Lolita, istriku itu suka meng-update barang-barang mewah pemberianku di akun Facebook miliknya. Tidak hanya itu, dia juga suka membagikan moment acara-acara penting keluarga, jalan-jalan, liburan, ulang tahun, anniversary, dan kegiatan apa pun yang dilakukan bersamaku. Sayangnya, dia tidak tahu bahwa statusnya selalu dipantau istri siriku. Aku sih santai saja karena kedua wanita kesayanganku tetap senang. Toh, wajar ‘kan jika pria memiliki lebih dari satu perempuan di hidupnya?
Lihat lebih banyak“Hebat, ya? 9.800 like?” ucapku ternganga melihat angka sebanyak itu di bawah foto yang diunggah istriku, satu jam lalu. Foto yang memperlihatkan sebuah kalung putih berleontin biru.
“Berkat Papa. Makasih ya, Sayang?” Lolita memberikan kecupan di pipi kiri. Meninggalkan rasa dingin sekaligus basah. Aku mengelap pipi karena tak ingin lipstiknya tertinggal di sini.
“Jangan khawatir, Pa. Ini lipstik mahal,” bisiknya. “Lihat ini.” Dia menscrol ponselnya ke bawah.
“Status pas mama nyobain lipstik ini, berhasil mendulang like 8.000 loh, pa?” Tambahnya makin bersemangat.
“Syukur, deh. Berarti gak sia-sia dong, Papa kerja siang malam? Sampai lembur-lembur, kalau Mama gak bahagia, apa gunanya coba?”
Aku memberikan rangkulang pada pinggangnya yang ramping. Aroma parfumnya yang memabukkan hampir saja membuatku terbuai.
“Papa mau pergi lagi?” tanyanya bernada kecewa saat aku melepas pelukan. Aku menatap wajahnya dengan sayang, teramat sayang. Lalu, mencium pipinya yang putih tanpa setitik noda.
“Sebentar lagi, Sayang,” jawabanku disambut dengan cebikan kecil.
“Padahal Mama lagi kepengen berduaan sama Papa,” keluhnya.
“Gak lama kok. Nanti malam Papa usahakan pulang lebih awal biar kita bisa makan malam bertiga.”
“Hu’um,” balasnya masih dengan nada kecewa. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang menurutku lebih menggemaskan jika seperti ini. Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah benda berwarna merah.
“Jangan ngambek. Papa punya sesuatu,” bisikku tepat di telinganya, membuat Lita menggelinjang kegelian.
Aku menyodorkan sebuah cincin bermata putih ke hadapannya. Lita memekik kecil.
“Pa .... ini sih, asli mutiara yang lagi viral itu. Papa belinya di mana? Berapa harganya?”
Lita langsung menyematkan pada jari manisnya. Ada yang mengalir sejuk ketika melihatnya seperti ini, berbinar dengan senyum yang terus mengembang. Rasa bahagia sampai menciptakan kaca-kaca di matanya yang bening.
“Gak penting berapa harganya, yang terpenting Mama suka. Apa sih, yang nggak buat Mama?”
“Eluh-uluh ... so sweet. Oya, Papa sempatkan di jari mama, ya? Mama mau ambil fotonya.”
Lolita menyerahkan cincin putih padaku. Lalu, meraih ponsel untuk mengambil gambar.
Aku menyematkan cincin itu di jari manisnya. Persisi seperti arahannya. Kemudian, Lita mengambil foto berkali-kali dengan senyum mengembang.
“Sudah, Pa.” Lita memperlihatkan sebuah foto yang dianggapnya paling bagus.
Aku berdiri mendekati nakas ketika ponsel berdering. Sebuah pesan masuk dan merujukku harus segera pergi.
“Papa pergi, Ma,” ucapku. Seketika itu juga, Lita meletakkan ponselnya. Ia membantuku membenahi kemeja dan memasang dasi.
“Panggil Tiara,” perintahku.
Sekali memberi perintah, Lita langsung beranjak pergi. Tak lama kemudian, seorang bocah tiga tahun berlari dan langsung memelukku.
“Bidadarinya Papa masih wangi, ya?” Aku menghujaninya dengan ciuman yang bertubi-tubi, hingga membuatnya terkikik kegelian.
Aku menggendongnya ke luar. Masih dengan menciumi pipinya yang gembil. Aroma bedak bayi menguar, membuatku selalu merindukan bocah semata wayang ini.
Lita mengikutku dari belakang, sampai di depan teras.
“Papa pergi dulu. Tiara jangan rewel, gak boleh bikin Mama se-“
“-dih,” lanjut Tiara dengan tawa khasnya.
