan.

Netra terbuka dan langsung menangkap wajahku. Dia tersenyum.

“Makasih untuk malam ini,” ucapnya.

Jemarinya bergerak mengelus pipiku. Perlahan dia mendekap dan memberikan sebuah kecupan di pucuk kepala.

“Jangan marah lagi seperti semalam. Oke?”

Mengangguk, tampak bodoh memang, tapi biarlah. Tak ada cinta yang berhasil tanpa pengorbanan.

Setelah itu, Mas Tama ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku memunguti pakaiannya, juga pakaianku yang berserakan di lantai.

“Mungkin beberapa hari ke depan aku akan jarang menghubungimu. Mas lagi banyak kerjaan. Jangan berpikir aneh lagi, seperti semalam.”

Mas tama mulai mengenakan pakaiannya. Aku menanggapi dengan anggukan.

“Kalau butuh apa-apa, telepon saja,” sambungnya sambil menarik tanganku agar aku berdiri bersamanya.

“Jangan bertindak bodoh. Kalau kamu nekat, Mas yang hancur. Apapun yang kamu lakukan jangan sampai menunjukkan kecurigaan. Paham!”

Seperti terhipnotis, lagi-lagi aku mengangguk.

“Apa yang kamu butuhkan?”

Mas Tama membingkai wajahku, pandangannya membawaku pada satu titik temu.

“Kamu,” jawabku.

Mendengar jawabanku, Mas Tama menarik dalam pelukan.

“Kamu sudah mendapatkannya.” Balasannya terdengar menyakitkan.

“Seutuhnya.” Aku memperjelas.

“Tetaplah seperti ini. Kita punya banyak kesempatan, bukan?”

“Aku gak berharap apa-apa lagi. Aku Cuma mau Mas Tama seutuhnya. Milikku seutuhnya,” bisikku masih dalam dekapannya.

“Jangan dibahas lagi. Seperti inipun, kamu sudah mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”

Dia melepaskan pelukan.

“Jangan sering-sering mengintip status f******k Lolita, maka kamu tidak akan merasa sakit. Jangan pula berusaha ingin tau kehidupannya di media sosial. Sebab, kamu tidak akan menjadi seperti dirinya. Kamu dan dia jelas berbeda. Biarkan hanya aku yang menikmati keistimewaan kamu.”

Mas Tama meninggalkan sebuah kecupan sebelum ke luar dari kamar. Aku mengantarkan hingga di depan pintu depan.

“Berliburlah, bersenang-senang dengan caramu. Ajak teman-temanmu, Mas sudah menambahkan saldo.”

Dia mengelus kepalaku sebelum menutup pintu dan bergerak menjauh. Aku membiarkan dia pergi, tanpa bisa mencegah.

Jangan tanya bagaimana sakitnya aku. Hanya bisa menghela nafas dalam-dalam untuk memperbanyak stok oksigen. Tapi, masih saja tarasa sesak.

Sebuah notifikasi masuk ke ponsel. Aku langsung membukanya.

Sudah kuduga. Siapa lagi kalau bukan Mbak Lita.

Dia baru saja mengupdate status barunya di F******k.

“Happy birthday, Sayangku, Tiara Anggia Tamadika ....”

Sebuah caption panjang hingga aku malas membacanya. Aku abaikan. Sayangnya, sebuah notifikasi kembali terdengar. Kali ini dari akun I*.

Penasaran, aku membukanya. Sederet foto-foto terpampang di sana. Dengan berbagai gaya dan senyum yang menghias di bibir mereka.

Ingin sekali melempar benda pintar ini agar tidak lagi menampakkan gambar-gambar yang menjadikan aku seperti orang bo*oh.

Mirisnya lagi, tak satupun sosokku terlihat di sana. Lalu, aku di mana? Tega, kamu Mas! Tunggu saja permainanku.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
paw paw
pelakor termasuk penyakit kejiwaan dengan gejala keserakahan yg parah
goodnovel comment avatar
Aenun S
pelakor tdk tau diri
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
parah ih usia 18 udah jd pelakor,mau mnguasai lgi...amit" semoga dapet karma sanksi sosial loh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Selamanya ....

    *Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Pelajaran Berharga

    Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Kehilangan

    Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Oh, Namira

    Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Hanya Membantu

    “Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo

  • Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku   Demi Nyawa Namira

    Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status