Share

Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku
Gara-gara Status Facebook Istri Pertamaku
Penulis: Ina Shalsabila

Status F******k Istriku

“Hebat, ya? 9.800 like?” ucapku ternganga melihat angka sebanyak itu di bawah foto yang diunggah istriku, satu jam lalu. Foto yang memperlihatkan sebuah kalung putih berleontin biru.

“Berkat Papa. Makasih ya, Sayang?” Lolita memberikan kecupan di pipi kiri. Meninggalkan rasa dingin sekaligus basah. Aku mengelap pipi karena tak ingin lipstiknya tertinggal di sini.

“Jangan khawatir, Pa. Ini lipstik mahal,” bisiknya. “Lihat ini.” Dia menscrol ponselnya ke bawah.

“Status pas mama nyobain lipstik ini, berhasil mendulang like 8.000 loh, pa?” Tambahnya makin bersemangat.

“Syukur, deh. Berarti gak sia-sia dong, Papa kerja siang malam? Sampai lembur-lembur, kalau Mama gak bahagia, apa gunanya coba?”

Aku memberikan rangkulang pada pinggangnya yang ramping. Aroma parfumnya yang memabukkan hampir saja membuatku terbuai.

“Papa mau pergi lagi?” tanyanya bernada kecewa saat aku melepas pelukan. Aku menatap wajahnya dengan sayang, teramat sayang. Lalu, mencium pipinya yang putih tanpa setitik noda.

“Sebentar lagi, Sayang,” jawabanku disambut dengan cebikan kecil.

“Padahal Mama lagi kepengen berduaan sama Papa,” keluhnya.

“Gak lama kok. Nanti malam Papa usahakan pulang lebih awal biar kita bisa makan malam bertiga.”

“Hu’um,” balasnya masih dengan nada kecewa. Aku tersenyum melihat ekspresinya yang menurutku lebih menggemaskan jika seperti ini. Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah benda berwarna merah.

“Jangan ngambek. Papa punya sesuatu,” bisikku tepat di telinganya, membuat Lita menggelinjang kegelian.

Aku menyodorkan sebuah cincin bermata putih ke hadapannya. Lita memekik kecil.

“Pa .... ini sih, asli mutiara yang lagi viral itu. Papa belinya di mana? Berapa harganya?”

Lita langsung menyematkan pada jari manisnya. Ada yang mengalir sejuk ketika melihatnya seperti ini, berbinar dengan senyum yang terus mengembang. Rasa bahagia sampai menciptakan kaca-kaca di matanya yang bening.

“Gak penting berapa harganya, yang terpenting Mama suka. Apa sih, yang nggak buat Mama?”

“Eluh-uluh ... so sweet. Oya, Papa sempatkan di jari mama, ya? Mama mau ambil fotonya.”

Lolita menyerahkan cincin putih padaku. Lalu, meraih ponsel untuk mengambil gambar.

Aku menyematkan cincin itu di jari manisnya. Persisi seperti arahannya. Kemudian, Lita mengambil foto berkali-kali dengan senyum mengembang.

“Sudah, Pa.” Lita memperlihatkan sebuah foto yang dianggapnya paling bagus.

Aku berdiri mendekati nakas ketika ponsel berdering. Sebuah pesan masuk dan merujukku harus segera pergi.

“Papa pergi, Ma,” ucapku. Seketika itu juga, Lita meletakkan ponselnya. Ia membantuku membenahi kemeja dan memasang dasi.

“Panggil Tiara,” perintahku.

Sekali memberi perintah, Lita langsung beranjak pergi. Tak lama kemudian, seorang bocah tiga tahun berlari dan langsung memelukku.

“Bidadarinya Papa masih wangi, ya?” Aku menghujaninya dengan ciuman yang bertubi-tubi, hingga membuatnya terkikik kegelian.

Aku menggendongnya ke luar. Masih dengan menciumi pipinya yang gembil. Aroma bedak bayi menguar, membuatku selalu merindukan bocah semata wayang ini.

Lita mengikutku dari belakang, sampai di depan teras.

“Papa pergi dulu. Tiara jangan rewel, gak boleh bikin Mama se-“

“-dih,” lanjut Tiara dengan tawa khasnya.

“Makan malam di rumah loh, Pa.” Lita mengingatkan. Aku hanya mengangguk. Menuruni tangga yang tak seberapa tinggi, menuju mobil yang terparkir di halaman. Lalu melajukannya seorang diri. Tempat tujuanku tidak terlalu jauh. Jadi, tak perlu membawa sopir.

Aku menikmati perjalanan dengan santai. Setiap hari, rutinitas ini tak terasa membosankan. Sebab, aku punya tujuan hidup yang pasti.

Lima belas menit kemudian, aku sampai di tempat tujuan. Langsung memarkirkan mobil dan merogoh ponsel. Memeriksa panggilan darurat yang sering di laporkan oleh orang-orang kepercayaanku.

Ternyata sudah ada dua pesan yang masuk. Semua pesan dari Lolita. Aku sudah bisa menebak isi pesannya. Palingan laporan follower yang bertambah, like yang membeludak, atau komentar para pengikutnya.

Benar adanya. Dia mengirimkan screenshot komentar netizen. Isinya kurang lebih sama, yaitu ucapan kekaguman dan pujian dari foto yang baru saja ia unggah.

[Papa, baru sepuluh menit, like-nya 500-an.]

Aku tersenyum puas melihat isi pesannya. Kemudian membuka aplikasi berwarna biru itu. Begitu aplikasi terbuka, langsung terpampang foto yang diunggah Lita. Sebuah foto cincin bermata putih melingkar di jemarinya. Di bawahnya tertulis caption, “Doa terindah itu dari isteri salihah. Dan aku merasa bukan apa-apa di sampingmu, tetapi kamulah yang membuatku sangat berarti.”

Ratusan komentar membanjiri kolom komentarnya, bahkan like yang baru saja dia laporkan, sudah bertambah dua kalinya.

Aku menulis satu kalimat di kolom komentar sebagai pembukti bahwa foto itu benar adanya, bukan palsu atau mengambil gambar dari aplikasi tertentu.

Di sana kutulis, “Lup U, Han.”

Singkat, tapi aku yakin, akan ada puluhan bahkan ratusan emoticon hati dari para pengikut Lolita di sana nanti. Aku memang segampang itu membuat Lita merasa tersanjung.

Lita, seorang sosialita kelas atas sejak menjadi istriku, empat tahun lalu. Aku memberinya semua kemewahan. Sebab, dia sangat cantik dan layak mendapat itu semua. Bukan tanpa alasan, aku sangat mencintainya. Jelas akan memberikan semua yang tampak nyata. Terlebih dia sudah memberiku seorang anak perempuan.

Aku meninggalkan Lita dengan segala kehebohannya. Sejenak menjauh dari hiruk pikuk dunia luar. Aku memasuki sebuah kamar dan merebahkan diri di sana.

Menatap langit-langit kamar dengan pias, kemudian beringsut ke samping, meraih pinggang ramping yang tergolek di sana. Dia menggeliat mendapat serangan dariku yang bertubi-tubi.

“Emmm,” gumamnya sambil mengerjab.

“Lama banget sih, Mas. Aku sampai capek menunggunya,” keluhnya bernada kesal.

“Biasa, tad-“

“Membalas komentar Mbak Lita,” potongnya, ngambek.

“He’eh, sebentar doang.”

“Aku baca, loh. Lup U, Han,” ucapnya menirukan komentar yang kutulis.

“Ck, begitu saja ngambek.”

Aku mendekapnya erat sambil meremas jemarinya yang lentik. Lalu, mengelus cincin bermata putih yang melingkar di sana, sama persis seperti foto yang diunggah Lita.

“Besok, aku mau tas keluaran terbaru. Aku sudah searching gambarnya,” ucapnya setelah bergumul beberapa saat.

“Bisa,” jawabku santai.

“Tapi tetap aku yang memilih duluan, baru sisanya berikan sama Mbak Lita,” pinta gadis delapan belas tahun ini.

“Gak masalah. Memang selalu begitu, kan?” jawabku masih bernada santai.

Apapun itu tak menjadi masalah bagiku. Lolita akan bahagia dengan kesenangannya, yaitu berbagi kemewahan di media sosialnya dan Namira akan bahagia karena dia mendapat barang yang sama dengan Lolita. Dengan janji bahwa, istri keduaku ini tidak akan mengunggah apapun yang kuberikan padanya.

Namira akan tersenyum puas ketika nanti aku membawakan dua tas branded yang harganya sangat fantastis. Ia akan memilih mana dia suka, lalu akan memberikan sisanya padaku, tentu saja untuk Lolita.

Hidup memang sesederhana ini.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status