Baru ketika masalah skandal si Bos, Tama dengan Namira terkuakke publik, Deka menampakkan wujudnya. Ia sakit melihat wanita yang dari dulu sangatia jaga hatinya itu sedang terpuruk. Lebih-lebih lagi, berkali-kali Tama menyakitiLolita. Hatinya terasa sakit, tak ikhlas tetapi tak mampu berbuat apa-apa selainmenatap dari kejauhan. Pun kesempatan untuk dirinya sudah tertutup rapat. Sebab,Lolita tak pernah sekalipun membalas pesan atau mengangkat panggilan teleponnya.“Pulanglah! Tinggalkan aku sendirian di sini. Makasih sudah membawa pergi.” Lolita berucap.Deka bergerak tetapi bukan pergi. Ia duduk menjajari mantan kekasihnya.“Aku tunggu sampai kamu merasa baikan. Atau aku carikan taksi untuk mengantarmu pulang?”Lolita menggeleng. Ia kembali mengusap wajah.“Kalau mau cerita, aku siap mendengarkan,” ucap Deka setelah membiarkan Lolita berdiam beberapa saat.Waktu paling baik bagi seseorang yang terluka adalah memberinya jeda untuk menarik nafas. Minimal untuk memperbanyak stok oksigen
Namun, kenyataan berkata lain. Sesakit apapun wanita itu, akantetap bertahan demi satu alasan, yaitu adanya buah hati di antara keduanya.Deka merambat melewati pagar dengan gerak perlahan. Lalu, mendekati motor dan menstarternya.Seketika, Lolita menoleh ke arah suara motor itu. Menelisik tempat yang mulai gelap dan mendapati punggung Deka sudah menjauh.“Kenapa, Sayang? A-ada apa?”Tama mengikuti arah mata Lolitamemandang. Ia masih dapat melihat punggung seorang pria menjauh sebelum menghilang di antara padatnya lalu lintas.“Kita pulang. Tiara sudah menunggu. Ayo.”Tama merangkul bahu Lolita. Mereka berjalan bersisian.Lolita masih sesenggukan. Sementara Tama mengusap pelan bahu istrinya agarmerasa tenang.Selama perjalanan, Lolita enggan menanggapi ucapan Tama. Iamemilih membuang pandangan ke samping kiri.Tama mengerti ekspresi itu. Membiarkan Lolita diam adalahsalah satu solusi meredam kemarahan. Tanpa aba-aba, Tama meraih jemari Lolita, tapi dengan sigap Lolita menepisnya.Tama
“Setelah papa tolak, eh dia gak mau keluar dari mobil. Kan papapanik, jangan-jangan ketauan sama karyawan.”“Bilang aja kesempatan. Mumpung berdua aja itu.”“Mama ... papa serius. Sudah itu, dia papa bentak biar keluar.Akhirnya keluar dia, Ma. Tapi bukan si-““Mama nggak mau namanya disebut!”“Em, iya. Tapi dia tak malah mengetuk pintu mobil terus nyosorgitu aja. Papa rasa ... dia mengetahui kedatangan Mama sebelumnya. Buktinya dialangsung menunjuk ke arah Mama.”“Papa pikir, Mama percaya. Malas mendengarkan pengakuan Papayang banyak dramanya.”Lolita berdiri, lalu meninggalkan ruang kerja Tama.“Mama ...! Is, lokal tambah lemburan ini,” keluhnya. Ia mendekatilaptop dan menyentuh tanda shut down.Tama berlari kecil mengikut Lolita. Tak lupa menyambut bonekadi atas mejanya.“Mama!”Tama memeluk Lolita dari belakang begitu sampai di dalam kamar.“Lepaskan!” pinta Lolita. Tangannya sibuk membuka kaitan tanganTama yang melingkar di perutnya.“Papa, lepaskan!”“Nggak. Papa nggak ngapa-ngap
emarinya yang lentik, sibuk membolak-balik majalah fashion yangbaru saja ia beli. Netranya tajam merekam setiap jejak penglihatan pada setiap modepakaian terkini.Bibirnya bergumam. Lalu, mengumbar senyum ketika mendapatkansesuatu yang diinginkan.Tak puas dengan itu, ia membuka ponselnya dan berselancar disana. Menapaki setiap model pakaian terkini pada aplikasi online.“Dapat,” gumamnya sambil meletakkan majalah, kemudian terfokuspada layar pipih.“Sayang,” ucapnya manja saat seseorang keluar dari kamar mandi.Rambutnya basah, bahkan masih menetes. Ia buru-buru menyambar handuk untuk mengusapnya.“Kenapa?” balasnya.“Mami mau ini, dong.”Jemari lentiknya menunjuk pada sebuah pakaian.“Kemarin sudah beli. Lagian, uang yang kemarin kemana?”“Ck, pelit. Kemarin kan aku ulang tahun, Pi. Uangnya habis buatmakan-makan sama temen-temen kuliah. Papi yang belum kasih hadiah, ucapan juga nggak.”Bibir itu mengerucut sedemikian rupa, sehingga membuat si lelaki yang dipanggilpapi menjadi gemas.“
Di lantai yang dingin Lolita membentang karpet bulu.Televisi sudah menyala, Tiara duduk di sofa, kemudian berpindah ke bawah usaimamanya menyediakan tempat untuknya.Ia mengambil dua bantal untuk dirinya dan Tiara. Bocah ituasik berceloteh, menyebutkan semua tokoh kartun yang sedang ia tonton. Lolitaberbaring di sisi putrinya sambil mendengarkan setiap kata yang ia dengar.Cukup lama berdiam di sana. Sampai Tiara membangunkannya.“Mama, kapan kita main ke kantor papa?” tanya Tiara sambilmenepuk pipinya. Ia terjaga, padahal hampir terlelap.“Kapan-kapan,” jawab Lolita menggumam.“Besok ya, Ma?” tawar Tiara.“Hu’um,” jawab Lolita asal.“Hore ... Tiara mau bawain Papa buah yang dipotong-potongya, Ma?” Tiara kembali menanyai.“Hu’hum,” jawab Lolita, ia sudah terpejam tapi masihmendengar celoteh anaknya.“Mama ... HP Mama bunyi, tuh.Tiara menyodorkan ponsel ke dekat mamanya. Lolita meraih dansegera membuka.[Bukan KW ya?]Dua pesan langsung terbuka. Lolita langsung membaca pesankedua dan
“Om!”Tiba-tiba Tiara memanggil. Deka menoleh karena tidak ada pria lain di dalam ruangan, pastinya bocah itu memanggil dirinya.“Iya, manggil Om?” tanya Deka.“Ada apa, Sayang?” tanya Lolita juga pada putrinya.“Tiara pernah liat Om,” ucap Tiara lugu.“Oya, di mana?” tanya Deka penasaran.“Di HP Mama.”“Sayang, gak boleh ngomong begitu.” Lolita meraih Tiara untuk duduk di pangkuannya. Ia membisikkan sesuatu yang berisi agar tidak berbicara sembarangan.Deka menatap keduanya dengan menahan senyum.“Gak pa-pa, Lit. Aku gak akan bilang sama papanya kok,” ucap Tama dengan tenang.“Apaan, sih!”“Oke. Anggap saja aku gak dengar tadi. Tapi sepertinya kamu perlu berhati-hati menyimpan foto.”“Jangan ge-er, deh! Dia liat pas aku buka-buka di Facebook kamu, bukan di galeri, ya?”“Ow ... di Facebook?”“Ma-maksudku Cuma ... iseng.” Lolita tergagap.“Ya sudah sih, gak pa-pa juga.” Deka menanggapi dengan tenang.“Tapi beneran kok, Tiara gak bohong.” Tiba-tiba Tiara berceloteh di antara perdebatan
“Harumnya ... kamu pasti suka, Mas. Mbak Lita, bersiaplahkepanasan. Gak mungkin terorku tak berpengaruh apa-apa. Minimal tensi darahnyanaik, terus stroke.”Namira tertawa jahat di posisinya saat ini, masih menelisikrumah yang terlihat sangat tenang.Ia memutuskan turun untuk melanjutkan misinya. Dari arahyang berlawanan, sebuah mobil terlihat masuk. Di dalam menampakkan Tama.“Mas Tama! Mobilnya baru, tumben mbak Lita gak pamer. O iya,dia ‘kan sudah tutup akun.”Namira berbicara seorang diri. Ia bergerak masuk mengikutimobil Tama.“Mbak-mbak, dilarang masuk.”Langkahnya terhenti oleh karena panggilan satpam. Namira terkesiap dengan panggilan itu.“Aku?” tanya Namira.Benar saja, karena Jono menunjuk dirinya.“Kamu gak kenal aku, No?” tanya Namira keheranan.“Iya, Mbak. Saya ditugaskan mengawasi rumah ini darikedatangan Mbak Namira,” jawaban jujur Jono membuat Namira meradang.“Sejak kapan? Siapa yang menugaskan? Aku biasa wira-wiri ke sini,”protes Namira.“Maaf, Mbak. Saya hanya menja
“Ada ya, wanita kayak kamu, Na. Semoga kamu satu-satunya yanghidup di dunia ini,” ucap Lolita dengan pandangan lurus menatap kepergian mantanmadunya.“Ingat, jangan terpancing, Ma.” Tama mengingatkan. “Masuk.” Iamengajak Lolita segera menyusul Tiara.*Di bagian lain, Namira tampak kesal memandangi ponselnya. Iasedang menuntut keadilan pada Teguh, suaminya.“Pi,” panggil Namira saat layar ponselnya memperlihatkan wajahTeguh.“Kenapa? Butuh apa? Papi bentar lagi mau meeting, buruan ngomong.”“Papi gak benar-benar meminta mami datang kan? Kemarin kan mengizinkanmami meneruskan kuliah,” protes Namira.“Papi berubah pikiran. Ternyata Mami nggak bisa dipercaya. Ngapainmendatangi mantan suami Mami? Apa masih kurang pemberian papi, hah?”“Bukan begitu, Pi-““Jangan banyak alasan. Papi sudah mengeluarkan banyakuang untuk kesenangan Mami. Sekarang, giliran Mami yang membalasnya. Duit itu nyarinyasusah. Mami pikir pemberian papi gratisan apa!”“Pi-“ Seketika, Teguh memutussambungan. Namira han