Lolita menenteng tas milik Tiara. Bocah itu berlonjak kecildi samping Tama. Bercanda sambil melangkah ke luar. Lolita sudah tampak diteras, menunggu keduanya mendekat.“Jangan rewel, ya?” ucap Lolita memberi pesan. Tiara memakaitas punggungnya, kemudian mencium punggung tangan Lolita.“Mama gak ada acara kan? Nanti usahakan jemput Tiara,” tuturTama.“Iya, Pa. Nanti mama langsung ke kantor, ya? Mama bawakanmakan siang,” sambut Lolita.“Boleh.”Tama berpamitan, lalu meluncur bersama Rudi.Lolita kembali masuk. Tatapannya mengarah ke areabunga-bunga yang bermekaran. Aster putih mendominasi. Lucu, Lolitatertawa. Akhirnya bunga-bunga itu berdiam di sana. Tama memberi izin merawatnya sehingga koleksi bunganya menjadi bertambah.Gegas memasuki rumah. Namun, pandangannya tertuju padasebuah mobil yang terparkir tepat di luar gerbang yang kebetulan masih terbuka.Otaknya merekam kejadian beberapa hari yang lalu. Rasa takutmulai menjalar akan teror itu. Tetapi tidak berlangsung lama ketika iamen
“Sayang, kok gak ngomong mau datang.” Tama berucap.Lolita hendak menjawab, terapi urung dengan kedatangan Roy dan Mila, sekretaris Tama.“Ikut mama dulu,” perintah Tama. Tiara menurut.Terlihat ketiganya terlibat dalam percakapan serius. Bahkan Tamaterlihat mengusap dahi yang terus berkeringat. Lolita mengamati dengan khawatir. Otaknya merekam pandangan di depannya, tetapi tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang sedang di hadapi suaminya.Lima menit kemudian, keduanya keluar. Disusul Tama sambil membawa map di tangannya. Lolita tidak berani bertanya. Sebab, Tama terlihat sangat sibuk.Tiara mulai bosan. Sempat mengeluh karena sang papa tidak juga muncul. Lolita sampai harus kerepotan menjelaskannya.Tiba-tiba Tama masuk. Menutup pintu dengan sebelah kaki hingga meninggalkan suara yang cukup keras. Tiara terkejut, tetapi malah mendekat ketika mengetahui papanya yang membuka tutup pintu. Ia menghambur, tapi Lolita melarangnya karena Tama terlihat dalam keadaan kacau.Tama melempar map yan
Suasana malam lengang saat Lolita keluar dari kamar Tiara. Pukul sembilan malam, tetapi Tama belum juga pulang. Ia memutuskan menunggu di kamar sambil mempersiapkan pakaian ganti dan air hangat untuk Tama.Tak berselang lama, terdengar suara mobil yang berhenti di parkiran. Lolita menyibak tirai, tampak Rudi berlari kecil keluar dari mobil.Air hangat sudah tersedia, Lolita menyambut Tama yang mulai memasuki kamar. Basa-basi sejenak membuat Tama tampak rileks setelah seharian dikacaukan dengan urusan kantor.Menjelang tidur, Tama menyuruh Lolita tetap menghidupkan lampu utama. Biasanya, Tama akan bercerita panjang lebar di pembaringan. Tetapi sudah sepuluh menit menunggu, tak ada tanda-tanda membuka suara.Lolita segan ingin bertanya. Namun, rasa penasaran jauh lebih menyiksanya. Pun ia tak akan bisa terlelap jika ia belum mendapatkan penjelasan dari Tama sendiri. Untuk itu, Lolita memberanikan diri bertanya lebih dulu.“Papa gak ada niat cerita masalah di kantor?” tanyanya sambil mem
“Bismilah,” ucapnya sambil mendirikan pintu, lalu berjalan pasti memasuki lobi.Benar saja, ada seseorang yang sudah menunggunya di sana, menuntun Lolita memasuki sebuah kolam renang, lalu lorong kecil sepanjang sepuluh meter.Keduanya berakhir di sebuah ruangan, tetapi tidak memiliki atap. Outdoor dengan sebuah meja bulat dan tiga buah kursi.Tak ada siapapun di sana selain Lolita dan seorang pria bertubuh gempal yang menuntun Lolita sejak awal.Lolita berdiri di ambang pembatas karena memang tidak ada pintu di sana. Melangkah santai mencoba tenang, walaupun pikiran buruk mencoba merasuk. Tetapi segera ia tepis.Ia masih berdiri dengan menenteng tas. Tangan sebelah menggenggam ponsel. Lolita memutar badan untuk mencari keberadaan pria yang mengantarnya.Raib. Pria itu telah pergi.Lolita mengangkat ponselnya, berniat menghubungi Namira. Namun, belum sempat menekan nomor wanita itu, perhatiannya teralihkan oleh suara heels yang terdengar melewati lorong.Lolita tak perlu memandang sia
“Dan kalau Mbak Lita tetap menolaknya, berarti siap-siap menghadapi PHK besar-besaran. Siap-siap juga jika rumahmu, kantor-kantor mas Tama akan dihujani massa yang berdemonstrasi. Atau bahkan teror-teror seperti yang kulakukan kemarin. Terserah! Terserah nasib kalian! Aku gak perduli meskipun kalian menjadi gelandangan.” “Iblis kamu! Ingat, sampai kapanpun, aku tidak akan meninggalkan Tama. Dalam keadaan miskin sekalipun. Silahkan bersenang-senang dengan uangmu. Aku yakin, dalam gelimang harta, kamu tidak akan mendapatkan ketenangan.” Lolita berdiri dengan cepat, lalu pergi menyambar tasnya. “Jangan kamu pikir kamu satu-satunya solusi. Mudah-mudahan kamu gak segera mendapat azab, sehingga bisa menikmati kesenangan dalam waktu yang lama. Semoga ... semoga saja!” Lolita beranjak meninggalkan Namira. Namun, berbalik kembali sebelum ni benar-benar pergi. “Saat kamu memiliki anak nanti, baru kamu akan merasakan arti sebuah keluarga. Aku harap masa itu nanti akan mengingatkan kamu bet
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf