“Hebat, ya? 9.800 like?” ucapku ternganga melihat angka sebanyak itu di bawah foto yang diunggah istriku, satu jam lalu. Foto yang memperlihatkan sebuah kalung putih berleontin biru.“Berkat Papa. Makasih ya, Sayang?” Lolita memberikan kecupan di pipi kiri. Meninggalkan rasa dingin sekaligus basah. Aku mengelap pipi karena tak ingin lipstiknya tertinggal di sini.“Jangan khawatir, Pa. Ini lipstik mahal,” bisiknya. “Lihat ini.” Dia menscrol ponselnya ke bawah.“Status pas mama nyobain lipstik ini, berhasil mendulang like 8.000 loh, pa?” Tambahnya makin bersemangat.“Syukur, deh. Berarti gak sia-sia dong, Papa kerja siang malam? Sampai lembur-lembur, kalau Mama gak bahagia, apa gunanya coba?”Aku memberikan rangkulang pada pinggangnya yang ramping. Aroma parfumnya yang memabukkan hampir saja membuatku terbuai.“Papa mau pergi lagi?” tanyanya bernada kecewa saat aku melepas pelukan. Aku menatap wajahnya dengan sayang, teramat sayang. Lalu, mencium pipinya yang putih tanpa setitik noda.“
“Mama mau update status bagi-bagi sembako?” tanyaku konyol. Sebenarnya, sambil menahan tawa. Mana mau Lolita turun ke lokasi bencana yang berlumpur itu.“Ih, ya nggaklah! Mama mau turun juga ke sana, tapi nggak perlu di foto-foto. Kan membantu demi kemanusiaan, gak perlu dipemerkan, Pa.”“Tumben,” celetukku, karena tak menyangka.“Papa ih, kok ngomongnya gitu, sih?” Lolita mulai memasang wajah masamnya.“Bukan begitu. Biasanya cekrek-cekrek, langsung update status.”“Itu ‘kan kalau dapat hadiah dari Papa. Soalnya, suka geram sama mantan-mantan Papa yang selusin itu. Suka kepoin status Mama, deh.”“Halah, mantan yang mana?” kilahku sambil beralih hendak ke kamar mandi.“Itu, mantan Papa yang nikah sama pemilik TV swasta. Sama yang satunya lagi, punya salon langganan para artis itu.” Lolita terus berceloteh. Kalau soal mantan, aku malas menanggapi. Sudah tutup buku soalnya.**Seperti rencana, Lolita mendatangi korban bencana tanah longsor. Aku memberinya sokongan dana sebagai bantuan.
“Mama nonton TV loh, Pa. Seluruh bandara di pulau itu di tutup dari pagi karena cuara buruk, hujan dan badai. Pertanyaan mama, Papa pulang naik apa, hah?”Mati.Melihatnya berkacak pinggang, nyaliku langsung menciut. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mencoba menetralkan perasaan kacau yang tiba-tiba menyelimuti diri.“Em ... sebenarnya, papa-““Apa? Mau ngeles?” Lolita tak memberiku kesempatan untuk mengulik.“Bukan. Papa—“Tiba-tiba ponselku berdering. Aku hendak beralih.“Di sini saja ngangkat teleponnya. Mama mau dengar dengan siapa Papa bicara. Kalau perlu diload speaker sekalian. Mana tau Papa punya gun**k di luaran sana.” Lolita meradang, nada bicaranya naik satu oktaf.“Astaga, ma. Ini Wina, Mama,” balasku.Aku mengambil duduk di pinggir ranjang agar Lolita mendengar pembicaraanku dengan Wina.“Halo, kenapa, Win?” tanyaku tanpa basa-basi.“Saya di depan rumah, Bapak,” jawabnya.Lolita mencelos saat aku memandangnya setelah memutus panggilan.“Wina ada di bawah. Ayo ikut papa
PoV NamiraSebagai wanita kedua, aku merasa lebih beruntung dari istri sahnya. Lihat barang bawaanku, sepatu, tas, baju yang kesemuanya bermerek. Bahkan, aku bisa mentraktir teman-teman kuliahku. Semua yang kunikmati sama dengan istri pertama.Hanya mobil yang belum kumiliki. Bukan tak mampu membeli, tetapi suamiku melarang aku memilikinya. Sebab, orang-orang bakal mempertanyakan, dari mana uangku itu berasal.Sudahlah! Terpenting, aku bisa menikmati hidup tanpa kekurangan.Aku baru saja memasuki rumah, meletakkan barang belanjaan dan mengempaskan tubuh ke ranjang. Aku meraih bantal di sisi kananku, lalu menciumnya. Aroma parfum maskulin masih bisa kubaui.“Kangen, Mas,” gumamku.Sudah seminggu ini, Mas Tama tidak datang menemuiku. Alasan klasik, takut istrinya curiga, karena liburan minggu lalu ketika bersamaku, berhasil diendus wanita berlesung pipi itu. Bersyukurnya tidak sampai terbongkar.Aku pun akhirnya menyetujui ketika Mas Tama meminta menjaga jarak dan menggantikan kekecewaa