“Makan malam di rumah loh, Pa.” Lita mengingatkan. Aku hanya mengangguk. Menuruni tangga yang tak seberapa tinggi, menuju mobil yang terparkir di halaman. Lalu melajukannya seorang diri. Tempat tujuanku tidak terlalu jauh. Jadi, tak perlu membawa sopir.
Aku menikmati perjalanan dengan santai. Setiap hari, rutinitas ini tak terasa membosankan. Sebab, aku punya tujuan hidup yang pasti.
Lima belas menit kemudian, aku sampai di tempat tujuan. Langsung memarkirkan mobil dan merogoh ponsel. Memeriksa panggilan darurat yang sering di laporkan oleh orang-orang kepercayaanku.
Ternyata sudah ada dua pesan yang masuk. Semua pesan dari Lolita. Aku sudah bisa menebak isi pesannya. Palingan laporan follower yang bertambah, like yang membeludak, atau komentar para pengikutnya.
Benar adanya. Dia mengirimkan screenshot komentar netizen. Isinya kurang lebih sama, yaitu ucapan kekaguman dan pujian dari foto yang baru saja ia unggah.
[Papa, baru sepuluh menit, like-nya 500-an.]
Aku tersenyum puas melihat isi pesannya. Kemudian membuka aplikasi berwarna biru itu. Begitu aplikasi terbuka, langsung terpampang foto yang diunggah Lita. Sebuah foto cincin bermata putih melingkar di jemarinya. Di bawahnya tertulis caption, “Doa terindah itu dari isteri salihah. Dan aku merasa bukan apa-apa di sampingmu, tetapi kamulah yang membuatku sangat berarti.”
Ratusan komentar membanjiri kolom komentarnya, bahkan like yang baru saja dia laporkan, sudah bertambah dua kalinya.
Aku menulis satu kalimat di kolom komentar sebagai pembukti bahwa foto itu benar adanya, bukan palsu atau mengambil gambar dari aplikasi tertentu.
Di sana kutulis, “Lup U, Han.”
Singkat, tapi aku yakin, akan ada puluhan bahkan ratusan emoticon hati dari para pengikut Lolita di sana nanti. Aku memang segampang itu membuat Lita merasa tersanjung.
Lita, seorang sosialita kelas atas sejak menjadi istriku, empat tahun lalu. Aku memberinya semua kemewahan. Sebab, dia sangat cantik dan layak mendapat itu semua. Bukan tanpa alasan, aku sangat mencintainya. Jelas akan memberikan semua yang tampak nyata. Terlebih dia sudah memberiku seorang anak perempuan.
Aku meninggalkan Lita dengan segala kehebohannya. Sejenak menjauh dari hiruk pikuk dunia luar. Aku memasuki sebuah kamar dan merebahkan diri di sana.
Menatap langit-langit kamar dengan pias, kemudian beringsut ke samping, meraih pinggang ramping yang tergolek di sana. Dia menggeliat mendapat serangan dariku yang bertubi-tubi.
“Emmm,” gumamnya sambil mengerjab.
“Lama banget sih, Mas. Aku sampai capek menunggunya,” keluhnya bernada kesal.
“Biasa, tad-“
“Membalas komentar Mbak Lita,” potongnya, ngambek.
“He’eh, sebentar doang.”
“Aku baca, loh. Lup U, Han,” ucapnya menirukan komentar yang kutulis.
“Ck, begitu saja ngambek.”
Aku mendekapnya erat sambil meremas jemarinya yang lentik. Lalu, mengelus cincin bermata putih yang melingkar di sana, sama persis seperti foto yang diunggah Lita.
“Besok, aku mau tas keluaran terbaru. Aku sudah searching gambarnya,” ucapnya setelah bergumul beberapa saat.
“Bisa,” jawabku santai.
“Tapi tetap aku yang memilih duluan, baru sisanya berikan sama Mbak Lita,” pinta gadis delapan belas tahun ini.
“Gak masalah. Memang selalu begitu, kan?” jawabku masih bernada santai.
Apapun itu tak menjadi masalah bagiku. Lolita akan bahagia dengan kesenangannya, yaitu berbagi kemewahan di media sosialnya dan Namira akan bahagia karena dia mendapat barang yang sama dengan Lolita. Dengan janji bahwa, istri keduaku ini tidak akan mengunggah apapun yang kuberikan padanya.
Namira akan tersenyum puas ketika nanti aku membawakan dua tas branded yang harganya sangat fantastis. Ia akan memilih mana dia suka, lalu akan memberikan sisanya padaku, tentu saja untuk Lolita.
Hidup memang sesederhana ini.
****
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen