Tiara melompat-lompat kegirangan sambil menunjuk ke depan. Di mana hamparan pasir membentang di hadapannya.Baru saja menginjakkan kaki di sebuah vila yang dipesan Tama, aku sudah dibuat takjub dengan interior vila mungil ini. Belum lagi keberadaannya yang langsung menghadap ke laut. Membuatku berdecak kagum.Di samping kanan vila terdapat kolam renang dan sebuah paviliun unik khas Bali yang langsung menghadap ke pantai.“Suka?” Tama memelukmu dari belakang.“Hu’um.”Aku masih terkesiap dengan pemandangan yang ada.“Walaupun dekat pantai dan ombaknya tenang, tapi papa gak izinkan kalian mandi di sana, ya?”Aku hendak memprotes, tapi Tama buru-buru menghadapkan aku ke samping kiri.“Ke sini aja kalau mau berenang.”Tama menunjukkan sebuah kolam renang yang menjadi fokusku sejak tadi.“Ini tempat asing. Apapun alasannya, papa nggak mau dibantah,” lanjutnya memperingatkan.“Siap!” jawabku. Tak masalah bagiku, toh demi keselamatan kami.“Sana, ajak Tiara main dulu. Papa mau mengirim kerja
PoV Tama“Pa, mama pakai HP papa tadi buat upload foto. Nanti biarmama aja yang balas komentarnya pake HP mama. Dimatiin aja HP-nya kalau malas berisik dengar notifikasinya.”Lolita berucap sambil memasang dasi. Aku hanya sekali menjawabnya dengan gumaman. Semenjak liburan ke Bali Minggu lalu, Lolita tampaksemakin senang. Apalagi ketika aku mengizinkan menggunakan ponselku untukmengunggah statusnya. Sebab, sebelumnya aku tak pernah memberi izin. Aku perlu meyakinkan Lolita setelah dia bertemu dengan Mita.Sebelumnya, aku memergoki Lolita menemui sahabatnya, Mita. Lolitatak cukup pintar bermain di belakangku. Dia tak mengetahui jika aku memasang GPS yang langsung terhubung ke ponselku sehingga aku mengetahui kemanapun dia pergi.Setelah itu, aku mengendalikan Namira agar jangan dulumeminta untuk bertemu. Dia menyetujui, oleh sebab tugas kuliah yang menumpukdan sebuah pekerjaan yang baru saja aku rekomendasikan kepadanya. Kalau bukan alasan itu, Namira pasti menolak. Dia 'kan keras kep
PoV TamaAku terbangun saat ponsel di bawah bantal berdering.“Pa, alarmnya bunyi tu. Katanya mau lembur.” Lolita berucap dengan mata yang masih terpejam.Pukul sebelas malam. Aku beranjak dari pembaringan. Menyambar piyama yang teronggok di pinggir ranjang, lalu mengenakannya. Segera ke luar kamar menuju ruang kerja.Baru saja hendak membuka pintu, terdengar seseorang melangkahkan memasuki ruang sebelah.Penasaran, aku mengikuti bayang di bawah pencahayaan yang temaram itu.Namira? Ngapain masuk ke ruangan gym.Aku bergerak lebih cepat. Lalu, menyambar tubuh itu dan membungkam mulutnya.“Diam, ini aku!" Aku membawanya masuk ke ruang gym."Mas lepaskan, tapi jangan teriak."Perlahan, aku melepaskan tangan pada bekapan mulutnya."Jahat, ih!" Namira memukul dadaku beberapa kali."Jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Aku mengingatkan. "Kenapa? Ada apa datang kemari? Kenapa gak bilang mau datang, hah?"Karena panik, aku melontarkan pertanyaan berulang kali."Salah sendiri ingkar janji.
PoV TamaNamira, satu nama yang tidak asing. Dia gadis yang rapuh, tapi menyenangkan. Dia berjiwa besar untuk menerima takdir menjadi yang kedua saat aku menyetujui keinginannya.Enam bulan lalu, dia terang-terangan menyatakan perasaannya, kedua kali setelah sebelumnya pernah aku tolak. Saat itu, akupun tetap berpegang teguh menolaknya. Sampai pada peristiwa mencengangkan itu terjadi. Lolita menemukan Namira tengah mabuk-mabukan di sebuah bar. Beruntung seorang teman mengabari Lolita, sehingga malam itu juga Namira dijemput paksa dan berdiam di rumah ini.Sayangnya, Lolita terlalu polos untuk bisa menebak sisi lain dari seorang Namira, sehingga hanya aku yang mengetahui jika Namira memang sengaja menjajakan dirinya di sana. Di hadapanku dia mengaku, jika aku tidak memilikinya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada orang lain yang menginginkannya.Dilema. Aku seperti berdiri di antara jurang yang dalam nan terjal. Di mana jika memutuskan bergerak ke kiri atau ke kanan tanpa perhitun
“Ma, apa untungnya mengoleksi video seperti itu. Nanti malah dilihatin Tiara, HP Mama kan sering dipakai Tiara.” Aku memprotes.“Ck, buat seru-seruan, Pa. Sekarang kan lagi viral pelakoran. Gak Cuma di sini, noh di Korea sana, film yang diangkat juga tentang perpelakoran. Oya, Ma, masih suka nonton film Korea?” Lolita bertanya sambil menghabiskan suapan terakhirnya.“Lama gak pernah nonton,” jawab Namira.“Tenang, Mbak punya banyak koleksi. Malah yang lagi trending juga punya.”“Sudah makannya , Ma. Papa mau berangkat ini.” Aku menengahi. Lolita tampak beranjak mendekati Tiara.“Sudah, Pa. Sayang, baik-baik di sekolah, ya?”“Namira mau ikut sekalian?” aku menawarkan. Basa-basi saja sebagai kedok.“Jangan, Namira mesti cuci piring dulu. Kebetulan pembantu lagi sibuk nanam janda bolong di belakang. Nanti yang bersihin ini siapa?”“Loh, Namira kan mau kuliah, Ma. Nanti dia telat, loh.”“Gak pa-pa. Kebetulan jam pertama kosong, kok.”“Tuh, kan. Namira saja nggak pa-pa, kok.”“Ya sudah, pa
POV AuthorBetapa hancur hati Lolita menghadap layar pipih dihadapannya. Layar monitor CCTV yang menghubungkannya seluruh ruangan di rumah itu.Ia meraih kotak tisu di sampingnya dan mengelap kasar pipinya yang sudah basah oleh air mata.“Tega! Kalian benar-benar tak punya adab,” rutuknya.Lolita meninggalkan layar yang masih menyala itu dengan langkah tertatih. Menuju dapur, tempat paling dekat dengan ruang di mana layar itu berada. Ia duduk di sana.Terisak sendiri dalam diam. Ingin berteriak agar seluruh penghuni rumah mengetahui kelakuan mereka berdua, tetapi ia takut malu. Bagaimana pun, Tama adalah kepala keluarga dan memiliki jabatan yang tidak semua orang sanggup memikulnya.Lolita menyambar pintu kulkas. Meneguk botol air putih tanpa menggunakan gelas. Ia tersedak, tetapi masih juga mengulanginya.“Tak bisa dibiarkan,” gumamnya kemudian.“Gadis kecil, kamu sudah merebut kebahagiaanku. Lihat saja, apayang akan aku lakukan padamu.”Ia mendekatkan wajahnya pada wastafel, lalu me
“Mau bilang khilaf? Percuma! Mau minta maaf? Dosamu sudah menggunung.Sudahlah, diam sekarang juga!”Suara Lolita meninggi. Ia mengeluarkan ponsel milik Namira.“Telepon Tama, bilang kamu ingin ketemu sekarang juga. Kalaugak mau, ancam kamu mendatangi kantornya. Cepat!”Lolita melempar sekotak tisu ke pangkuan Namira.“Jangan sampai Tama mendengar tangisanmu. Buruan!”Namira menerima ponselnya, lalu menghubungi Tama. Tak lama kemudian,ia meletakkan ponselnya.“Di mana?” tanya Lolita dengan kasar.“Sebentar lagi di kirim alamatnya.”“Sini!” Lolita mneyambar kembali ponsel milik Namira.Lima belas menit menunggu, akhirnya Tama mengirim alamat ke ponselNamira. Dengan gerak cepat, Lolita memacu mobilnya agar sampai lebih dulu di tempatyang dituju.Bukan sesuatu yang sulit bagi Lolita mencari tempat yang di janjikanTama untuk bertemu dengan Namira.Lolita mengurut dada yang kian sesak. Melihat vila dan seluruh isinya yang mewah. Berada di lokasi yang dipenuhi bunga kesukaannya, anggrek.Ia
Lolita membasuh wajahnya yang kusam oleh sebab tangisan. Ia membuka seluruh pakaian, melempar ke sembarang arah. Lalu, mengguyur seluruh tubuh, tanpa terkecuali.Detik demi detik ia rasai resapan air memasuki pori-porikulitnya. Perlahan pengubah panas dalam dadanya menjadi sejuk.Tama telah merusak tatanan rapi dalam hatinya dan Namira sudah memporak-porandakan seluruh dunia yang ia huni. Tak satupun cara dapatmengubah rasa bencinya menjadi sebuah pemakluman.Kata maklum haram baginya saat ini. Bahkan ia akan mendudukan Namira di tempat yang layak.“Sampah akan berada di tempat yang layak. Bukan di istana yangsudah kubangan dengan jerih payah. Akan kutempatkan di mana kamu seharusnya berada, Namira!”Sejujurnya ingin memaki, ingin mempertontonkan keduanya di hadapan khalayak. Namun lagi-lagi, nama baik Tama dan dirinya yangLolita pertimbangkan.Ia seorang sosialita, bahkan menjadi panutan dari followersdan teman-temannya, di mana Tama adalah pangeran berkuda putih yang seringdielu-elu