PoV NamiraHatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”Mbak Lita menunjukku. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap langsung denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku. Bahkan dia membuang muka.Aku sakit. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal semestinya, kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.“Na, kamu tadi bikin apa?”Aku gelagapan ketika Mbak Lita menanyaiku.“Em, sub buah sama puding, Mbak,” jawabku.“Bawa sini, gih. Kita makan sama-sama. Oya, mama panggil Tiara dulu ya, Pa? Lagi mandi kayaknya.”Mas Tama mengangguk sambil berpura-pura memainkan ponsel.Mbak Lita meninggalkan ruang makan. Kini tinggal kami berdua. Mas Tama sedang duduk di kursi, menghadap meja. Aku berada di depan kulkas, mengeluarkan puding
PoV Namira Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi. Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku. “Dingin tanganmu.” Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan. “Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya. Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh. “Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu. “Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.” “Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.” “Jangan gitu dong, Sayang.
PoV LolitaJam berdentang dua belas kali, saat aku memutuskan memasuki kamar. Tadinya berdiam di kamar Tiara sambil menunggu Tama, tapi belum tampak juga. Bahkan ponselnya tidak aktif. Kebiasaan.Seperti inilah Tama akhir-akhir ini. Tiba-tiba pamit pergi, lalu pulang lewat tengah malam. Ke mana lagi kalau bukan pergi sama Roy, kaki tangannya yang sangat dia percayai.Ya sudahlah, toh semua demi pekerjaannya.Aku merebahkannya diri. Membuka-buka galeri, memilih foto-foto yang paling menarik untuk kuunggah ke Facebook.Ternyata Namira pintar mengambil gambar, rata-rata foto yang dihasilkannya bagus-bagus. Aku sampai bingung memilihnya.Mata semakin berat saja, malah enggan untuk beralih posisi. Aku menggeletakkan ponsel di samping kiri. Lalu, menikmati buaian malam.*Hawa dingin membuatku terbangun. Lupa merapatkan selimut. Tiba-tiba perasaanku tak enak, kemana Tama?Aku mengerjab, meraih ponsel dan melihat jam di sana terpampang angka dua.Aku memeriksa aplikasi perpesanan. Tama mengi
“Iya, Tama memang pergi semalam,” akuku.Aku mulai terfokus menunggu ucapan Mita selanjutnya. Dia mencurigakan Tama, apa alasannya?“Aku melihatnya bersama wanita di sebuah rumah,” ucapnya pelan dengan suara berbisik. Mungkin menghindari pengunjung lain agar tidak mendengarnya.Aku mengingat-ingat kembali. Mungkinkah wanita yang dimaksud Mita adalah Namira?Lalu tiba-tiba tawaku menyembur. Mita jelas terkejut melihatku menertawakannya.“Namira,” sebutku. “Dia saudara kami. Saudara sambung, sih. Semalam memang suamiku mengantarnya pulang. Kan di rumah lagi ada acara ulang tahunnya Tiara.” Aku memberi penjelasan, tapi Mita tak tampak lega.“Kamu percaya pada gadis itu?” tanyanya serius. Dia terus menebarkan pengaruhnya.“Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya karena merasa diinterogasi.Mita mendekatkan ponsel miliknya, membuka galeri dan menunjukkan deretan foto-foto di sana.“Mereka memasuki rumah ini," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang memang terlihat asing dalam penglihatanku